"Sudah, sayang! Daripada kamu ngerasa gak enak kita mendingan pulang aja ya!" bujuk suamiku mengusap pipiku."Gas! Mau kemana? Kok buru-buru aja, belum makan udah pulang!" panggil Harits-adik bungsunya tersenyum menyeringai."Yang sopan sama kakakmu, Har! Dia 15 tahun lebih tua dari kamu! Kok kayaknya gak enak sekali dengar kamu panggil dia dengan namanya langsung!" tegurku dalam keheningan saat itu.Semua pasang mata tertuju padaku. Mereka terkejut karena aku tidak pernah banyak bicara selama ini, akan tetapi apa yang baru saja kukatakan membuat mereka heran.Hey! Miss Kanaya, kamu bukannya gak pernah komplen ya, sekalinya bicara kok marah?" sindir Kak Hana membela Harits."Memangnya kenapa kalau dia komplen, Kak?! Dia membela suaminya, adikku ini memang gak pernah belajar etika." Marah Bang Bagas."Harits adiknya Bagas, kamu gak berhak menegur dia, Jeng Naya yang baik dan pintar!" sinis Kak Hana membela adik bungsu Bagaskara lagi."Dia istriku tentu dia berhak, dia juga ikut andil b
"Bukan masalah boleh gak boleh, sayang! Hubungan darah itu gak bisa diingkari, menurut Abang, untuk sementara ini kita gak usah menemui mereka kalau bukan karena sesuatu darurat. Bukan ingin memutus persaudaraan, tapi karena ingin menjaga hati dari rasa sakit yang timbul karena mereka." "Iya, Bang! Aku ngerti." Tiba-tiba Bagaskara terdiam, ia mengingat masa lalu kelamnya, ia merenung menatap langit-langit kamar. "Yang! Dulu, Bapak kesel sama Harits dan Arkan sampai hampir menampar mereka, tapi Abang cegah." "Kenapa Abang cegah? Bukannya itu malah bikin mereka jadi gak sadar kesalahan mereka?!" "Itu karena Abang gak mau mereka ngalamin apa yang Abang alamin. Kasihan, Abang juga ngerasain gimana rasanya disiksa Bapak sendiri. "Tapi mereka gak tahu diri banget, Bang! Abang sudah urus mereka tapi mereka kurang ajar sama Abang!" "Yaah, begitulah mereka, kamu jangan heran." Adik-adiknya itu sama sekali tak tahu diri, disayangi malah mencibir. Mereka bilang kalau Bagas itu Kakak yang
"Mumpung libur bu, apalagi saya lihat ibu-ibu pada ngumpul, saya jadi penasaran ada apa, ternyata ada Mang Sayur." Jawabku menyindir."Iya dong Neng Naya! Sekali-kali ya keluar rumah dan ngobrol disini, jangan di rumah terus, gak akan bertelor juga kan?" kekeh Bu Ipah."O iya dong Bu Ipah, kan aku belum bertelor ya, udah disamain sama ayam aja nih, Bu Ipah!" sahutku melirik Bang Bagas di dalam rumah."Neng Naya mah masih langsing aja ya, padahal udah lama nikah, kapan nih mau program hamil? Mumpung masih muda cepetan produksi, yang lain udah punya dua malah." Kata Bu Ipah memanas-manasi."Santuy aja Bu Ipah, kan belum tua-tua amat gak dikejar target kok, nikah juga baru dua tahun, belum lama! Bu Ipah bisa aja kalo ngomong." balasku menyindir lagi.Akhirnya Bu Ipah gak bisa berkutik lagi, dia kalah telak. Aku memang diam dan tidak pernah tertarik beradu argumen, namun sekali-kali melawan itu juga perlu, agar dia tahu kalau tidak semua orang bisa dia gibahkan sesuka hatinya, hingga ora
Aku menganggukkan kepalaku, lalu Bang Bagas menyalakan sepeda motornya, ia sudah mengerti isyarat yang kuberikan.Sejak saat Ibu tercyduk membicarakan aku, saat itu juga Ibu malah sengaja menunjukkan sikap julidnya padaku. Dan saat itu aku jadi over thinking."Bang! Aku kok jadi kepikiran omongan ibu terus, lama-lama aku bisa stress Bang!""Makanya jangan terlalu dipikirkan, sayang!" jawab Bang Bagas.Aku stress, hingga tidak mau makan beberapa hari, kepikiran bagaimana caranya agar aku hamil, ketakutan juga akan Bang Bagaskara mencari wanita lain, kalimat-kalimat julid yang dilontarkan Ibu mertuaku terus terngiang dalam benakku, seolah isi kepalaku adalah Ibu dan Ibu. "Sayang, jangan dipikirkan kata-kata Ibu tadi. Kita jalan-jalan saja yuk, ke luar kota. Besok kan kamu libur, kita ke pondok pesantren tempatku mondok waktu jadi santri. Kita ketemu Pak kyai dan istrinya, mereka baik sekali, adem kalau bicara dengan mereka." Ajak Bang Bagas."Aku takut kamu cari lagi wanita lain, teru
