Share

6. Judi

      Mencari tahu tentang musuh yang sudah waspada sejak awal, bukanlah hal mudah. Kiana tidak bisa menggabungkan setiap rencananya atau apa yang ia pikirkan untuk mengetahui pergerakan musuh  bersama rekannya. Oleh karena itu, Kiana mencuri-curi waktu ditengah malam untuk pergi.

“Semua barang sudah aku masukkan ke tas. Apalagi yang kurang?” gumam Kiana. Ia melihat kembali persiapan yang ia bawa.

      Keluar dari mansion tidaklah mudah. Kiana harus melompat dari lantai atas yang merupakan kamarnya. Kiana juga harus melewati taman labirin di halaman mansion untuk menghindari para penjaga.

“Ayo, Kiana! Sudah lama tidak berpetualangan,” ucap Kiana pada diri sendiri.

Set!

“Kau mau ke mana?” Renza tiba-tiba mencegah Kiana yang sudah bersiap melepaskan tubuhnya terjun bebas.

“Ah, sial! Aku tidak bisa menjelaskan. Kau lebih baik ikut saja,” kata Kiana.

        Tanpa basa basi, Kiana membungkam mulut Renza dan melompat dengan membawanya. Meski tubuh Kiana kecil, tapi dia tinggi. Bisa mengimbangi Renza yang tubuhnya lebih besar darinya.

Tap...

Wush!

      Suara angin seakan menabrak telinga. Pendaratan darurat berhasil. Kaki jenjang Kiana berhasil menginjak tanah tanpa terluka.

“Astaga! Apa kau sudah gila?” pekik Renza.

“Hst!” Kiana kembali menarik Renza bersembunyi disalah satu pohon bunga.

Deg... Deg...

Tap... Tap... Tap...

       Suara detak jantung terdengar jelas bersahutan bersama langkah kaki penjaga yang kebetulan sedang melintasi ditempat persembunyian Kiana.

“Huf!” Kiana bernafas legas. Ia kemudian mencubit sangat keras dibagian lengan Renza.

“Akh! Apa kau gila?” pekik Renza.

“Sudah tahu kita kabur. Kau masih saja berteriak,” omel Kiana.

“Kau mau ke mana?” tanya Renza.

“Aku akan mulai menyelediki. Sedikit sulit karena aku tidak boleh mengacau,” keluh Kiana.

“Kau berniat melewati labirin?” Renza menatap Kiana sembari menaikkan sebelah alisnya.

“Tidak ada cara lain.”

“Ada!” Renza menyeringai. “Kau tunggu di sini,” imbuhnya.

       Kiana hanya diam seribu  bahasa. Ia benar-benar menunggu Renza. Lebih tepatnya menunggu rencana Renza. Renza anak Delice yang paling brutal. Karena itu, Kiana sedikit waspada.

Tin!

      Kiana menoleh. “Naik motor? Apa kau bodoh?” kata Kiana.

“Kau naik di depan. Meringkuk sampai kita melewati gerbang. Cepat!” Renza melemparkan jaket miliknya. “Lelet! Cepat!” pinta Renza lagi.

      Kiana bergumam sedikit kesal tapi benar juga rencana Renza. Renza bebas berkeliaran, oleh karena itu dia bisa menaiki motor secara terang-terangan. Kiana naik ke motor dibagian depan. Ia menghadap Renza dan menekuk kakinya. Renza menutupi Kiana menggunakan jaket yang ia sempat ia berikan ke Kiana.

“Kau sudah siap?” tanya Renza.

“Kalau begini bersama kekasih, pasti romantis. Karena denganmu, cih! Aku tidak suka,” gerutu Kiana.

“Seharusnya aku membawa lakban untuk membungkam mulutmu.”

Brummm... Brummm... Brummm...

      Renza mulai memutar gas motornya. Ia melewati jalan normal bahkan penjaga yang melihatnya pergi tidak bertanya apapun. Motor melaju dan berhenti tidak jauh dari gerbang mansion.

“Kau sudah bisa turun.”

“Aduh! Pinggangku!” keluh Kiana.

