Namika mengedipkan matanya dan menatap langit-langit kamar. Ia akan pergi bersama Aruna hari ini dan itu membuat jantungnya tak bisa berhenti berdebar. Bagaimana mungkin dia bisa mempercayai orang dengan sangat mudah?
Tante Mutia mungkin akan memarahinya karena Namika mudah mempercayai orang. Tentu saja itu karena Namika pernah dikhianati oleh orang-orang yang dia percayai.
Gadis itu mengerutkan keningnya. Lagi pula dia hanya akan berada di sini selama tiga bulan. Apa yang akan laki-laki itu lakukan? Mengambil uang atau barangnya? Silahkan. Namika tidak peduli.
Tapi tentu saja Namika akan merasa sedikit kesal karena itu adalah uang pemberian orang tuanya. Terlahir dari keluarga yang lebih dari berkecukupan membuat Namika merasa jika dia sedikit boros.
Ia bangkit dan membersihkan dirinya dengan cepat. Ia menggunakan baju lengan panjang dan celana pendek. Ia menyemprotkan parfum ke pergelangan tangannya dan mencoba meyakini dirinya bahwa dia sudah terlihat baik.
“Kenapa aku sampe segininya cuma gara-gara jalan sama dia ya?” gumam Namika kecil. Dia merasa sedikit malu karena dia terlalu memperhatikan penampilannya.
Namika mengambil sebuah snack dan memakannya dengan asal-asalan. Setidaknya maag yang dia miliki tidak akan kambuh ketika dia sedang bersama Aruna. Itu akan terasa sangat memalukan.
Gadis itu dapat mendengar sebuah ketukan dari pintu villa yang menembus ke pantai. Dengan jantung yang berdebar, Namika membuka pintu itu. Ia pun langsung melihat Aruna dengan baju yang agak berbeda dari biasanya.
Pipi Namika memerah. Sepertinya bukan hanya dia yang memperhatikan penampilan kali ini. Aruna tersenyum dan Namika merasa jika dia ingin pingsan ketika melihat senyuman itu.
“Mau pergi sekarang?” tanya Aruna dan Namika mengangguk dengan cepat. Dua remaja yang baru beranjak dewasa itu pun berjalan berdampingan.
Namika dapat melihat beberapa orang yang sedang berjalan. “Pantai di sini sepi banget ya? Kalo di kota pantainya enggak ada yang sepi. Makanya kadang enggak nyaman aja gitu.”
Aruna terkekeh. “Yah, ada sesuatu yang membuat orang jarang tertarik dengan pantai ini. Bahkan orang lokal juga jarang pergi ke sini.”
Mata Aruna memiliki warna seperti biru laut. Yang menyebalkan, Namika juga menyukai warna biru. Bertambahlah satu alasan kenapa Namika menyukai Aruna.
Namika kemudian mengalihkan pandangannya ketika Aruna tampaknya menyadari bahwa Namika melihatnya. Walaupun hari masih pagi, Aruna bisa merasakan cahaya matahari yang menyengat kulitnya.
“Di sini memang panas banget kalau lagi musim kemarau. Bawaannya pasti pengen mandi terus,” kekeh Aruna ketika melihat Namika yang menutupi wajahnya.
“Kamu kayaknya udah terbiasa ya?” sahut Namika. Keduanya menatap satu sama lain selama beberapa saat dan Aruna mengalihkan pandangannya.
Laki-laki itu mengangguk kecil. “Aku emang tinggal di sini. Kadang-kadang aku balik ke kota sih kalau Sirius butuh bantuan.”
Tanpa Namika sadari, mereka tiba di sebuah lokasi yang terdapat hamparan bunga. Mulut Namika menganga. “Aku baru tau di sini ada tempat kayak gini. Ini ada yang membudidayakan ya?”
“Kurang lebih begitu. Tapi di sini bukan milik siapa-siapa, jadi aku sering main ke sini. Aku kadang ketiduran di gazebonya sih,” ujar Aruna.
