Sabtu sore akhirnya proposal ini selesai, ku print satu rangkap dan kuserahkan pada Bang Joseph dan tim pelaksana untuk dikoreksi, ternyata mereka setuju dengan isinya, hanya ada beberapa hal yang harus direvisi. Jam 4 sore semua sudah selesai, sudah diprint dan dijilid. Semua proposal kumasukkan ke tas ransel dan cau, mengunjungi pak kumis baplang. Aku tidak sabaran ketemu dengannya. Kuajak Widya untuk menemani.
"Cepetan Wid, nanti keburu sore," kataku mendesak Widya yang sedang memakai sepatu."Udah, pakai sandal aja, lama banget. Cuma dekat ini," lanjutku gak sabaran, duh, Widya tibang deket sini aja pakek sepatu kets, bener-bener ni anak."Sabar dong Lid, sendalku gak ada di sini. Sebagai mahasiswa, lebih berkarisma pakai sepatu," katanya sambil mengikat tali sepatu."Lagian buru-buru amat kamu tu, kayaknya kangen banget sama Pak Sumarlin," katanya lagi asal bicara."Iya, kangen aku ama kumisnya," jawabku yang juga asal."Ha?? Lidia... beneran kamu? Udah error nampaknya otakmu seharian di depan komputer."Widya dahinya sampai mengernyit gitu, hi..hi... serius amat ni anak nanggapinya"Makanya cepat!" Aku berlalu meninggalkannya."Lidia... tunggu, oi!" teriak Widya sambil berlari menyusulku.Mencari rumah pak Sumarlin ternyata gak susah, ketemu jalan utama tinggal bertanya pada ibu-ibu yang tengah berkumpul di sebuah warung, langsung ditunjukkan. Bahkan salah seorang dari mereka bersedia mengantar kami, sebagai pegawai kecamatan sepertinya Pak Sumarlin cukup terkenal di desa ini. Kami berterima kasih sekali pada ibu yang mengantarkan itu, Widya sampai memegang kedua tangan ibu itu mengucapkan terima kasihnya, keramahtamahan bentuk budaya nusantara yang masih lestari di sini, salut dan bangga rasanya.Rumah pak Sumarlin tidak begitu jauh dari posko cowok, sekitar 300 m. Masuk ke lorong jalan tanah paling ujung. Rumahnya berbentuk rumah panggung yang cukup kokoh. Tiang-tiang penyangga rumah terbuat dari beton cor-coran. Bagian depan langsung disambut anak tangga yang juga dari cor-coran yang dilapisi keramik. Setelah menaiki tangga terdapat teras rumah dipagar keliling yang terbuat dari kayu yang diukir, dari teras suasana terasa sejuk karena beratap genteng yang terbuat dari tanah liat, tanpa plafon dan lantainya terbuat dari kayu yang disugu halus. Lantai itu nampak mengkilat dan licin, sepertinya rajin dibersihkan dan dipel."Assalamualaikum...," ucapku dengan suara dikeraskan sedikit."Walaikumsalam...."Seorang wanita paruh baya membukakan pintu untuk kami."Siapa dek?" tanya suara di belakangnya"Pak ...," sapaku secepatnya sambil mengangguk."Ooo, adek-adek KKN? Ayo masuk-masuk!" Pak Sumarlin melambaikan tangan menyuruh kami masuk.Setelah masuk, kami duduk di sofa jati panjang yang empuk. Di dinding rumah tampak hiasan dinding bergambar ka'bah yang cukup besar. Di sisi dinding lainnya banyak foto-foto Pak Sumarlin dan istrinya memakai pakaian ihram, atau pakaian muslim di kota Mekkah atau Madinah. Sepertinya mereka sudah berhaji ke tanah suci."Oh ya, ini dengan adek siapa ya?" tanya Pak Sumarlin membuka pembicaraan."Saya Lidia pak, ini teman saya Widya," jawabku memperkenalkan diri"Wah kalian seperti anak kembar, Widya, Lidya. Apa kembar beneran?" katanya sambil menunjuk kami satu-satu."Oh, nggak pak__""Kami