“Keterlaluan!”
Sayna langsung menggigil ketika suara itu menyentak gendang telinganya. Bukan hanya kaget, dia juga ketakutan. Baru kali ini dia merasa sangat tersudut, tidak mampu membela diri sama sekali, tidak mau.
“Lo nggak tahu apa aja yang udah gue lakuin buat bertahan, Sayna.” Pemuda itu terengah dengan wajah dan mata yang memerah. “Gue bahkan... saking nggak maunya ngasih Dya celah, sering jahat sama dia.” Napasnya terengah. “Demi lo,” lanjutnya. “Cuma lo satu-satunya.”
Gadis itu semakin menundukkan kepala, dia kira menggigil hanya karena ketakutan, tapi ternyata Sayna juga sangat kedinginan, padahal tidak sedang hujan. Dia tentu ingat beberapa waktu yang lalu, saat keluarga Danish panik mencari keberadaan Pramudya usai ditinggal begitu saja demi segera menemui Sayna. Danish tidak hanya asal bicara, dia membuktikan dengan tindakan bahwa kesetiaannya tidak boleh diragukan.
“Maaf, Nish...”
“Maaf?” Danish berjongkok di hadapannya, suara pemuda itu rendah. “Maaf setelah lo nyepong kontolnya Gio dengan kesadaran penuh, ya?”
Air matanya jatuh. Sakit sekali mendengar Danish mengatakan hal itu terang-terangan.
“Nish...”
“Kasih gue alasan.” Danish terduduk kuyu, kakinya terjulur lurus ke depan. “Ngoceh, Sayna. Kayak lo yang biasanya, lo yang selalu punya alasan masuk akal untuk berbuat hal-hal.”
Kali ini tidak ada. Bagaimanapun Sayna menjelaskan, itu tidak pernah terdengar masuk akal.
“Sayna!”
“Gue terpaksa!” sahut gadis itu dengan bibir bergetar hebat. Dadanya nyeri sekali, bukan main rasanya. “Gue terpaksa, Nish. Gue nggak dengan sukarela ngelakuin itu. Keadaannya mendesak, gue terdesak!”
“Demi nilai lo ngelakuin itu? Murahan.” Suara Danish berdesis, matanya menatap Sayna nyalang dan sinis. “Gue kira lo cewek dengan harga diri yang tinggi, yang bisa menjaga diri, ternyata tai. Lo bisa nolak, Sayna, lo selalu punya pilihan, lo bisa pukul cowok itu sampai babak belur. Lo bisa ngulang di semester depan. Lo-selalu-banyak-alasan.”
Sayna terengah menahan tangisnya yang sangat bisa pecah. “Lo nggak tahu, ibu dan ayah gue gimana. Lo nggak akan tahu meskipun gue cerita, lo nggak akan ngerti.”
“Gue tahu.” Danish menggulung lengan bajunya hingga ke siku. “Meringankan beban orangtua?” Bibirnya naik sedikit. “Kenapa nanggung-nanggung, Sayna? Mending jual diri aja, lo dapat uang dan full biayain sendiri kuliahnya. Kenapa bantu orangtua setengah-setengah?”
Sayna merasa wajahnya pegal karena menahan tangis yang tak dia biarkan keluar, tubuhnya dingin bukan main, hidungnya mulai tidak bisa menghirup udara dengan benar, lalu matanya terbuka dan dia sadar.
Itu cuma mimpi.
Danish yang mencaci makinya barusan hanya mimpi.
Untung saja cuma mimpi.
Gadis itu buru-buru bangkit, merasai karena suhu ruangan yang terlalu dingin membuat tubuhnya menggigil. Tugas-tugas masih berserak dan dia malah tidur nyenyak. Entah itu bisa disebut nyenyak atau tidak karena mimpinya barusan membuat dadanya sesak. Sayna mengambil segelas air dan pil kontrasepsi yang harus dia konsumsi setiap hari.
Dia dan Danish memang sudah melakukan hubungan suami istri, jadi inilah yang terjadi, minum pil itu adalah konsekuensi.
Danish: Say...
