Nayra menggeliat. Semalaman dia tidak tidur. Pikirannya kacau. Bagaimana bisa dia mendapat banyak uang dalam waktu yang cukup singkat.
Tidur yang kurang tentu membuat Nayra malas untuk bangun. Gadis itu merenung kembali. Mencari jalan keluar untuk semua masalahnya.
Pusing karena tidak menemukan solusi, Nayra mendesah. Namun, hari semakin siang. Akhirnya Nayra mengabaikanmalas. Gadis itu beranjak dari ranjang. Kakinya mengayun ke kamar mandi. Walau pusing Nayra harus bekerja.
Nayra sudah berpikir semalaman. Dia akan mencoba meminjam uang pada Bapak Abdul. Walau sedikit sangsi karena hutangnya pada pria baik itu juga belum lunas.
Beberapa bulan lalu tekanan darah tinggi nenek meningkat. Wanita sepuh itu harus dilarikan ke rumah sakit. Nayra terpaksa meminjam uang pada Bapak Abdul untuk membayar biaya rumah sakit nenek selama seminggu.
Beruntung Bapak Abdul orang yang baik. Lelaki itu tidak pernah menagih. Tidak pula memotong gaji bulanannya Nayra. Namun, mengajukan syarat agar Nayra mau menikah dengan Azriel putranya.
Nayra telah selesai mandi. Gadis manis itu tetap menjalankan ibadah dua rakaat. Selain melaksanakan kewajiban, dia juga berpasrah diri pada Sang Pencipta.
Usai beribadah Nayra menghampiri nenek. Wanita sepuh itu tengah sarapan seorang diri. Hanya ada nasi putih dan tempe goreng di meja kayu tua itu. Nayra sama sekali tidak berselera.
"Davi mana, Nek?" Nayra bertanya usai meneguk teh tawar yang nenek buat untuknya.
"Dari tadi belum keluar kamar." Bibir tua itu menjawab seraya mengunyah makanannya.
"Ya ... sudah aku berangkat ya." Nayra meraih tangan keriput itu untuk disalim.
"Gak sarapan?" tanya Nenek perhatian.
Nayra hanya menggeleng. Langkahnya masih lesu saat meninggalkan rumah. Ketika dia tengah mengikat sepatunya, seseorang sudah berdiri di hadapannya.
Nayra mendongak. "Ibu Lia?" Dia menyapa santun. Sedikit gugup karena pemilik rumah ini menatapnya malas.
"Cepat kosongkan rumah ini, lusa penyewa baru rumah ini akan datang," usir Ibu Lia tanpa basa-basi. Dirinya juga berkacak pinggang. Sama sekali tidak bersahabat.
"Ma-maksud Bu Lia, apa?" Bibir Nayra terkaget mendengar pengusiran itu.
"Kamu itu langganan telat bayar sewa rumah, Nay. Saya males tiap bulan nagih," jawab Bu Lia sedikit mengomel. "Lebih baik saya sewakan rumah ini pada orang yang niat bayar," lanjutnya ketus.
"Saya juga niat bayar, Bu," sahut Nayra serius, "kasih saya waktu." Nayra berjanji sembari mengatupkan kedua tangannya.
"Saya bosen mendengarnya, Nayra." Suara Bu Lia mulai meninggi.
"Bu Lia, tolong jangan usir kami," mohon Nayra dengan memelas. Dia memegang tangan wanita berambut blonde di gulung itu. "Saya janji akan segera bayar." Kembali dia berjanji dengan sungguh-sungguh.
Bu Lia mengibas tangan Nayra dengan kasar. "Jangan merayu lagi!" Matanya membulat. "Pokoknya jangan sampai saya suruh anak buah saya untuk menyeret kalian dari rumah ini!" ancamnya tanpa ampun.
Usai meluncurkan ancaman, Ibu Lia melenggang pergi. Kakinya melangkah panjang-panjang. Dirinya sama sekali tidak memedulikan panggilan dari Nayra.
Mata Nayra merebak ketika panggilannya tidak digubris Bu Lia. Namun, ia gegas mengusap air matanya yang mulai menitik tatkala melihat nenek dan adiknya terpaku di pintu.
"Aku berangkat ya." Nayra pamit lagi.
Dia mengacak lembut pucuk rambut sang adik. Walau kerap dibuat dongkol. Namun, rasa sayang pada adik semata wayangnya itu tidak pernah surut. Apa pun yang terjadi Nayra akan selalu menjadi tempat peraduan bagi Davi.
