Ups. Kira-kira apa, ya, kado dari rekan kerja Fayola? XD
~Galang~ Seandainya saja dia tahu berapa pendapatanku dalam satu bulan, dia tidak akan menyebut aku membuang-buang uang. Aku tidak menjawab pertanyaannya, melainkan membawa dia masuk dan menuju apartemen lewat elevator. Aku puas melihat dia terpukau kagum melihat segala yang ada di dalam apartemen kami. Memang ini tujuan aku membelinya. Lokasinya tidak jauh dari kantornya, tetapi juga tidak berada tepat di pusat kota. Aku tidak akan tahan menghadapi kemacetannya pada akhir pekan. “Kenyangnya …!” Dia bersandar pada kursinya setelah menghabiskan makanannya. “Badanku terasa remuk gara-gara Mama. Pasangan mana yang mempersiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan saja? Aku jadi kasihan mengingat kita mendapat jadwal di gereja, karena ada pernikahan yang batal.” Aku menatapnya penuh arti. “Aku dan si bodoh itu beda kasus. Kami belum sampai pada tahap mempersiapkan pernikahan,” protesnya, memahami maksudku. “Ada apa? Kamu masih cinta dia?” tanyaku sambil lalu. “Ukh!” Dia berpura-pura mu
~Fayola~ Aku tidak pernah merasa begitu malu dalam hidupku. Ah, maksudku, setelah apa yang dilakukan oleh mantanku. Ini adalah hal yang tidak hanya membuat wajah memerah dan jantungku berdetak sangat cepat, tetapi aku nyaris kehilangan kata-kata. Namun mendengar sebutannya atas benda yang ada di dalam tas belanja itu, aku tertawa terbahak-bahak. Kain perca? Aku tidak tahu dia selugu itu. Kado dari Nidya dan Kemala adalah pakaian tidur wanita yang bahannya sengaja terbuka pada bagian intim, bukan kain perca. “Bisakah kamu berhenti tertawa dan minum kopimu dengan benar?” ucap Galang pada pagi harinya. Kelihatan dia masih kesal atas sikapku pada malam sebelumnya. “Aku tidak mau kamu sampai memuncratkan cairan itu lagi ke mukaku.” “Maaf. Aku tidak bisa berhenti tertawa.” Aku mengipas-ngipas wajah dengan kedua tanganku, berusaha untuk mengendalikan emosiku. Dia semakin cemberut. Aku akui bahwa dia adalah suami yang sangat baik. Saat aku keluar dari kamar tidur, roti panggang, berbagai
Aku merapatkan bibirku, berusaha untuk tidak mengatakan apa pun. Dia sudah menoleransi aku yang kentut di mobilnya, maka tidak adil kalau aku marah kepadanya. Jadi, dengan berat hati, aku memalingkan wajah dan memandang ke arah kaca depan mobil. Namun bukannya berhenti dan menghargai sikap mengalahku, dia meneruskan kebiasaan joroknya itu. Aku mengepalkan tangan, menahan diri. Ini adalah mobilnya, maka dia punya hak melakukan apa pun yang dia mau. Aku tidak boleh marah. “Bisakah kamu menghentikan itu?” kataku, tidak tahan lagi. Dia mengorek hidung, lalu menyeka tangannya di bagian paha celananya. Ggrr, joroknya dia. Pakaianku bisa kena kotoran itu juga saat orang mencuci pakaian kami. Namun aku tidak mau membayangkannya. “Aku tidak menghalangi kamu kentut. Mengapa kamu marah aku mengupil?” ucapnya, tidak peduli. “Pakai tisu, Lang. Kamu meletakkannya di sana, di dasbor agar mudah kamu raih. Bukan dilap di celana kamu. Jorok, tahu, enggak?” kataku lagi. “Ini celanaku, mengapa kamu b
“Silakan masuk.” Terdengar jawaban dari balik pintu yang aku ketuk. Aku menelan ludah dengan berat, lalu membuka pintu tersebut. Galang menepati ucapannya pada saat aku dipecat lima belas tahun yang lalu. Dia membantu aku mencari informasi dari seluruh teman-temannya mengenai lowongan pekerjaan untuk desainer grafis. Hanya satu minggu menganggur, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tentu saja setelah melewati seleksi yang ketat. Aku sangat menyukai tempat ini dan lingkungannya. Para karyawan sangat akrab dan mau bekerja sama dengan baik. Iya, aku pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan, tetapi itu bukan masalah. Sudah biasa di tempat yang nyaman selalu akan ada yang sengaja mengusik kedamaian. “Selamat siang, Bu,” sapaku dengan sopan. “Selamat siang, Fayola. Silakan duduk.” Aku terkejut melihat makanan yang ada di atas meja. “Ayo, duduk. Jangan berdiri saja. Aku sudah lapar.” “Ng, baik, Bu.” Aku menurut dengan duduk di kursi di depannya. Jantungku berdebar dengan cepa
