Jam kerja baru saja dimulai. Malik dan Arvan tengah melihat berkas-berkas mengenai keuangan perusahaan. Tiba-tiba Heksa menerobos masuk tanpa permisi sambil menebar senyum yang menunjukkan gigi gingsulnya.
"Hey, aku udah senyum manis banget gini, lho! Kenapa kalian cuma liatin doang?" kata Heksa mendekat dan duduk di atas meja kerja si CEO dingin.
"Senyum? Yang ada aku mual tau gak?" jawab Malik.
"Astaga, punya temen kenapa pada kaku banget gini."
"Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya sekretaris berkumis tipis yang belum pernah merasakan hangatnya belaian seorang wanita.
"Aku mau lamar kerjaan ke Arvan."
Jawaban dari Heksa membuat CEO muda ini meletakkan berkas yang ada di tangannya. Ia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi dan menatap sepupu badboy-nya itu.
"Apa?" tanya Arvan dengan singkat.
"Aku mau jadi OB, please!" Heksa memohon dengan menyatukan kedua tangannya.
"Gak!"
"Kenapa?"
"Aku gak suka urusan asmara dibawa ke pekerjaan."
Suara ketukan pintu terdengar. Diana masuk dengan membawa meja dorongnya. Ia mengambil secangkir kopi panas dan meletakannya di sisi kanan meja kerja Arvan.
"Ini kopinya, Pak," kata Diana dengan menunduk.
"Cantik, buat aku mana?" goda Heksa yang masih duduk di atas meja. Diana memicingkan matanya. Tak menjawab apapun dan lebih memilih untuk segera membersihkan ruangan sang CEO.
Ia mengambil sebuah sapu dan perlahan mulai membersihkan ruangan itu. Gadis cantik berponi ini melihat potret kecil Arvan bersama ayahnya belum terbingkai lagi. Dalam hatinya ia berniat akan mengganti bingkai yang sudah ia hancurkan kemarin.
Heksa terus memperhatikan Diana. Senyum pun tiada henti tersimpul. Malik yang menyadari sahabatnya tengah jatuh cinta hanya bisa menggelengkan kepala karena tak menyangka selera badboy itu turun level.
Arvan mengajak Malik untuk rapat bersama staf keuangan. Di tangan CEO tampan itu ada beberapa lembar berkas sebagai bahan untuk rapat. Keduanya sudah berdiri dan hendak keluar. Bersamaan dengan Diana yang akan menyapu di sekitar meja kerja Arvan.
Jiwa usil Heksa muncul tiba-tiba. Ia sengaja mengacungkan kaki ke arah Diana. Membuat Office girl ini terjatuh dan tak sengaja menabrak Arvan dan tangannya menggenggam kertas yang digenggam CEO dingin itu. Karena reflek, Bos angkuh itu memegang kedua lengan Diana.
Jantung Diana berdegup begitu cepat. Mata mereka saling berpandangan. Arvan begitu lekat memandang wajah Diana dan seperti menyadari sesuatu.
Perlahan salah satu tangannya melepas tubuh Diana. Ia mengambil berkas yang tadi sempat berpindah tangan. Dengan paksa CEO berjambul itu merebut lembaran-lembaran kertas yang ada di tangan office girl cantik itu. Setelah berkas ia dapatkan, Arvan melepaskan Diana dan membuat gadis itu terjatuh.
Gubraaak
Diana meringis menahan sakit. Ia terus menyaksikan sang CEO dan sekretarisnya pergi meninggalkannya yang masih duduk di atas lantai yang dingin.
"Bangun!" Heksa menawarkan bantuan dengan mengulurkan tangannya.
Dengan tegas Diana menampik tangan itu. Matanya terus menatap pintu yang baru saja dilalui Arvan. "Es batu!" gerutunya sambil menitikan air mata.
Heksa mendekat dan jongkok di hadapan gadis yang membuatnya tergila-gila. "Kamu kenapa nangis? Sakit?" tanya pria bergingsul itu dengan iba.
Diana mengangguk. Satu tangannya mengepal dan memukul dadanya sendiri sambil menangis. Heksa yang tak tega lebih mendekatkan tubuhnya lagi. Ia memeluk gadis itu dan mencoba menenangkan tangisannya. Sebuah pelukan yang justru membuat Diana semakin tersedu-sedu.
