Cling.
Begitulah bunyinya. Bunyi yang dihasilkan oleh mesin absen yang ada di kantor kami. Keren guys absennya, harus setor muka. Makanya gak bisa dikibulin tuh. Kecuali kalau kita operasi plastik mungkin baru tuh mesin bisa dikibulin.
Selesai absen, aku segera menuju ke ruangan utama OB dan OG yang ada di lantai satu. Kantor tempatku bekerja terdiri dari enam lantai dengan jumlah OG dan OB masing-masing enam orang. Setiap lantai menjadi tugas satu OG dan satu OB. Dan aku ... mendapat tugas di lantai nomer enam. Gak papa, ikhlas lilla hitangala pokoknya. Penting halal, dan dapat duit.
Selesai menaruh tas milikku di loker, aku segera membawa alat tempur berupa sapu, alat pel, sulak, kain serta alat pembersih kaca.
"Langsung ke atas ini?" tanya Ido, OB yang bertugas bersamaku di lantai enam.
"Iya. Biar cepet selesai."
"Oke."
Bersyukur aku bertugas bersama Ido. Ido orangnya gokil kayak aku, suka menolong dan yang jelas gak egois. Makanya, lantai enam adalah lantai yang jarang mendapat komplain dari pihak perusahaan karena kebersihannya. Dan ... alasan lainnya karena lantai itu juga lantai yang jarang dikunjungi oleh orang luar. Hahaha. Tentu dong bersih. Wkwkwk.
Dengan semangat tahun dua ribu dua puluh dua, aku dan Ido melakukan tugas kami. Pertama kami membersihkan kaca-kaca, kemudian menyapu dan terakhir mengepel. Bekerja dari jam enam dan selesai pukul tujuh lewat lima menit. Aman.
"Oke, udah selesai semua, balik ke pantry utama yuk?"
"Ayuk."
Aku dan Ido berjalan sambil menenteng beberapa peralatan kebersihan. Kami sengaja menggunakan tangga darurat. Malas saja menggunakan lift karena malu jika harus bertemu dengan para pimpinan. Tapi kalau naik kami pakai lift, kan capek naiknya. Tapi kalau turun kan tinggal nggelundung. Tapi ya jangan nggelundung beneran kali.
Sampai di pantry hanya ada Gita, Shelomita, Anastasya, Heri, Yogi,dan Juki. Sementara Sandra, Deswita, Yudi dan Aryo belum terlihat. Oh iya, Aryo dan Deswita sudah kembali bekerja hari ini. Cuti tiga hari mereka paska menikah sudah selesai. Tadi saat mereka pertama bertemu denganku, si Aryo berlagak sok gak kenal sementara Deswita berlagak nyonya besar. Jiah, terserah mereka deh. aku sih gak peduli dengan keduanya. Soalnya aku udah move on.
"Kok cuma kalian aja? Yang lantai satu dan dua emang belum selesai?" tanyaku kepo.
"Halah, kayak kamu gak tahu aja, mereka berempat kan paling lelet." Shelomita berceletuk.
"Tapi paling bisa cari muka," imbuh Anastasya.
"Hooh."
Kami berdelapan segera kembali bekerja, kini tugas kami adalah membuat minuman lalu mengantarnya pada setiap pekerja dan para pimpinan. Selesai mengantar minuman kami harus selalu standby di bagian kami masing-masing, siapa tahu ada yang butuh dibelikan makanan, fotokopi berkas, dan lain-lain.
Aku segera mengantar minuman di lantai enam, salah satunya harus ke ruangan Bapak Manajer yang terhormat.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk."
Aku segera masuk dan menaruh minuman di meja Pak Andro. Sebotol air mineral dan secangkir kopi panas kini menjulang manis di meja Pak Andro.
"Tolong rapikan rak buku saya," titah Pak Andro tanpa menoleh ke arahku. Dia terlihat fokus dengan laptop.
"Baik, Pak."
Aku pun segera menuju ke rak buku. Baru saja tanganku terulur hendak mengambil salah satu buku yang terjatuh, aku malah terlonjak kaget karena tiba-tiba terdengar bunyi suara pintu yang dibuka dengan keras.
Belum lagi kekagetanku sirna, seorang wanita cantik tiba-tiba masuk dan langsung menghampiri Pak Andro.
"Kita harus bicara, Mas!"
"Keluar!"
"Mas, please. Kita harus bicara."
"Kita udah selesai Jelita, jadi saya minta kamu pergi!"
"Mas! Aku tahu aku salah, tapi aku begini karena kamu. Kamu paham gak sih, aku tuh wanita normal. Aku ...."
"Butuh belaian? Ck. Kalau begitu sana kunjungi selingkuhan kamu. Bukankah dia bisa muasin kamu. Gak seperti saya yang cuma bisanya diem dan ah ... apa kata kamu waktu itu? Sok suci."
