Bella menoleh, seketika dahinya mengernyit samar saat tahu bahwa yang memanggilnya adalah Pak Wiyo.
"Ada apa, Pak?" tanya Bella.
"Ajak teman kamu ke ruangan saya!" Setelah mengatakan itu, Pak Wiyo berjalan meninggalkan kerumunan.
Meskipun bingung, Bella tetap memberitahu para sahabatnya. Karena tidak mau membuang waktu, akhirnya mereka bergegas menuju ruangan Pak Wiyo. Di setiap langkah, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Pikiran mereka berkelana kemana-mana, apalagi setelah melihat kejadian barusan. Keyakinan mereka bahwa semua ini bukan bunuh diri semakin besar. Dua hari berturut-turut, kematian yang begitu mendadak membuatnya terasa janggal.
Tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan ruangan Pak Wiyo.
"Permisi, Pak," ujar Bella mengetuk pintu sebanyak dua kali.
"Masuk!" titah Pak Wiyo dari dalam ruangan.
Mereka memasuki ruangan dan melihat Pak Wiyo yang berdiri dengan wajah seriusnya.
"Saya izinkan kalian menyelidiki hal ini, tetapi harus berhati-hati. Jika ada kesulitan atau bahaya, segera beri tau saya," ucap Pak Wiyo menetap mereka satu-persatu.
Mereka saling pandang dengan mengukir senyum tipis. Kemudian menatap Pak Wiyo dan dengan kompak mengangguk mantap. Tanpa izin sekalipun, mereka memang akan tetap menyelidiki hal ini. Namun setalah mendengar kalimat itu, mereka jadi bisa melangkah tanpa takut. Bagaimana pun caranya, sang pelaku harus segera ditangkap. Karena jika tidak, akan semakin banyak korban yang berjatuhan.
"Baik, Pak. Kalau begitu kami permisi," pamit Bella mencium tangan Pak Wiyo dan berjalan keluar ruangan diikuti para sahabatnya.
"Guys, gue lemes habis lihat darah. Ke taman belakang yuk!" ajak Luna memeluk lengan Maya dengan wajah pucatnya.
Sesampainya di taman belakang, mereka langsung mendudukkan diri di bawah pohon mangga. Tidak ada yang membuka suara sama sekali, mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri. Luna dan Maya yang saling meminjam bahu dengan memejamkan mata, berusaha menghilangkan rasa mual serta bayang-bayang genangan darah pada mayat Bima tadi.
Galih sibuk membaca buku sejarah dan Davin memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, tidak mampu berfikir jernih tentang kejadian hari ini karena memang terjadi begitu tiba-tiba. Sedangkan Bella, dia bersandar di batang pohon mangga dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. Memikirkan kenapa Bima harus melakukan hal semengerikan ini dan kenapa orang-orang yang pernah dekat dengannya meninggal secara tragis.
Pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu, di mana Bima menyatakan cinta dengan begitu romantis. Waktu itu, sekitar pukul 7 malam, dia mendapat pesan dari Bima bahwa sedang kehabisan bensin. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menjalankan mobilnya menuju alamat yang sudah diberi oleh Bima. Namun siapa sangka, alamat itu membawanya ke sebuah taman yang sudah dihias sedemikian rupa. Hingga akhirnya, Bima keluar dengan pakaian yang begitu rapi dan membawa sebuah buket coklat.
Jika mengingat semua itu, Bella jadi menyesali keputusannya yang tidak menerima cinta Bima. Semua ini salahnya, Alvin meninggal karenanya, begitu pula dengan Bima. Dua orang laki-laki yang begitu baik, harus meninggal dalam keadaan yang begitu tragis.
"Bel, gimana kalau kita ke rumah sakit?" tanya Davin tiba-tiba, membuat Bella tersadar dari lamunannya.
"Kelasnya gimana?" tanya Bella balik. Meskipun pikiran dan hatinya sedang kacau, tetapi dia tidak mau meninggalkan kelas begitu saja. Dia tidak ingin nilainya turun sampai mengecewakan kedua orang tuanya.
"Bolos aja, gue masih lemes," sahut Luna tersenyum lebar.
Bella dan Davin kompak memutar bola matanya malas, sudah sangat hafal dengan tabiat Luna yang sangat malas mengikuti pelajaran.
