Saat the man pergi ke kamar mandi, Chelsea bangkit. Dia mengusap matanya, lalu mulai meraba-raba sekitar.
Ia turned her head as she mendengar suara air dari arah kamar mandi yang menyala. Ia juga mendengar suara pria humming di dalamnya.
Chelsea turun dari ranjang dan berjalan sempoyongan ke jendela. Saat ia membuka korden jendela, ia melihat lampu warna-warni menyala di area jalanan di depannya. Ia juga melihat beberapa wanita dengan dandanan menor berjalan lalu lalang dengan menggandeng pria.
Chelsea berpikir keras untuk beberapa saat, lalu ia sampai pada sebuah jawaban.
“This… is red light district, huh?”
‘Aku pasti sudah gila! Apa aku sungguhan datang ke seorang male escort untuk balas dendam kepada Jeffrey? Am I that desperate untuk membuktikan pada Jeffrey bahwa aku juga bisa menikmati kesenangan semacam ini?! Stupid me!’
Chelsea sedang tidak dalam keadaan di mana ia bisa berpikir jernih. Ia tidak berpikir bahwa ada orang lain yang menempatkannya di posisi itu, dan malah mengira bahwa dirinya sendiri yang merencanakannya.
She menarik nafas dalam as she melihat arah kamar mandi, lalu ke pintu kamar yang tertutup bergantian.
‘Aku harus keluar. Aku tidak boleh melanjutkan hal ini. Semarah apapun aku pada Jeffrey, ini tidak benar. Ugh, aku tidak percaya bahwa aku juga minum alkohol!’
Chelsea berjalan sempoyongan menuju pintu, lalu ia keluar.
Ia berjalan sempoyongan menyusuri koridor motel. Beberapa kali kepalanya terbentur dinding saking sulitnya berjalan.
Ketika ia sampai di ujung anak tangga, dia memutar kepalanya ke belakang. Ia sangat mabuk untuk berpikir jernih.
“Wait, aku sudah di sini. Aku juga sudah memanggil that male escort. Aku… juga baru saja menyaksikan adegan menjijikkan itu, sob- sob- hiks.” Air mata mulai mengalir padahal sebelum mabuk matanya begitu kering.
Chelsea mulai memukul-mukul dadanya. “Benar! Kalau Jeffreey bisa melakukan itu, maka aku juga bisa! Aku akan menunjukkan padanya bahwa aku bukan wanita kering! Aku juga bisa memuaskannya! Hehehe, hick, hwehehehe. Kalau begitu, aku harus kembali ke kamar itu! Hiccup- hehehehe. Tunggu aku, sexy man, hicc.”
Chelsea menelusuri kembali koridor motel yang tadi ia lalui. Chelsea menangis lalu tertawa, lalu menangis lagi sepanjang perjalanannya.
‘Yeah, aku hanya perlu kembali besok pagi untuk menikah. Hahaha,’
“Huh? Tapi, kamarnya yang mana?”
“Apa alasannya, Pak?” Tanya Biba kepada seorang Bapak berjenggot tipis, yakni Pak Kepsek.
“Masa Bu Biba enggak tahu? Yang Bu Biba pukulin itu, anak kepala yayasan!”
Biba melangkah keluar ruangan, lalu berhenti sejenak buat mengacungkan jari tengahnya ke hadapan Pak Kepsek yang mendelik kaget.
Kalau dipikir-pikir, sudah lima tahun Biba bekerja di sekolah ini tapi dia enggak merasakan ikatan emosional sama sekali ke tempat itu. Selain karena punya Kepala Sekolah yang suka grepe-grepe tubuhnya, serta kolega yang acuh terhadapnya, Biba juga kecewa karena ternyata sekolah bukan tempat sakral seperti dalam bayangannya.
Biba berpapasan dengan wanita selingkuhan pacarnya – ups, mantannya. Wanita itu tersenyum kepada Biba seolah enggak tahu menahu tentang apa yang terjadi.