Ia menarik tangan Namika dengan lembut dan naik ke atas gazebo. Namika kemudian bisa melihat ombak yang berjalan ke pesisir pantai. Ombak itu kemudian pecah dan kembali ke laut.
Tempat itu memang berada di tebing, dan itu membuat pemandangannya menjadi lebih indah. Aruna memperhatikan ekspresi Namika dengan wajah datar. Gadis itu terlihat sangat takjub.
“Sebenernya aku pengen renang di sini, tapi ombaknya keras banget. Belum lagi ini kayak langsung ke laut. Apalagi pasirnya warna hitam. Jadi mikir-mikir kalau mau renang,” desah Namika.
“Aku bisa jaga kamu kok,” ucap Aruna tenang. Namika menatap laki-laki itu dan sedikit tersentak ketika ia melihat Aruna dengan fisik yang berbeda. Namun sedetik kemudian hal itu kembali berubah.
Namika berusaha menyembunyikan keterkejutannya. “Mungkin minggu depan aku bakal coba buat berenang di pantai. Lagi pula aku punya banyak waktu di sini sebelum aku pindah.”
Aruna hanya menjawabnya dengan gumaman. Namika meminum air yang dia bawa dan memotret pemandangan di hadapannya. Benar, pemandangan yang ia maksud adalah Aruna.
Namika menjadi semakin bertanya-tanya dengan asal-usul Aruna. Namun tentu saja Namika tidak akan menemukan jawabannya. Aruna bahkan tidak mengetahui siapa orang tuanya.
“Pasti banyak cewek yang suka sama kamu,” celetuk Namika tiba-tiba. Namika merasa kemampuan membaca pikirannya seperti nonaktif dan itu membuatnya tak mempedulikan pandangan orang lain terhadapnya.
Aruna tersenyum kecil. “Pasti banyak juga sih cowok yang suka sama kamu. Kamu enggak punya pacar ya?” tanya Aruna balik.
Namika tertawa kencang. “Yah, enggak banyak tapi ada aja sih. Kalau untuk pacar, mungkin kamu akan tahu alasan kenapa aku enggak punya pacar,” jawab Namika dengan senyuman penuh makna.
Mereka tahu jika mereka menyembunyikan rahasia dari satu sama lain. Namika juga berniat untuk memberi tahu Aruna tentang kekuatannya. Lagi pula dia akan pergi dari negara ini.
Aruna mengambil sebuah selimut yang ada di sana dan melipatnya sehingga berbentuk seperti bantal. Ia kemudian menepuk bantal itu untuk mengajak Namik ikut merebahkan badannya.
Namika menelan ludahnya dan merebahkan badannya. Angin pantai yang terus berhembus membuat Namika mersa mengantuk. Di sisi lain, Namika merasa dia sedikit pusing karena terus terkena angin.
“Kamu.. mau balik?” tanya Aruna ketika melihat Namika yang memijat kepalanya sendiri. Namun gadis itu menggeleng pelan. Dia ingin menikmati waktu bersama Aruna walaupun badannya sedang tidak enak.
Aruna mengambil tas yang dibawa Namika dan mengambil sebuah kain pantai lalu memakaikannya ke Namika. “Aku yakin kamu bakal terbiasa kalau udah tinggal di sini selama sebulan.”
Namika hanya mengangguk dan tanpa sadar ia tertidur. Aruna menatap perempuan di hadapannya dengan lekat. Dalam sekali lihat saja Aruna tahu jika Namika bukanlah orang biasa.
Namun ada banyak orang-orang seperti mereka dan Aruna tidak tahu Namika merupakan bagian apa. Mungkin saja gadis itu juga tidak tahu jika dia bukanlah manusia biasa.
Tapi dengan keberadaan Mutia, Aruna meragukan hal itu. Hanya menunggu waktu sampai mereka berdua mengetahui identitas masing-masing.
Mata biru Aruna menatap Namika dengan lekat. Tanpa sadar tangannya sudah mengambil sehelai rambut Namika. Rambutnya terasa sangat lembut dan itu membuat Aruna tak ingin melepaskan tangannya.
