Edwin membulatkan tekad untuk dapat bertahan mengikuti jalannya rapat. Mencoba bertahan untuk tetap duduk tegak di kurisnya, sampai nanti dirinya memberikan keputusan akhir dan mengakhiri rapat hari ini.
Irza tercengang mendengar keputusan Edwin yang sepertinya sudah bulat. Keputusan yang sangat berani. Irza merasa terharu atas kepercayaan yang diberikan Edwin padanya dan kepada perusahaannya. Benar dugaannya bahwa Edwin ini tipe teman sejati yang dapat dipercaya dan diandalkan. Tak akan pernah mungkin untuk mengkhianati dirinya.
Sekali lagi Irza mengamati wajah Edwin, sahabatnya itu lekat-lekat. Wajah Edwin terlihat pucat, lemah dan sedikit gelisah. Jauh berbeda dari wajah dingin, tenang, penuh wibawa yang biasa diperlihatkan olehnya. Memang Irza sudah mendengar bahwa Edwin sedang sakit bahkan beberapa hari terakhir tidak datang ke kantor.
Gosip lebih jauh mengatakan Edwin terpaksa membatalkan honeymoon yang telah dijadwalkan selama seminggu penuh setelah dirinya menikah.
Kenapa dia? Bisa sakit juga ternyata? Sejauh yang diketahui Irza memang Edwin jarang sekali sakit. Tapi mau tak mau Irza jadi penasaran juga dengan penyakit Edwin. Perasaan beberapa hari yang lalu masih seger buger waktu acara pernikahannya? Kenapa sekarang bisa dia jadi selemah ini? Bukan sakit parah kan?
Tetapi bahkan dengan kondisi tubuhnya yang jelas masih lemah itu Edwin tetap mau datang menghadiri rapat dan membela dirinya? Irza menjadi semakin terenyuh dan terharu dibuatnya.
'You've done your part, bro. Now it's time for me to take my own part.' Irza memutuskan.
Irza berdeham sedikit keras dan dramatis untuk menarik perhatian semua yang hadir. Mengalahkan keributan yang sedang terjadi di segala ruangan.
Irza ingin menjadi pusat perhatian sebelum dirinya mengumumkan keputusan. Irza akan bertanggung jawab atas segala kekacauan yang terjadi akibat dari konflik di perusahaan miliknya. Dengan segala gengsi dan harga dirinya sebagai pimpinan Wismail Grup, Irza akan membuat pernyataan di rapat ini.
"Tiga bulan. Kalau Wismail tidak bisa bangkit dan stabil lagi dalam tiga bulan, kami akan pergi. Akan kami cabut semua saham dan kepemilikan di WijayaBisnis Park sesuai keinginan kalian. Dan akan kami berikan kompensasi atas semua kerugian kalian yang disebabkan oleh keadaan perusahaan kami." Ujar Irza Lantang dan penuh percaya diri.
Semua yang hadir langsung terdiam kembali. Sebagian besar masih tak dapat mempercayai bahwa Irza akan dapat menyelesaikan kekacauan besar ini hanya dalam tiga bulan saja. Mustahil rasanya.
"Tidak perlu sampai begitu, aku percaya padamu," jawab Edwin sambil menghela napas.
Memang dirinya percaya Irza dapat melakukan segala yang diucapkannya. Membereskan kekacauan dalam tiga bulan dari sekarang. Tetapi tetap saja terlalu beresiko, Edwin tak ingin kehilangan mitra kerja setangguh Irza Wismail.
"Gak pa-pa, Di. Biar mereka semua tahu dan ingat bagaimana kekuatan Wismail. Serta apa saja yang dapat kami lakukan dengan segala kekuatan kami." Irza mengatakan dengan nada suara congkaknya, intimidatif.
Beberapa hadirin yang dari tadi menentang langsung terdiam. Tak sanggup berkomentar atau melakukan protes lagi. Tidak jika Grup raksasa sekelas Wismail akan menjanjikan ganti rugi bagi mereka.