Danish: Sayang...
Danish: Uh, kangen. Udah tidur, ya?
Danish: Sayna, gue nggak pernah ngerasa begini. Sayang dan suka sama orang sampai di titik nggak tahu gimana caranya berhenti. You desserve a whole the world, Say. Sorry because i just give you my tiny world.
Itu romantis sekali. Danish mengirim pesan pukul 10 malam. Jam di mana biasanya Sayna bisa mengobrol dengannya sebelum istirahat. Kadang mereka hanya melakukan panggilan video, membiarkan kamera menyala hingga sama-sama tertidur tanpa bicara apa-apa.
Sayna bahagia.
Tapi tidak hari ini.
Dihujani kebaikan yang berbanding terbalik dengan mimpinya tadi membuat gadis itu menangis histeris. Dia tahu bahwa mimpi hanya refleksi dari pikirannya sendiri. Sayna tahu bahwa bukan Danish yang mengatakan hal itu padanya, melainkan alam bawah sadarnya sendiri, tapi tetap saja...
“Stupid,” gumam gadis itu sambil menangis dan mengetuk-ngetuk layar ponselnya. “You desserve better, Nish... desserve the universe—the galaxy...” bisiknya disela isak sambil mengingat kembali kebaikan-kebaikan Danish selama ini.
Gadis murahan seperti Sayna tidak pantas untuk pemuda sebaik itu. Kejam sekali semesta karena mempertemukan mereka, membuat Danish-nya yang baik hati terluka.
Hari-hari Sayna usai melakukan hal menjijikkan itu buruk sekali. Dia tidak bicara dengan siapa pun selama berhari-hari, bahkan dengan teman sekelasnya. Hingga mereka yang tidak mendapat informasi apa pun, mengerti dengan sendirinya.
Sesuatu terjadi. Sesuatu yang tidak baik telah terjadi.
Giovanni dilarikan ke rumah sakit dengan badan remuk dan babak belur. Dia tidak bisa berjalan saat dievakuasi, pasti nyeri sekali karena benda di selangkangannya sudah dilukai. Sayna kalap, dia lupa daratan. Sayna lupa bahwa Gio juga punya masa depan. Dan meski kasus mereka diusut, Sayna tidak bisa menjadikan perbuatannya itu sebagai alasan. Dia dan Gio jelas melakukan kesepakatan.
Sayna sedang menunggu langkah yang akan Gio lakukan, menanti kehancuran. Selama beberapa hari hanya kabar simpang siur terdengar, tidak ada yang benar-benar tahu kejadiannya seperti apa. Sayna menutup mulutnya rapat-rapat, membiarkan rumor tersebar. Gio belum melakukan apa-apa, dia masih dalam perawatan. Entah apa yang terjadi nanti saat dia keluar, memikirkannya saja membuat Sayna ingin tenggelam.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana wajah ibu dan ayah saat mendengar kelakuan barbarnya.
Sayna si gadis jahat.
Suka memanfaatkan orang.
Mendekati Gio hanya mencari keuntungan.
Kabar itu sudah tersebar. Tinggal menunggu Gio benar-benar membeberkan dan melaporkan kejadian sebenarnya. Pemuda itu sedang coass, dan dia terpaksa meliburkan diri setelah dipukuli. Banyak hal terbengkalai. Jelas Sayna merugikannya dalam banyak hal.
Dia memang gadis yang jahat.
“Sayna, makan dulu ya.”
Suara Rafika membuyarkan lamunan. Sayna seperti mayat yang berjalan, dia tidak sadar pada hal-hal normal yang biasa dilakukannya. Mandi, bersiap-siap, duduk di kelas, mengerjakan tugas, semua dijalani seperti biasa. Hanya saja pikiran gadis itu entah ke mana. Dia bahkan tidak ingat hari ini sudah menyisir rambutnya atau tidak.
“Jangan dekat-dekat gue, Fika.” Gadis itu buka suara, matanya menatap Rafika kosong, datar. “Gue nggak bisa ngasih keuntungan apa-apa. Jangan dekat-dekat gue mulai sekarang.”
