Share

3. Malam Kelabu

Bimo babak belur. Tulang pipinya bengkak dan membiru akibat bogem mentah dari pria kekar dengan badan penuh tato sampai ke area lehernya itu. Sudut bibirnya Bimo lebam dengan sisa-sisa darah yang mengering di sana.

Ya, pagi-pagi sekali Bimo dijemput paksa oleh Ismail dan beberapa anak buah Brian dengan alasan yang tidak diketahui oleh Bimo.

"Tuan... Ampun, tuan. Saya teh gak bohong. Saya cuma cium Thena, itu pun terpaksa karena saya panik Thena banyak tanya soal apa yang saya lakukan di rumah tuan. Jadi, demi buat dia bungkam, saya cium dia. Sumpah, saya gak nyentuh dia lebih daripada itu."

Dengan bertelanjang dada dan kedua tangan yang diikat ke belakang, ia bersimpuh dan menatap penuh permohonan pada pria yang berada di hadapannya.

Brian Atmaja.

Dengan air wajahnya yang tanpa ekspresi dan tatapan mata yang dingin itu, dia duduk di kursi rodanya. Rahangnya terlihat bengkok ke samping seperti orang yang terkena stroke. Ia mengangkat tangannya dan membuat gerakan yang tidak bisa dimengerti oleh Bimo.

Bahasa isyarat.

"Andri, tuan memberi perintah padamu. Katanya, cambuk orang itu dan gak boleh berhenti sebelum dia pingsan." Suara sang mandor menerjemahkan bahasa isyarat itu. Ia menatap pada pria jangkung, besar,dan berbadan kekar dengan wajah yang sangat menyeramkan itu.

"Tuan, ampun! Jangan dicambuk, tuan, jangan... Saya bisa mati!" teriak Bimo kalang kabut.

Senyuman miring itu terbit di wajah Ismail.

"Bimo, Bimo. Harusnya kamu pikirkan dulu konsekuensinya. Sudah aku bilang untuk jangan pernah menyentuh barang milik tuan Brian. Kamu udah nyentuh perempuan yang sudah akan dibeli oleh tuanku, jadi kamu harus membayar mahal."

Setelah senyuman meremehkan itu, sang mandor pun berdiri di belakang kursi roda Brian dan bergerak mendorong pelan kursi roda itu untuk menjauh dari ruang bawah tanah di mana Bimo akan disiksa sampai setengah mati.

"Cambuk dia, Andri!" teriaknya dengan wajah yang datar dan tanpa ekspresi.

"Baik, tuan."

Pria tinggi besar itu berjalan maju, menggulung cambuk itu di tangannya lalu untuk beberapa saat kemudian ia mengurainya.

Tangan besarnya yang kuat itu terayun dan-

"Argh! A-Ampun, tuan... Argh!" Teriak Bimo kesakitan. Ia tampak sangat tersiksa saat cambukan kasar itu mendera punggungnya yang telanjang.

Namun, Brian tak peduli. Toh ia tidak mendengar suara apapun, walau ekspresi kesakitan Bimo itu terlihat oleh matanya.

Suara nyaring dari cambuk yang memecut punggung telanjang milik Bimo itu terus terdengar, dan Bimo akan terus dicambuk sampai Brian sendiri yang meminta Andri– pria sangar itu untuk menghentikannya.

***

Brian Atmaja adalah pria berusia 30 tahun dan merupakan anak tertua dari Adnan Atmaja sang konglomerat terkaya di Indonesia. Ia puny segalanya. Rumah mewah, 3 mobil mewah dan beberapa Vila. Namun, sayangnya ia lumpuh, tuli dan bisu.

Dibalik semua itu, Brian terkenal kejam. Dia tak segan menghabisi siapapun yang berurusan dengannya, terutama perihal hutang yang tak pernah dibayar.

Ia membuat gerakan tangan atau bahasa isyarat yang kira-kira jika diterjemahkan berbunyi -

(Ismail, antarkan aku ke kamar. Setelah itu kau pastikan pria bernama Bimo itu sudah mendapatkan hukumannya sampai selesai.)

"Baik, tuan." Dengan menggunakan bahasa isyarat, sang mandor yang ternyata bernama Ismail itu menyahut.

Ia mendorong pelan kursi roda itu melewati tiap lorong dari rumah mewah yang temaram karena pencahayaan yang minim, walaupun sebenarnya hari masih terang benderang di luar sana. Tak ada setitik pun sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, Brian sendiri yang tidak memperbolehkannya.

