Yara mematung di depan pintu apartemen Adam. Adam sudah memberikannya kartu akses agar ia bisa masuk, sementara Adam sedang menjemput tantenya di bandara.
"Duh, nggak apa-apa nih gue masuk sendiri? Ntar kalo ada yang ilang, gue lagi yang kena."
Memilih mengabaikan kebimbangannya, Yara masuk ke dalam apartemen Adam yang selama ini belum pernah dipijaknya. Ia mengangguk-angguk mengerti setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen yang memiliki dua kamar tidur itu.
Sedikit banyak ia mempelajari tentang psikologi desain, dan dari desain interior apartemen Adam, Yara bisa sedikit menggarisbawahi sifat Adam yang masih terlihat sangat jelas. Dingin.
Dengan dominasi warna hitam dan mengambil desain minimalis, apartemen itu jadi benar-benar terasa dingin. Tidak ada hiasan atau ornamen yang menghias apartemen itu, seakan apartemen itu hanya digunakan untuk tidur, bukan untuk ditinggali.
Yara menjatuhkan diri di atas sofa, kemudian menyelonjorkan kakinya sambil menyesap ice vanilla latte yang tadi dibelinya sebelum ia naik ke unit Adam.
Tiba-tiba Yara terkekeh saat mengingat bagaimana ia meminta izin kepada kedua orang tuanya dan bagaimana ia akan membuat Adam membayar apa yang diperbuatnya.
***
Flashback on
"Boleh ya, Ma, Pa?" tanya Yara saat makan malam pada kedua orang tuanya.
"Apaan sih, Dek? Aneh banget alasan kamu." Rhea tidak begitu saja menerima alasan anaknya menginap di tempat orang.
Orang tua mana yang bisa percaya kalau anaknya meminta izin menginap di unit apartemen mantan pacarnya karena tante dari mantannya datang dari luar pulau dan meminta ditemani selama di Jakarta.
"Salahin Om Ranu tuh. Masa aku mesti dapetin proyek ini atau aku bakal dikirim ngerjain resort yang di Papua. Mama papa mau aku ke Papua? Padahal aku belum lama balik dari Manado."
"Bukan gitu, Ra. Alasan kamu agak-agak nggak masuk akal. Terus lagi, ini mantanmu yang mana yang berani nyuruh-nyuruh kamu?" tanya Naren dengan tatapan yang serius. Ia tahu pergaulan anak muda zaman sekarang. Tentu saja ia tidak ingin kecolongan.
Yara mengerucutkan bibirnya. Setelah mengungkapkan siapa nama mantan yang bernani memerintahnya itu, ia pasti akan jadi bulan-bulanan orang tua dan kedua kakaknya. "Adam."
"Adam?" Naren dan Rhea sama-sama terpekik saat sebuah nama itu keluar dari bibir cantik anak mereka.
"Mantan kamu waktu SMA? Mantan pacar pertama kamu?" tanya Naren tidak percaya.
"Iya, Pa. Percaya deh, Pa. Adamnya nggak bakal ada di apartemen. Cuma ada aku sama tantenya yang dari Pontianak. Aku paling nemenin Tante Desi jalan-jalan doang selama di Jakarta. Begitu Adam balik dari luar kota, aku langsung pulang."
Melihat orang tuanya yang masih terlihat ragu, Yara kembali mencoba meyakinkan mereka. "Papa sama mama boleh video call kapan pun. Aku pasti langsung angkat, biar papa mama nggak mikir yang macem-macem. Nanti aku kasih alamat apartemen Adam, kalau papa mama mau sidak tiba-tiba."
"Tunggu, papa sama mama perlu diskusi dulu." Naren kemudian merengkuh pinggang Rhea dengan mesra dan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Yara yang mencebik kesal melihat kemesraan orang tuanya.
Beberapa saat kemudian kedua orang tuanya keluar dari kamar. Papanya yang kini angkat bicara untuk putri bungsunya yang paling ceria namun sering bikin onar itu.