Malik datang tiba-tiba. Ia menarik hoodie hitam yang dikenakan badboy dengan rambut bergaya mohawk itu. "Malik, apa-apaan, sih?" Heksa memberontak.
"Aku disuruh bos. Mending kamu pergi atau Arvan gak ngijinin kamu ke kantor lagi!"
"Ok! Tapi tolong sampaikan sesuatu ke Arvan!"
"Apa? Mau jadi OB di sini?"
"Bukan. Tolong jangan sekali-sekali bikin Diana nangis lagi!"
"Iya, nanti aku sampaikan. Sana pergi!" Malik mendorong tubuh Heksa pelan.
"Diana, jangan nangis! Tunggu aku nanti malem ya! Aku bakal datang ke rumah kamu, i love you!"
Diana menggerutu lirih dan memastikan tak ada yang mendengar umpatannya. "Pria aneh, gila, sinting!"
Malik begitu penasaran dengan hubungan keduanya. Pria berkumis tipis itu mendekati Diana yang baru saja berdiri. "Hey, kamu beneran pacaran sama Heksa?"
"Gak." jawab Diana dengan tegas.
"Jangan bohong! Kalian kenal di mana?"
"Ngapain bohong? Aku baru kenal dia tadi."
"Pasangan serasi. Kompak menyembunyikan rahasia."
"Aku gak bohong. Gak nyembunyiin apa-apa."
"Aku tetep gak percaya."
"Terserah." Diana kembali bekerja membersihkan ruangan sang CEO.
***
Arvan tengah duduk di ruang rapat sendirian. Bahunya yang lebar ia sandarkan pada sandaran kursi. Tatapan matanya kosong, membayangkan wajah seorang gadis yang menurutnya tak asing.
Ckleeek
Malik membuk pintu. Membuat Arvan sedikit terkejut. Sekretaris dari bos muda ini duduk dan mengatakan jika Heksa sudah pergi.
"Heksa kasih pesen ke kamu."
"Apa?"
"Dia bilang jangan sekali-sekali kamu bikin Diana nangis lagi."
"Siapa dia berani berkata seperti itu?"
"Pacar Diana. Pake tanya lagi! Kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama kalo Chintya dibikin nangis sama orang."
"Siapa kamu berani bahas Chintya?"
Malik segera merekatkan bibirnya. Ia mengalihkan perhatian dengan membaca selembar kertas yang ada di hadapannya.
"Malik," panggil Arvan.
"Ya."
"Apa aku pernah ketemu Diana sebelumnya?"
"Meneketehe, kok nanya ke aku. Kenapa emang?"
"Ah, sudahlah. Aku sampai heran kenapa bisa punya sekretatis seperti dirimu!"
"Aneh banget, kenapa tiba-tiba bahas Diana? Kamu juga ngelarang aku pecat dia kemarin. Jangan-jangan kamu ...." ucapan Malik terpotong ketika Arvan beranjak dari duduknya dan berkata, "Rapat ditunda besok saja."
"Iya."
CEO dingin itu keluar dari ruang rapat. Ia terburu-buru kembali ke ruangannya untuk memastikan satu hal. Tanpa sengaja Arvan dan Diana berpapasan. Arvan menoleh ke arah gadis yang terus menunduk tanpa melihat wajahnya.
Langkah kaki bos arrogant ini terhenti. Ia memutar badannya dan terus melihat Diana yang tengah mendorong meja kerjanya hingga punggung office girl itu semakin menjauh dan lenyap dari pandangan matanya.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Arvan pada diri sendiri. Ia bergegas masuk ke dalam ruangannya dan mengambil selembar kertas berlipat dari laci meja kerja.
Bibirnya tersenyum ketika membaca nama lengkap dari office girl ceroboh itu. Ia mengingat nama teman kecilnya dulu yang mempunyai nama lengkap Diana Febriana Wijaya. Sedangkan pada kertas biodata itu tertera nama Diana Rozalia.
"Mungkinkah aku juga merindukan teman kecilku?" Arvan menjatuhkan tubuhnya pada kursi hitam yang ada di belakangnya. Ia tersenyum sendiri ketika mengingat Diana, teman kecilnya yang berwajah bulat dengan poni yang menutupi dahinya.
"Aku harus telepon ayah dan minta alamat om Wijaya. Aku pengin kasih kejutan ke kamu. Semoga kamu masih ingat dengan wajahku, Diana."