Nayra mempercepat langkah. Harus sampai di tempat kerja lebih awal dari teman-temannya. Nayra tidak ingin teman-teman tahu kalau dia akan meminjam uang pada Bapak Abdul.
Sialnya dia telat bangun tadi. Semalaman berpikir keras membuat Nayra baru bisa terpejam selepas subuh. Baru tiga jam terlelap dia harus lekas bangun.
Nayra datang terlambat. Rumah makan tempat dia kerja sudah ramai. Di pintu masuk, dirinya berpapasan dengan Saga.
"Nayra?" sapa Saga dengan tatapan lekat. Lelaki itu menelisik mata merah Nayra.
Nayra sendiri tidak peduli. Gadis itu melangkah tergesa ke dalam. Dirinya cepat memakai seragam rumah makan ini.
Dengan cekatan Nayra melayani tamu yang datang. Kesibukan membuat beban pikirannya sedikit teralihkan. Ketika suasana mulai sepi, Nayra memberanikan diri menghadap Bapak Abdul.
"Nay." Nayra menoleh. Andi rekan kerjanya mendekat dengan wajah pucat. "Kamu mau menemui Pak Abdul?" tebak bapak muda itu.
"Iya."
"Mau pinjam uang?"
Wajah Nayra memerah menahan malu. Dia memang terkenal paling suka meminjam uang pada si bos.
"Nay, istriku hari ini harus dioperasi caecar, aku butuh banyak duit," tutur Andi memberi tahu. "Jadi aku mohon, biar aku dulu yang menghadap Pak Abdul ya?" pintanya bersungguh-sungguh.
Nayra mengangguk. Dia membiarkan Andi memasuki ruangan Bapak Abdul. Dirinya mengalah dengan menunggu.
Setengah jam menunggu, Andi keluar. Pria itu mengangguk pada Nayra. Senyum tipis terbit dari bibir Andi. Nayra menduga pasti Andi mendapat pinjaman dari Bapak Abdul.
Selepas kepergian Andi, Nayra menarik napas panjang. Dirinya sedang menata hati. Semoga permohonannya tidak ditolak oleh Bapak Abdul.
"Masuk!" suruh Bapak Abdul begitu Nayra mengetuk pintu.
Nayra mengelus dadanya pelan. Setelah memantapkan hati dia masuk. Gadis itu melempar senyum manis untuk sang bos.
"Eh, Nay." Bapak Abdul hanya sekilas melirik. Matanya fokus pada catatan dan kalkulator. "Ada apa?" tanya Bapak Abdul ketika Nayra tidak juga berbicara.
"Eum ... Maaf, Pak, anu ... saya ... saya mau kasbon lagi," tutur Nayra terbata.
Bapak Abdul yang tengah memeriksa catatan berhenti. Dia menatap gadis yang kian hari mengurus itu.
"Kasbon bulan lalu juga belum dibayar."
"Maaf, Pak, tapi saya sangat butuh pinjaman," mohon Nayra menghiba, "saya bisa diusir jika tidak bayar sewa rumah."
Bapak Abdul membetulkan letak posisi kaca matanya. "Andi baru saja kasbon dengan jumlah yang banyak."
"Ya saya tahu, Pak."
"Makanya saya gak bisa minjamin kamu," tukas Pak Abdul tegas.
"Tapi, saya sangat butuh." Sekali lagi Nayra berusaha membujuk.
"Maaf." Pria itu menggeleng. "Sana kerja lagi!" Tangan Pak Abdul menunjuk pintu.
Bahu Nayra menurun mendengar pengusiran itu. Dirinya keluar dengan langkah lesu. Hatinya kian gundah gulana.
Nayra tidak bersemangat bekerja. Pikirannya terus melayang ke rumah. Bagaimana caranya dia menyelamatkan Davi dan juga sang nenek. Alhasil Nayra jadi banyak melamun. Untung Pak Abdul baik. Sehingga gadis itu tidak kena tegur.
Selepas magrib, Saga bertandang ke tempat kerja Nayra. Namun, lelaki tidak datang sendiri. Dia membawa teman serta anak buahnya.
Saat Nayra datang untuk melayani, Saga datar saja. Hanya menyapa sekilas. Lalu kembali sibuk dengan teman-temannya.
Di ujung sana mata Nayra memperhatikan lelaki berwajah kalem itu. Permintaan gila Saga beberapa hari lalu terngiang lagi.
"Haruskah kupenuhi permintaan Mas Saga?"
Galau dan bimbang membuat Nayra memukul dadanya.