"Lemes tetapi bisa senyum selebar itu, ketahuan banget kalau bohong," celetuk Galih tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya.
"Gue lemes beneran kok, aduh." Luna melemaskan badannya hingga tertidur di pangkuan Maya.
"Kami tau, lo pasti melakukan berbagai alasan kalau udah menyangkut buku. Jadi percuma aja meskipun lo mau pingsan," cetus Maya mendorong badan Luna hingga tertidur di rerumputan, lalu dia menggeser duduknya mendekati Bella.
"Sudah, Guys. Lebih baik kita ke kelas dulu, nanti setelah selesai langsung ke rumah Bima. Karena selama kita di sini, pasti Bima sudah selesai diautopsi," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu.
"Eh, gue jadi kepikiran sesuatu deh. Selama dua hari, dua cowok meninggal dalam keadaan yang sangat mengejutkan. Kalau Alvin, memang kurang jelas penyebabnya karena kita enggak tahu kejadian aslinya. Sedangkan Bima, dia loncat dari rooftop. Menurut kalian, kenapa dia melakukan ini? Kenapa juga harus di kampus?" tanya Davin serius.
Mendengar pertanyaan Davin, Galih menutup bukunya dan menaruhnya ke dalam tas. "Entah kenapa, gue mikirnya dia bukan dia. Maksudnya, kalau dia benar-benar niat bunuh diri, kenapa enggak di rumah aja? Kenapa harus di kampus yang jelas-jelas banyak orang? Selama ini, kebanyakan kasus bunuh diri itu ditemukan di tempat-tempat sepi. Bahkan mayatnya sudah berhari-hari, sampai ada yang busuk," jelas Galih panjang lebar.
"Tumben dia ngomong panjang, biasanya cuma dua kata," gumam Luna yang masih bisa didengar yang lainnya. Namun mereka memilih tidak menanggapi, karena lebih penting mencerna kalimat yang lontarkan Galih.
"Bener juga ya, apalagi kejadiannya masih sangat pagi. Kalau pun memang ingin bunuh diri di kampus, seharusnya pas sore atau malam yang keadaannya sudah sepi. Gue jadi enggak bisa bayangin gimana perasaan keluarganya. Anak mereka pamit mau berangkat kuliah dan enggak berapa lama, ada mobil ambulans datang yang di dalamnya ada anak mereka," sahut Bella menunduk, menatap rumput dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Tersadar akan sesuatu, Maya menegakkan badannya dan menepuk tangannya keras. Membuat para sahabatnya langsung menoleh. "Gue baru inget, bajunya Bima itu yang kemarin."
"Jangan ngaco lo! Meskipun orang tua Bima cuma pemilik restoran kecil, tetapi mereka terbilang mampu untuk beli baju. Menurut gue, mereka itu sebenarnya kaya, cuma enggak mau terlalu menonjol aja," sanggah Luna menepuk lengan Maya lumayan keras.
"Gue enggak ngaco, ini serius. Baju itu ... gue inget banget kalau kemarin dia pakai baju itu. Ini bukan soal mampu enggaknya atau kaya miskinnya, tetapi ada yang aneh. Coba kalian pikir, kenapa Bima enggak ganti baju saat mau kuliah? Padahal selama ini dia terkenal dengan kebersihannya 'kan?" Maya mengubah posisi duduknya menjadi bersila dan menatap sahabatnya serius. Meskipun sudah terlumur darah, tetapi dia masih bisa mengenali baju yang dipakai Bima.
Mereka larut dalam pikirannya masing-masing, berusaha mengingat baju yang dipakai Bima. Tadi, mereka memang tidak terlalu memperhatikan, karena terlalu shock dengan kejadian di depan mata. Apalagi kondisi Bima yang begitu mengenaskan, aroma dari genangan darah begitu menyengat dan mata yang terbuka.
"Apa Bima kena gangguan jiwa?" tanya Luna seraya menggigit kuku panjangnya.