"Ok, papa sama mama ngizinin. Tapi ... kalau dalam waktu lima menit kamu nggak ngangkat video call dari papa atau mama, lihat aja apa akibatnya."
"Siap, Tuan."
"Belum kelar, Dek. Syarat yang lain, ajak Adam ke sini buat ngomong sama papa."
"Lah, kan Adam ke luar kota, Pa."
"Setelahnya nggak apa-apa. Papa kangen juga main catur sama dia."
"Pa, Adam kan udah punya calon istri. Nggak enak lah kalo aku minta dia ke sini."
"Ya kenapa? Papa kan nggak minta dia nikahin kamu. Papa cuma mau ngobrol aja sama dia."
Yara mengacak rambutnya dengan frustasi. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa kalau Tuan Narendra sudah berkehendak.
"Ya udah, nanti aku ajak Adam ke sini."
"Yakin Dek kamu bisa ngajak dia ke sini?" tanya Rhea tidak yakin.
"Kujebak kalo perlu," jawabnya sebelum berlalu menaiki anak tangga.
Flashback off
***
Adam menyeret koper milik tantenya memasuki apartemen tanpa memencet bel terlebih dulu. Langkahnya terhenti saat melihat pemandangan di depannya yang membuatnya benar-benar ternganga.
Yara dengan cueknya tertidur di atas sofa, tanpa sadar kalau saat ini pemilik apartemen dan tamunya tengah memandangnya.
"Astaga anak ini. Aku bangunin Yara dulu, Tante."
"Nggak usah, Dam." Desi memberikan kode untuk memelankan suara mereka. "Biarin, capek mungkin."
Adam menggeleng-geleng tidak percaya melihat Yara yang masih juga memejamkan mata, padahal jelas suara koper yang digeretnya seharusnya bisa membangunkan orang tidur. "Aku bawa kopernya ke kamar dulu, Tante. Tante nginep di kamarku nggak apa-apa kan? Biar Yara nanti tidur di kamar tamu."
Desi mengibas-ngibaskan tangannya. "Senyamannya kamu aja."
Tidak menuruti tantenya, setelah Adam mengantar tantenya ke dalam kamar dan memintanya untuk istirahat, Adam langsung beranjak ke dekat sofa dan menggoyang-goyangkan lengan Yara. "Yara. Bangun."
"Ngg ...." Yara menggeram pelan, tetap memejamkan mata seakan ada sekarung pasir yang membebani kelopak matanya.
"Ra. Tante Desi udah sampe."
Akhirnya kata-kata Adam itu mampu membuat Yara mengerjap pelan.
"Dam," panggilnya tanpa merasa bersalah.
"Bisa-bisanya malah ngebo di apartemen orang," sindir Adam.
Yara terkekeh. "Sorry." Yara mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun tidak menemukan keberadaan orang lain selain Adam. "Tante Desi mana?"
"Di kamar, lagi istirahat. Aku berangkat abis ini." Adam lalu mengangsurkan sebuah kartu pada Yara.
"Apaan?" Yara menatap bingung pada kartu di tangan Adam.
"Kartu kredit. Buat Tante Desi. Nggak mungkin dong, Tante Desi yang bayarin semuanya kalo kalian makan atau belanja, nggak mungkin juga kalo kamu yang bayarin."
Yara berdecak pelan. "Kalo cuma nraktir makan buat dua hari aku juga sanggup, Dam. Ya kecuali Tante Desi mau beli tas branded, baru aku mikir-mikir."
"Udah lah, pegang aja. Aku nggak mau berutang budi."
Mengalah, Yara mengambil kartu dari tangan Adam.
"Eh, udah bangun?" Suara seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar membuat Yara langsung berdiri sigap.
"Siang, Tante. Maaf aku ketiduran tadi, abisnya sepi banget. Tante apa kabar, sehat?"
Desi tersenyum ramah. "Sehat. Kamu gimana? Udah lama banget nggak ketemu. Kamu masih inget sama tante?"
