Share

Pindah

Kaila mengikat rambutnya tinggi ke atas, dia harus kerja keras malam ini, membawa semua barangnya ke rumah dosennya. Tidak terlalu banyak, hanya satu koper besar. Kaila membawa keluar kopernya dan mengetuk pintu mobil Darel.

“Pak, saya sudah selesai,” ucap Kaila sembari menguap. Sudah jam sepuluh malam, dia sangat mengantuk. Badannya terasa remuk. Biasanya sepulang kuliah dia langsung tidur siang, malamnya dia bekerja di restoran.

Darel lalu turun, membuka pintu bagasi, dia membantu Kaila memasukkan kopernya. Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang mengawasi mereka, teman kuliah Kaila yang juga kos dekat Kaila. Mereka terkejut karena Kaila pergi bersama Darel membawa koper besar.

“Itu Kaila pergi kemana? Itu kan pak dosen ganteng! Pak Darel Elvando!” pekik Nesya—teman sekelas Kaila.

“Ssst, jangan terlalu keras. Jangan-jangan kaila simpanan Pak Darel?” tanya Revan.

Kaila merasa ada yang memperhatikan, dia menoleh ke belakang. Dua orang temannya segera bersembunyi dan pergi.

“Kaila? Tidak masuk?” tanya Darel membuka pintu untuk Kaila.

“Eh iya Pak,” ucap Kaila. Dia lalu masuk ke dalam mobil Darel dan duduk dengan nyaman. Rasanya masih seperti mimpi, dia tidak menyangka jika dia akan tinggal di rumah mewah dosennya. Tidak hanya itu, dia juga mendapatkan biaya kuliah dan uang saku. Kalau dipikir-pikir lebih tepatnya dia menjadi kekasih bayaran Darel.

Di perjalanan Darel hanya diam dan sama sekali tidak mengajak Kaila, suara alunan musik dari radio membuat Kaila mengantuk. Darel menoleh ke samping, gadis di sampingnya akhirnya tertidur pulas. Darel sebenarnya tidak mau berbuat seperti ini, tapi dia terpaksa melakukan hal ini agar terhindar dari Jesline. Dia sangat risih dengan Jesline, terakhir kali Jesline pernah ke kampus mencarinya, bahkan berani merangkul dan menciumnya di depan umum. Hanya dengan cara seperti ini dia yakin Jesline tidak akan lagi menempel dengannya.

Darel menoleh ke samping, Kaila masih terlelap, dia membangunkan Kaila, menggucang pelan bahunya, memanggil namanya, sayangnya gadis itu masih belum bangun. Darel memutuskan menggendong Kaila untuk masuk ke dalam rumah. Dia merebahkan Kaila di kamar tamu, menyelimutinya lalu meninggalkan Kaila. Sebenarnya Kaila sudah bangun, dia hanya berpura-pura tidur, ternyata dosennya masih baik mau menggendongnya. Kaila tersenyum sendiri saat membayangkan Darel yang menggendongnya.

Suara dering handphone membuat Kaila menyipitkan matanya, tertera nama Amalia—teman sekamarnya saat di kos.

“Hei, Kaila dimana kamu? Kenapa semua barangmu tidak ada? Tadi juga kenapa kamu tidak datang ke restoran? Kalau kamu tidak datang ke restoran, setidaknya pamitlah dulu kepadaku. Kamu pergi kemana? Apakah ada masalah?” tanya Amalia dengan nada khawatir.

“Sorry Amalia, aku lupa memberitahumu, mulai sekarang aku tidak lagi bekerja di restoran, aku juga tidak lagi kos di sana. Aku tinggal bersama ... pamanku,” ucap Kaila berbohong.

“Apa? Paman? Bukannya dulu kamu sendiri yang mengatakan kepadaku kamu hidup sebatang kara?” tanya Amalia.

“Tidak, dia satu-satunya paman yang aku miliki, baru pulang dari luar kota,” ucap Kaila berbohong. Dia tidak tau harus mengatakan apa kepada Amalia. Satu-satunya cara hanya dengan membohongi gadis itu.

“Baiklah, kalau itu hal yang terbaik untukmu, semoga kamu nyaman tinggal dengan pamanmu, kalau terjadi sesuatu, hubungi aku ya,” ucap Amalia.