“Cepat naik lagi. Kita sedang memburu waktu.”

***

      

       Kiana dan Renza sudah sampai di SMA HG. Kiana melompati gerbang. Ia memakai kain untuk menutupi setengah dari wajahnya.

“Kenapa kita tidak mencari tahu langsung ke HG CAE GRUP?” tanya Renza.

“Percuma.”

“Kenapa?” tanya Renza.

“Karena penompang perusahaan itu adalah anak-anak jenius yang sekolah di sini.”

        Gedung sekolah sangat gelap. Ada penjaga yang berkeliling dan mereka berdua harus menghindar jika ada security yang sedang memeriksa.

“Hst!” Kiana mengisyaratkan Renza untuk diam. “Apa kau dengar sesuatu?” tanya Kiana.

“Iya. Dari arah gedung sana,” jawab Renza.

        Hanya ada satu gedung yang terlihat berpenghuni. Gedung itu bukanlah pos security melainkan gedung yang tersembunyi dibelakang gedung resmi.

Brak!

“Siapa di sana?”

‘Astaga! Sangat ceroboh,’ batin Kiana sembari melirik Renza yang menjatuhkan pot bunga.

      Kiana dan Renza memutar otak supaya mendapatkan tempat bersembunyi. Sayangnya, tidak ada tempat apapun yang bisa mereka berdua pakai.

“Kau mundur. Biar aku yang maju,” kata Renza.

“Bilang saja kalau kau ingin bertarung,” sindir Kiana.

“Kau masuk ke dalam kelas. Sebisa mungkin, kau harus pergi setelah perhatian merek teralihkan,” ucap Renza.

       Akhirnya, Renza menampakkan diri tapi orang yang berteriak padanya tadi tidak terlihat dimatanya. Meski begitu, Renza tetap tenang. Ia melirik tajam. Seseorang sudah mengintainya dari belakang.

“Kalau mau memukul, kau tidak boleh ragu,” kata Renza sembari memutar tubuhnya.

Sret!

Buak!

     Entah siapa namanya, dia mendapatkan pukulan langsung dari Renza. Keributan yang terjadi membuat seisi gedung gaduh.

      Kiana mengerutkan keningnya. ‘Dia bukannya pria yang aku tabrak?’ batin Kiana.

Drap... Drap... Drap...

“Tuan, pria itu menyusup dan memukulku tiba-tiba,” ujar orang yang Renza pukul.

“Bukankah kita sekelas?” tanya Teo. “Apa yang kau lakukan di sini?” imbuhnya. Tatapan matanya menunjukkan kebencian.

“Aku sedang jalan-jalan. Kalian sendiri, apa yang kalian lakukan?” ucap Renza sembari berjalan ke arah Teo.

“Kerja kelompok,” jawab Teo.

       Renza bisa melihat dari celah pintu yang sedikit terbuka. Penglihatan Renza sangat tajam. Ada beberapa meja dan kursi yang ada di sana. Ada juga beberapa chip, tumpukan uang tunai dan juga kartu.

‘Dia sedang berjudi?’ batin Renza.

      Teo melihat Renza yang memperhatikan ke dalam ruangan. “Kau ingin tahu apa yang ada di dalam? Apa kau berniat bermain?” ejek Teo.

“Aku tidak pernah bermain dengan taruhan kecil,” kata Renza.

“Kau menantangku?”

       Kiana sudah berada di dalam kelas. Ia bersembunyi karena rencananya kacau gara-gara Renza. Namun, Kiana menemukan satu hal penting. Dia menemukan salah satu orang yang berpengaruh dalam perjalanan tugasnya.

       Renza menarik kerah Teo. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Teo. “Apa kau sanggup dengan taruhannya?” bisik Renza sembari menyeringai.

“Kau bisa memintaku mempertaruhkan apapun padamu  tapi aku hanya meminta satu keuntungan darimu.”

“Katakan!” tantang Renza.

“Aku ingin kau tidak bisa bernafas lagi.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
S Rohmah
Wow renza,kiana keren..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status