Next.
Nayra menyusuri jalanan dengan pikiran kosong. Dia benar-benar buntu. Kepulangannya pasti amat dinantikan oleh nenek dan Davi.Namun, bagaimana bisa pulang jika uang untuk bayar sewa rumah saja belum ia dapatkan. Nayra mendesah. Gadis itu merasa amat bingung. Tidak bisa dibayangkan jika besok dia dan keluarga harus harus angkat kaki dari kontrakan itu."Terus kami harus pergi ke mana?" keluhnya pada diri sendiri.Beban Nayra terasa menghimpit dada. Sungguh menyesakan. Otaknya kian dibuat pusing saat memikirkan dari mana mencari uang untuk bayar ganti rugi mobilnya Rian. Apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan uang puluhan juta dalam waktu yang singkat? Sementara gaji dia hanya cukup untuk makan saja.Pikiran Nayra terus berkecamuk. Otaknya melalang buana entah ke mana. Dia tidak berkonsentrasi saat menyusuri jalan. Dirinya juga sembarangan menyeberang
"Baiklah ...." Saga narik napas untuk memantapkan hati, "akan kunikahi kamu dengan sebaik-baiknya, tanpa ada kontrak," putusnya bertekad.Nayra ternganga. "Nikah itu gak untuk main-main, Ga.""Aku serius ingin punya anak, Nay," sahut Saga sambil meraih tangan Nayra. "Dan hanya dari kamu, aku bisa mendapatkannya."Nayra terhenyak. "Dari sekian banyak wanita, kenapa kamu justru memilih aku?" tanya gadis itu penasaran."Karena aku sudah mengenal kamu dengan baik." Lagi-lagi Saga meraih tangan Nayra. Namun, gadis itu menepis. "Kamu wanita yang baik. Dan aku membutuhkan wanita yang baik untuk melahirkan penerusku."Nayra menelisik manik hitam nan tegas itu. Mencoba mencari kebohongan pada mata itu. Nyatanya Nayra hanya melihat kesungguhan di dalamnya."Lalu bagaimana jika nanti cinta tumbuh di antara kita?" Mata Nayra mengerjap pelan, "aku tidak mau pernikahan kita menyakiti is
Mobil Saga menembus keheningan malam. Dalam perjalanan pulang, otak pria itu selalu tertuju pada Nayra. Penolakan demi penolakan yang gadis itu lakukan kian membuat Saga berhasrat untuk menaklukkannya. Saga menggeleng cepat. Dia menampik jika tengah jatuh cinta pada Nayra. Tidak! Saga hanya ingin memiliki anak dan melindungi gadis baik itu. Bagi Saga cintanya tetap tersaji hanya untuk Dela. Sampai kapan pun Dela adalah wanita nomor satu di hatinya setelah sang Ibu. Terlampau besar cintanya pada Dela membuat Saga selalu memanjakan wanita itu. Mobil Saga telah memasuki pekarangan rumah. Matanya memincing kala melihat mobil Dela sudah terparkir rapi di garasi. Tumben. Namun, ia tetap merasa senang juga. Karena tidak akan lagi kesepian. Setengah berlari Saga menaiki anak tangga. Ketika dia membuka pintu, tampak sang istri tengah duduk di depan meja rias. Dela tengah melakukan ritual malamnya, yakni membersihkan wajah untuk kemudian memakai aneka cream yang tidak dipahami oleh Saga. "
Usai melamarkan Nayra untuk sang suami, Dela meminta pulang. Wanita itu malas berlama-lama di tempat yang kurang ia minati. Selama dalam perjalanan balik dirinya membisu.Beberapa kali hati kecilnya sangsi, mampu kah ia melihat suaminya membagi cinta. Dela adalah wanita biasa. Wajar jika dia memiliki rasa ketakutan. Namun, ia tidak kuasa mengorbankan karier yang sudah ia rintis bertahun-tahun lamanya.'Aku percaya padaSaga.' Dela mencoba menguatkan hati. Ketika dirinya tengah memindai sang suami, Saga balas menatapnya."Ada apa?" tanya Saga lembut."Enggak." Dela angkat bahu. Dia membuang pandangannya keluar jendela."Kita mampir makan dulu yuk!"Dela menoleh kembali. "Boleh."Saga mengacak pelan rambut sang istri. Dirinya kembali fokus menyetir mobil. Di depan restoran Jepang favorit mereka berhenti.Keduanya makan