"Saya percaya kepada Grup Wismail." Mahes ikut memberikan suaranya kali ini mewakili Hartanto Group. Sedikit khawatir melihat keadaan Edwin yang terlihat semakin pucat dan mengkhawatirkan. Mahes merasa rapat ini harus segera diakhiri secepatnya, biar Edwin bisa beristirahat.
'Jadi dia masih belum sembuh? Ngapain maksa datang? Dasar sembrono,' batin Mahes.
"Saya juga setuju mendukung Irza Wismail," Tyo kali ini ikut memberikan suara bagi Sampoerna Group. Bosan dengan perdebatan tanpa ujung di rapat ini.
"One vote from me for Irza, my bro." Nick ikut memberikan suara juga mendukung Irza.
(*Satu suara dariku untu Irza, saudaraku).
"Apa sih yang nggak buat kamu, Za? Ciputra Group mendukung Wismail Group untuk tetap menjadi bagian dari WijayaBisnis Park." Ceicillia ikut memberikan dukungan dengan nada lebih santai.
Edwin tersenyum lega mendengar jawaban dari para pemegang saham terbesar lainnya. Para sahabat baiknya, teman seperjuangannya.
"Masih ada yang tidak puas?" tanya Edwin memastikan tidak ada yang protes lagi.
"Saya rasa kita sudah menemukan hasil akhir dari rapat hari ini. Karena semua pemegang saham terbesar sudah menyatakan setuju untuk mendukung Wismail. Berarti dapat dipastikan suara dukungan untuk Wismail Group menjadi mutlak sesuai voting."
"Dengan ini saya putuskan bahwa anak perusahaan Wismail masih tetap dalam naungan WijayaBisnis Park dan akan kita tinjau lagi tiga bulan mendatang."
"Sekian dari saya, rapat hari ini dibubarkan. Terima kasih," Edwin mengerahkan tenaga terakhirnya untuk mengakhiri rapat hari ini.
Edwin sudah merasa sangat lemas sekujur tubuhnya. Keringat dingin juga sudah mengucur deras di tubuh dan kepalanya juga semakin pusing karena banyaknya suara serta keributan di sekitarnya.
Para peserta rapat satu persatu meninggalkan ruang pertemuan besar itu. Berjalan berdua atau bertiga untuk membahas hasil rapat hari ini yang sedikit kontroversi dan diluar dugaan. Tak berapa lama kemudian ruangan telah kosong, tinggal tersisa Edwin dan Irza saja yang tersisa di dalam ruangan.
Edwin yang sudah sangat lemas, tak kuat lagi rasanya untuk ngapa-ngapain. Tak sanggup untuk sekedar bangkit berdiri dari kursinya. Edwin menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi yang tinggi dan empuk. Berusaha memberikan sedikit kenyamanan pada tubuhnya yang sudah terasa remuk redam.
"Makasih ya, Di. Maaf yah gara-gara aku, kamu sampai bela-belain kesini walau masih sakit begitu." Irza mengucapkan rasa terima kasih tak terkira pada Edwin.
Edwin diam saja tak menjawab, tak sanggup menjawab lebih tepatnya. Tubuhnya serasa sudah melanyang-layang di udara, sudah nyaris pingsan.
"Edwin? Are You OK?" Irza curiga karena Edwin hanya diam saja tak menjawab ucapannya.
"Kamu kok pucet banget, Di?"
Irza mendekati dan mengamati Edwin dengan lebih seksama. Kok kayaknya kondisi Edwin sedang tidak baik-baik saja. Something wrong with him.
Tubuh Edwin terlihat sangat pucat, lebih pucat daripada sebelumnya. Wajahnya juga terlihat gelisah dan kesakitan. Irza coba meletakkan telapak tangannya ke kening Edwin.
"Astaga, badanmu panas banget!" pekik Irza kaget setelah memeriksa.
Dengan panik Irza buru-buru keluar ruangan, mencari sosok yang kira-kira bisa dimintai pertolongan, membantunya.