Bersambung....
Diana kembali ke ruangan khusus office girl dan office boy yang ada di lantai bawah. Raut wajahnya sangat murung. Pak Roni dan rekan-rekan cleaning service menduga jika teman baru mereka itu mendapatkan perlakuan buruk dari sang CEO seperti karyawan-karyawan sebelumnya yang tak mampu bertahan lebih dari satu hari."Kamu kenapa, Diana?" tanya Razen, salah seorang office boy."Gak apa-apa, Kak.""Kamu masih betah kan kerja di sini?""Iya, aku betah, kok."Pak Roni mendekat dan memberikan semangat kepada anak buah barunya itu. Ia mengatakan jika pekerjaan Diana lebih ringan dibandingkan teman-teman yang lain."Lebih ringan gimana, Pak?" tanya Diana tak mengerti."Jumlah kita yang dua puluh orang ini ada tugas masing-masing. Setiap orang bertugas di satu lantai. Kamu kan beda, Diana. Kamu cuma satu ruangan doang, lho." ujar Pak Roni."Iya, satu ruangan, tapi ruangan itu isinya beruang kutub,'' gerutu Diana kesal.Jam maka
Diana melihat kedua orang tuanya pulang membawa banyak belanjaan. Mereka berdua begitu antusias melihat Arvan. Begitu juga Arvan yang tersenyum ramah dengan bekas tetangga saat kecil itu."Di, Arvan kenal orang tua kamu?" bisik Heksa."Iya.""Tapi gak kenal kamu?""Kami temen waktu kecil, tapi Arvan udah lupa sama aku.""Sepertinya kamu sengaja jadi OB di kantor dia buat deketin Arvan 'kan?""Iya, udah jangan berisik, nanti ketahuan!"Heksa dan Diana kembali mengamati Arvan dari celah pintu lemari. Pertemuan yang sangat lama antara Arvan dan kedua orang tua Diana membuat gadis bermata sipit dan pria berambut mohawk ini tertidur di dalam lemari. Diana menyandarkan kepalanya pada bahu Heksa. Sedangkan sang badboy bersandar pada dinding lemari dengan telapak kaki yang sedikit keluar dan membuat pintu lemari sedikit terbuka."Diana belum pulang juga, kemana ya, Pih?" tanya Anisa."Entahlah, coba Mamih telepon," perintah Wija
Cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela kaca membuat Diana terbangun. Ia menggeliat dan menyadari ponselnya masih ada di genggamannya.Mata yang malas untuk membuka tiba-tiba saja terbelalak ketika melihat dua pesan masuk tertera di layar ponselnya. Jemarinya mengusap layar benda pipih itu dan membuka pesan teratas. Sebuah pesan dari Heksa yang menagih janjinya semalam. Diana tak membalas pesan itu dan berlanjut membuka pesan kedua.[Kau ingat aku? Si baik hati yang selalu kau gandeng saat kecil.]Membaca balasan itu, Diana bingung dan akhirnya membaca kembali pesan di atasnya. Pesan pertama dari nomor itu adalah panggilan namanya. Senyum manis tersimpul di bibir gadis cantik ini. Ia tak menyangka jika Arvan akan mengiriminya pesan. Dengan lincah jemarinya menari di atas layar dan berpura-pura bertanya.[Apa kamu Arvan?]Hatinya terus berbunga-bunga w
Heksa menghentikan napasnya sejenak dan membuka telinga lebar-lebar ketika Diana akan menjawab pertanyaanya. Dengan jantung yang berdegup tak beraturan, Heksa terus memandang wajah ayu office girl yang terluka itu."Aku ... bakal coba, Sa. Tapi bagaimana kalau aku cuma buat kamu terluka?" kata Diana."Jangan pedulikan sakit hatiku. Aku sudah bahagia mendengar kamu menyetujui permintaanku. Terima kasih. Mulai besok, aku bakal antar jemput kamu kerja. Jangan nolak, ini salah satu cara biar aku lebih deket sama kamu.""Iya, maaf jadi ngerepotin.""Gak apa-apa, Sayang.""Jangan panggil sayang, dong!""Kenapa emang?""Aneh aja.""Kita kan udah jadian, Diana!""Baru juga lima menit. Pokoknya aku gak mau dipanggil sayang, titik!""Oke, titik.""Kok titik sih?"
