“Tingkat kecocokannya akan lebih tinggi jika dari saudara kandung Nathan sendiri.” Senyum yang semula menghiasi wajah Melody perlahan meredup. Secercah harapan yang tadinya ia kira akan menjadi solusi terbaik malah membuat hatinya dilema. Dirinya tak mungkin memiliki anak lagi dengan orang yang sama demi memberikan saudara kandung untuk Nathan. Melody tak terlalu mendengarkan penjelasan dokter setelah itu. Opsi yang dokter berikan malah membuatnya semakin bimbang. Kepalanya mendadak pening. Sedangkan, mencari pendonor lain di luar sana bukanlah sesuatu yang mudah. Melody melirik Khaysan yang duduk di sampingnya lewat ekor matanya. Ia tak tahu bagaimana reaksi lelaki itu setelah mendengar saran dari dokter. Khaysan masih mempertahankan ekspresi datar andalannya, tetapi tampak masih memperhatikan penjelasan dokter. “Terima kasih, Dok. Kami akan mempertimbangkannya,” ucap Khaysan seraya bangkit dari tempat duduknya dan lebih dulu melangkah pergi dari ruangan itu, meninggalkan Melody y
“Kamu pikir aku sudi kembali bersamamu?! Jangan bicara macam-macam! Pergi dari sini sebelum aku memanggil security untuk menyeretmu!” bentak Melody tanpa peduli suaranya akan terdengar hingga ke kamar dan membangunkan Nathan. Melody mengurungkan niatnya untuk beranjak dan kembali menatap Khaysan yang memasang ekspresi datar dengan sorot berapi-api. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki di hadapannya ini. Jelas-jelas Khaysan sudah memiliki tunangan yang merupakan atasannya sendiri. Namun, sekarang lelaki itu malah mengajaknya menikah lagi. Itu sama saja dirinya akan menjadi orang ketiga dalam hubungan Khaysan dan Rosetta. Bahkan, dapat menghancurkan hubungan keduanya. Ia tidak akan menghancurkan kehidupannya yang damai selama ini karena label wanita perebut yang akan disandangnya nanti. Selain itu, ada terlalu banyak risiko yang harus dirinya hadapi jika mereka kembali bersama. Melody tak sanggup kembali terjebak dalam hubungan yang rumit dengan orang yang sama. Tak mudah ba
Melody tak membutuhkan waktu sampai 3 hari untuk memutuskan tindakan yang harus ia ambil ke depannya. Bahkan, dirinya juga belum sempat mencari pendonor di luar sana untuk sang putra. Keputusan besar ini akhirnya tercetus setelah mendengar curhatan Nathan yang ternyata selama ini sering mendapat perundungan dari orang-orang di sekitarnya. Melody hanya berharap jika keputusan yang diambilnya sudah tepat dan tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Sebab, membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari luka yang membekas. Melody yang memang malas berbasa-basi dengan sang mantan langsung meminta lelaki itu menemuinya untuk membahas syarat yang dirinya berikan. Lelaki itu langsung menyetujui dan menjemputnya ketika waktu makan siang tiba. “Kamu ingin memperhatikan Nathan atau membahas syarat yang ingin kamu berikan?” tanya Khaysan setengah menyindir karena sedari tadi Melody hanya memperhatikan Nathan yang sedang bermain di playgound yang tersedia di restoran yang dipilihnya. “Cepat kat
“Kalau kamu memiliki urusan dengan orang yang tinggal di rumah ini, jangan mengajakku dan Nathan. Ayo, Nak! Kita pulang saja!” Melody langsung membuka seatbelt yang terpasang di tubuhnya dan hendak membuka pintu mobil yang ternyata masih terkunci. “Buka pintunya! Aku ingin pulang!” Kemarahan langsung memenuhi dadanya dalam sekejap. Ia mengira Khaysan akan benar-benar mengajaknya ke butik. Tetapi, ternyata lelaki itu menipunya dan malah membawanya ke tempat yang masih menyiksakan luka mendalam di dadanya sampai sekarang. Setelah bertahun-tahun memilih mengasingkan diri, seharusnya Melody merindukan rumah yang menjadi tempat tinggal dan tempatnya tumbuh selama puluhan tahun. Sayangnya, kerinduan itu terkikis oleh kenangan buruk yang mungkin tak akan pernah bisa ia lupakan. Melody tak tahu apa yang sebenarnya Khaysan rencanakan sampai mengajaknya ke mendatangi rumah ayahnya. Bahkan, tak pernah sekalipun mereka membahas tentang menemui ayahnya. Lagipula belum tentu juga Argani peduli de