Beberapa menit pun berlalu. Namika dapat merasakan tangan seseorang yang mengusap kepalanya. Ia sudah lama tak merasakan hal itu. Sejak orang tuanya pergi ke Kanada, Namika lupa bagaimana rasa sentuhan orang tuanya.
Namika membuka matanya dengan pelan dan ia menyadari jika Aruna lah yang melakukan hal itu. Laki-laki itu tersenyum miring dan Namika tertawa kecil ketika melihat itu.
“Kayaknya kamu punya hobi tersembunyi ya?” tanya Namika sambil mengusap matanya. Aruna tetap tak melepaskan tangannya dan itu membuat jantung Namika semakin berdegup kencang.
“Mungkin bisa dibilang gitu. Aku bener-bener kesepian selama tinggal di sini. Jadi yah, aku senang karena punya orang yang menemani aku.”
Namika tertegun sejenak ketika mendengar hal itu. Aruna terdengar sangat kesepian. Gadis itu ingin bertanya namun dia tahu jika hal itu sudah menyangkut privasi Aruna.
“Kayaknya kita harus cari makan dulu deh. Aku laper banget. Kamu ada rekomendasi makanan enak di dekat sini enggak?” tanya Namika sambil mengalihkan pembicaraan.
“Boleh. Aku jarang beli makanan sih, tapi mungkin aku tahu tempat makan yang cocok dengan seleramu.”
Namika mengerutkan keningnya sejenak. “Jangan bilang kamu mikir kalau aku ini rich kids yang enggak mau makan di pinggir jalan? Aku bakal makan apa pun selama makanan itu memang layak untuk dimakan.”
“Well, jujur waktu pertama kali aku ngelihat kamu, aku mikir kalau kamu itu anak orang kaya yang manja banget. Apa lagi kamu bilang kalau kamu bakal tinggal di Kanada. Siapa sih orang yang enggak berpikir gitu?”
Kedua remaja itu pun berjalan dan Namika dapat melihat beberapa orang di pantai. Sepertinya pantai ini tidak sesepi yang dia pikirkan. Tapi ia terkejut ketika Aruna tiba-tiba menarik tangannya.
Namika hendak bertanya namun kepalanya tiba-tiba dipenuhi oleh beberapa pikiran dari orang-orang itu. Aruna melihat ekspresi Namika dan ia tahu jika gadis itu mengetahui sesuatu.
“Bagaimana bisa ada seorang siren yang tinggal di sini? Lalu peri yang kemarin bahkan belum berhasil tertangkap! Aku enggak mengerti kenapa kita harus mengerjar spesies-spesies aneh itu.” “Sial, aku pasti bakal dipecat jika aku enggak bisa menemukan mereka sekarang. Kalau saja aku enggak butuh uang, aku enggak akan mengambil pekerjaan kayak gini.” Namika sontak menarik tangan Aruna. Dia tidak tahu apa yang terjadi namun entah mengapa dia merasa jika orang-orang itu mengincar Aruna. Namika juga tidak yakin dia bisa menghadapi mereka. Kedua remaja itu kemudian berjalan masuk ke dalam villa Namika. Gadis itu menutup pintu villa dengan jantung yang berdebar. Apakah dia harus menghubungi Tante Mutia? Namika menelan ludahnya. Jika Tante Mutia mengetahui masalah ini, kemungkinan besar tantenya itu akan menyuruhnya untuk kembali. Namika masih belum mau berpisah dengan Aruna. Ia pun mengambil beberapa bahan masakan dan mulai mengolah makanan itu. Dia bahkan tidak sadar jika Aruna sudah me