Irza mengedarkan pandangannya ke seluruh koridor lantai tiga yang mulai sepi. Irza mendapati Mahes sedang berdiri di depan lift sambil menelpon. Menanti kedatangan lift.
'Mahes kan dokter, pasti bisa ngasih pertolongan pada Edwin,' pikir Irza.
"Hes, cepetan kesini liatin dulu si Edwin." Panggil Irza pada Mahes yang hendak memasuki lift.
"Haaah? Edwin kenapa?" tanya Mahes mengurungkan niatnya memasuki lift. Bahkan dia langsung menutup panggilan telponnya dan berjalan cepat kembali ke ruang rapat.
"Gak tahu, badannya panas banget. Coba kamu periksa takutnya dia kenapa-kenapa," jawab Irza sedikit panik.
Irza mengedarkan pandangannya lagi dan mendapati Joko dan Heni yang sedang membereskan beberapa dokumen di atas meja depan ruang rapat.
"Jok, bosmu aneh tuh keadaanya. Kamu gimana si sebagai asistennya? Kok gak jagain dia baik-baik?" Tanya Irza kesal pada asisten Edwin yang satu ini.
"Pak Edwin kenapa?" Joko kaget mendengar ucapan Irza. Segera menghentikan kegiatannya mengurus dokumen. Baru ingat kalau bosnya tadi memang masih sakit keadaannya.
Irza, Joko dan Heni bergegas ke ruangan rapat untuk melihat keadaan Edwin. Disana mereka mendapati Mahes yang sudah memeriksa keadaan kakak iparnya itu.
"Edwin kenapa, Hes?" tanya Irza khawatir.
"Kayaknya dia ngedop lagi. Tensinya turun dan dia juga demam." Mahes menjawab setelah memeriksa Edwin.
"Jok, Rieka nitipin sesuatu gak sama kamu?" tanya Mahes. Tahu benar Rieka tidak mungkin membiarkan Edwin pergi dalam keadaan sakit tanpa persiapan matang.
"Haaah? Sesuatu apa pak?" tanya Joko kebingungan, perasaan Bu Rieka gak nitip apapun kepadanya.
"Kamu tahu gak Edwin kesini dalam keadaan kurang fit kayak gini?" Mahes bertanya pada Joko menyelidik.
"Tahu pak, tadi bu Rieka sudah menelpon dan kasih info ke saya."
"Rieka titip pesen apa lagi?" Mahes semakin tidak sabaran.
"Bu Rieka minta tolong saya buat jagain pak Edwin, nuntun kalau jalan jauh, naik turun tangga atau lift biar gak jatuh. Terus suruh mengingatkan Pak Edwin buat minum obatnya jangan sampek telat."
"Terus, Edwin sudah minum obat belum tadi?" Irza ikutan tidak sabaran. Kalau asisten Irza kayak begini sudah pasti dipecatnya sejak dulu. Bisa bikin darah tinggi saking dodolnya.
"Be, belum. Maaf Pak saya lupa..." Joko menepuk jidatnya karena melupakan instruksi dari Rieka padanya.
"Astagaaaa Bambaang!" Baik Mahes, Heni dan Irza sekaligus langsung berteriak marah pada Joko.
"Joko! Kamu itu kok gak pinter pinter ya!" Bentak Heni marah. Kesal karena Joko lagi-lagi teledor sampai mencelakakan bos mereka.
"Mau sampai kapan kamu begini Jok?"
"Kan tadi Pak Edwin datang langsung sibuk ngurusin rapat. Jadi gak sempet mengingatkan..." Joko beralibi untuk membela diri.
"Ayo cepet mana obatnya?" Desak Mahes sudah lelah dengan kebodohan Joko.
"Di saku jasnya pak Edwin." Joko bergegas merogoh saku jas Edwin dan menemukan sebuah kotak obat kecil disana.
Heni dengan siap siaga sudah menyiapkan air minum untuk Edwin. Gadis itu membantu bosnya untuk meminum obatnya.