“Bu Biba, sayang sekali Bu Biba harus pergi. Semoga baik-baik saja ya Bu.” Tuturnya lembut, senyumnya bagai rubah.
“Kalau dia memperlakukanmu begitu manis, dia belajar itu bersamaku selama lima tahun. Tapi kalau dia tiba-tiba pindah ke cewek lain, cukup tahu kalau dia belajar itu dari situ.” Ucapan Biba mengandung sarkasme.
Wajah wanita itu kelipet-lipet. Dan Biba enggak jauh lebih menikmati pemandangan siang hari itu.
Tut. Tut. Tut ...
“Cherish~ sahabatku sayang. Hari ini aku punya kabar baik dan kabar buruk. Mau denger yang mana dulu?” Biba menggenggam ponsel di satu tangan, sedang tangan lainnya digunakan untuk melahap dua tusuk sempol sekaligus.
“Wah, masih ada kabar baik setelah lo putus dari Dikma?” Sahut Cherish dari seberang panggilan telepon.
“Ada dong,”
“Oke. Kabar baik coba.”
“Kabar baiknya adalah, aku dipecat dari sekolahan. Heheheh,”
“Akhirnya Bi! Kepsek cabul itu enggak bakal bisa macem-macemin lo lagi kan? Terus lo juga enggak perlu berurusan sama mantan lo itu kan?” Cherish sumringah.
“Udah enggak dong. Fyuh, lega rasanya.”
“Terus terus … kabar buruknya apa?”
“Aku dipecat dari sekolahan, Cher.” Tutur Biba dengan intonasi datar.
“Ouch… terus, lo udah ada gambaran mau kerja di mana?”
“Belum lah Cher.”
“Pas banget Bi. Lo gantiin kerjaan gue sekarang ya Bi, plis~” Rengekan Cherish bikin kuping Biba gatel.
“Emang kerja apaan sekarang?”
“Jadi nanny buat bocah sembilan tahun.”
“Woah! Hahahahaha, sumpah?! Seorang Cherish, jadi nanny? Lah sendirinya ngapain kerja jadi nanny kalau tau bakal enggak betah?”
“Gue butuh duit lah. Duitnya lumayan bok,”
“Anak keluarga konglomerat butuh duit?”
“Anjir. Kan gue anak haram, lo tau sendiri gue enggak dikasih duit jatah bulanan setelah lulus kuliah”
“Iya sori sori. Emang udah kerja berapa lama sih Cher?”
“Semingguan.”
“….. gila. Ya udah dibetah-betahin aja dong! Baru juga seminggu!” Sembur Biba.
“NGGAK BISA! Duh Bi, kepala gue rasanya pengen gue jedotin ke tembok delapan kali sehari. Hidup gue aja semrawut, ini malah disuruh ngurusin hidup orang lain. Mana gue enggak sabaran juga Bi.”
“Salah sendiri.”
“Iya memang. Huh! Gue pikir, gue bukan orang yang sulit Bi. Tapi kenapa ya gue selalu enggak betah sama kerjaan yang gue lakuin?”
“Kamu bukan orang yang sulit kok Cher. Kamu itu … cuma enggak paham realita.”
“Ouch.”
“Terus, kenapa aku yang diminta ngegantiin?” Tanya Biba sambil melahap sempol terakhir.
“Kan lo suka anak-anak, Bi. Terus di kontrak kerja bilangnya gini Bi, kalau gue mau resign, kudu cari orang pengganti yang speknya sama. Atau kalau enggak bisa, gue harus bayar tiga kali lipat gaji satu bulan gue … hing! Gue duit dari mana?!”
“Kan anak keluarga tajir.”
“Kan gue anak haram! Anjir lo suka banget ngeledek gue gini!” Cherish merajuk.
“Sori.”
“Lagian gue enggak ada temen lain yang bisa atau mau ngegantiin posisi gue, Bi. Come on~”
“Ya iya lah enggak ada. Kan temenmu cuma aku, Cher.” Biba cengengesan, akan lebih menghibur kalau dia bisa lihat muka sahabatnya secara langsung.