Namika menatap mentai yang sudah ia buat. Sial, mungkin Namika akan menangis jika Aruna menolak makanan ini. Ini adalah salah satu makanan kesukaan Namika dan ia memutuskan untuk memberikan itu pada Aruna. Namika sudah berdiri di pintu depan selama sepuluh menit. Ia masih memikirkan keputusannya. Ia pun mendengkus dan membuka pintu dengan kencang. Ia tiba di villa Aruna dan memencet bel. Ia menunggu Aruna untuk keluar namun dia tampaknya tidak menerima kedatangan seseorang. Dengan berat hati, Namika membalik badannya dan memikirkan apakah dia harus memakan mentai itu atau tidak. Tapi seseorang memegang bahunya dan menahannya untuk tidak berjalan. Namika membalik badannya dan terkejut ketika melihat Aruna dengan rambut yang masih basah. “Maaf lama, tadi aku masih mandi,” ucap Aruna dengan napas terengah-engah. Namika dapat melihat air yang masih menetes dari rambutnya. “Eh, aku yang minta maaf! Kayaknya aku terlalu pagi ke sini ya?” tanya Namika. Ia benar-benar salah tingkah karen
Namika mencoba beberapa baju yang akan ia kenakan hari ini. Matanya kemudian tertuju pada sebuah dress berwarna putih. Ia dan Aruna sudah berjanji untuk bertemu lagi hari ini. Sejujurnya Namika tidak pernah tertarik dengan tempat-tempat yang akan tuju. Namika hanya memiliki satu tujuan, yaitu menghabiskan waktunya berdua dengan Aruna. Laki-laki bermata biru itu berhasil membuat Namika kembali bodoh. Dua belas tahunnya bersekolah terasa sia-sia. Namika terkekeh ketika ia mengambil catokan dan mulai membentuk rambutnya. Waktu pun menunjukkan pukul lima sore. Namika menunggu Aruna sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Tangannya terus memainkan ponselnya walaupun pikirannya tertuju pada Aruna. Bel villa berbunyi dan Namika membuka dengan tergesa-gesa. Aruna melambaikan tangannya dan langsung terpana ketika melihat penampilan Namika. Namika juga merasakan hal yang sama. Aruna menggunakan kaos putih disertai kemeja krem dan celana berwarna hijau gelap. Sementara itu, Namika menggunakan
Aruna terkekeh ketika ia berhasil mencipratkan air ke wajah Namika dan membuatnya langsung menutup wajahnya. “Kamu enggak bakal pernah menang dari aku kalau untuk masalah ini, Mika.” “Bodo amat!” teriak Namika sambil berusaha menarik kaki Aruna agar ia tenggelam. Aruna memang tenggelam, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang ditenggelamkan secara paksa. Namika yang melihat itu hanya bisa cemberut. Ia melipat tangannya dan melihat awan-awan yang bergerak dengan cepat. Aruna pun ikut melihat apa yang sedang dilihat oleh Namika. “Bentuk awan yang itu kayak permen ya,” celetuk Aruna sambil merangkul Namika dari belakang. Badan Namika menegang sejenak dan ia sontak menggeleng. “Itu lebih mirip kayak ipadku. Kamu kok bisa mikir itu permen sih?” “Malah aku yang seharusnya nanya gitu. Mau dilihat sampai badanmu diputar-putar juga enggak bakal kelihatan kalau itu tuh ipad,” sahut Aruna. Namika langsung menoleh dan melihat Aruna yang juga sedang melihatnya. Posisi mereka memang lumaya
Aruna memainkan helaian rambut Namika. “Alasan aku jaga jarak sama kamu ya karena aku takut kalau kamu bakal jadi orang yang berarti buat aku.” Kedua orang itu terdiam. Namika menatap layar televisi yang berwarna hitam. “Berarti Sirius itu siren juga ya?” “Iya. Hampir semua anak-anak di panti asuhan itu siren yang lahir di lautan. Sirius secara rutin menyuruh aku untuk mengecek apakah ada siren yang lahir.” Namika tak bisa berpikir lebih jauh. Semuanya terlihat sangat rumit. Dia bahkan baru tahu jika makhluk seperti itu nyata dan Aruna adalah salah satu dari mereka. “Jadi yang aku lihat waktu aku pertama kali dateng ke sini tuh kamu? Tapi kayaknya kamu juga udah sadar kalau aku ngelihatin kamu waktu itu,” celetuk Namika. Laki-laki itu terkekeh. “Tante Mutia itu sudah tahu semuanya tentang siren, jadi aku pikir enggak apa kalau aku ketahuan. Aku juga udah nyangka kalau kamu itu anggota Gifted.” “Jadi gitu. Oh iya, gimana siren bisa terlahir? Aku masih kurang ngerti konsep dilahir