"Mas!"
"Keluar! Atau saya akan meminta satpam mengusirmu dengan kasar."
"Kamu egois!"
"Dan kamu lebih egois!"
Kedua orang itu masih saling berdebat dan berteriak. Bahkan si wanita beberapa kali mengeluarkan umpatan kasar dan segala macam nama binatang di Ragunan keluar dari mulut cantiknya. Sementara Pak Andro, walaupun kemarahan juga jelas terpampang di wajahnya, kata-katanya masih terkontrol.
"Kamu itu sok suci b##%%%%@&&$$@ ...."
Aku sampai melongo mendengar semua umpatan yang keluar dari wanita cantik itu. Tanpa sadar, aku merapat ke rak buku lalu memeluknya.
"Kamu emang b@#$$, b$$@&@%%@, i@$%#&&##, mbelok kamu, Mas!"
"Mau aku mbelok atau sok suci bukan urusan kamu, ingat kita cuma mantan."
"Kamu beneran tega sama aku, Mas. Aku cinta kamu. Aku udah minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku khilaf. Hiks hiks hiks." Wanita itu kini menangis histeris sementara Pak Andro hanya menatap sinis.
"Khilaf itu sekali, Jelita. Bukan berkali-kali bahkan selama dua tahun. Sorry, saya gak terima bekas orang. Saya mau cari perawan. Silakan kamu keluar."
"Dasar Gay, homo kamu!"
Wanita itu berlari dengan berurai air mata. Bahkan dia sampai membanting pintu keras sekali. Aku masih memeluk rak buku, bahkan tanpa sadar satu kakiku terangkat.
"Kamu mau berapa lama jadi cicak?" Suara sinis nan dingin menginterupsi aksi absurdku.
"Eh, Bapak. Hehehe." Aku cuma bisa cengengesan sambil menggaruk kepalaku yang gatal karena belum keramas akibat lagi datang bulan.
"Anu ... hehehe. Anu sa—"
"Jadi, selama ini kamu yang bertugas di lantai enam?"
Aku melongo mendengar pertanyaan Pak Andro.
"Kamu gak budeg, 'kan?"
"Eh, itu Pak. Ya sejak saya bekerja di sini, saya kebagian tugas di lantai enam. Bapak kan sering lihat saya juga. Bapak gak amnesia kan gara-gara putus sama pacar Bapak?"
"Ck. Saya gak semenyedihkan itu juga, kali." Dia menatapku sadis sementara aku hanya bisa meringis.
Pak Andro mulai menyeruput kopinya. Menyecap-nyecap lalu menatap ke arahku.
"Kamu yang biasa bikinin kopi buat saya, 'kan?"
"Ya iyalah, Pak. Masa ya iya dong."
"Oooo. Kok beda? Rasanya gak kayak biasanya." Dia mulai menyeruput kopinya lagi.
"Itu bukan saya atau kopinya yang salah, Pak. Tapi hati Bapak yang lagi gundah. Makanya kopinya gak enak, pahit."
"Ck." Dia cuma mencebik dan melanjutkan meminum kopinya.
"Lagian kalau bapak merasa kopinya salah rasa berarti itu akibat ada saya."
"Maksudnya?" Dia menatapku sambil menyeruput kopinya lagi.
"Kopi kan pahit, tetapi kalau ditambah gula jadi ada rasa manis. Nah, berhubung ada saya tuh kopi yang udah manis semakin manis. Soalnya saya kan manis, Pak."
"Uhuk!" Pak Andro memuncratkan kopinya. Dia memukul-mukul dadanya sambil terbatuk-batuk. Lalu dengan kasar menarik tissue dan membersihkan mulut dan bajunya yang terkena cipratan kopi.
"Ngimpi kamu!"
"Ck. Gak percaya!"
Aku memilih meneruskan pekerjaanku yaitu membersihkan rak buku sementara Pak Andro masih membersihkan mulutnya dan mengatasi batuk akibat tersedak tadi.
Secara tidak sadar, Pak Andro malah menyeruput kembali sisa kopi yang tadi dia katakan rasanya beda. Padahal aku yakin rasanya sama yang beda adalah karena ada Kania yang cantik nan gila sehingga membuat Pak Andro terseponah. Ahay. Hoek.