“Ouch. Anyway! Apa lo enggak pengen menghidupkan kembali mimpi lo untuk ngurus anak-anak gemesin?”
“Pengen sih. Tapi Cher, kerjaanmu ini di Jakarta kan?”
“Yoi.”
“Nah itu yang susah.”
“Balik ke Jakarta deh Bi,”
“Enggak deh. Di Malang aja.”
“Lo sedemen itu sama Malang? Lebih demen Malang ketimbang gue?!” Cherish lumayan sering membanding-bandingkan dirinya dengan sesuatu kepada Biba. Pernah ada masa di saat Cherish membandingkan dirinya dengan pecel lele karena saat itu Biba sedang terobsesi dengan itu.
“Bi, nih bocah tuh imut banget. Ngegemesin gitu. Anaknya aktif banget dan demen banget belajar. Lah gue kan gubluk, ditanyain ini-itu gue enggak paham. Makanya Bi, gantiin gue, pliiis~”
“Hmm ... pengen sih. Bisa enggak tuh bocah pindahin ke Malang aja, bakal aku rawat sepenuh hati!”
“Gila ya, tetep kekeuh loh enggak mau balik ke Jakarta.”
“Ya lebih enak di sini Cher. Sambil bantuin om dan tante.”
“Dua belas juta Bi … sebulan.”
“Wih itu gajiku lima bulan kerja jadi guru, Cher.”
“Lumayan, kan? Makanya gantiin gue. Come on!” Rengekan Cherish makin menjadi-jadi.
“Kok ngotot? Lagian, mencurigakan tau, gajinya enggak kegedean? Takutnya ada apa-apa lagi,” Biba menyipitkan matanya sok jeli.
“Plis deh Bi. Ini keluarga yang punya Siastone, duit segitu bisa didapetin balik dalam semenit.”
“Ouch. Aku tertarik sih Cher, tapi Jakarta itu lho yang… haa. Kayaknya enggak deh Cher. Semangat kerja di sana ya, aku bakal cari kerjaan di sini aja. Pasti ada dong kerjaan buat aku, hehe.”
“Tapi Bi-”
Tut. Tut. Tuuuut…
Berbanding terbalik dengan harapannya. Biba menganggur selama sebulan lamanya! Kerjaannya hanya lontang-lantung di jalanan Kota Malang. Sesekali duduk di halte bus buat ngelihatin plat nomor kendaraan yang lewat. Saking nganggurnya.
Siang itu dia baru selesai wawancara kerja untuk yang kesekian kalinya dalam minggu ini. Tapi firasatnya mengatakan kalau dia enggak akan diterima di tempat barusan. Biba meringis kecut. Membayangkan kembali bagaimana wawancaranya tadi berjalan.
“Bu Biba Berlianti, hmm 29 tahun ya? Sudah menikah?” Tanya ibu-ibu dengan tahi lalat gede mempesona di pipinya.
“Belum menikah bu. Juga tidak ada pacar dan tidak ada niatan menikah dalam waktu dekat.” Jawab Biba antusias biar dinilai sebagai orang yang bisa fokus kerja.
“Mhm. Kok belum menikah? Ada yang enggak beres kali ya?” Gumam si ibu itu sambil mandangin Biba dari kepala sampai kaki.
Sepertinya Biba harus mulai program diet deh. Apalagi ditambah faktor usia yang enggak kebilang muda lagi sebagai wanita, kesempatan kerjanya jadi semakin sempit.
Biba membuka dan menutup buku tabungannya yang angkanya miris.
“Haha.. kerja lima tahun, di tabungan cuma ada lima ratus ribu. Woah, fantastik banget hidupku.” Biba tepuk tangan sambil ketawa kecut.