“Namika, aku tahu walaupun aku sama Yumi ngomong macem-macem, kamu enggak bakal mau dengerin selama itu enggak sama dengan keyakinan kamu. Ikuti kata hati kamu.” “Bener. Namanya juga udah bucin. Aku yakin kamu enggak bakal ngerelain si Aruna itu begitu aja kan? Walaupun aku enggak ada di posisimu, aku pasti bakal menghabiskan waktuku dengan dia selama aku bisa,” sahut Yumi. Namika mengusap air matanya dan mencoba untuk menetralkan napasnya yang terengah-engah. Emosinya masih belum stabil karena dia benar-benar baru mengetahui hal itu kemarin. “It’s not the worst, guys. Dia juga bilang kalau orang yang kenal atau mengetahui siren bakal melupakan siren itu dalam waktu satu minggu. Tapi anehnya, hari ini adalah hari ke delapan dan aku masih inget sama dia.” Alora menjetikkan jarinya. “Aku rasa hal itu sama kutukan yang dimiliki sama siren ada hubungannya deh. Cuma aku enggak tau apa yang bikin dua hal itu jadi berhubungan.” “Kalau boleh jujur, aku emang enggak pengen menjauh dari di
Aruna tidak tahu apa yang dia inginkan. Hubungannya dengan Namika tidak memiliki kejelasan. Ah, lebih tepatnya Aruna yang tidak menginginkan kejelasan itu. Dia takut serakah. Aruna tidak yakin dia bisa melepaskan Namika setelah dia tahu bahwa dia memiliki Namika. Gadis itu memiliki masa depan yang panjang, berbeda dengan dirinya. “Jadi alasanmu enggak bisa baca pikiranku itu karena kita beda ya?” tanya Aruna sambil memperhatikan rambut Namika yang terkena hembusan angin. Perempuan itu terlihat sangat cantik di mata Aruna. Rambut panjangnya yang bergelombang itu benar-benar membuatnya kagum. Tanpa sadar Aruna sudah memegang sehelai rambut Namika. Namika yang menyadari itu hanya tersenyum. “Iya. Karena itulah aku ngerasa nyaman banget sama kamu. Aku enggak pernah ngerasa seperti ini sebelumnya. Rasanya sangat tenang.” Namika berdiri dan duduk di sebelah Aruna. Laki-laki itu menggunakan kemeja putih dan celana selutut yang menampakkan kaki jenjangnya. Jantung Namika berdetak dengan
Namika menatap koleksi dress di lemarinya. Namika bukanlah orang yang menyukai dress, tapi dia merasa dia terlihat bagus di dress berwarna putih. Aruna memang jarang mengatakan secara langsung, tapi Namika bisa langsung melihat emosi di matanya. Namika memang tidak bisa membaca pikiran Aruna, namun dia hafal dengan ekspresi seseorang ketika memikirkan sesuatu. Ia dengan perlahan mengambil dress selutut dan memakainya. Pakaian itu menampakkan bagian punggungnya dan membuat Namika menjadi lebih percaya diri. Tangannya beralih pada beberapa alat di sudut ruangan. Sepertinya sudah lama sekali Namika tidak melatih tubuhnya. Mungkin Tante Mutia akan segera menghukumnya jika dia mengetahui hal itu. Tapi Namika yakin jika tantenya sudah mengetahui hal itu. Hanya saja dia tidak mau menganggu waktu istirahat Namika. Sayangnya Namika juga tidak mau membiarkan kerja kerasnya sia-sia. “Entar sore aku olahraga deh. Sekarang mending aku bersihin villa dulu,” ucap Namika pada dirinya sendiri. I