kembar, tapi tak sama pak, lain emak lain bapak." Widya memotong perkataanku dengan wajah cengengesan."Ha ... ha ... kalian ni, macam di sinetron ucok baba, sama siapa itu? Anjasmara dak?""Bukan Pak, Primus, Primus Yustisio bukan Anjasmara," kata Widya menanggapi gurauan Pak kumis baplang itu"Ah ... iya ... iya. Primus yo ...."Bersamaan itu, istri Pak Sumarlin datang membawa nampan berisi makanan ringan, dua gelas air mineral kemasan dan secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul, aromanya semerbak menggoda selera.Dua gelas air mineral itu dihidangkan ke hadapan kami, secangkir kopi panas untuk suaminya.Eladalah ... kami sebagai tamu cuma dikasih air putih doang, minimal teh manis panas kek, itu tuan rumah malah nyeruput kopi, terus terang aku penggemar kopi instan, biasanya sih untuk menemani belajar malam, karena biasanya begadang biar gak ngantuk."Ayo, dimakan pisang gorengnya, ada bakwan juga," kata Pak Sumarlin menawarkan.Kami mengangguk, tapi mataku masih menatap kopi di hadapannya."Hmmm ...." Pak Sumarlin berdehem, membuatku tersadar dan memalingkan muka menatapnya"Di kampung itu kalian harus hati-hati, apabila berkunjung ke rumah orang, minta air mineral, atau air putih biasa. Kalau mau teh, yang kemasan saja seperti teh botol sosro gitu.""Kenapa Pak?" tanyaku penasaran."Kita tidak tahu apa yang ditaruh orang kalau minumannya berwarna, bisa jadi minuman itu mengandung andun," jawabnya."Ha?apa Pak? Andun?" tanya Widya"Andun itu sejenis racun hidup, biasanya orang yang tinggal di deretan bukit barisan biasa memelihara ini, ya seperti jin peliharaan yang turun temurun diwariskan, di daerah asal saya juga begitu," terang Pak Sumarlin"Memangnya Pak Sumarlin asalnya dari mana pak?" tanyaku makin penasaran."Gak usah manggil saya Pak Sumarlin, gak enak dengarnya. Panggil Pakdo Marlin bae. Pakdo, artinya bapak mudo, ya seperti paman atau om gitulah," ujarnya"Oo iya, Pakdo Marlin ... itu pertanyaan saya belum dijawab," kataku sambil menengadahkan tangan dan mengayunnya."Pakdo asalnya dari Kabupaten ini juga cuma lain kecamatan, Pakdo dari lembah Masurai, makdo kau ni yang asli sini," jawab Pakdo Marlin."Itu, Pakdo, orang melihara kekgitu untuk apa?" tanya Widya."Awalnya mungkin untuk kesaktian, atau untuk pesugihan atau untuk keamanan," kata Pakdo Marlin"Ooo, mungkin kayak saudara sepupu mbah saya di jawa, kata mbah saya dia punya ingon-ingon, kalau ada maling di rumahnya tu maling cuma muter-muter doang. Pernah pisangnya ditebang orang mau di paling, ee yang maling itu malah ngantarkan tu pisang tempat sepupu mbah saya," cerita Widya panjang lebar, yah... aku sedikit nangkap maksud ceritanya, walau agak njelimet."Nah, mungkin seperti itu. Tapi yang namanya perjanjian sama jin, mereka itu akan meminta tumbal, makanya andunpun tidak bisa dikendalikan. Akhirnya mereka menyerang siapa saja." Pakdo Marlin melanjutkan ceritanya."Nih, kopi," katanya sambil mengangkat kopi panas itu."Ciri-ciri diminuman ini ada andunnya, jika kopi ini panas kalian sentuh bagian bawahnya ... alasnya, jika alasnya ternyata dingin, bahkan sedingin es, berarti minuman itu ada andunnya," terangnya sambil menyentuh alas cangkir kopi panas itu."Ya, amannya kalau ke rumah orang minta air putih saja kalau perlu yang