"Untuk masalah mental gue enggak bisa ngomong apa-apa. Apalagi orang yang bersangkutan sudah meninggal. Namun, yang selama ini gue lihat sih sepertinya Bima baik-baik aja, enggak ada rumor atau perilaku dia yang aneh," sahut Bella memejamkan matanya lelah.Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada para sahabatnya. Dia takut jika suatu saat salah satu dari mereka atau bahkan semuanya ikut menjadi korban. Entah benar atau tidak, dia merasa mereka yang menjadi korban adalah orang yang mencintainya.Pertama Alvin, sosok laki-laki yang beberapa hari terakhir sedang dekat dengannya. Selalu datang membawakan dia makanan saat jam istirahat tiba. Mengantarkan pulang dan mengajaknya jalan-jalan untuk melepas penat.Kedua Bima, laki-laki yang beberapa hari lalu mengatakan cintanya tetapi dia tolak. Berkata bahwa sudah mencintainya sejak hari pertama ospek.Jika memang pemikirannya benar, maka akan banyak laki
Bella dan para sahabatnya terdiam kaku di depan pintu. Dari tempatnya berdiri, mereka dapat mendengar tangisan histeris dari mama Bima. Hati mereka ikut sesak, terasa begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata mereka mengalir deras. "I - ni pasti mim - pi terburuk bagi mereka. Gue enggak kuat dengernya," celetuk Luna sesenggukan seraya menggenggam tangan Bella erat. "Pasti, secara Bima anak semata wayang, cowok lagi. Gue kasihan sama keluarganya," sahut Maya dengan kepala mendongak, berusaha menghentikan air mata yang ingin terus keluar. Davin mengusap bahu Bella pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang menangis dalam diam dengan menggigit bibir bawahnya. "Ayo masuk!" Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, mereka mulai melangkah memasuki rumah Bima. Di sana, di tengah ruang tamu, tampak sebuah peti yang di kelilingi orang-orang. Mereka membaca ayat suci Al-Qur'an secar
"Lo mau ngomong apa?" tanya Galih yang duduk di sofa kamar Bella.Setelah Bella mengatakan ada yang ingin dibicarakan, mereka semua memutuskan untuk mencari tempat paling aman yang sekiranya tidak terdengar orang lain. Dan ya, pilihan terbaik adalah rumah Bella. Selain tidak ada tempat lagi, orang tua Bella juga sibuk bekerja yang berarti rumahnya sepi dan hanya ada beberapa pekerja saja."Duduk di bawah aja yuk! Biar lebih enak ngomongnya, masa iya kalian pisah-pisah gitu," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Maya yang berbaring di ranjang, Luna di depan meja rias, Galih duduk bersandar di sofa dan Davin berdiri di pintu balkon."Iya juga sih," sahut Luna berjalan menuju Bella yang sudah duduk di karpet. "Gue lagi ngaca dan ternyata mata gue sembab banget. Pantas aja kayak enggak bisa melek."Davin ikut mendudukkan diri di samping kanan Bella. "Gue pusing setelah mendengar penjelasan orang tuanya Bima.""Iya, kayak gimana gitu. Kalau emang
"Enggak mungkin lah," sanggah Luna cepat. "Apa pun bisa terjadi, siapa tau yang dibilang Maya benar. Secara dia masih pakai baju yang kemarin, kejadiannya pagi dan enggak ada yang ngelihat dia pas lewat koridor. Seharusnya, kalau emang ada yang lihat 'kan mereka udah rame," papar Bella yang membuat mereka terdiam. Di dalam hati mereka menyetujui apa yang diucapkan Bella. Semuanya masuk akal, tetapi mereka masih merasa sedikit ragu. Karena angin malam begitu dingin, apalagi berada di tempat terbuka seperti rooftop. Apa Bima sekuat itu? Galih menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Daripada nebak-nebak gini, lebih baik besok kita ke rooftop. Mungkin di sana ada petunjuk." "Petunjuk apa?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu membuat kelima remaja itu tersentak kaget. "Mama? Mama, ngapain ke kamar aku?" tanya Bella beranjak menghampiri Mamanya. Tanpa memedulikan pertanyaan putrinya, Mama Dea berjalan menghampiri keempat