Dia yang semula duduk tegak dan berwajah tegang berubah santai. Dia tersenyum penuh arti. “Rahasia,” jawabnya. Itu kalimat yang paling aku benci. “Yang penting, klien suka dengan hasilnya.”“Aku tidak suka rahasia. Cepat katakan. Ada apa dengan warna kuning?” desakku tidak kuat lagi menahan rasa penasaran. “Bahkan untuk pilihan warna matahari pun, kamu selalu menggunakan jingga, tidak pernah ada warna kekuningan.”“Pekerjaanku hari ini sangat banyak, aku mengantuk.” Dia malah berpindah ke sisi lain tempat tidur untuk berbaring. “Sebaiknya kamu juga tidur, karena kita harus bangun subuh.”“Enak saja kamu menghindar begini. Jawab pertanyaanku.” Aku ikut menaikkan kakiku ke ranjang dan mendekatinya. “Aku penasaran, jadi kamu tidak bisa tidur sebelum menjawab pertanyaanku.”“Fay, aku benar-benar lelah.” Melihat dia menutup mata, aku menggelitik pinggangnya. Itu adalah titik kelemahannya.“Fay!” pekiknya dengan suara tertahan. Namun aku tidak berhenti dan terus menyerang kedua bagian tubuh
“Mengapa kita ke sini?” tanya Galang yang malas-malasan melangkahkan kakinya.“Aku belum membeli kado untukmu. Nah, dari hasil selancarku, pria paling suka diberi jam tangan. Kamu suka merek yang mana?” Aku melihat deretan etalase yang menjual jam tangan khusus pria. Dia mengusap-usap dagu dengan tangannya.“Kamu yakin kamu punya uang?” Dia memicingkan matanya, menatap aku tidak percaya.“Aku tidak akan membawa kamu ke sini bila aku bokek.”Dia memilih salah satu konter, maka aku ikut mendekatinya. Dia pasti sedang menguji aku dengan menunjuk jam terbaru dengan harga yang wow, tetapi aku tidak keberatan. Aku membayar jam itu, lalu menerimanya dari wanita yang melayani kami.“Eh, tunggu.” Aku menjauhkan tas itu dari jangkauan Galang. “Kamu hanya bisa menerimanya nanti di apartemen.” Dia tertawa.Aku mengajaknya menuju tempat sepatu kets. Dia suka sekali memakainya, bahkan ke tempat kerja. Seperti saat memilih jam, dia juga mendekati sepatu yang paling baru dan mahal. Aku menurut, memba
~Galang~ Perempuan ini memang sangat jeli. Sampai sekarang, dia masih sadar ada satu kekurangan pada desainku. Hal yang tidak disadari oleh keluarga atau rekan kerjaku sendiri. Mungkin karena mereka melihat aku tidak pernah menghindari warna itu pada desain tim kami. Untung saja aku selalu berhasil menghindar untuk menjawab pertanyaan itu. Dia sedikit pelupa, jadi aku tidak heran pertanyaan itu tidak diajukannya lagi. Terima kasih kepada Bunda yang sudah masuk kamar mengganggu kami, sekaligus mengalihkan perhatiannya. “Kamu masih memperlakukan dia dengan baik, ‘kan?” bisik Mama ketika memeluk tubuhku di gereja. Kalau bukan karena aku melihatnya sendiri, aku tidak akan percaya bahwa ibu yang sangat peduli dengan anaknya ini sering memarahi putri sulungnya. “Iya, Ma. Mama boleh tanya Fay kalau tidak percaya,” jawabku, setengah berbisik. “Bagus. Karena kalau tidak, kamu akan menyesal.” Dia menepuk-nepuk punggungku seolah memberi peringatan sebelum melepaskan pelukannya. Ada hal yang
Fay memejamkan matanya sambil menghela napas panjang. “Aku sudah selesai. Ayo, Lang, kita ke kasir sekarang,” ajaknya yang melingkarkan tangannya di lekukan lenganku. “Aku tidak mau gatal-gatal karena penyakit menular itu.” Aku menurutinya dengan berbalik ke kiri, tetapi kami terpaksa berhenti. Seorang pria berdiri di sana, menghalangi jalan kami. Dia meletakkan kedua tangan di pinggulnya dan menatap kami dengan saksama. Aku merasakan darahku mendadak mendidih melihat caranya menatap Fay. “Sonya berkata benar. Kalian datang ke Lombok untuk berbulan madu.” Doddy memandang Fay dengan tatapan menuduh. “Aku akhirnya menemukan foto pernikahan kalian di media sosial. Aku tidak pernah menyangka kalian sangat pintar membohongi semua orang. Ternyata selama ini kamu juga selingkuh di belakangku.” “Heh! Mulutmu itu dijaga sebelum bicara. Apa buktinya aku dan Galang selingkuh?” ucap Fay dengan sengit. “Aku tidak perlu menunjukkan bukti, semua orang sudah tahu perempuan itu hamil saat kita masi