kemasan. Nanti kalau disediain kopi panas atau teh kalian sentuh-sentuh bawahnya tersinggung pulak yang punya rumah," tambah Pakdo Marlin membuatku makin penasaran."Biasanya orang-orang yang memelihara andun itu, jika di depan rumahnya ada pohon, maka pohon itu gersang, daunnya meranggas seperti dimakan ulat atau hama. Ya tapi tidak semua sih, tapi itu tanda-tandanya," lanjutnyakring ... kring ... kringTiba-tiba HP di sakuku berbunyi dan bergetar"Sebentar ya Pakdo aku angkat telpon dulu," kataku, kuangkat disitulah, terlihat di layar nomor tidak dikenal."Hallo ....""Lidia, kamu dimana?" kata suara di seberang sana sepertinya suara Bang Joseph"Masih di rumah Pak Sumarlin,"jawabku"Dosen pembimbing kita datang nih, Pak Ahmad meminta proposal kegiatan kita, di mana kamu tarok?""Wah, saya bawa semua Bang?""Ya sudah cepetan ke sini, tahu sendiri kan pak Ahmad itu killer nya kayak apa?""Oya Bang... aku segera kesana," kataku langsung kututup telponnya."Pakdo, maaf nampaknya dosen kami nyariin nih.""Emmm, ini proposal kegiatan kami, kalau ada yang perlu direvisi atau ditanyakan silahkan telpon atau SMS kami, itu nomor telponnya sudah saya cantumkan.""Oke, nanti hari senin ke kantor kami lagi ya? Mudah-mudahan Pak Camat ada," katanya"Oya, Pakdo, sebenarnya kan, saya penasaran pengen dengar cerita tentang rumah posko kami," kataku sambil berdiri, bersiap-siap pamit"Aiii, kapan-kapan be, waktu masih ada. Sekarang cepatlah kamu balek ke posko, nanti dosen kamu marah pulak, kan?"Pakdo Marlin mengantar kami keteras, di sana Widya sudah duduk sambil memasang sepatunya."Janji yo Pakdo, cerita ya...," tagihku"Gampang la tu, sering be kamu main-main ke sini," jawabnya.Kami berpamitan menyalami kedua suami istri itu, duh ... seret ni tenggorokan, ya ampun air mineral yang disajikan tadi belum sempat aku minum.Hari minggu pertama di desa ini ... welcome sunday!Rencananya hari ini aku dan teman-teman mau mengobok-obok pasar kalangan. Tapi rencana itu masih jam sepuluh nanti, sekarang masih jam tujuh pagi, waktunya nyuci baju. Eh ... tapi tunggu dulu, aku belum punya ember besar nih, ember kecil seupil gini mana bisa membawa baju kotorku yang sudah empat hari belum di-eksekusi. Ah, mending main ke kontrakan mbak Zarimah, mumpung masih pagi.Sebelum ke rumah mbak Zarimah kusempatkan ke posko cowok, di sana Rani dan Gina sedang memasak, Ilham juga nampaknya sedang mencuci ikan dan wow ... nampak Markus sedang menggiling cabe pakai gilingan batu."Kenapa gak diblender saja Kus?" tanyaku"Ah, dak enak cabe blender-nya. Enak digiling tangan aja nya," jawabnya Sesekali anak itu menyeka keringat memakai bahunya. Hmm, dasar orang medan, kalau ngomong gak ketinggalan nya ... nya ...."Emang gak panas tanganmu?" tanyaku lagi"Ya panas lah ... ae, komentar aja nya kau ni, bantuin kek?" ujarnya masih
