Aku menempelkan telingaku lebih dekat lagi ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Entah siapa lawan bicara Bang Haikal di seberang sana. "Siapa yang masuk rumah sakit?""Operasi?""Prematur.""Tenang dulu, kita akan cari jalan keluarnya sama-sama!"Hening! Sepertinya sambungan telpon di antara mereka sudah terputus. Aku bergegas masuk kamar, seolah tak tahu apa-apa. Bang Haikal terlihat kaget, saat tubuhku muncul di balik pintu. "Kau sudah pulang, Na?" tanyanya basa-basi. "Ya!" jawabku singkat. Siapakah gerangan yang tadi mereka bicarakan? Seingatku, Bang Haikal tidak memiliki keluarga yang tengah hamil. Aku berjalan melewati Bang Haikal yang masih mematung, mendekat ke arah lemari. Mataku naik turun memilah baju yang akan kukenakan. Ekor mataku menangkap bayangan Bang Haikal mendekat ke arahku. "Kau masih marah, Na?" tanyanya dengan suara lembut, seolah membujukku. Lelaki itu kini berdiri persis di belakangku. "Hmm!" jawabku singkat tanpa menoleh. "Apa yang salah, Na? Buk
Aku melirik ujung telunjuk Bang Haikal menyentuh gambar gagang telpon berwarna merah pada layar ponselnya, hingga nada dering telpon seketika berhenti. Lalu memasukkan ponselnya ke saku celananya. Aku pura-pura tak mempedulikan tingkah canggung Bang Haikal. Biarkan saja, nanti akan kucari tahu saat dirinya terlelap. Semakin kesini, semakin aku tak mengerti ada apa dengan Bang Haikal. Dirinya bahkan mengiyakan ketika aku meminta mengalihkan semua harta gono-gini yang kami miliki setelah menikah. Dirinya seolah benar-benar tak ingin kehilanganku. Namun, di belakangku dirinya malah bermain api dengan perempuan lain. Andaikan anak yang menjadi alasan, kenapa harus secepat itu. Baru dua tahun menikah Bang Haikal malah menduakanku dengan alasan keturunan. "Assalamu'alaikum." Ucapan salam dari arah pintu depan membuatku dan Bang Haikal beranjak keluar kamar. "Wa'alaikumsalaa," jawabku. Kak Lila datang sambil menuntun Harry yang berjalan beriringan di sampingnya. Anak itu menghambur meme
Bang Haikal baru saja pulang setelah dua hari tak menampakkan batang hidungnya di rumah ini, saat jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Tak ada lagi rasa cemburu di hatiku, meski tahu jika dengan dirinya tak pulang, berarti ia menghabiskan waktu bersama lac*r murahan itu. Hatiku seakan sudah membeku, untuk sekedar merasakan cemburu. Bagiku, sekali Bang Haikal berselingkuh, tak kan ada lagi maaf yang tersisa. Itulah yang kukatakan sejak pertama Bang Haikal mengutarakan niatnya untuk melamarku dulu. Hingga kini semuanya masih sama, tak sedikit pun hati ini berniat untuk memberinya kesempatan lebih. "Bolehkah malam ini, jika Abang meminta hak Abang?"Deg! Detak jantungku berpacu lebih cepat, setelah mendengar pertanyaan bermakna permintaan dari Bang Haikal barusan. Ucapan Farah beberapa hari lalu kembali berputar di kepalaku. "Itulah sebabnya, aku tak ingin kau lebih lama lagi bersama laki-laki bajing*n seperti Haikal. Apa kau tak takut, akan tertular penyakit dari pergaulan beba
Aku kembali mengklik untuk menjeda video yang baru kulihat beberapa detik, kemudian bangkit untuk mengambil headset yang kusimpan dalam lemari, agar suara yang keluar dari ponselku tak terdengar keluar. Aku menikmati tontonanku kali ini dengan debar hati tak beraturan, dan degub jantung yang berkejaran. Aku menikmati setiap adegan, tanpa ingin tahu siapa yang jadi pemeran utama. Dengan penuh amarah Nanda—anak bungsu Tante Nadia tengah asik menjambak rambut sebahu milik Rania. Wajah gadis cantik yang kutahu tengah meneruskan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Nageri Paman Sam itu terlihat merah padam. Dengan membabi buta, Nanda mendorong tubuh Rania hingga terjerembab ke lantai. Tak sampai di situ, Nada terlihat berulang kali menampar wajah Rania dengan keras, hingga wajah perempuan itu terlihat tak beraturan. Berkali-kali Rania berusaha melakukan hal yang sama pada Nanda. Namun dengan tinggi badan yang tak berimbang, membuat Rania terlihat kepayahan untuk mewujudkan niatny