Jantung Melody berdebar dua kali lebih cepat bersamaan dengan tertutupnya pintu yang otomatis juga mengunci pintu tersebut. Khaysan benar-benar tak memberinya jeda bahkan untuk sekadar menghapus riasan apalagi mengganti pakaian. Keduanya memang telah resmi menikah, namun tetap saja Melody memerlukan persiapan mental sebelum mereka melakukan sesuatu malam ini. Di pernikahan pertama mereka, Khaysan tak pernah sekalipun melakukan ini. Padahal saat itu Melody sudah jauh mempersiapkan diri. Pertama dan terakhir kalinya Khaysan menyentuhnya adalah ketika lelaki itu sedang mabuk. Sungguh miris sekali. Apa yang lelaki itu lakukan malam ini bagaikan mewujudkan mimpi tertunda Melody. Sayangnya, wanita itu sudah tak menginginkannya lagi. Terlepas dari semuanya, tak bisa dipungkiri Melody juga menikmati apa yang Khaysan lakukan. Melody tidak sadar sejak kapan Khaysan menurunkan resleting gaunnya. Ia baru menyadari hal itu ketika merasakan punggungnya yang langsung bergesekan dengan seprei putih
Melody spontan menoleh ke belakang setelah mendengar suara yang familiar itu. Manik matanya melebar sempurna mengetahui siapa yang menyapanya. “Mama? Sejak kapan Mama datang?” Melisa, mama dari Khaysan yang sekarang kembali menjadi mama mertuanya. Wanita paruh baya itu dan Bagas—papa dari Khaysan tinggal di luar negeri sejak Melody dan Khaysan menikah dulu. Walupun tak sering bertemu, tetapi Melisa adalah mertua yang baik dan menyayanginya. Akan tetapi, entah bagaimana dengan sekarang. Melisa memang tinggal di luar negeri, namun penyebab perceraian Melody dan Khaysan di masa lalu pasti sampai ke telinga wanita paruh baya inj juga. Mungkin Melisa juga menganggapnya seperti wanita murahan yang gemar berselingkuh sampai hamil. Dugaan Melody terpatahkan ketika Melisa memeluknya erat, masih sama seperti setiap kali mereka bertemu dulu. Jika Melisa juga menjadi salah satu orang yang salah paham padanya, tak mungkin dirinya mendapat rengkuhan hangat seperti ini. “Mama senang bisa bertemu
Melody nyaris tersedak karena dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Ia spontan mengedarkan pandangan, khawatir keributan ini memancing perhatian orang lain. Untungnya, suara Khaysan masih relatif pelan meski penuh penekanan. Jadi, keributan ini tidak sampai terdengar ke pengunjung restoran lainnya. Melody tak menyangka akan bertemu dengan Khaysan di sini. Kantor lelaki itu cukup jauh dari sini, seharusnya hal itu meminimalisir pertemuan mereka. Ia mendorong kursinya dan bangkit dari sana. Sorot tajam dari tatapan suaminya itu membuat nyalinya tiba-tiba menciut. Melody merasa seperti ketahuan berselingkuh. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Seharusnya ia tidak perlu takut lelaki itu tahu apalagi marah, sebab mereka hanya menikah kontrak. Akan tetapi, kemarahan yang terpancar dari wajah Khaysan tak bisa Melody abaikan begitu saja. “Apa kamu tidak bisa bicara baik-baik? Lagipula memangnya kenapa kalau Melody bersamaku?” sahut David yang langsung bangkit dari tempat duduknya. Lelaki
“Butuh waktu cukup lama untuk membujuknya. Nathan mulai sedikit tenang setelah aku menunjukkan foto pernikahan kita. Aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi.” Khaysan yang telah menghabiskan makanan di piringnya kembali menambahkan. Melody yang mulai terkantuk-kantuk langsung kembali segar karena pertanyaan tersebut. Ia baru tahu kalau Nathan bereaksi sama, bahkan mungkin lebih parah ketika pertama kali bertemu dengan Khaysan. Yang ia lihat waktu itu, anaknya tampak langsung akrab dan tidak menunjukkan tanda-tanda yang biasanya terjadi. “Emm … sebenarnya—” “Jangan menjawab tidak ada yang terjadi. Tidak mungkin Nathan seperti itu kalau semuanya baik-baik saja!” tegas Khaysan memotong kata-kata Melody. “Jangan menutupi apa pun dariku! Apalagi jika menyangkut anak kita.” Melody menghela napas pelan. Ia tahu pengakuan ini pasti membuatnya menjadi pihak yang paling disalahkan. Namun, pada kenyataannya memang seperti itu, dirinya yang kurang selektif hingga menyebabkan anaknya mengalami