Hari senin ini giliran aku piket. Rasanya belum hilang capekku setelah kemarin menyusuri pasar kalangan, membeli semua sembako. Ada minyak, beras, tepung, gula, kopi yah... segala macam barang. Walau rame-rame aku kebagian membawa sekerdus mie instan. Memang tidak terlalu berat, tapi kalau berjalan 1 km? ya pegel juga.Aku piket bareng mbak Zarima, Nurulia, Rasyid dan Ilham. Mbak Zarima walau sudah menikah ternyata tidak pandai memasak.Kalau di kampus, dia jarang masak, seringnya beli lauk matang atau nasi bungkus. "Mbak cuma berdua dengan dedek Zidan. Bang Ikhram kan jarang bersama kami kalau nggak weekend," katanya memulai cerita."Bahkan waktu pertama nikah dulu, aku di suruh goreng ayam tepung sama mertua, luarnya sudah gosong, dalamnya masih mentah. Serumah ada ayah mertua, kakak ipar dan adik Ipar mau muntah makan masakan aku," kata mbak Zarima, sambil mengiris-iris bawang merah."Nggak kebayang itu ayam dua kilo tekenyah* untuk makan kucing sama anjing tetangga," sambungnya s
🏚🏚🏚🏚🏚"Nih, untuk kamu," kata lelaki jangkung di depanku sambil mengulurkan kantong plastik berwarna hitam"Apa ini,Bang?" tanyaku penasaran. Sebenarnya bukan penasaran dengan isi kantong plastik itu, tetapi lebih tepatnya penasaran dengan motif dibalik pemberian ini "Ambil saja, oleh-oleh dari kota," katanya sambil meraih tanganku dan menaruh paksa kantong plastik itu."Hei, cuma Lidia saja yang dikasih?" Tiba-tiba Widya muncul dan menyambar kantong plastik di tanganku dan membukanya."Wah, buah pir, nih. Kok cuma empat buah. Bener-bener ini cuma buat Lidia doang?" lanjutnya sambil mengerucutkan bibir."Ah, aku memberi Lidia cuma sebagai tanda terima kasih karena sudah membuat proposal kegiatan dengan sangat baik, kok.""Hmm, beneran cuma itu? Bukan karena Bang Joseph suka sama Lidia kan?" kata Widya lagi masih dengan ekspresi cemberut"Ngarang kamu," kata Joseph sambil berlalu, tapi kurasa ada gurat aneh pada ekspresinya."Apa-apaan sih, Wid? Pakek ngomong gitu sama Bang Jos
"Aida ... Aida, bangun!" "Aida ... Aida!" Teriakan itu benar-benar mengejutkanku. Ini masih jam empat pagi. Aku segera membangunkan teman-temanku, sepertinya teriakan itu dari rumah nyai Rudiyah.Tanpa menunggu lama aku sudah mengetuk, tepatnya menggedor rumah nyai Rudiah. Dor ... dor ... dor ... Suara gedoran itu menggema di pagi buta. "Nyai ... nyai Rudiah!" panggilku berulang-ulang. Pintu dibuka oleh Rofita, kulihat anak itu terisak-isak sambil menghapus air matanya. Tanpa bertanya aku langsung masuk ke kamar Aida. Di sana tergeletak Aida, tatapan matanya kosong. Nyai Rudiah berada di sampingnya bersama Atikah, mereka sedang menangisi Aida. "Aida kenapa nyai?" Aku bertanya dengan suara keras, agar orang tua itu menyadari kehadiranku. Tapi dia tidak menjawab, tangisnya malah makin kencang. Tak kuhiraukan orang tua itu lagi, segera kuperiksa keadaan Aida. Astagfirullah, badannya panas banget. Kuperiksa napasnya, hmm napasnya sepertinya tidak teratur. Kuperiksa perutnya se
"Pulang dulu, yuk, salat subuh dulu, mandi, sarapan baru nanti ke sini lagi," lanjutnya setelah beberapa detik tidak ada jawaban dariku. Aku mengangguk pelan, kemudian menghampiri nyai Rudiah untuk berpamitan. "Tolong tengok Rofita dan Atikah yo, Lidia," katanya memberi pesan padaku "Iyo, Nyai tidak usah kwatir." Udara dingin menusuk tulang, tadi karena terburu-buru aku tidak sempat memakai jaket, hanya kaos oblong dan celana training panjang yang kupakai. Bang Joseph melajukan motor dengan kecepatan sedang, ingin kupeluk dirinya dari belakang untuk mengusir dingin, sambil menceritakan rasa penasaranku dengan Nyai Rudiah dan Aida, tapi kami tidak seakrab itu, rasanya sungkan melakukan hal itu. Kulipat tangan kedepan untuk mengurangi rasa dingin, kutepis pikiran untuk memeluknya, Lidia ... sudah gila kau! Sampai di posko cowok Bang Joseph menghentikan motornya, di tidak bisa mengantar langsung ke posko cewek, karena harus melalui pematang sawah, hanya orang yang ahli dan terbias
