CELINE
Aku mengeringkan rambutku dengan handuk dan mencoba mendekati tubuh Gadis yang masih belum juga sadarkan diri. Ini sudah hari keenam sejak kecelakaan itu, dan Gadis belum juga membuka matanya.
Aku sedikit terbiasa dengan keadaan ini. Keadaan dimana aku berbicara dengan Gadis tanpa ada sahutan sepatah kata pun. Keadaan dimana aku sedikit melupakan pekerjaanku sebagai seorang pilot. Dan semua ini membuat hatiku teriris, menangis tanpa ada yang nengetahui.
Aku tidak pernah sedetik pun meninggalkan Gadis dan mempercayakannya kepada orang lain. Walaupun itu Bapak, Ibu, Valerie, ataupun Mbak Celine. Aku merasa lebih baik jika bisa melihat langsung kondisi kekasihku.
“Dis... apa kamu nggak kangen sama aku?” Aku mengelus fotonya yang menjadi wallpaper iPhone-ku. Dia terlihat sangat bahagia, berdiri dengan satu kakinya, dan kaki lain ia tekuk ke belakang. Menara Eiffel berdiri gagah dibelakang Gadis, menjadi saksi betapa bahagia
Aku mengepak beberapa pakaian dan barang bawaanku yang kubawa untuk menginap di rumah sakit. Hari ini kabar yang sangat menggembirakan setelah kesadaran Gadis. Gadis diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan.Bapak, Ibu, Mbak Celine, Valerie, dan juga Papa ikut mengantar Gadis pulang dan telah menyiapkan sedikit kejutan karena kepulangannya. Aku memandangnya yang sedang turun dari ranjangnya. Walaupun sudah jauh membaik, tapi aku tau bahwa tubuh dan raganya masih lemah.“Bisa?” Aku langsung meraih tangannya saat dia mulai berjalan. Ia tersenyum dan mengangguk.“Janji ya Dis, mulai sekarang kamu harus lupain hal-hal yang bikin pikiran kamu nggak fokus, yang bisa bahayain nyawa kamu sendiri.” Papa mencoba memberikan petuah kepada Gadis.“Iya Pa, Gadis janji.”Ya, Gadis memang memanggil Papa seperti itu. Atas paksaan Papa tentunya. Entahlah, akhir-akhir ini semuanya menjadi lebih indah dan satu persatu beban te
Tak terasa sudah satu bulan berlalu sejak kejadian yang hampir membuat nyawaku melayang. Dan sudah dua minggu ini aku tidak bertemu Kavaleri. Aku terus berpikiran positif jika dia sedang banyak kerjaan dan tidak bisa seenak jidat pulang untuk menemuiku. Aku tau jika bekerja menjadi seorang pilot selama berada di dalam pesawat handphone harus dimatikan. Tapi waktu dia landing atau mau take off bisa kan telfon aku dulu? Seperti kebiasaan sebelumnya yang rutin ia lakukan padaku?Entahlah, dia berubah. Dia berubah sejak kejadian itu. Dimana secara informal dia melamarku, dan secara terang-terangan aku menolaknya dengan halus. Bodoh? Mungkin iya. Tapi aku merasa itulah yang pertama-tama harus aku lakukan. Mengingat penyakitku yang sudah dua tahun ini mendiami tubuhku.“Dis?” Suara Kak Celine membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya, memberikan senyumku untuk kakakku satu-satunya dan setia merawatku di rumah sakit.“Lagi ngelamunin apa?”
Aku mengenakan dress selutut berwarna biru tua dan high heels berwarna senada. Kubiarkan rambut hitam keunguanku tergerai. Untuk kesekian kalinya aku menghadap cermin lagi, memastikan bahwa penampilanku tidak berlebihan.Entahlah aku mau dibawa kemana, Kavaleri hanya berpesan untuk mengenakan pakaian formal, dan aku menurutinya saja. Setelah aku cukup yakin dengan penampilanku, aku menyambar tas tanganku dan turun ke lobi berniat menunggu Kavaleri.Saat aku duduk di sofa panjang dekat kolam ikan, sekilas aku melihat Asha sedang berjalan masuk ke lobi dan menggandeng tangan seorang pria bule. Tinggi, kekar, dan tampan. Untung saja dia tidak menyadari keberadaanku.“Syukurlah kalo dia udah dapet pengganti Kava...” gumamku pelan.“Mbak, sudah ditunggu di luar.” Seorang petugas keamanan menginterupsi gendang telingaku. “Oh ya, terima kasih Pak.” Aku berdiri, melangkahkan kakiku ke mobil Audi hitam milik Ka