Arvan tengah bermain ponsel dan mengabaikan pekerjaannya. Beberapa kali Malik mempertanyakan rapat dengan staf keuangan yang kemarin tertunda. Namun, CEO dingin ini seolah tak mendengar dan terus menatap layar ponselnya. Ia tengah menunggu balasan pesan dari Diana, teman kecilnya.Malik mulai kesal. Ia berdiri dari kursi di hadapan Arvan yang hanya berbatasan dengan meja kerja. Penasaran dengan apa yang dilihat bosnya, sekretaris berkumis tipis ini melangkah dan berdiri di belakang Arvan. Ia membaca pesan dengan nama kontak Diana.Malik mengusap matanya, mendekatkan wajahnya ke arah ponsel Arvan untuk memastikan nama yang ia baca. Malik menoleh ke wajah Arvan yang begitu serius menatap gawai hingga tak sadar akan keberadaannya yang tengah membaca pesan dari Diana itu."Astaga, sepertinya aku perlu ke dokter mata. Setelah keanehan yang dialami Heksa, sekarang Arvan. Jangan-jangan office girl itu pake susuk jaran goy
"Hua ... kamu pasti cari kesempatan ya!" teriak Diana setelah menyadari dirinya menindih Heksa."Aku gak ngapa-ngapain! Kan kamu yang tadi mukul-mukul aku, dorong aku sampe jatuh," jawab Heksa membela diri.Diana tak bisa berkata lagi. Ia merebut cup minumannya yang masih berada di tangan Heksa. Cup kosong itu dibalik dan meneteskan satu tetes cokelat dingin terakhir ke lantai."Abis," kata Diana lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan wajahnya yang kusut."Jangan sedih gitu, dong!" Heksa memegang erat kedua pipi Diana. Membuat bibir tipis gadis itu maju seperti paruh burung yang terbuka."Aku mau lagi," kata Diana memelas."Kita keluar, yuk! Aku traktir kamu sepuasnya. Mau gak?""Mau.""Tante mana? Aku mau ijin dulu bawa anak gadisnya pergi.""Kayaknya di kamar. Aku panggilin ya! Sekalian a
"Siapa yang ngijinin bahas Chintya di sini?" kata Malik menirukan Arvan.Arvan melirik ke arah sekretarisnya. Tanpa kata, hanya sebuah tatapan tajam yang begitu menusuk."Sorry. Oke, aku ganteng aku diem." Malik merapatkan bibirnya."Bisa saja berita itu hanya isu," jawab Arvan singkat."Entah isu atau kabar nyata. Aku cuma nyaranin ke kamu, kalo kamu masih mencintainya, bukankah kesempatan untuk merebut hati Chintya kembali? Lagi pula sekarang Chintya sudah tahu kalau kamu pewaris tunggal Hutama Group kan?""Tidak perlu repot-repot ikut campur urusan pribadiku!" tegas Arvan."Stop, please! Waktu kumpul bertiga kayak gini tuh jarang terjadi. Gak usah bahas masalah gak penting gitu bisa gak?" tukas Malik melerai perdebatan antara Heksa dan Arvan sebelum masalah memuncak.Diana yang awalnya canggung semakin canggung dan tak berselera
"Heksa baik, kok, Pih. Cuma penampilannya aja kayak gitu," bela Diana."Coba kamu punya pacar seperti Arvan, Papih bakal dukung seratus persen.""Kalo Diana sama Heksa emang didukung berapa persen, Pih?""Sepuluh persen," ujar Wijaya sambil berlalu masuk ke dalam rumah."Diana juga maunya sama Arvan, tapi Arvan mencintai orang lain. Biarlah, liat dia tiap hari di tempat kerja aja udah seneng," batin Diana melihat kedua orang tuanya berjalan beriringan.Gadis manis bermata sipit ini masuk ke dalam kamarnya. Ia membuka ponselnya yang sepi tanpa notifikasi. Keputusannya memberitahu Arvan untuk tidak mengganggunya lagi sedikit disesali Diana."Aku terlaku ceroboh, harusnya kasih alasan lain biar tetep hubungan sama Arvan," kata Diana sambil meletakkan ponselnya di atas kasur.***Arvan baru saja tiba di rumah. Ia bergegas members