"Iya, Umi! Ini Kanaya istri saya." Sahut Bang Bagas."Pintar kamu pilih istri, cantik dan santun." Puji Umi.Bagaskara tersenyum percaya diri, lalu Umi mengajakku ke dapur, "Ayo! Kita ke dapur buatkan kopi atau teh manis untuk para suami." Kekeh Umi."Iya, Umi!" jawabku."Disini mah jangan canggung ya, Neng! Bagaskara sudah seperti putra kami sendiri. Bagas itu baik, rajin, dia gak pernah mengeluh, apa saja mau dikerjakannya, dia sering bantu Abah dan Umi."Aku mengangguk sambil menuangkan serbuk kopi ke dalam cangkir. Umi terus saja bercerita tentang Bang Bagas. "Umi kebetulan tidak punya putra, punyanya putri semua, ada empat.""Sama Um, saya juga emkat bersaudara semuanya perempuan." Sahutku."Masyaallah,-" jawab Umi."Pernah dulu, tapi maaf loh ya, ini kan cuma obrolan saja, Umi mau menjodohkan Bagas dengan putri Umi yang pertama, karena Bagas belum juga punya istri padahal sudah 29 tahun.""Oya, Umi?!" tanyaku terkejut."Iya, tapi Bagas nolak, 'enggak mau, katanya putri-putri Umi
"Kami belum punya anak, Um! Padahal sudah dua tahun kami menikah, Kanaya sampai kepikiran terus gara-gara banyak tuntutan dari ibu saya, belum lagi teangga yang sukanya menghakimi." Ungkap Bagaskara menoleh padaku."Baru dua tahun, sabar saja. Ponakan Umi malah delapan tahun belum juga hamil, gak tahunya pas genap sepuluh tahun Yang Maha Kuasa memberinya keturunan kembar lagi." Ungkap Umi."Masyaallah, itu semua kekuasaanNya." Jawabku."Maka dari itu, kalian juga banyakin sabar dan doa, nyinyiran tetangga, ibu mertua gak usah terlalu dijadikan beban, karena Dia lebih mengetahui ketentuan setiap hambaNya. Kita hanya manusia, bukan penentu takdir. Terus berjuang dan berusaha ya, Umi yakin setelah kembali dari sini istri kamu hamil, Gas!" yakin Umi memberikan semangat sambil mengusap-usap perutku.Senja pun tiba, dengan warna langit yang kemerahan, kami menunggu azan Magrib dahulu sebelum melanjutkan perjalanan kami untuk kembali ke Bandung, benar kata Bang Bagas, selama berada disini wa
Sejenak kurebahkan diriku di atas ranjang dengan kepala yang kusandarkan di atas beberapa tumpukkan bantal."Terima kasih ya, Bang! Sudah pijitin aku.""Semoga lekas sembuh, istirahat dulu ya, abang mau selesaikan pekerjaan Abang dulu." Titah Bang Bagas membuka laptopnya.Keesokan harinya, seperti biasanya aku bersiap pergi ke kantor, Bang Bagas sudah menunggu di halaman dengan sepeda motor yang menyala.Dalam perjalanan kami menuju ke kantor, aku bertanya pada Bang Bagas, "Bang, pusing sama mualku kok gak ilang-ilang ya?""Obat racikan Abang kamu minum gak kemarin?" tanya suamiku."Sudah lah, aku paksain minum meskipun aku sendiri gak suka.""Loh kenapa?" tanyanya menoleh ke arahku."Secara jamu sachet masuk angin itu kamu campur pake kuning telur mentah dan susu kental manis terus dikasih sedikit air anget, bawaannya pengin muntah aku, Bang!" jawabku sambil muntah tanpa keluar apapun membayangkannya."Gitu ya, padahal itu obat racikan andalan Abang kalau masuk angin." Jawabnya terse
"Coba aja, pasti ibu seneng dapat cucu. Dia sendiri sering tanya kaoan kamu hamil kan, Yang!" sahut Bagaskara yakin. Tak lama kemudian, suamiku menekan tombol dial dengan mode loudspeaker. "Assalamualaikum, Bu." "Waalaikumsallam, Gas! Kenapa?" "Bu, Naya hamil, sekarang sudah dua bulan kata dokter, benar kan apa kata Bagas, Naya pasti hamil Bu." "Oh begitu, adek kamu Lya, juga hamil." "Oh, iya Bu?! Ya sudah kalau begitu Bu, Bagas ada kerjaan dulu." Seketika itu, ekspresi Bang Bagas berubah, awalnya berbinar menjadi sedih dan masam. Keyakinannya akan ibu runtuh seketika. "Bang, jangan sedih gitu dong, kan gak segala sesuatu tentang kita perlu diumumkan sama Ibu. Lihat mukamu yang langsung berubah, aku gak mau! Tenang saja, kita syukuran kecil-kecilan ya, atas anugerah Allah kita akan memiliki anak." Sahutku menghibur Bang Bagas. "Mantunya hamil bukannya bahagia dan kasih selamat atau doa, ini malah kasih tahu balik kalau adekku lagi hamil juga!" ketusnya. "Ya udah lah, Bang!