"Yah, kita boleh berunding dulu enggak di kamar Bella?" tanya Davin menatap menatap Ayah penuh harap. Ayah Shafi menatap orang tua Bella dengan alis terangkat, meminta persetujuan sebagai pemilik rumah. "Boleh, lima belas menit," ujar Papa Dion mengizinkan. "Terima kasih, Pa. Kita ke kamar dulu," pamit Bella yang langsung bangkit dari duduknya dengan senyum lebar. Setelah itu, dia berlari kecil menuju kamarnya diikuti para sahabatnya. Sesampainya di kamar, Maya langsung mengunci pintu karena takut hal seperti tadi kembali terulang. Di mana saat mereka membicarakan hal penting dipergoki oleh orang tua Bella. "Gimana nih, Guys? Gue enggak mau pindah. Sekalipun enggak ada masalah ini, gue juga enggak akan pindah. Gue udah terlalu nyaman, apalagi ada kalian." Luna menatap sahabatnya dengan wajah yang menahan tangis. Di dalam benaknya, dia sama sekali tidak ada pikiran untuk pindah kampus. Bukan masalah uang yang sudah dikeluarkan, tetapi s
Bella terenyuh mendengar ucapan Mamanya. Dia semakin merasa bersalah karena sudah melakukan dua kesalahan. Yang pertama, tidak menuruti permintaan kedua orang tuanya dan yang kedua, membuat mereka khawatir. Argh! Kenapa dia harus terjebak di situasi yang membuat hatinya dilema? "Tante, enggak usah khawatir, Davin sama yang lain pasti jagain Bella," ucap Davin meyakinkan. Ayah Shafi menatap anaknya dengan sorot mata yang menajam. "Harus! Kalian berdua, Davin dan Galih wajib jagain yang cewek. Anggap aja kalian lagi menjaga bunda." Kedua laki-laki itu mengangguk tegas. Ini sudah menjadi tugas mereka, apalagi keadaan sekarang sedang tidak baik. Tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Entah mereka semua ikut menjadi korban atau hanya salah satu. Namun yang pasti, untuk saat ini mereka harus saling menjaga dari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Ma, maafin Bella." Bella
Galih menggeleng pelan. "Gue pusing," jawabnya singkat. Mau tidak mau Davin mengambil kertas yang disodorkan Galih. Dia bisa apa, jika para sahabatnya saja tidak ada yang mau. Jika bukan karena penasaran dengan isinya, dia tidak akan mau. Karena dia sendiri juga merasa cukup pusing. "Hai-hai, aku harap kalian masih sehat sampai permainanku selesai," ucap Davin membaca kalimat yang menjadi pembuka. "Halo, Orang Gila," balas Luna yang balik menyapa dengan wajah malasnya. Davin hanya bisa mengusap dadanya sabar dengan tingkah sahabatnya itu. Ingin sekali dia memukul kepala Luna yang tidak pernah benar. Dia sudah memasang wajah serius dan ditambah dengan suasana yang menegang, eh dengan bodohnya Luna malah membalas sapaan si pelaku. "DIa memang pandai menyembuhkan rasa sakit yang dirasakan Orang lain, tetapi tidak dengan aku. Tidak terlalu terkenal bukan berarti anak baik. Aku membencinya, karena tidak ada kata teman di antara kami," lanjut Davin
Mereka yang mendengar pertanyaan Bella pun saling pandang dan menggeleng pelan dengan kompak. "Kurang tahu juga, Bel. Kita aja enggak tahu motif dia melakukan ini apa, jadi ya kita cuma bisa berdo'a aja semoga kita bukan targetnya," jawab Davin apa adanya. Di dalam hati Bella mengiyakan perkataan Davin yang benar adanya. Mereka belum menemukan petunjuk apa pun tentang si pelaku. Karena surat sebelumnya hanya berisi kata-kata tentang Alvin dan Bima. Mereka di sini hanya bisa mengikuti alur dan tidak bisa memilih. Hanya ada dua kemungkinan, target atau bukan. "Gal, lo kenapa diam aja?" tanya Luna menatap Galih dengan mata yang memerah karena menahan kantuk. "Enggak papa," jawab Galih singkat yang membuat Luna mendengkus kesal. "Kayak cewek aja lo. Ditanya kenapa jawabnya enggak papa, padahal mah ada apa-apa," ketus Luna. Galih hanya diam dengan mata menatap Luna tajam.