Semua tirai selalu menjuntai menutup tiap jendela sepanjang harinya. Bukan tanpa sebab, Brian hanya tak ingin fisiknya yang tak sempurna itu ditonton banyak orang atau bahkan para buruh pemetik teh yang lalu lalang melewati rumahnya.

Dalam keheningan keduanya, Ismail bergegas membawa Brian masuk ke dalam kamar pribadi pria itu dan menggendongnya untuk direbahkan di atas tempat tidur lembut berukuran king size itu.

"Apa ingin saya selimuti juga?" tanyanya menggunakan ucapan verbal juga menggunakan bahasa isyarat.

Brian terlihat menggeleng cepat lalu membuat gerakan tangan menghalau, meminta Ismail untuk keluar dari dalam kamarnya.

"Baiklah. Selamat beristirahat, tuan– saya undur diri." Ismail berjalan mundur menjauhi Brian dengan tubuhnya yang sedikit membungkuk hormat, lalu kemudian ia pun berbalik dan melenggang pergi keluar dari kamar Brian meninggalkan pintu yang terayun dan tertutup rapat.

Setelah kepergian Ismail, Brian hanya menghela napas berat lalu menarik selimutnya sampai sebatas dada. Ia menatap nanar langit-langit kamarnya, saat sekelebat memori kelam itu kembali diputar di kepalanya seperti kaset kusut.

Tepatnya 10 tahun yang lalu, saat ia baru berusia 20 tahun, ia harus menyaksikan bagaimana Jihan– Ibu kandungnya hancur dan harus berakhir di rumah sakit jiwa karena depresi berat ketika Adnan Atmaja– Ayahnya Brian membawa seorang wanita yang lebih muda dari Jihan dengan seorang perempuan seusia Brian yang terlihat sangat cantik.

Mereka adalah Fani dan Sandra– Istri yang diam-diam dinikahi oleh Adnan, dan juga anak hasil dari pernikahan itu.

Adnan berselingkuh selama ini, itulah fakta yang paling menyakiti Jihan dan membuatnya sampai depresi berat.

"Mama apa kabar? Apa surganya Tuhan itu indah, sampe Mama gak pernah berkunjung sekalipun cuma dalam mimpi aku?" gumam Brian berdialog sendiri dengan begitu lancar.

Ya, Brian bisa bicara. Ia tak bisu, tak lumpuh ataupun tuli. Selama ini ia hanya bersandiwara menjadi pria cacat demi mengelabui semua orang termasuk Ayahnya dan terutama Ibu tirinya yang tamak ingin menguasai semua harta warisannya.

"Mama, nanti aku bakal balas dendam buat Mama. Aku gak bakal membiarkan Sandra menikmati hasil dari jerih payah Mama," gumam Brian lagi.

Ah, Brian merindukan mamanya, sampai-sampai air mata menetes dari ujung matanya ketika ia mengingat tentang Jihan. Menyakitkan rasanya, ketika ia ingat bagaimana Jihan meregang nyawa tanpa seorang pun yang mendapinginya.

Dengan nelangsa, Brian mengusap kasar wajahnya.

Di pedesaan ini, Brian bahkan hidup sebatang kara, ia dibuang oleh Adnan dan ibu tirinya karena cacat pasca kecelakaan maut yang dialaminya saat berusia 21 tahun. Mereka hanya menyediakan rumah dan uang seadanya untuk membiayai kehidupannya saat itu. Selama seumur hidupnya Brian tinggal di pedesaan ini, tak pernah sekalipun Adnan mengunjunginya.

Namun, walau fisiknya memiliki keterbatasan, Brian tak tinggal diam. Ia mencairkan semua uang tabungan peninggalan Mamanya untuk membeli satu hektar lahan pertanian, yang sampai sekarang sudah jadi berpuluh-puluh hektar, bahkan sudah hampir setara dengan setengah lahan tanah seluruh pedesaan itu.

Brian jadi pria sukses yang kaya raya. Ia punya pabrik pengolahan tehnya sendiri dengan kualitas premium yang selalu diekspor ke luar negeri, semakin menambah deretan angka kekayaannya.

Maka dari itu, saat sudah sembuh dari segala keterbatasan fisiknya itu, Brian tetap saja bersandiwara dengan menjadi saudagar cacat, demi membuat situasi tetap terkendali. Sebab, jika ibu tirinya tahu Brian sudah sehat dan bisa beraktivitas normal, dia pasti akan mencelakai Brian untuk yang kesekian kalinya.

***

Malam hari terasa begitu sunyi, walaupun beberapa kali suara jangkrik dan cicak itu memecah sedikit keheningan.

"Maaf, mas. Kalo boleh aku tanya, hutang kamu emangnya berapa?" tanya Thena takut-takut.