Pagi ini aku tengah sibuk menyiapkan keperluan untuk memandikan Harry, mulai dari menyiapkan pakaian ganti, hingga air panas untuk campuran air dinginnya nanti. Kuputuskan akan mengurus anak malang itu hingga sisa waktuku di tempat ini. Kusebut Harry anak malang, karena terlahir dari manusia tak punya hati seperti Rania. Wajar saja jika Rania dengan teganya menghancurkan mahligai pernikahan yang telah kubangun bersama Bang Haikal, karena dengan darah dagingnya sendiri saja, seakan ia tak memiliki perasaan layaknya seorang ibu pada umumnya. "Na, Abang malam ini kayaknya gak pulang!" ucap Bang Haikal sambil melangkah terburu-buru. Harry terlihat mengekor di belakangnya. Aku menoleh ke asal suara, menatap sekilas pada laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu penghubung antara dapur dan ruang keluarga itu. "Abang mau kemana?" tanyaku basa-basi. "Abang ada kerjaan, Na. Mungkin besok baru akan pulang," jawab Bang Haikal dengan wajah gusar. "Iya, Bang, gak apa-apa," jawabku. "Semaki
Haikal bangkit dari atas kasur, perlahan menuruni ranjang dengan mata menatap lekat pada sesuatu yang tergantung di belakang pintu kamar Rania. Tangannya meraih benda tersebut. Sebuah jas warna hitam dan kemeja putih. Lelaki itu berbalik menghadap Rania dengan tatapan menguliti wanita di hadapannya. Wajah perempuan itu memucat. Ia merutuki kebodohannya dalam hati. Kenapa meletakkan benda itu di belakang pintu. "Milik siapa?" tanya Haikal. Mata lelaki itu menatap tajam ke arah Rania. Perempuan itu bangkit pada posisi duduk. "Itu—itu punya temen kantor," jawab Rania tergagap. "Temen kantor yang mana?" Haikal merasa tak puas dengan jawaban Rania. Rania memutar otak mencari alasan agar semuanya tak terbongkar secepat ini. Seketika wajah gugupnya berubah menjadi sinis. "Abang tak mempercayai Rania?" tanya perempuan itu dengan tatapan marah, seolah merasa tertuduh. "Itu milik Rifal, suami Tiara. Dua hari yang lalu mereka mampir ke sini saat pulang kantor." Rania berusaha meyakinkan k
Waktu masih menunjukkan jam sembilan pagi, saat aku sibuk menyuapi sarapan ke mulut Harry. Bocah laki-laki itu asik menonton beberapa anak laki-laki dan perempuan berusia SD yang tengah bermain kelereng di depan rumah, sambil mengunyah nasi goreng di mulutnya. Harry terlihat kegirangan saat Lila dan Rani anak tetangga yang berumur sekitar delapan tahun menggodanya. Harry memang mudah akrab dengan siapa saja yang menampakkan wajah bersahabat padanya. Dering ponsel tanda panggilan masuk terdengar dari arah kamar, di mana ponselku berada. Aku beranjak masuk setelah menitipkan Harry pada Lila dan Rani. "Assalamu'alaikum," sapaku pada si penelpon setelah panggilan tersambung. "Wa'alaikumsalaam, Na," "Ada apa, Fa?""Kamu bilang semalem Haikal di rumah, kok aku malah liat Haikal di sini!" "Iya, Fa, semalem Bang Haikal memang pulang, terus pagi tadi buru-buru pergi lagi. Emang ketemu Bang Haikal di mana?""Di apotik, sebelah masjid waktu kita berhenti sholat tempo hari. Apa mungkin Haik
Matahari sudah mulai tergelincir ke ufuk barat. Aku baru saja usai melaksanakan shalat dzuhur di mushola rumah sakit. Kak Naima setengah jam yang lalu menyusulku ke rumah sakit, bersama putri bungsunya—Rara, gadis kecil yang masih berumur empat tahun. Sedangkan Kak Farida katanya akan datang setelah shalat dzuhur. Selain Ibu, Kak Farida dan Kak Naima juga sangat baik padaku. Selama ini mereka berdua tak pernah memperlakukanku tak baik, apalagi kami memang tak terlalu sering bertemu. Aku cukup dekat dengan Kak Naima, karena memang perempuan berusia lima tahun lebih tua dariku itu sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Berbanding terbalik dengan Kak Farida. Anak tertua Ibu itu sangat menurun pada karakter sang Ayah. Terkesan pendiam cenderung tomboy. Itu kuketahui dari cerita Ibu saat beliau masih sehat, karena ayah mertuaku meninggal, jauh sebelum aku menikah dengan Bang Haikal. Ah, tiba-tiba aku begitu rindu masa-masa itu, masa-masa dimana aku dan Ibu sering menghabiskan waktu untuk