Soekarno-Hatta International Airport, 05.12 WIBDisinilah aku berdiri, di antrian panjang para penumpang yang memiliki kepentingan sama denganku, check-in. Aku berdiri di urutan keempat dari meja petugas check-in, dari sini aku bisa melihat Kavaleri sedang berbicara dengan beberapa petugas bandara yang mungkin dikenalnya. Sedangkan Kak Celine sedang memainkan smartphone-nya tepat di samping Om Gandi. Ya, hanya aku yang berdiri mengantre di sini.“Selamat pagi, bisa saya lihat tiketnya?” Sapa mbak-mbak cantik di depanku dengan ramah. Aku menyodorkan empat tiket agar diperiksa dan kami semua bisa menuju ruang tunggu. Tak berapa lama petugas check-in tersebut mengembalikan tiketku.“Terima kasih dan semoga perjalanan anda menyenangkan.”“Terima kasih mbak...” ucapku dengan ramah, membalas keramahan petugas itu.Aku berjalan ke arah Kavaleri dan dia menyambut
5 bulan kemudian...Aku memandangi jari manisku, tersenyum simpul dan merasa sangat bahagia. Di sana, bertengger cincin bermata berlian pemberian Kavaleri saat lamaran dahulu. Sekali lagi aku tersenyum bahagia.“Nggak nyangka deh gue sekarang bisa jadi nyonya Kavaleri wanna be.” Suaraku terdengar sangat bangga.“Woy! Lagi apa lu?” Valerie membuka pintu ruanganku tanpa permisi. Tapi, itulah kebiasaannya. Dan aku tidak mempermasalahkannya karena dia adalah sahabat terbaikku di kantor.“Nih, lihatin ini.” Aku menyodorkan tanganku dan dia hanya cemberut. “Enak deh udah lamaran gitu, gue kapan kali ah dapetin cowoknya?” Valerie duduk di sofa dan aku menghampirinya.“Hahaha, ya makanya lu tuh cari dong! Jangan kaya Kak Celine dulu selalu sibuk mikirin kerjaan.”“Gue mah udah sekuat tenaga Dis nyarinya, cuma belum ada yang nyari gue balik aja.
Aku melangkahkan kakiku memasuki bridal store yang berada di daerah Kemang. Siang ini aku sudah membuat janji dengan Cik Mey, pemilik bridal store ini yang tidak lain tidak bukan adalah temanku sewaktu SMA untuk fitting gaun pengantin. Ya, Kak Celine dan Mas Pandu sudah meresmikan hubungan mereka dua bulan yang lalu. Dan aku bisa melihat kebahagiaan yang selama ini hilang di hati Kak Celine.“Selamat siang mbak, ada yang bisa saya bantu?” Sapa pelayan dengan ramah, di bahunya melingkar tali meteran berwarna hijau.“Mau ketemu sama Cik Mey mbak, nyobain gaun yang udah saya pesen.” Jawabku tak kalah ramah.“Oh baik, tunggu sebentar ya mbak.” Pelayan itu masuk ke sebuah ruangan yang aku yakin itu adalah ruangan Cik Mey.Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bridal store ini. Dipenuhi oleh mannequin-mannequin yang dipasangi gaun pengantin yang sangat indah nan mewah.
Aku memejamkan mataku ketika perias memoleskaneye shadowdi mataku. Hatiku berdegup seperti genderang perang yang siap untuk memulai peperangan. Aku membuka mataku ketika perias itu sudah selesai.“Cantiknya Mbak Gadis...” ucap sang perias itu girang. Membuat hatiku tambah berbunga-bunga.“Makasih mbak, aku deg-deg an banget!” tanganku membuat gerakan sedang mengipasi mukaku sendiri.“Ya wajar to mbak kan mau nikah, sama mas pilot yang ganteng lagi...” aku terkekeh geli mendengarnya.“Dan gue merasa sangat beruntung dapetin dia.” Batinku bangga.“Udah mbak, sekarang ganti gaunnya.”Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Pagi ini adalah acara akad nikah. Tempatnya pun sama untuk nanti malam, acara resepsi. Ini semua ide Kavaleri untuk memilih Ritz Carlton sebagai saksi pernikahan kami.Aku melangkah keluar setelah selesai memak
Aku menghapus riasan yang menghiasi wajahku. Ya, acara sudah berakhir dua jam yang lalu. Sekaramg pukul 12.30 dan aku serta Kavaleri sudah berada di dalam kamar. Kavaleri sedang mandi, dan aku hanya berniat untuk membersihkan wajahku saja.Pintu kamar mandi terbuka, menampakkan Kavaleri yanghalf nakeddengan rambut yang basah. Sejenak, aku menelan salivaku kesusahan melihat pantulan Kavaleri dari cermin. Kavaleri yang menyadarinya langsung menghampiriku. Entah mengapa, tanganku bergetar dan jantungku berpacu dengan cepat.“Sayang...” Kavaleri memeluk tubuhku dari belakang, menumpukan dagunya ke bahuku. Aromanya wangi, membuatku ingin melesakkan kepalaku di dada bidangnya.“Ap... Apa Kav?” Suaraku bergetar. Memalukan! Kavaleri yang menyadari langsung tersenyum jahil. Dia menyesap wangi tubuhku di bagian leher. “Nggak mandi tetep wangi ya...” suaranya berat, dan memunculkan kesan seksi.“Kav aku