Di sela-sela kegiatannya mengoles salep di permukaan luka di punggung Bimo, Thena berusaha mencari tahu dengan hati-hati.

Untuk sejenak, Bimo terdiam. Ia membuat Thena jadi menyesali pertanyaannya. Thena jadi berpikir bahwa Bimo merasa tersinggung dan akan marah padanya.

"Maaf, mas. Aku kelewatan ya?" ulang Thena.

Bimo menggeleng pelan.

"Enggak kok. Kalo kamu emang pengen tahu, hutang aku itu jumlahnya 3 milyar. Itu udah total sama bunganya," ucap Bimo memaparkan.

Suaranya terdengar tenang, membuat Thena sedikit merasa lega sekaligus terperangah.

Apa ini masih mimpi? tanya Thena di dalam hatinya.

"Oh... begitu," sahut Thena sekenanya.

Ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak punya uang sepeserpun untuk bisa membantu melunasi hutang sebanyak itu. Harta satu-satunya hanya sebuah kalung emas, dan kalung itu pun sudah diambil oleh Bimo secara paksa.

"Kenapa cuma diam? Kamu pasti bingung ya? Maaf karena aku membuatmu terbebani, tapi kamu tenang aja Thena, secepatnya aku akan melunasi hutang itu. Besok atau mungkin lusa," kata Bimo.

Thena mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan pernyataan Bimo. Walaupun beberapa hari ini ia dan Bimo bisa saling bicara dengan intens, tapi tetap saja Thena merasa ragu untuk menanyakan maksud dari ucapan pria itu.

"Aku masih punya benda berharga yang bisa dijual dan harganya bisa saja melebihi hutangku itu. Hutangku lunas dan mungkin, setelah aku menjual barang itu aku bisa hidup enak dari hasil penjualannya." Suara Bimo menjelaskan, seolah bisa membaca isi pikiran Thena.

Bimo terkekeh, seolah-olah apa yang diucapkannya itu adalah hal yang sangat menyenangkan dan benar-benar akan terjadi.

"B-Barang apa emangnya? T-Terus kerjaan kamu di rumah orang kaya itu gimana?" tanya Thena dengan terbata.

Terlalu sering dikasari oleh Bimo, membuat Thena tetap merasa takut luar biasa sekalipun pria itu sudah sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya.

"Ada. Pokoknya itu barang rahasia yang harganya bisa mahal banget. Mungkin 4-5 Milyar juga laku. Selain kerja sama dia, aku udah janji sama tuan Brian untuk menjual barang itu sebagai anggunan atas hutang-hutangku," ungkapnya masih penuh misteri. "Jadi, setelah hutangnya lunas, aku bisa punya kerjaan tetap."

Seingat Thena, Bimo tidak punya barang berharga apapun, tapi entahlah. Mungkin saja Bimo diam-diam menyimpan barang berharga itu tanpa sepengetahuannya. Toh seharusnya Thena juga bersyukur, karena akhirnya Bimo akan punya pekerjaan.

"Syukurlah kalo emang udah ketemu jalan keluarnya, semoga masalahnya cepet selesai," seru Thena menimpali.

"Pasti, Thena. Masalah hutang ini bakalan selesai kok dalam waktu secepatnya, kita tunggu aja." Bimo terkekeh senang. Ia bergitu optimis sekali dengan ucapannya itu.

"Semoga kamu bahagia, mas. Semoga nanti kamu bisa hidup tenang tanpa berurusan sama tuan Brian kalo hutang kamu udah lunas."

"Pasti, Thena. Hutang-hutangku itu bakal lunas kok. Aku pernah nunjukin barangnya sama tuan Brian, dan dia langsung setuju. Dia akan mengambil barangnya dalam beberapa hari lagi, mungkin kamu harus mempersiapkan diri."

"Mempersiapkan diri buat apa?"

"Buat ngerayain pencapaian aku lah. Aku bakal terbebas dari hutang, dan mungkin aja sisa uang penjualannya bakalan bikin aku kaya raya."

Thena tersenyum tipis. "Aku turut bahagia," ungkapnya, walaupun tidak tahu kebenaran dari ucapan Bimo.

"Memang harus begitu sepantasnya. Kamu harus ikut bahagia, Thena. Karena setelah barang itu aku jual, hidupku bakal lebih bahagia. Barang itu cuma beban aja," paparnya dengan terkekeh. "Kamu cinta aku gak?" lanjut Bimo bertanya.

Thena gelagapan, tak menyangka jika ternyata Bimo akan menanyakan hal itu. Namun, bukankah sudah tampak sangat jelas sekali? dari awal pernikahan, kan hanya Thena yang jatuh cinta.