Aku berlari cepat, napasku ngos-ngosan. Aku panik, aku tahu ada yang mengejarku di belakang, tapi siapa yang mengejar tidak tahu wujusnya. Sekarang aku berada di tengah persawahan, tidak ada tempat bersembunyi, karena tanaman padi hanya setinggi lututku. Aku terus berlari di pematang sawah, kutolehkan kepala kebelakang. Di belakang sana, tanaman padi bergoyang dengan sangat kuat, mustahil angin yang menggoyangnya, karena di sekitarnya tidak ikut bergoyang, pasti ada sesuatu yang menggerakkannya. Tanpa pikir panjang aku terus berlari... berlari... sampai kutemukan tempat sembunyi, sebuah gubuk tua berdiding anyaman bambu.Aku masuk ke dalam, kuintip keadaan di luar melalui lobang yang ada di dinding. Seekor harimau putih dengan santai berjalan kearahku, napas beratnya mengeluarkan suara geraman yang membuat tengkukku merinding, aku ketakutan luar biasa. Setelah sampai di gubuk itu, harimau itu berbalik arah, namun sebelum melangkah, kepalanya menoleh ke arahku. Harimau itu tersenyu
Prangg.... Aku terkejut, rupanya nyai Rudiah menatap kami dengan wajah pias, gelas dalam genggamannya terjatuh hingga pecah. Mbak Zarima dengan sigap membersihkan pecahan gelas itu. "Ap .... ap ... Apa yang kau cakap itu Aida?" Nyai Rudiah beringsut memegangi tangan Aida. "Aida ... Aida ...." Nyai Rudiah menangis kencang. Suara tangisnya mungkin terdengar seisi puskesmas, karena Dokter Idhar dan teman-temanku datang menghampiri kami. Mereka menanyakan apa yang terjadi. "Oh ... makasih Lidia ... makasih Lidia, kau selamatkan Aida," kata Nyai Rudiah, tangisnya mulai reda. "Nyai, jam berapa Aida mulai sadar?" tanyaku "Sekitar jam 3 malam tadi," kata nyai Rudiah sambil menyeka sisa-sisa air matanya. "Lidia ... jam 3 malam itu kamu mimpi kan?" Kata Rani sambil berbisik di dekatku. Ya, itulah yang sedang aku pikirkan Rani. Aku mengangguk ke arah Rani **** Jam dua belas siang Dokter kepala mengijinkan Aida pulang. Sepertinya dia sudah pulih seperti sedia kala.Teman-teman sudah pulan
"Maaf yo, Pakdo kemaren belum menyelesaikan ceritanya," kata Pakdo Marlin ketika aku,Rani dan mbak Zarima bertandang ke rumahnya. "Nyai Rudiah dan Datuk Ja'far itu dulu bekerja di rumah Datuk Bagindo Aslan. Ya, semacam pelayanlah, orang kepercayaan," Pakdo Marlin memulai ceritanya. "Datuk Bagindo Aslan orang yang sangat tampan dan kaya, dia anak tunggal keluarga Datuk Aslan Silen, orang paling kaya dulu di kampung ini. Keluarga Aslan juga mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi, juga Ilmu pengobatan terutama gangguan santet dan teluh. Tapi anehnya dia tidak menerima pasien atau orang berobat. Datuk Ja'far akan datang membawa orang sakit itu yang di mintanya untuk diobati. Sama macam Pakdo ni, karena orang baru Pakdo tidak tahu, kalau Datuk Ja'far membawa Pakdo untuk menemui Bagindo Aslan. Pakdo dibawa ke rumah panggung di belakang posko kalian. Dulu, tahun 85an, rumah itu, rumah ter-elok di kampung ini. Di sana Pakdo bertemu Bagindo Aslan untuk pertama kalinya. Subhanallah, Bagindo As