Pernikahan yang katanya hanya diadakan secara sederhana dan mengundang keluarga terdekat saja karena persiapan dengan waktu yang singkat. Nyatanya, sejak tadi tamu tak berhenti berdatangan dan lihatlah dekorasinya. Penuh dengan lampu kristal, ruangan yang di dominasi warna putih dan emas, bunga-bunga indah juga pernak pernik lain yang sudah pasti tak murah adanya.
Tami sudah berulang kali meringis, kakinya mulai lecet dan betisnya pegal karena terlalu lama berdiri menyapa tamu. Dia tahu kalau berharap perhatian dari suaminya adalah mustahil karena Satria tidak mencintainya. Benar saja, pria itu hanya meliriknya sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah tamu.“Kenapa senyummu jelek sekali hari ini. Biasanya kamu selalu ramah dan ceria.” Tegur Satria.“Tentu saja karena aku terpaksa ada di sini,” ucap Tami yang hanya berani diucapkan dalam hati. Dia mendengkus kecil dan melebarkan bibirnya dengan sangat terpaksa.“Ck ... ya, lumayan lah. Bertahanlah sampai acara ini selesai.” Bisik Satria dengan seringai jahil.“Tapi kakiku rasanya sudah mau copot. Sakit sekali,” rengek Tami sambil memukul pelan lengan Satria.Kedua orang tua Satria melihat interaksi putra dan menantunya dari meja VVIP di dekat pelaminan. Mereka tersenyum bahagia. “Mereka serasi sekali ya, Pah,” bisik Mama Emilia.Papanya juga mengangguk lega. “Semoga Satria benar-benar meraih bahagianya, setelah sekian lama terpuruk.”Dalam hatinya mereka panjatkan beribu doa agar pernikahan putra dan menantunya langgeng hingga akhir hayat dan dikaruniai anak-anak yang menggemaskan. Meski di lain sisi mereka merasa kecewa, karena putra bungsunya tidak bisa hadir di acara bahagia kakaknya.Tak terasa, waktu beranjak semakin malam. Tamu yang terlihat hanya tersisa beberapa orang saja. Sepertinya mereka keluarga atau kolega dekat, hingga tak segan bercengkerama begitu santai dengan Satria. Tami melihat itu, malah merasa lega. Dia bisa melarikan diri ke kamar, membersihkan tubuh dam beristirahat terlebih dahulu.Baru saja dia duduk di depan meja rias setelah bersusah payah melepaskan gaun pengantin dan menyelesaikan mandi, Satria tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Mereka saling lirik lewat cermin dan tak ada yang membuka suara.“Kamu sudah mandi?” tanya Satria asal.Tami bergeming dan mengerutkan alis sambil memandangi Satria yang sedang melepaskan pakaiannya satu persatu. Pipinya merona lalu dia berdeham.Satria menoleh. “Apa? Aku tak boleh berganti pakaian di sini? Kita sudah menikah. Kalau pun aku melepas paksa bathrobe kamu, aku tak akan berdosa atau masuk penjara,“ sindirnya dan kembali melepaskan sisa pakaiannya hingga tersisa boksernya lalu melenggang begitu saja ke kamar mandi.Gadis itu berdecak kesal, belum apa-apa dirinya sudah merasa sangat kesal. Dia berdiri, mengambil pakaian kotor suaminya yang tergeletak, kemudian memasukkannya ke dalam keranjang kotor. Lalu dia mengambil piyama tidur milik Satria dan meletakkannya di atas kasur. “Udah kaya istri beneran ya aku, “ gumamnya cekikikan.“Baru juga beberapa jam jadi istrinya, tekanan darah tinggi aku langsung melesat naik,” gerutunya sembari melangkah kembali ke meja rias dan menuntaskan rutinitas sebelum tidurnya.Ceklek“Aku akan keluar sebentar, kamu tidurlah. Tidak usah menungguku,” ucap Satria yang langsung melengos menuju lemari. Mengambil celana dalam, sweater dan celana jeans lalu melepas handuk dan berpakaian dengan santai. Seolah tak ada Tami di sana.Begitu selesai, dia mendekati Tami yang masih memakai skincare di depan cermin. Melirik sesaat, menyemprotkan parfum miliknya dan mencium kening Tami sekilas. “Kamu pasti lelah. Aku akan pulang sebelum kamu bangun.”Tami membeku. Aroma mint yang dipadukan dengan lavender menguar dari tubuh suaminya. Begitu menenangkan dan maskulin. Sampai rasanya dirinya ingin berhambur ke dalam pelukan. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan kesadarannya, dia buru-buru membuka mulut. “Tap – hem,“ ucapannya tertelan kembali. Karena pintu sudah tertutup dengan tubuh Satria yang sudah tak terlihat.“Kenapa dia berubah sekali ya. Atau memang seperti ini sifat aslinya.” Monolog Tami. Dia menghela napas berkali-kali. “Akan jadi apa pernikahan ini.”Dia melangkah malas ke arah kasur, mengembalikan piyama suaminya ke dalam lemari. Berbalik sambil melangkah gontai dan meregangkan tubuh di pinggiran ranjang. Baru saja dia merebahkan diri di sana tapi suara ponselnya berdering tidak berhenti. Melihat siapa yang menelepon, gegas diangkatnya.“Iya, Mah.”“Apa yang kamu lakukan, Tami?! Kenapa suami kamu malah keluar di tengah malam seperti ini,” geraman Widya terdengar jelas.Tami terkesiap. “A-aku lapar, Mah. Tapi tak mau makanan hotel, jadi Pak Satria keluar membelikan untukku.”“Apa! Dimana pikiran kamu, Tami. Ini malam pengantin kalian.” Teriakan Widya menulikan sesaat telinga Tami, ucapan selanjutnya benar-benar membuat Tami bungkam. “Mama enggak mau tahu, kamu harus bisa punya anak sama Satria untuk mengamankan kehidupan Mama. Ingat, Sissy sudah berkorban demi kamu. Jadi, jangan mencari masalah.”“Iya, Mah.” Jawaban Tami pasrah dengan helaan napas yang berat.“Layani suamimu dengan baik. Jangan bikin malu mama!”“Iya, Mah.” Memilih jawaban aman, meski dengan ekspresi kecut.Jemari Tami dengan cepat membuka aplikasi berbalas pesan, dia mengetikkan pesan untuk Satria. Tapi kemudian dia mendengkus pelan dan bergumam, “Ih, ngapain kirim pesan ke dia. Bukan urusan aku juga.”Dia meletakkan kembali ponselnya di atas nakas dan melanjutkan keinginannya untuk segera mimpi indah setelah mengalami mimpi buruk di dunia nyata.Dua jam kemudian, Satria kembali. Dia masuk ke dalam kamar dengan perlahan. Sudah larut malam, dia yakin Tami sudah terlelap. Benar saja, begitu sampai di pinggir ranjang Satria melihat Tami sedang tertidur pulas. Dalam kepalanya sudah ada banyak cara yang akan dia lakukan untuk membalaskan dendam kekasihnya pada istrinya itu. Tapi belum apa-apa, dia malah berdecak.“Dia ini bodoh atau sengaja mau menggoda, sih?! Bisa-bisanya tidur masih pakai bathrobe. Mana tersingkap begini,” dumel Satria pelan.Satria melangkah mendekat, niat hati ingin membenarkan letak selimut agar bisa menutupi tubuh Tami. Yang ada malah membuat mata istrinya terbuka karena merasa terusik dengan pergerakan di kakinya.“Pa-pak, kamu ma-mau apa?” kegugupan jelas tak bisa di tutupi oleh Tami.Di tanya seperti itu, Satria yang saat ini sedang membungkuk di atas badan Tami malah menyeringai. Dia semakin mendekatkan wajahnya dengan gadis itu.Mata Tami semakin terbelalak dengan tubuh yang membeku. Dia menelan salivanya dan terus memperhatikan wajah Satria yang saat ini nafasnya bahkan terasa menerpa wajahnya.Kesadaran Tami seolah semakin menurun, kala bibir Satria bergerak di atas bibirnya dengan bisikan lembut. “Aku lapar.”“Hah?!” Kesalahan fatal baru saja dilakukan Tami, karena telah membuka akses lebih lebar untuk Satria yang kali ini tersenyum puas dan menikmati hidangannya.Tami mendorong kuat dada Satria dan mengatur napasnya ketika sudah terlepas. Dia masih tersengal dengan dada yang naik turun dan wajah memerah. Matanya terus melirik tajam ke arah Satria yang kini sudah berbaring di sebelahnya. Meski dia begitu menikmati kelembutan yang disuguhkan, tapi harga dirinya menolak untuk mengakui.“Apaan, sih, Pak,” omelnya.Satria tak menggubris, dia malah tersenyum miring lalu berbalik memunggungi Tami.“Dasar Om-om genit. Habis cium-cium malah sok jual mahal,” gerutu Tami dalam hati.Rasanya masih ingin meneruskan marah, tapi ucapan Satria kian menohoknya. “Tenang saja, saya enggak berminat sama tubuh kamu. Tadi hanya mencicip suguhan yang telah saya bayar mahal. Ternyata rasanya sungguh mengecewakan.”Tenggorokan Tami tercekat mendengarnya. Dirinya hanya dianggap sebagai “suguhan” dan mengecewakan. Hatinya bagai diremas kuat saat ini. Padahal dia sudah terbiasa direndahkan mama dan adiknya. Tapi ini sakit sekali. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk m