Gajinya sebagai guru memang kecil, apalagi selama lima tahun kerja gajinya enggak pernah naik. Boro-boro naik, bonus aja enggak dapet. Ini semua gara-gara Kepsek sialan itu tuh. Tapi Biba enggak pernah mengeluh kekurangan, malah memberikan sebagian gajinya kepada Om dan Tante yang sudah merawatnya sejak dulu. Tapi setelah lihat keadaan tabungannya sekarang, hatinya jadi goyah.
Ditambah, kemarin dia dengar percakapan keluarga Om dan Tantenya tentang dirinya.
“Ma, Pah, Mbak Biba itu sampe kapan ikut kita terus? Sekarang nganggur pisan.” Oceh adik sepupunya kepada mama papanya.
“Hush. Mbak Biba nyari kerja gitu lho. Juga suka bantuin warung papa mama, kamu jangan ngomong gitu tah nduk. Nanti kalau Mbak Biba denger gimana?” Tukas Omnya sambil mengacak-acak lembut rambut putri semata wayangnya.
“Huh! Tapi sampai kapan pah? Aku pengen punya kamar sendiri.”
“Tapi ya pah, Biba itu enggak dinikahin aja tah? Apa papa enggak punya kenalan yang punya anak laki baik?” Tantenya menimpali.
Obrolan itu terngiang di kepala Biba sampai keesokan harinya. Selama ini tantenya akan selalu bilang ke Biba kalau mereka adalah keluarganya. Jadi Biba diminta untuk enggak sungkan. Dan karena ucapan itu, Biba dengan muka tebal tetap berada di antara ketiganya. Bermain keluarga sampai batas waktu tertentu. Sebab sendirinya pun sadar kalau dia enggak akan jadi bagian dari keluarga mereka seutuhnya.
Di tengah kegamangannya - masih sambil ngelihatin plat nomor kendaraan yang lewat dan menebak dari mana asal kendaraan itu, ponselnya berdering.
Biba mendengus kesal.
“Apa lagi Cher?”
“Enggak keterima kerja kan? Ya dong? Ya kan~?”
Biba sempat heran kenapa dia bisa bersahabat dengan cewek macam Cherish yang sumringah banget mendengar kabar buruk temannya.
“Oke Cher. Aku gantiin posisimu.” Biba mengibarkan bendera putih.
Setelah sebulanan diteror Cherish yang hampir setiap hari menelpon untuk membacakan mantra kutukan biar Chelsea enggak dapet kerjaan, akhirnya harapan Cherish kesampaian. Kalau dihitung-hitung, kerja jadi nanny lumayan juga. Enggak perlu bingung tidur dan makan di mana, karena kata Cherish, fasilitasnya udah dipenuhi semua termasuk kamar pribadi untuk nanny. Jadi, Chelsea udah enggak perlu numpang Om dan Tantenya lagi, meski harus balik ke Jakarta. Di tambah, si bocah sembilan tahun itu memang kelihatan lucu menggemaskan dari foto yang dikirimkan Cherish sebagai umpan ke Chelsea yang emang lemah dengan yang imut-imut. “Gue tunggu di Jakarta beibiiih!” Sorak ria Cherish dari seberang panggilan. Yang Chelsea lewatkan adalah tawa iblis seorang Cherish setelah menutup panggilan teleponnya. “HeheheuahaHAHA!” Tangan Chelsea mengepal rapat-rapat. Giginya gemeretak. Kupingnya menyembur merah seraya lipatan di keningnya menebal. Chelsea mengatur nafasnya satu-satu. Lalu mengambil nafas dala
“Ugh! Uph! Huuup!” Sosok itu hendak bicara namun Chelsea lebih dulu menyumpel mulutnya dengan kaos kaki yang baru saja ia copot. ‘Sial! Baru juga semalem di sini, langsung ada yang nerobos gini?! Keluarga tajir emang beda dramanya.’ Batin Chelsea kesal, seluruh tubuhnya sibuk menahan, memukul dan membekuk sosok pria di hadapannya. Chelsea jadi teringat pesan singkat Pak Darwin tadi siang. Kalau Chelsea harus jeli dan gesit dalam melindungi Ares dari pihak yang berniat menyakiti Ares. Wanita itu membanting tubuhnya ke atas si penyusup. Membiarkan bobot tubuhnya melakukan fungsinya: meremukkan rusuk si penyusup. Si penyusup meronta. Berusaha meloloskan diri, tapi di mata Chelsea dia lebih mirip kayak cacing digaramin. Chelsea menyeringai iblis. Bola mata si penyusup gemetar panik. Bergerak ke segala penjuru ruangan seolah mencari pertolongan, yang tentu saja: enggak ada. Chelsea bergegas menuju interkom. “Gila! Siapapun kamu, enggak akan aku biarin nyakitin tuan muda, dasar sinting