“Sayna...”
Rafika mencebik dan menubruk gadis berponi cantik itu untuk menumpahkan air matanya. Meski tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi pasti ada sesuatu. Sayna benar-benar berubah sejak hari itu, sejak mereka mendesaknya mendapat sperma sebelum jam praktek tiba. Sebab gadis itu cantik, pintar, dia disukai banyak orang, relasinya bagus, Sayna mendapat banyak kemudahan.
Tanpa sadar, orang-orang di sekelilingnya memanfaatkan.
“Sayna, maaf. Maaf kalau selama ini kamu merasa dimanfaatkan. Kami... aku... nggak akan begitu lagi. Aku janji.”
Air matanya ikut jatuh. Sayna tidak menghitung berapa banyak dia menangis dalam sehari setelah kejadian itu. Dia tahu hal-hal akan berubah, akan ada yang berbeda dari biasanya, orang-orang yang dulu berlomba ingin dekat mungkin tidak akan bersikap sama. Mereka akan meninggalkannya.
Namun kehadiran Rafika dan pengakuannya barusan membuat Sayna merasa tersentuh. Setidaknya dia masih punya satu, meski yang lain pergi, karena Sayna yang sekarang tidak sama dengan yang dulu lagi. Tidak ada alasan teman-teman seangkatan dekat dengannya sebab Sayna tidak memberi keuntungan apa-apa.
Rencananya dia ingin berubah jadi lebih aktif dan berbaur setelah kuliah, tapi jadinya malah begini. Sayna akan kembali jadi dirinya yang dulu. Sendiri lebih baik, berdua dengan Tania tapi tidak terlalu dekat, berteman seadanya, melakukan banyak hal sendiri, untuk diri sendiri, menyelamatkan diri. Jadi orang menyenangkan yang diandalkan membuatnya terbeban.
“Ada yang perlu kita bicarakan.”
Suara itu membuat Sayna terkesiap sekaligus tersentak dari posisinya. Giovanni berdiri dengan keadaan yang... kalah—di hadapannya. Wajah pemuda itu masih tampan, tapi aura dan sorot matanya sudah tidak sama. Dia terlihat dingin, tidak bersahabat. Dan ini untuk yang pertama kalinya bagi Sayna.
“Saya masih menunggu permintaan maaf tersurat,” kata Giovanni saat mereka tinggal berdua saja. “Kamu jelas perlu bertanggung jawab.”
“Lo hamil?” tanya Sayna sinis. Meski saat ini dia ketar-ketir, tapi dia sudah tidak punya topeng lagi untuk berbaik-baik atau terlihat merasa bersalah di depan pemuda itu. Sayna tidak merasa menyesal telah membuatnya babak belur, dia justru menyesal jauh sebelum itu, pertemuannya dengan Giovanni paling utama.
“Cih, keluar juga aslinya.” Gio terkekeh sambil bersedekap.
Sayna Lalisa adalah salah satu anak populer di sekolah mereka dulu. Kendati dia dua tahun lebih muda, tapi popularitasnya sampai ke tingkat paling atas. Gio mendengar nama itu sejak lama, simpang siur di telinga. Sayna tidak mudah didekati, tidak ramah, tidak tampak ingin berbaur tapi dia tahu bagaimana menempatkan diri sebagai orang yang tersorot. Gadis yang menarik.
Dan bertemu di bangku kuliah dengan sifat barunya sungguh lucu.
“Ya, gue begini aslinya,” ungkap gadis itu tak gentar. “Terserah lo mau apa, sebarin apa yang udah terjadi di antara kita. Gue nyepong lo dan lo gue pukulin sampai babak belur. Sebarin aja, gue nggak takut.”
Sayna pasti sudah gila karena mengatakan hal yang paling ditakutkan olehnya.
Pemuda itu menyeringai, menutupi harga dirinya yang terluka. “Masih ada cara lain buat menghancurkan gadis sombong sok jual mahal kayak kamu, Sayna. Menyebar rumor tanpa menyeret saya di dalamnya.”