Tepat pukul sepuluh pagi, pesawat sewaan mereka lepas landas. Iya, Papa Felix sengaja tidak membeli tiket pesawat komersial melainkan menyewa sebuah pesawat jet milik salah seorang sahabatnya. Dia tak ingin anak dan menantunya kelelahan di perjalanan dan malah tak ada tenaga lagi begitu sampai di sana.“Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Pak? Eh, Mas.” Ralatnya cepat saat melihat lirikan tajam Satria padanya.“Saya juga enggak tahu!”Suara decakan terdengar, membuat Satria menoleh. “Udah sana, kamu duduk yang jauh, jangan ganggu aku!”“Jangan-jangan aku mau di buang ke pulau terpencil,” bisik Tami pada diri sendiri sambil berjalan pelan ke kursi belakang. Dan membayangkan itu dia jadi bergidik.Satria memutar matanya malas. “Dari pada saya mengeluarkan tenaga untuk membuangmu di pulau, lebih baik makananmu di taburi racun. Akan lebih hemat waktu,” cibiran ketus itu terdengar jelas.Mata Tami melotot dan gegas berjalan lebih cepat menghindari suaminya.Perjalanan yang awalnya dikira Tam
Mata Tami memejam erat, dia menahan perih di bagian tubuh bagian bawahnya. Namun, hal itu tak sesakit hatinya. Air matanya menetes perlahan, tapi hal itu tak membuat Satria menghentikan apa yang sedang dinikmatinya sekarang.“Vania ... aku mencintaimu, Sayang. Oh, Vania. Terima kasih sudah menjaganya untukku.” Suara mengeram tertahan Satria terdengar begitu jelas. Karena pria itu menyandarkan kepalanya di bahu Tami yang hanya bisa diam pasrah dalam kungkungannya.Hati Tami membuncah, dia kira Satria mulai bisa membuka hati dan akan belajar menerima dirinya dengan sungguh-sungguh sebagai istri. Tapi, senyumannya seolah melesap langsung ke perut bumi kala mendengar nama wanita lain yang di teriakkan suaminya saat pria itu mendapatkan kepuasan.“Hukuman kamu, benar-benar menghukumku, Mas,” batin Tami menangis. Dia memiringkan badannya saat Satria sudah berguling ke samping. Mereka masih di pinggir pantai, dengan beralaskan daun pisang. “Diri ini benar-benar sudah tak ada lagi harga dir
“Sayangnya mama,” suara penuh kebahagiaan terdengar dan pelukan hangat di terima Tami. Wajahnya juga tak luput dari banyaknya kecupan dari mama mertuanya.Satria entah ke mana. Begitu sampai mereka berpisah di depan bandara dan Tami langsung diantar ke rumah utama.“Maaf ya, Sayang. Kalian jadi terpaksa pulang lebih cepat dan hanya dua malam di sana. Pasti kamu sedih ya. Biasanya kalau sudah ke sana, semua pada betah dan enggak mau pulang.” Mama Emilia terlihat menyesal dan sedikit bersalah pada menantunya ini.“Aku malah bahagia bisa keluar dari pulau itu, Mah,” ucap Tami dalam hati. Yang tampak malah senyum manis menenangkan dan ucapan penuh pengertian,” Enggak kok, Mah. Kami bisa ke sana lagi kapan-kapan dan Mamah benar, di sana begitu indah.”“Iya, kamu benar. Nanti kita bisa ke sana saat liburan dan kamu bisa melanjutkan bulan madu ke negara lain.” Mama Emilia masih terus berusaha menghibur Tami.Wajah Tami malah tercipta senyum pias setiap kali mendengar kata bulan madu.“Ya uda