“Jangan mikir yang jorok-jorok, ini urusan kesehatan. Kamu dibayar untuk momong Ares kan? Sekarang itu, mental Ares masih sama kayak anak usia sembilan tahun. Dia masih terguncang akibat kecelakaan, juga karena pas bangun tubuhnya udah beda. Bisa bayangin enggak tiba-tiba tubuhmu terasa beda dari biasanya? Kondisi Ares sekarang begitu. Jadi saya, dan kamu ini tugasnya bikin Ares bisa beradaptasi dengan tubuhnya sekarang.” Dokter Jefri mengetuk-etuk gagang kursinya. “Ini juga perintah Bu Presdir, biar Ares, CEO Siastone, bisa menghasilkan keturunan. Paham? Apalagi setelah 5 bulan bangun, cuma bagian seksualnya aja yang belum terangsang. Jadi, kamu kudu kerja sesuai bayaranmu.” Dokter Jefri kayak lagi nge-rap. Degup jantung Chelsea memburu. Perutnya melilit. “Buat sekarang ini, kamu perlu bikin barangnya Ares berdiri dulu lah. Itu dulu.” “Gimana caranya…. ?” Pertanyaan polos dari Chelsea bikin Pak Darwin dan Dokter Jefri tertegun. Keduanya saling melirik kikuk pada satu sama lain. La
Pak Darwin bilang kalau Ares itu rewel soal makan. Apalagi kalau moodnya lagi jelek. Beuh, susahnya pol-polan. Dan sialnya, mood Ares hari ini lagi jelek gara-gara insiden tadi malam.Biba udah nunggu Ares di depan kamarnya sejak Dokter Jefri dan Pak Darwin pamit. Tapi sampai hari berganti dan bahkan menjelang tengah hari, Ares enggak keluar-keluar dari kamar. Padahal sarapan udah nyampek dari tadi pagi.Biba ketok-ketok pintu tapi enggak ada jawaban. Biba nempelin kuping ke pintu pun enggak ada suara kedengaran. Karena kuatir, Biba nyoba buka pintu.“Permisi Tuan Ares, saya masuk ya?” Cklek. Cklek.Eh pintu dikunci dong dari dalem. ‘Gaaaah!’Setahu Biba, tadi malam Ares juga enggak makan karena makanan kemarin malam masih utuh di meja makan. Semuanya emang gara-gara Biba yang ketiduran!‘Jangan-jangan kemarin dia ke kamarku karena laper kali ya? Bego! Bego! Bisa-bisanya aku ketiduran terus nganggur
“Ke-keluar!” Sembur Ares gelagapan sambil menarik kakinya mundur.“Hatchi! Hatchi!” Biba bersin-bersin.Lalu matanya menyapu setiap jengkal ruangan. Hidungnya menangkap bau asam aneh yang menusuk-nusuk indera penciumannya. Di sisi kirinya, ada Ares yang masih berdiri gemetaran sambil pegang gagang interkom, canggung. Mukanya berangsur pucat.Biba buru-buru tiarap, sedang Ares tersentak.“Tuan Ares, nama saya Biba. Saya minta maaf soal kejadian semalam. Saya mohon maaf ya Tuan Ares. Saya bener-bener menyesal loh. Saya kira yang kemarin malem masuk kamar saya itu maling atau rampok. Makanya saya spontan melindungi diri. Mungkin Tuan Ares pikir saya ini banyak alasan, tapi saya mohon jangan pecat saya. Saya enggak punya rumah buat kembali, jadi saya mohon maafkan saya ya Tuan.” Biba mengemis.Biba masih di posisi setengah bersujud. Pandangan ditundukkan. Menggesekkan tangannya kayak mau bikin api di atas kepalanya.