Aku menghentikan aktivitas lari pagiku. Mengelap keringat lalu menoleh ke belakang ke arah empat soulmateku. Siapa lagi kalau bukan Heri, Shelomita, Anastasya dan Gita. Ulala, apa maksud mereka? Ngajakin lari pagi malah pada sibuk selfi. Ya wis, aku memilih lari lagi. Rambutku yang panjangnya sepunggung sengaja kukuncir dan memakai topi.Puas berkeliling sebanyak dua putaran, aku memilih berjalan santai sambil memandang ke sekeliling. Sejak tadi terlihat banyak cowok menatapku sambil kedip-kedip, menebar senyum bahkan menyapa. Tetapi tak kugubris sama sekali. Bukannya aku sok jual mahal tetapi karena di sampingku tadi ada cewek cantik banget yang berlari beriringan denganku. Mana tuh kulit mulus banget, licin guys, matanya sipit dengan wajah khas keturunan Tionghoa. Makanya, walau sejak tadi ada yang lirik-lirik, senyum-senyum bahkan kedip-kedip ke arahku, gak tak gubris. Takut salah tafsir. Takut GeEr mengira lagi tepe-tepe sama aku jebule malah maring wong wadon neng jejerku (ternya
Suara langkah kakiku terdengar membahana di lantai enam. Dengan semangat, aku membersihkan ruangan sebelum nanti pulang kembali ke kostan. Selesai dengan pekerjaannku, aku kembali menuju ke pantry utama.Di sana hanya ada Aryo yang sedang bermain ponsel. Sebenarnya agak malas kalau harus satu ruangan dengan mantan. Tapi aku ada perlu menaruh semua peralatan tempurku jadi mau tak mau harus kembali ke pantry. Kulewati Aryo tanpa mengatakan sepatah kata pun. Selesai menaruh alat tempur, aku segera keluar dari pantry sambil mencangklong tas. Namun langkahku terhenti karena panggilan dari Aryo. Aku menoleh ke arahnya. Terlihat Aryo duduk tegak, ponselnya sudah berada di atas meja."Hai, Kania. Kamu sehat?"Aku mengernyit mendengar pertanyaan Aryo."Lah kamu emangnya gak bisa lihat aku? Kalau aku sakit gak mungkin dong aku mondar mandir sejak pagi kek kitiran. Pasti kalau aku sakit aku tuh lagi rebahan di kost. Pertanyaan aneh."Aku segera berbalik dan hendak melanjutkan langkah."Kania!"
Pak Andro masih saja memarahiku. Bahkan kini dia sedang mengeluarkan dalil-dalil dalam Al Quran yang intinya bunuh diri itu dosa. Aku sama sekali tak begitu fokus dengan amarah Pak Andro apalagi kata-katanya. Fokusku kini tersedot pada wajahnya yang benar-benar ganteng.Alis lebat, bibir tebal, rahang tegas, hidung mancung dan mata yang tajam tetapi begitu memikat. Astaga! Setahun ini aku kemana aja sih? Kok bisa aku gak nyadar ada cowok seganteng ini di dekatku. Aku malah fokus dengerin gombalan Aryo yang ujung-ujungnya dicampakkan gara-gara aku menolak untuk dibelai. Saking fokusnya menatap wajah di depanku, tak sadar aku melongo."Pffff." Aku kaget sekaligus hampir tersedak. Mulutku baru saja disumpal dengan gulungan tissue."Pfft, bah. Ish Pak Andro jahara bener deh, Kania masih doyan makan sayuran sama daging, Pak. Belum pindah haluan jenis makanannya. Kania gak berniat jadi ebeg 'Kuda Lumping' yang suka maka beling dan sebangsanya," ketusku sambil membersihkan mulut dari gumpa
"Astaghfirullah. Aryo! Apa-apaan sih?!" Aku membentak Aryo sekaligus menarik paksa tanganku yang tiba-tiba dia cengkeram kemudian dia tarik dengan kuat hingga menuju ke depan toilet."Kamu yang apa-apaan?! Udah aku bilang kalau aku cinta sama kamu, kenapa kamu malah pergi sama Pak Andro dan ninggalin aku?"Wajah Aryo terlihat seperti murka. Aku bingung, bagaimana dia tahu kalau aku pergi sama Pak Andro?"Maksud kamu apa?""Kemarin aku udah minta kamu buat balikan. Tapi kamu nolak aku. Malah kamu pergi sama Pak Andro. Kalian kemana? Jangan bilang kamu jadi murahan. Cih! Kamu nolak aku belai tapi kamu biarin Pak Andro belai kamu. Munafik kamu."Plak. Aku melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Aryo. Kini aku paham maksudnya. Beneran dah ini cowok pancen muka kadal."Helow! Mau aku pergi sama Pak Andro atau cowok yang lain itu terserah aku. Toh aku single, Pak Andro juga single. Emangnya kamu sama Deswita? Pergi bareng-bareng pakai acara kayak maling. Sembunyi-sembunyi. Lagian emang ka