Keesokan harinya Nayra dan keluarganya chek out dari hotel. Gadis itu dibuat bingung oleh tingkah Saga.Saga bilang akan membawa mereka ke rumah baru yang kemarin mereka lihat. Namun, arah jalanan ini berbeda dengan alamat rumah yang kemarin. Mobil Saga berhenti di sebuah rumah mungil yang letaknya tidak jauh dari kampusnya Davi.Biarpun halamannya tidak terlalu luas, tetapi terlihat asri dan nyaman. Ada beberapa pot bunga menghiasi teras rumah. Bahkan ada ayunan keranjang di ujung halaman."Sekarang inilah tempat tinggal baru kalian," ujar Saga dengan senyum terkembang.Dia merogoh kantong untuk mengambil anak kunci. Lelaki itu mulai membuka rumah asri berlantai satu ini. Tangannya mempersilakan masuk.Nenek, Davi, dan juga Nayra mengedarkan pandangan. Sebuah hunian yang cukup nyaman bagi mereka bertiga. Rumah ini terdiri dari ruang tamu merangkap ruang keluarga, dua buah kamar, dapur mer
"Nayra ...." Saga mendesis sakit.Lelaki itu tidak menyangka jika Nayra yang polos ternyata bisa sekejam ini. Walau begitu senyum Saga kembali terkembang. Sikap malu-malu dari Nayra kian membuat Saga menyukainya. Dia benar-benar gemas pada Nayra.Namun, sisi hatinya langsung mengingatkan kalau dia hanya boleh sebatas menyukai saja. Tidak boleh lebih. Karena dia sudah berjanji jika hatinya hanya akan ia berikan untuk Dela seorang.Saga membuang jauh pikiran tentang Nayra tadi. Dirinya gegas menuju bagian pembayaran. Lelaki itu menyerahkan back card-nya pada Mbak kasir. Di sebelahnya Nayra ikut menunggu. Setelah transaksi selesai, keduanya keluar dari rumah mode tersebut tersebut.Ada rasa haru yang menyelinap dada, saat Saga tidak membiarkan Nayra kerepotan menenteng banyak tas. Lelaki itu dengan sigap ikut membantu membawakan barang belanjaan tersebut."Sekarang kita mau ke mana lagi?" tan
Nayra menggeliat. Kumandang adzan subuh berhasil membangunkan lelapnya. Mata wanita itu mengerjap perlahan, lalu mengedarkan pandangan. Asing. Ini di mana?Nayra merasa ada yang mengganjal perutnya. Wanita itu menoleh. Seketika dirinya memekik melihat ada seseorang pria yang telah lancang memeluknya."Enggg! Apa sih berisik banget?!" Saga mengerang malas. Lelaki itu berganti posisi. Dari menyamping memeluk Nayra. Berganti tidur terlentang.Nayra ternganga. Bingung kenapa Saga bisa sampai tidur seranjang dengannya. Wanita itu menepuk jidat."Kenapa aku lupa kalo sudah menikah dengan Saga?" Nayra tergeli sendiri.Dia memandang paras teduh pria yang sudah resmi menjadi imamnya itu. Saga masih terlelap pulas. Hidung Saga begitu mancung. Alisnya juga tumbuh dengan tebal.Mendadak dada Nayra terasa berdesir. Entah mengapa tangan wanita itu terdorong ingin mengelus wajah tegas nan menawan tersebut.Baru juga meraba pipi, Saga lekas men
Nayra terpekik kecil saat tiba-tiba Saga menaruh dagu pada pundaknya."Awas, Mas, aku lagi masak nih," usir Nayra karena merasa sedikit terganggu."Kenapa sih? Kayaknya gak suka banget kalo aku dekat," sungut Saga mundur.Nayra berpaling. Wanita itu mengulum senyum. "Aku kan lagi masak, bau bawang dan bumbu. Nanti baju kantor kamu kena juga deh," tuturnya lembut.Saga mendengkus kecil. Namun, dia tidak memprotes lagi. Karena menikah dengan Nayra membuat dirinya merasakan kebahagiaan. Kenikmatnya berumah tangga yang sesungguhnya.Setiap pagi Saga akan dimanjakan dengan makanan yang sudah dibuat oleh Nayra. Sepuluh tahun menikah, jarang sekali dia merasakan sedapnya makanan rumah. Hanya sesekali dia menikmati olahan asisten rumah tangganya.Dela mana mau membuatkan Saga makanan. Masak saja tidak bisa. Dan yang pasti, wanita itu tidak akan sudi mengorbankan perawatan ku