"Kalau Bu Rieka atau Bu Kartika tahu soal kecerobohanmu kali ini, abis kamu Jok!" ujar Heni geram pada Joko.
"Haduuuh mati aku!" Joko meratapi nasibnya yang lagi-lagi ketiban apes.
"Edwin gak pa-pa kan, Hes?" tanya Irza khawatir.
"Iya, kita tunggu aja obatnya bereaksi." Mahes memeriksa sekali lagi keadaan Edwin. "Kita pindahin dia ke kamarnya dulu deh. Biar dia istrirahat disana." Lanjutnya memberi saran.
Dengan saran dari Mahes mereka memindahkan tubuh Edwin ke kamar pribadinya. Merebahkan tubuhnya di ranjang dan menyelimuti dengan bed cover tebal untuk menghangatkan tubuhnya yang terasa dingin.
"Kita bisa pulang sekarang, biar Joko yang jagain Edwin." Mahes memberi saran beberapa saat kemudian. Karena memang tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali hanya menunggu. Menunggu sampai Edwin sadar sendiri.
"Jagain dia baik-baik, Jok. Kalau dia sudah bangun dan enakan anterin pulang." Mahes memberikan perintah sebelum beranjak pergi.
"Iya, siap Pak Mahes."
"Jangan sampai kamu bikin pak Edwin celaka lagi, Jok. Atau aku bakal laporin ke Bu Kartika biar kamu dipecat!" Ancam Heni ikut pamit pergi juga.
"Semoga lekas pinter ya, Jok." Irza juga ikutan pamit sambil menyindir Joko.
Tinggallah Joko sendirian yang menunggui Edwin di kamar itu. Hanya bisa duduk menanti seperti kata Mahes tadi. Menanti Edwin bangun dengan sendirinya.
"Maaf ya Pak Edwin, Bapak jadi sakit lagi gara-gara kecerobohan saya." ujar Joko dengan penuh penyesalan.
Edwin diam saja tak menjawab, entah sedang tidur atau pingsan dia.
"Saya janji bakal menjadi asisten yang lebih baik lagi buat Bapak. Saya janji gak bakal ceroboh lagi. Tapi jangan pecat saya ya, Pak." Joko mengungkapkan jeritan hatinya.
Rieka melirik jam dinding di atas kulkas dapur. Sudah lebih dari jam enam sore. Kok mas Edwin masih belum pulang aja ya? Apa rapatnya molor? Apa terjadi perdebatan sengit dan alot selama rapat berlangsung?Rieka sama sekali tak bisa tenang sepanjang siang dan sorenya. Tentu saja kepikiran dengan keadaan Edwin, suaminya di sana. Seharusnya aku ikut saja tadi ya? Tapi kok kayak tidak pada tempatnya untuk hadir. Gak etis rasanya bagi Edwin bawa-bawa istri saat sedang urusan resmi begini.Apa mas Edwin baik-baik saja ya? Apa dia tidak lupa meminum obatnya? Apa dia kuat duduk lama untuk menghadiri rapat yang molor dengan segala tekanannya? Apa dia gak pusing mendengar suara-suara yang pastinya bising? Gimana kalau tiba-tiba dia kumat lemesnya dan ngedrop lagi tekanan darahnya?'Kamu pasti baik-baik saja kan mas Edwin?'Rieka mencoba menghalau kecemasannya sendiri.Kegalauan Rieka terus berlanjut sampai pada sesi memasak sorenya. Rieka memang seng
"Iya...ini aku, mas Edwin." Ujar Rieka menyakinkan Edwin akan kehadirannya sambil meraih sebelah tangan Edwin. Menggenggam erat jemari suaminya itu, seakan tak ingin melepasnya lagi, "Are you OK?"Edwin hanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan. Seneng banget rasanya Rieka ada disini untuknya. Rasanya sudah kangen aja pengen ketemu istrinya itu, pengen peluk-peluk dan cium-cium sampai puas.Perlahan Edwin bangkit dari posisi berbaringnya. Duduk bersandar di sandaran ranjang. "Jam berapa ini?" tanya Edwin kehilangan orientasi waktu."Sudah hampir jam 8 malam," jawab Rieka."Sudah malam ternyata," Edwin tak mengira dirinya bisa tertidur selama itu di sini. Tapi setelah tidurnya tadi keadaan tubuhnya sekarang terasa jauh lebih mendingan. Lebih segar dan tidak lemes lagi tentunya."Tadi kayaknya ada seseorang yang bilang bakal langsung pulang secepatnya begitu rapat berakhir?" Rieka mulai menyindir Edwin."Maaf ya honey, aku te
