Share

8. Menikah

Pernikahan yang katanya hanya diadakan secara sederhana dan mengundang keluarga terdekat saja karena persiapan dengan waktu yang singkat. Nyatanya, sejak tadi tamu tak berhenti berdatangan dan lihatlah dekorasinya. Penuh dengan lampu kristal, ruangan yang di dominasi warna putih dan emas, bunga-bunga indah juga pernak pernik lain yang sudah pasti tak murah adanya.

Tami sudah berulang kali meringis, kakinya mulai lecet dan betisnya pegal karena terlalu lama berdiri menyapa tamu. Dia tahu kalau berharap perhatian dari suaminya adalah mustahil karena Satria tidak mencintainya. Benar saja, pria itu hanya meliriknya sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah tamu.

“Kenapa senyummu jelek sekali hari ini. Biasanya kamu selalu ramah dan ceria.” Tegur Satria.

“Tentu saja karena aku terpaksa ada di sini,” ucap Tami yang hanya berani diucapkan dalam hati. Dia mendengkus kecil dan melebarkan bibirnya dengan sangat terpaksa.

“Ck ... ya, lumayan lah. Bertahanlah sampai acara ini selesai.” Bisik Satria dengan seringai jahil.

“Tapi kakiku rasanya sudah mau copot. Sakit sekali,” rengek Tami sambil memukul pelan lengan Satria.

Kedua orang tua Satria melihat interaksi putra dan menantunya dari meja VVIP di dekat pelaminan. Mereka tersenyum bahagia. “Mereka serasi sekali ya, Pah,” bisik Mama Emilia.

Papanya juga mengangguk lega. “Semoga Satria benar-benar meraih bahagianya, setelah sekian lama terpuruk.”

Dalam hatinya mereka panjatkan beribu doa agar pernikahan putra dan menantunya langgeng hingga akhir hayat dan dikaruniai anak-anak yang menggemaskan. Meski di lain sisi mereka merasa kecewa, karena putra bungsunya tidak bisa hadir di acara bahagia kakaknya.

Tak terasa, waktu beranjak semakin malam. Tamu yang terlihat hanya tersisa beberapa orang saja. Sepertinya mereka keluarga atau kolega dekat, hingga tak segan bercengkerama begitu santai dengan Satria. 

Tami melihat itu, malah merasa lega. Dia bisa melarikan diri ke kamar, membersihkan tubuh dam beristirahat terlebih dahulu.

Baru saja dia duduk di depan meja rias setelah bersusah payah melepaskan gaun pengantin dan  menyelesaikan mandi, Satria tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Mereka saling lirik lewat cermin dan tak ada yang membuka suara.

“Kamu sudah mandi?” tanya Satria asal.

Tami bergeming dan mengerutkan alis sambil memandangi Satria yang sedang melepaskan pakaiannya satu persatu. Pipinya merona lalu dia berdeham.

Satria menoleh. “Apa? Aku tak boleh berganti pakaian di sini? Kita sudah menikah. Kalau pun aku melepas paksa bathrobe kamu, aku tak akan berdosa atau masuk penjara,“ sindirnya dan kembali melepaskan sisa pakaiannya hingga tersisa boksernya lalu melenggang begitu saja ke kamar mandi.

Gadis itu berdecak kesal, belum apa-apa dirinya sudah merasa sangat kesal. Dia berdiri, mengambil pakaian kotor suaminya yang tergeletak, kemudian memasukkannya ke dalam keranjang kotor. Lalu dia mengambil piyama tidur milik Satria dan meletakkannya di atas kasur. “Udah kaya istri beneran ya aku, “ gumamnya cekikikan.

“Baru juga beberapa jam jadi istrinya, tekanan darah tinggi aku langsung melesat naik,” gerutunya sembari melangkah kembali ke meja rias dan menuntaskan rutinitas sebelum tidurnya.

Ceklek

“Aku akan keluar sebentar, kamu tidurlah. Tidak usah menungguku,” ucap Satria yang langsung melengos menuju lemari. Mengambil celana dalam, sweater dan celana jeans lalu melepas handuk dan berpakaian dengan santai. Seolah tak ada Tami di sana.