“Iya Amalia, terima kasih.”

Kaila lalu kembali tidur dan memejamkan matanya, semakin dia memejamkan mata semakin sulit tidur. Dia lalu menyalakan lampu kamar, melihat sekeliling kamar. Sangat besar dan mewah, perabotannya juga rapi. Ada satu foto yang tercetak di sana membuat Kaila menyerngitkan dahinya, foto Darel dengan seorang wanita, entah siapa Kaila tak tahu. Foto yang diambil saat musim dingin, terlihat salju tebal di foto itu. Kaila menjadi penasaran, bagaimana rasanya menyentuh salju.

Dia merasa bosan dan tidak bisa tidur, mungkin karena baru pertama kali tinggal di sini. Kaila membuka pintu kamar dan melihat ruangan kerja Darel masih menyala lampunya. Sudah pasti dosennya masih terbangun di jam malam. Kaila memutuskan duduk di sofa, menyalakan televisi dengan tanpa suara, takut mengganggu kesibukan Darel. Tak lama dosennya keluar dan melihat Kaila yang duduk di sofa.

“Kaila? Apa kamu terbangun dari tidurmu?” tanya Darel. Kaila menatap Darel dan mengangguk.

“Iya Pak, saya mau lihat televisi dulu ya,” pinta Kaila. Darel mengangguk lalu kembali masuk ke ruang kerjanya. Kaila merasa rumah ini terlalu besar jika hanya diisi dengan mereka berdua. Sepi, biasanya dia tinggal di kamar kos kecil bersama Amalia. Lama kelamaan, Kaila tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala.

Saat pukul 2 a.m , Darel keluar dari ruangan kerjanya, dia baru saja selesai mengoreksi makalah mahasiswa. Dia menghentikan langkahnya saat mendengar suara dekuran dari Kaila. Darel melangkah mendekat, dia menghela nafas panjang.

“Astaga, berapa kali saya harus menggendong kamu untuk tidur di kamar?” ucap Darel

Dia berjongkok, mengguncang pelan bahu Kaila. Gadis itu tertidur sangat pulas, tidak ada pilihan lain, Darel menggendong kembali Kaila ke kamar. Saat Darel hendak keluar, tangan Kaila mencegah Darel keluar.

“Saya tidak terbiasa tidur sendiri, bisa bapak temani saya?” pinta Kaila. Semenjak orang tuanya meninggal, Kaila tinggal di kos-kos an dengan Amalia. Dia tidak pernah bisa tidur sendirian. Dia takut sendirian di dunia ini.

“Kamu menggoda saya?” tanya Darel menatap Kaila tajam. Kaila menggeleng dan menangis, entah kenapa dia ingin menangis saat ini juga. Rasanya campur aduk, dia sedikit merasa bersalah kepada orang tuanya yang meninggal, bukannya bekerja keras di restoran, dia malah menerima tawaran dosennya untuk menjadi kekasih palsu.

“Tidak Pak,” ucap Kaila dengan suara bergetar. Darel mengerjapkan matanya saat melihat Kaila menangis, dia lalu duduk di samping Kaila.

“Lalu kenapa kamu menangis? Saya tidak memukulmu, kenapa menangis?” tanya Darel. Dia tidak mengerti kenapa Kaila menangis, padahal tadi gadis itu terlihat baik-baik saja.

“Saya hanya merasa takut sendirian di dunia ini, saya juga merasa merepotkan bapak, saya merasa menjadi perempuan yang tidak baik, maaf pak,” ucap Kaila menunduk dan menangis. Darel mengambil tisu dan memberikannya kepada Kaila. Dia menatap Kaila dengan dingin.

“Menangislah sepuasmu lalu tidur. Jangan merasa bersalah, saya yang meminta kamu di sini sebagai tameng untuk menghindari Jesline. Kalau kamu tidak terbiasa dengan tidur sendiri, cobalah menutup mata saja. Besok akan saya carikan sesuatu agar kamu bisa tidur,” ucap Darel lalu keluar dan menutup kamar Kaila.

Dengan susah payah dia mencoba menutup matanya, Kaila harap malam ini dia bisa bermimpi almarhum ayah dan ibunya, dia sangat merindukan ayah dan ibunya. Dia rindu senyuman orang tuanya yang selalu mengisi hari-harinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status