Oh, Gio pasti malu karena dihajar sampai babak belur lalu masuk rumah sakit karena seorang gadis kurus. Sayna ingin sekali tertawa di atas kenyataan itu. Rumor yang beredar adalah, Gio dipukuli preman atau dipukul orang suruhan pacarnya Sayna saat tengah bersama gadis itu. Terang saja itu lebih terdengar masuk akal, lagi pula orang-orang mengenal pacar Sayna sebagai seorang pengusaha muda yang kaya raya.
“Terserah, tapi gue saranin jangan sampai cuti kuliah, ya. Sayang banget kan lo bentar lagi kelar. Anak coass harusnya nggak usah macam-macam”
Gio tahu bahwa menyebar rumor bukan hanya menjatuhkan Sayna, tapi menyeret namanya juga. Mau dia cuci tangan seperti apa pun, tetap ada imbas. Dan Gio tidak mau hal itu mempengaruhi study yang sedang dilakoninya saat ini. Ada orangtua yang susah payah membiayainya, kuliah di kedokteran sama sekali tidak murah. Dan dirinya bukan berasal dari keluarga kaya.
Maka mungkin, beginilah akhirnya. Kisah cinta bertepuk sebelah tangannya, berakhir begini saja.
“Maybe ini kedengaran konyol, tapi gue bersyukur seenggaknya pernah ngerasain barang gue diisap sama orang yang gue suka. Good bye, Sayna.”
Seringai di wajah itu menakutkan. Namun bukan itu yang membuat Sayna ketakutan, melainkan ingatan akan apa yang sudah pernah mereka lakukan.
****
Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso? Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!Raimu raiku do whatever you wanna doBuenci pol body shamming jan garai cryingGendat gendut kura kuru lambemu lambemuI love my body and... you should tooSiji loro telu Hi, all i love you!Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.
Hamam telah mengubah subjek dari “Berkat Doa Ibu” menjadi “HBD RAFID” Rafid: Selamat ulang tahun buat gue...Arvin: Ikan hiu makan tomat, hahaha tua amat!Hamam: AJG!Herdian: Heh, dateng-dateng langsung ngomong kasar lo. Jempol tuh dididik dulu ngapa?Hamam: AJG (Astagfirullah Jangan Gitu)Danish: Baru tahu gue *laughHamam: Ngumpul kuy, biar bos gue yang traktir.Danish: TAI!Hamam: TAI (Tak apa, Aku Ikhlas)Herdian: Ngarang banget lo, setan *laughArvin: Kuy, kapan kumpul? Pada ke Bandung aja, gue siapin villa. Kalian berangkat bareng Danish.Rafid: Gue sih lagi pengen dinner dulu sama cewek gue minggu ini, tapi masalahnya gue nggak ada duit. Sue banget ul
Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?“Kakak Sayna!”Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambu
“Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”“Iya.”Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik b
Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...Kemesraan ini ingin kukenang selalu...Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai c
Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan it
“Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”“Pala gue gatel.”“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”“Dia minta ketemu sama lo sebel
“Gue beli ini di jalan tadi.” Danish menyodorkan sekotak rujak Thailand kekinian yang isinya hanya terdiri dari jambu biji non biji—maksudnya apa sih?—serta bubuk cabai dan bumbu manis asin seperti larutan oralit pedas.“Kayaknya seger, ya? Bandung panas banget hari ini, dan gue pusing.”Sayna menerimanya dengan senang hati kendati yang dia pesan tadi hanya sebungkus roti dan selai srikaya, perutnya protes minta diisi, Sayna juga kurang tidur karena harus latihan mati-matian untuk ujian tengah semesternya.Kehidupan di kampus tidak bisa dibilang normal-normal saja. Sayna harus berusaha dua kali lebih keras dibanding sebelumnya, jauh berbeda saat di mana ada Gio yang membantunya. Terlebih kabar simpang siur terdengar di seantero fakultas tiga lantai itu. Kabar dengan cepat menyebar, Gio nyaris tidak melakukan apa-apa, Sayna tahu, dia sibuk coass.Namun teman-temannya, para pendukungnya, orang yang simpati padanya,