Ketukan pintu kembali terdengar. Dalam pikirannya dia mencoba menebak siapa yang datang. Ternyata kepala bagian keamanan di perusahaannya.“Maaf, Pak. Bapak memanggil saya?” tanyanya sopan.“Masuk, Pak. Saya mau lihat rekaman cctv kemarin. Sekaligus ada beberapa hal yang harus saya tanyakan,” ujar Satria. Dewo pria paruh baya yang sudah lama mengabdi sebagai keamanan di perusahaan itu pun beringsut mendekat dan meletakkan laptopnya di atas meja.Ruangan Satria telah rapi beberapa menit lalu dan kini dia kan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Apa ada kejadian janggal beberapa hari ini? Dan apa saja yang dilakukan adik saya kemarin?” Meski masih muda, tapi suara tenang penuh wibawa itu selalu membuat sungkan para bawahannya tak terkecuali Dewo. “Bapak bisa lihat sendiri,” ucap Dewo sembari menggeser laptopnya ke arah Satria.Dahi Satria berkerut. Dia benar-benar tak menyangka adik kandungnya bisa melakukan itu semua. Terlebih membawa orang luar yang notabene adalah saingan pe
Baru saja Satria ingin membuka pintu kamarnya, tapi pintu tersebut sudah terbuka lebih dulu dengan wajah Tami yang segar sehabis mandi. Lengannya lantas menyentuh bahu Tami, bermaksud membawanya masuk kembali ke kamar.“Mas, aku mau minum. Haus banget. Kamu masuk dulu aja, mandi. Bajunya sudah aku siapkan, nanti aku kembali lagi.” Cegah Tami seraya menahan tubuhnya agar tak di tarik masuk ke dalam kamar.“Sebentar aja. Em ... ada yang mau aku bicarakan.” Rayu Satria.“Aku haus sekali, Mas.” Tami bersikeras.Bukan Satria namanya jika tidak keras kepala. Dia merangkul Tami dan merapatkan ke tubuhnya sambil memaksa untuk melangkah ke dalam. Menutup pintu dengan kaki dan menghimpit istrinya ke dinding.Matanya menikmati setiap inci wajah cantik istrinya, mengelus pipi Tami pelan. “Kenapa kamu malah terus memenuhi kepala aku?!” tanya Satria dalam hati.Wajahnya mendekat, hidung mereka sudah bersentuhan. Tami memejamkan mata, membuat senyum miring tercipta di bibir Satria.“Satria! Turun ka
Tami kira, kehidupannya setelah menikah akan terasa lebih baik. Mama dan adiknya akan tenang karena tidak kekurangan uang lagi dan yang paling utama bisa jauh dari Irwan, pria brengsek yang sudah menghancurkan hatinya.Namun, semesta rupanya tak ingin dirinya bahagia terlalu cepat. Seperti sore tadi. Rasanya seperti di lempar dari ketinggian ratusan meter. Bagaimana tidak, mendengar kenyataan bahwa Irwan ternyata adalah adik iparnya sendiri merupakan sesuatu yang tak pernah Tami sangka.Padahal dulu Satria berjanji sebelum mereka menikah, “ Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.” “Itu artinya dia akan menjauhkan Irwan dariku, kan. Lalu apa-apaan ini?” tanya Tami pada diri sendiri.Mata Tami bergerak liar, dia terdiam di dalam kamar apartemen Satria. Otaknya berusaha mencari penggalan memori yang belakangan ini terjadi.“Malam itu, aku di selamatkan dari kebejatan Irwan. Begitu sadar sudah di rumah
Belakangan Tami terlihat lebih diam. Wanita itu tetap melakukan rutinitasnya dan melayani semua kebutuhan Satria. Hanya saja, semua dilakukan tanpa suara.Satria kesal sendiri. Dia merindukan ocehan Tami. Sudah sejak malam itu istrinya seolah mendiamkannya, meski akan tetap menjawab bila ditanya. Berbeda bila sedang berbicara dengan mama Emilia, dunia seolah milik mereka berdua. Tawa Tami bahkan kadang terdengar begitu kencang dan lepas.Merasa sudah tak tahan, ingin meluapkan rasa rindunya. Satria menangkap lengan Tami yang sedang berjalan melewatinya. Dia menarik ke pangkuan dan memerangkap pinggangnya erat.“Apaan, sih, Mas. Aku mau ke dapur.” Protes Tami.Satria diam. Dia hanya menatap wajah teduh Tami dan malah menahan napas. Tiba-tiba rasa gugup hinggap dan malah menyemburkan kalimat lain, “Kalau kamu masih mendiamkan aku, jangan salahkan aku kalau semua fasilitas untuk keluargamu akan aku hentikan.”Bibir Tami maju karena cemberut. Tangannya mengepal menahan kesal dan akhirnya