Keesokan harinya Rieka terbangun dengan sedikit kebingungan karena mendapati suasana kamar terasa yang asing baginya. Dimana ini? Rieka mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Nuansa hitam putih untuk seluruh barang dan perabotan, monochrome.Oiya ini kan kamar pribadi mas Edwin di kantornya. Akhirnya Rieka dapat mengingat tempatnya berada saat ini. Kemarin malam memang mereka berdua menginap di kamar ini. Karena hari sudah malam dan keadaan Edwin juga belum memungkinkan untuk perjalanan pulang dan berpindah lokasi. Masih suka tiba-tiba lemes aja dia.Rieka kembali mengedarkan pandangannya, didapatinya ranjangnya kosong. Edwin sudah tidak ada di atas ranjang. Sudah bangun duluan rupanya dia. tapi kemana mas Edwin kok tahu-tahu sudah ngilang?"Hubby? Kamu dimana?" Tanya Rieka sambil bangkit dari ranjangnya. Tak ada jawaban dari Edwin untuk pertanyaan Rieka.Rieka mencari-cari ke segala penjuru kamar sampai ke
"Hubby...cobain deh kue kering bikinanku. Tadi aku praktek baking di kelas memasak," Rieka menghampiri Edwin yang sedang duduk selonjoran di ranjangnya sambil memegang dan berkutat dengan tab-nya. Yah memang Edwin bilang gak bakal kerja lagi dan mengambil cuti. Tapi nyatanya dia masih saja kebanyakan urusan. Kalau begini si namanya work from home kan? Tapi masih mending lah daripada suaminya itu harus berangkat ke kantor sampai kolaps lagi. Rieka membawa sepiring kue kering bikinannya sendiri yang baru matang. Fresh from the oven. Dan Rieka langsung menyodorkannya kue bikinanya pada Edwin. Senyam senyum kegirangan meJokgakan hasil karyanya. "Taaaraaa ini dia..." ujar Rieka dramatis. "Mana coba liat?" Edwin meletakkan tab-nya begitu saja di kasur. Saking penasaran ingin tahu kayak apa bentuk dan rasa cookies bikinan Rieka. "Ini gambar apa?" Edwin mengerutkan kening melihat bentukan aneh cookies bikinan Rieka. Kaya astronot mini lengkap dengan baju hazmat dan helmnya, tapi kecil dan
Irza mau tak mau jadi mesam mesem melihat drama keluarga Pradana barusan. Drama yang penuh dengan adegan panas membara. Entah mana yang lebih panas antara adegan mesra Edwin-Rieka tadi atau adegan gunung berapi meletus Edwin-Joko. Kini perhatian Edwin sepenuhnya dihadapkan pada Irza yang sejak tadi berdiam diri menunggu giliran disapa. “Sorry lho Za, kamu jadi harus berada dan melihat situasi yang nggak mengenakkan begitu.” Edwin berkata dengan canggung. Tangannya menggaruk belakang kepalanya sebagai wujud setengah frustasi. Gimana gak frustasi kalau sudah ada yang berdiri tegak tapi harus dirobohkan lagi? Tapi bukan keberanaran lho ya. “It's okay. Setiap rumah tangga memang punya masalahnya sendiri-sendiri.” Jawab Irza sambil mendekati ranjang Edwin dan meletakkan buket buah-buahan yang dibawanya sebagai buah tangan di meja yang ada di samping ranjang. “Gimana kondisimu?” tanya Irza prihatin. Masih ingat benar keadaan Edwin yang tiba-tiba ngedrop kemarin sore. Tapi kalau melihat k