Begitu selesai, dia mendekati Tami yang masih memakai skincare di depan cermin. Melirik sesaat, menyemprotkan parfum miliknya dan mencium kening Tami sekilas. “Kamu pasti lelah. Aku akan pulang sebelum kamu bangun.”

Tami membeku. Aroma mint yang dipadukan dengan lavender menguar dari tubuh suaminya. Begitu menenangkan dan maskulin. Sampai rasanya dirinya ingin berhambur ke dalam pelukan. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan kesadarannya, dia buru-buru membuka mulut. “Tap – hem,“ ucapannya tertelan kembali. Karena pintu sudah tertutup dengan tubuh Satria yang sudah tak terlihat.

“Kenapa dia berubah sekali ya. Atau memang seperti ini sifat aslinya.” Monolog Tami. Dia menghela napas berkali-kali. “Akan jadi apa pernikahan ini.”

Dia melangkah malas ke arah kasur, mengembalikan piyama suaminya ke dalam lemari. Berbalik sambil melangkah gontai dan meregangkan tubuh di pinggiran ranjang. Baru saja dia merebahkan diri di sana tapi suara ponselnya berdering tidak berhenti. Melihat siapa yang menelepon, gegas diangkatnya.

“Iya, Mah.”

“Apa yang kamu lakukan, Tami?! Kenapa suami kamu malah keluar di tengah malam seperti ini,” geraman Widya terdengar jelas.

Tami terkesiap. “A-aku lapar, Mah. Tapi tak mau makanan hotel, jadi Pak Satria keluar membelikan untukku.”

“Apa! Dimana pikiran kamu, Tami. Ini malam pengantin kalian.” Teriakan Widya menulikan sesaat telinga Tami, ucapan selanjutnya benar-benar membuat Tami bungkam. “Mama enggak mau tahu, kamu harus bisa punya anak sama Satria untuk mengamankan kehidupan Mama. Ingat, Sissy sudah berkorban demi kamu. Jadi, jangan mencari masalah.”

“Iya, Mah.” Jawaban Tami pasrah dengan helaan napas yang berat.

“Layani suamimu dengan baik. Jangan bikin malu mama!”

“Iya, Mah.” Memilih jawaban aman, meski dengan ekspresi kecut.

Jemari Tami dengan cepat membuka aplikasi berbalas pesan, dia mengetikkan pesan untuk Satria. Tapi kemudian dia mendengkus pelan dan bergumam, “Ih, ngapain kirim pesan ke dia. Bukan urusan aku juga.”

Dia meletakkan kembali ponselnya di atas nakas dan melanjutkan keinginannya untuk segera mimpi indah setelah mengalami mimpi buruk di dunia nyata.

Dua jam kemudian, Satria kembali. Dia masuk ke dalam kamar dengan perlahan. Sudah larut malam, dia yakin Tami sudah terlelap. 

Benar saja, begitu sampai di pinggir ranjang Satria melihat Tami sedang tertidur pulas. Dalam kepalanya sudah ada banyak cara yang akan dia lakukan untuk membalaskan dendam kekasihnya pada istrinya itu. Tapi belum apa-apa, dia malah berdecak.

“Dia ini bodoh atau sengaja mau menggoda, sih?! Bisa-bisanya tidur masih pakai bathrobe. Mana tersingkap begini,” dumel Satria pelan.

Satria melangkah mendekat, niat hati ingin membenarkan letak selimut agar bisa menutupi tubuh Tami. Yang ada malah membuat mata istrinya terbuka karena merasa terusik dengan pergerakan di kakinya.

“Pa-pak, kamu ma-mau apa?” kegugupan jelas tak bisa di tutupi oleh Tami.

Di tanya seperti itu, Satria yang saat ini sedang membungkuk di atas badan Tami malah menyeringai. Dia semakin mendekatkan wajahnya dengan gadis itu.

Mata Tami semakin terbelalak dengan tubuh yang membeku. Dia menelan salivanya dan terus memperhatikan wajah Satria yang saat ini nafasnya bahkan terasa menerpa wajahnya.

Kesadaran Tami seolah semakin menurun, kala bibir Satria bergerak di atas bibirnya dengan bisikan lembut. “Aku lapar.”

“Hah?!” 

Kesalahan fatal baru saja dilakukan Tami, karena telah membuka akses lebih lebar untuk Satria yang kali ini tersenyum puas dan menikmati hidangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status