Aku tersentak kaget gara-gara mendapati posisi Aryo yang begitu dekat denganku. Hampir saja kita berdempetan. "Hai, Kania. Selamat pagi?" Aryo tersenyum manis sekali sayang terlalu manis dan membuatku mau muntah akibat kemanisan. Hoek."Ngapain kamu deket-deket sama aku? Bagian kamu bukan di lantai ini!" sinisku lalu bersedekap."Hehehe. Kamu lupa ya? Aku ini kepala bagian pantry. Terserah aku dong mau dimana?" Dia masih memasang senyum aspartamya. Dih! Punya senyum aspartam aja sok iyes. Untung aku udah sadar kadar manis dalam senyumnya ada rasa-rasa pahit."Justru itu, aku sangat ingat.""Nah, jadi gak salah dong aku keliling. Siapa tahu bawahanku ada yang gak semangat kerjanya.""Uwow, keren!""Iyalah, Aryo."Aryo langsung bergaya dengan sedikit menaikkan kerah seragam OB-nya. Jiah, sok iyes banget ini orang."Tapi ya, Yo. Selain statusmu sebagai kepala pantry aku jadi ingat statusmu yang lain?""Apa?""Mantan pacar dan suami orang. Jadi ya mantan yang udah jadi suami orang, ingat
"Udah pulang?""Udah, Mas Andro jahat ih! Gak jemput Ara.""Ya, maaf. Masuk yuk.""Oke deh."Pak Andro dan wanita yang dipanggil Ara masuk ke dalam ruangan Pak Andro sambil bergandengan tangan. Sementara Mbak Jelita mengekori di belakangnya.Bruk!"Aduh!"Refleks aku menutup mulutku, takut suara tawaku yang macam kuntilanak sampai keluar dari persembunyiannya. Gawat, gak enak aku sama Mbak Jelita. "Andro! Ara! Dasar kalian."Dengan umpatan-umpatan yang bertema para penghuni Ragunan, Mbak Jelita memasuki ruangan Pak Andro. Seperti waktu itu, aku hanya bisa shock mendengar umpatan yang keluar dari mulut Mbak Jelita, bahkan sampai melongo dalam waktu yang lama.Begitu sadar, aku memilih menuju pantry lantai enam yang ukurannya mini. Sampai di sana aku menjatuhkan bokongku secara kasar. Ada rasa sebal pada lelaki bernama Andromeda itu."Ish nyebelin banget sumpah. Katanya cowok susah jatuh cinta. Setia. Lah ini malah udah punya gandengan baru? Mana cantik glowing kayak Mbak Jelita lagi.
Menjalani rutinitas sebagai OG itu ya kadang senang ya kadang bosan. Namanya hidup gak selamanya semangat. Aku pun terkadang merasa bosan dan memilih mengkhayal menjadi istri sultan. Tinggal ongkang-ongkang kaki, main perintah sana sini, wara-wiri jalan-jalan ke luar negeri sambil memakai busana trendy. Jiah! Ngimpi.Daripada khayalanku kemana-mana mending segera menginjak bumi dan menyadari realita yang ada kalau Kania hanyalah pekerja biasa alias OG.Selesai dengan tugas membersihkan area lantai enam. Aku segera kembali ke pantry mini untuk membuat minuman bagi para bos salah satunya biasalah. Pak Manajer."Pagi Pak.""Hem."Aku segera meletakkan minuman di meja Pak Andro, meliriknya sekilas lalu segera pamit saja. Namun baru juga memutar badan, si bos bersuara."Tolong carikan saya beberapa file ini di rak." Dia menyodorkan catatan padaku. Aku pun membacanya dan segera mencarinya."Ini, Pak.""Makasih.""Saya permisi, Pak.""Hem."Aku segera keluar dari ruangan Pak Andro tepat ket
Tok. Tok. Tok.Suara ketukan di pintu kamarku, benar-benar mengganggu acara kencanku sama guling. Berusaha abai, aku malah semakin mengetatkan pelukanku pada MasGul.Tok. Tok. Tok. Suara ketukan pintu menjadi semakin keras."Arggh." Aku menggeram frustasi. Mau tak mau aku jadi terbangun.Tok. Tok. Tok.Secara kasar, aku mengacak-ngacak rambutku, melempar MasGul dan menatap nyalang pada pintu.Tok. Tok. Tok. Lagi, pintu kamarku diketuk dengan sangat keras.Aku menghembuskan napasku kasar. Dalam hati mengumpati siapa pun yang mengetuk pintu."Dasar kurang garam. Gak tahu apa, aku capek banget habis kerja rodi kemarin. Beneran dah, siapa pun yang ketuk pintu aku kutuk dia. Kalau cewek kujadikan saudari kalau cowok kujadikan suami."Tok. Tok. Tok."Ya ya ya, aku bangun!" teriakku.Dengan malas aku turun dari ranjang lalu berjalan gontai menuju ke pintu.Ceklek. Aku memutar kunci pintu lalu segera membuka pintu kamar lebar-lebar."Bisa gak sih! Gak ganggu orang tidur? Capek tahu, habis kerj