Keesokan harinya Wijaya mansion kembali kedatangan tamu, kali ini Heny dan Dimas yang datang berkunjung. Ngapain mereka datang di jam kerja begini? Sudah jelas bukan untuk sekedar main kan? Pasti lagi-lagi urusan pekerjaan. Kedua pegawai kepercayaan Edwin itu langsung menghampiri Rieka dan Edwin yang sedang bersantai di ruang tengah begitu Bi Ijah mempersilahkan mereka. "Selama siang Pak Edwin dan Bu Rieka." Heny menyapa. "Halo Nyonya Bos, makin cantik aja." Dimas sengaja tidak menyapa Edwin tapi malah menggoda Rieka. Dan sesuai dugaannya si nyonya Bos langsung tersipu malu mendengar godanya, gemesin banget deh. "Ger? Cari mati lu?" hEdwink Edwin geram mendengar Dimas terang-terangan menggoda Rieka. "Ampun, Pak. Saya cuma ingin menikmati pemandangan surgawi dari wajah cantik Nyonya Bos saja." Dimas makin keasikan melancarkan jurus gombalan maut. Rieka sekali lagi hanya bisa tersipu malu tanpa sanggup menjawab, mengalihkan wajahnya yang sudah merah padam dari pandangan Dimas. "Ya
Tiga hari kemudian Rieka sudah mulai bekerja kembali karena Edwin yang sudah sembuh total. Edwin juga sudah mulai masuk kerja lagi meski Rieka masih melarangnya untuk lembur atau terlalu capek-capek. Sementara Rieka tentu saja bekerja di poli penyakit dalam RS. Hartanto Medika seperti biasanya.Rieka sudah kangen banget rasanya untuk praktek dan bertemu dengan pasien-pasiennya kembali. Mendiagnosa, mengobati penyakit, memberikan advice serta edukasi kepada pasien-pasiennya. Mengamalkan ilmunya, ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Yang pastinya akan bernilai sedekah dan mendatangkan keberkahan."Jadi saya cuma sakit darah tinggi saja kan dok? Sudah biasa kalau begitu." Pasien terakhir Rieka hari ini melakukan konsultasi."Lho darah tinggi itu juga berbahaya lho, Pa." Seorang pemuda yang menemani si pasien ikut berkomentar. Dari penampilan rapinya, sepertinya dari golongan Sultan dia.Rieka sudah tak heran lagi dengan pasien VVIP kelas sultan. Memang targ
'Sejak awal Edwin mendirikan perusahaannya.' Heni hanya mampu menjawab dalam hati saja. Karena dia yang membantu proses pendirian serta konsep awal perusahaan pribadi Edwin. Heni pulalah yang menjadi asisten pribadi yang mengurusi segala keperluan Edwin sejak saat itu."Pesta ultah pak Edwin mau dirayain di mana, Bu Rieka? Private party apa pesta gede-gedean?" Heni berusaha mengalihkan pembicaraan."Eh? Ngapain pakai pesta segala? Yang sederhana saja." Rieka tak ingin pesta besar-besaran hanya untuk sebuah pesta ulang tahun.'Kan belum lama ini sudah pesta pernikahan, masa harus ngadain pesta lagi?'"Heem ini ulang tahun pak Edwin ke 30 lho. Kayaknya Bu Kartika dulu bilang ingin dibikinin pesta." Heni mengingat ucapan Kartika sebelum Edwin menikah. Tapi setelah bosnya itu menikah ymaka keputusan mutlak berada di tangan istrinya."Mama Kartika? Nanti coba aku bilangin deh sama beliau." Rieka sedikit ngeri juga kalau harus berdebat dengan mertuanya i