"I-Iya, aku cinta kamu, mas." Suara Thena seraya menunduk malu.

Bimo terkekeh lalu perlahan membalikkan tubuhnya agar menghadap ke arah Thena. Untuk sesaat, Bimo mengagumi keindahan wajah cantik Thena.

"Darah campuran pribumi dan Belanda memang selalu luar biasa, kamu cantik banget Thena. Aku ke mana aja, ya? kenapa baru sadar sekarang kalo istriku itu cantik luarbiasa," pujinya dengan tatapan mata yang meneliti tiap inci di wajah Thena.

Rona merah itu langsung bersemu di pipi Thena. Dia malu dan gugup karena pertama kali dipuji cantik oleh Bimo.

Perlahan, Bimo mengulurkan tangannya lalu meraih dagu Thena. Diusapnya bibir ranum berwarna merah muda milik Thena, lalu ditatapnya dengan penuh minat.

Selain karena saat ini ia mulai bergairah, Bimo juga ingin membalas dendam pada Brian. Sebab ia sudah dicambuk hanya karena mencium Thena, jadi karena sudah terlanjur terluka, ia pun berpikir untuk sekalian saja menyetubuhi Thena.

"Boleh, kan?" tanya Bimo meminta izin. Kemudian, ia mengalihkan tatapannya pada mata Thena.

Thena tidak buta. Ia dengan pasti melihat ada gairah yang berkobar dimata Bimo.

"I-Iya," jawab Thena gugup.

Merasa sudah mengantongi izin, tanpa ragu Bimo pun mulai menipiskan jarak di antara dirinya dan Thena. Hembusan napas hangat itu menerpa wajah mereka masing-masing. Kemudian, Bimo memiringkan kepalanya dan-

Cup

Bibir mereka menempel.

Lumatan-lumatan kecil Bimo lakukan untuk Thena, yang pelan tapi pasti berubah jadi pagutan yang rakus dan menuntut lebih.

Walaupun sudah beberapa hari berlalu. Luka-luka pria itu yang belum mengering dan masih membengkak merah, tanda bahwa peradangan masih terjadi di sana, membuat siapapun juga tahu bahwa pria itu hanya memaksakan dirinya.

Namun, sepertinya Bimo tidak peduli. Ia tetap dengan stamina yang prima, mulai menggauli Thena. Napasnya terengah-engah, bahkan terkadang melenguh ketika melakukan kegiatan panasnya itu.

Sementara itu, Thena hanya diam. Ia tidak bersuara sama sekali, selain hanya mencengkeram sprei lusuh itu dengan sekuat tenaga dengan mata yang terpejam.

"Buka matamu, Thena...." Bimo mendesah, membuat Thena semakin mengeratkan cengkraman tangannya pada sprei lusuh itu.

Thena tahu betul bahwa dirinya bukanlah seorang perawan, tapi tetap saja ia masih belum terbiasa. Semuanya terlalu aneh dan... kurang nyaman.

"Buka matamu, Thena. Jangan buat aku ngerasa lagi bersetubuh dengan patung," desis Bimo sedikit menunjukkan ketidak sukaannya dengan sikap Thena.

Bimo merasa tidak dihargai.

Karena takut Bimo akan murka, maka Thena pun perlahan membuka matanya untuk sekadar mendapati pemandangan yang membuat wajahnya jadi bersemu merah.

Di sana, wajah begitu dekat dengannya, sampai-sampai hembusan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.

"Nah, gitu dong," katanya. Kemudian, kembali menggerakkan tubuhnya di atas Thena.

Thena memperhatikan Bimo dalam diam, dan sesekali harus mengigit bibir bawahnya, menahan suaranya agar tidak keluar begitu saja.

Bimo terengah-engah, begitu juga dengan dirinya. Menatap Bimo dengan jarak sedekat ini membuat jantung Thena berdebar kencang. Thena sangat mencintai Bimo, ia bahkan lupa berapa puluh kali dirinya terpesona pada pria itu.

Bimo tampan, dengan kulit sawo matang dan bibir yang tipis. Hidung bangirnya hampir menyamai hidung Thena, membuat Thena berpikir kalau saja anak mereka sempat lahir, apa dia akan terlihat sangat sempurna?

Ah... andai Thena tidak pernah keguguran.

"Thena!" teriak Bimo membuat Thena tersentak dan segera sadar dari lamunannya.

Bimo menarik dirinya menjauh dari Thena, lalu terkulai lemas di sisi kiri Thena dengan dada yang naik turun karena kelelahan.

Malam mereka berakhir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status