‘Wait. Ares kudu gimana ini? Kalau Ares turun, takutnya kecoak bakal ngiterin Ares. Tapi kalau tetep di posisi ini, MALU! Gimana ini? Gimana ini?’Biba memandangi Ares yang kelihatan gusar. Lalu garuk-garuk kepalanya canggung. Dia pikir Ares bakal turun dari tubuhnya. Tapi Ares tetap di posisinya; menindihi Biba sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.‘Ini sampai kapan dia bakal ada di atasku? Apa dia enggak paham ya kalau posisi ini sensual banget? Haaa.’Karena cowok di hadapannya punya mental anak usia sembilan tahun, Biba enggak bisa serampangan menoyor tubuh Ares. Jadi Biba diem aja sampai Ares sendiri yang berinisiatif minggir. Hitung-hitung ngajarin Ares peka lah.Eh, kok Ares malah menurunkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajah Biba sedang Ares perlahan memejamkan matanya, dan Biba mendelik kebingungan. Hidungnya kembang kempis dengan nafas berat. Di sela-sela kebingungannya, Biba masih sempat mengagumi wajah Ares yang
Ares menghentikan kecupannya. Bola matanya gemetar panik seraya tatapannya bertemu tatapan Biba. Saat Biba mengangkat tangannya ke udara, Ares tersentak. Ares pikir, Biba akan memukul atau membantingnya. Tapi tangan Biba malah singgah di pipi Ares dengan lembut. Lalu membelainya. Mata Ares kedip-kedip.‘Ngapain dia? Kenapa enggak marah?’Meskipun Ares tahu kalau perbuatannya bisa bikin Biba marah besar, tapi dia enggak bisa berhenti. Ares terlanjur menikmati aktivitas ini yang bikin dia merasa jantan banget di depan Biba – yang dasarnya jantan(?). Ares merasa bangga aja bisa bikin orang nyeremin macem preman gini enggak berdaya dan tersaji pasrah di bawahnya.Saat Ares membelai pipi Biba, wanita itu tersipu, memancarkan senyum menggemaskan yang bikin Ares semakin hilang kendali.Ares menelan ludahnya. ‘Damn! Screw it!’Ares kembali memagut bibir Biba. Cup. Cup.“Buka mulutmu,” Ares memerintahnya deng
Ares terkesiap. Matanya mengerjap-erjap. Jarinya menelusuri bibirnya yang dingin dan kosong, kontras banget dengan momen hangat yang baru saja ia rasakan. Badannya terasa enteng, udah enggak bunyi kriyek-kriyek lagi pas bangun. Ares garuk-garuk kepalanya. Dia enggak menyangka kalau akan ada malam yang bikin dia bisa terlelap. Tanpa mimpi buruk kecelakaan waktu itu.Yaa, meskipun berubah jadi mimpi aneh yang bikin dadanya semriwing geli sampai sekarang. Tapi, lumayanlah.‘Woah. Untung cuma mimpi, Ares enggak mau barang Ares bengkak kayak gitu lagi. Hii.. tapi kok pantat Ares kayak basah ya?’Pas Ares cek celana pendeknya. Dia tertegun.‘Kok bengkak?! Hush hush.. kok barang Ares kaku kayak yang pas di mimpi? Apa ada yang sakit?! Aduh.. mama, papa, tolong Ares,’ Ares pikir dengan niupin barangnya bisa bikin bentuknya kembali menyusut seperti semula.Perkiraannya meleset.Selain menjumpai barangnya yang nunjuk dan b