"Inget dong, Tante." Yara mendekat dan memeluk wanita di depannya itu.
Selama perjalanan dari bandara, Adam sudah menceritakan semuanya kepada tantenya, tentang siapa yang akan menemaninya dan bagaimana hubungannya dengan Yara.
"Tante seneng kalian masih bisa sahabatan meskipun udah putus."
Yara tersenyum getir. Andai wanita paruh baya itu tahu bagaimana hubungan sebenarnya antara Adam dan dirinya.
"Tante, aku berangkat dulu ya. Maaf ya tante, aku nggak bisa nemenin."
"Nggak apa-apa. Tante kan memang ada perlu ke sini. Kamu jangan merasa terbebeni, udah, sana kalau mau pergi."
Adam mengangguk, lalu mencium punggung tangan tantenya. "Kalo butuh apa-apa bilang ke Yara aja, Tan."
"Iya, udah sana."
Yara yang melihat Adam berbalik, langsung meminta izin kepada Desi untuk mengantar Adam sampai ke depan pintu. Adam hanya bisa mengernyit bingung mendapati keinginan Yara.
"Dam," bisik Yara.
"Apaan?"
"Aku mau ngomong."
"Ya udah ngomong lah."
"Hmm ... abis kamu balik dari luar kota, papa mau ketemu sama kamu."
"Hah?" Mata Adam membulat sempurna. "Ngapain?"
Yara mengedikkan bahu lalu kembali masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Adam yang kebingungan dengan permintaan papa Yara, sosok yang sangat diseganinya sejak dulu. Lelaki yang dulu digadang-gadangnya sebagai calon mertuanya, sebelum hubungannya dengan Yara berakhir.
"Yara, malam ini makan di luar aja ya, di kulkasnya Adam nggak ada stok makanan sama sekali," keluh Desi setelah melakukan screening singkat di dapur apartemen Adam. Mendengar gerutuan wanita paruh baya itu, Yara yang semula berada di depan TV beranjak menuju dapur untuk berbicara lebih dekat. "Boleh, Tante mau makan malem apa? Atau Tante mau jalan-jalan ke mana gitu?" "Makan nasi goreng kambing kebun sirih kayaknya enak deh, Ra." "Mau delivery atau makan di sana, Tante?" Setelah menimbang sesaat, Desi memutuskan untuk makan di tempat, karena menurutnya justru serunya di situ. "Beneran nggak apa-apa makan di pinggir jalan, Tante?" "Nggak apa-apa lah. Kenapa? Kamu nggak biasa ya?" tanya Desi yang jadi curiga, karena seingat dia, Adam dulu pernah bercerita kalau keluarga Yara jauh lebih kaya daripada keluarga Adam, bahkan beberapa kali membuat Adam rendah diri. Tanpa disangka Desi, Yara justru terbahak mendengar pertanya
"Tapi tante nggak keberatan kalo kamu mau ngerebut Adam lagi." Tiga pasang mata di ruangan itu langsung menatap Desi dengan tatapan tidak percaya dan penuh tanya. "Tante kok ngomongnya gitu? Nggak mau aku, Tante. Kayak nggak ada cowok lain aja." Desi terbahak melihat reaksi Yara dan kedua orang tuanya. "Iya, nggak kok, tante cuma bercanda. Kamu pasti dapet yang lebih baik dari Adam. Walaupun dulu tante mikirnya kalian bakal beneran sampe nikah, cocok soalnya." Yara mendengkus pelan. 'Cocok dari mananya?' "Des, nginep sini aja ya?" tawar Rhea. Ia masih ingin banyak mengobrol dengan temannya itu. Jadi tidak rela rasanya membiarkan Desi kembali ke apartemen Adam, meskipun Yara ikut menemani. "Hah? Nggak ngerepotin, Rhe?" "Nggak lah, kayak sama siapa aja. Nanti barang-barang kamu biar diambilin Yara." "Iya, Tante. Nanti Yara ambilin barang Tante, nunggu Kak Ervin dulu, biar nanti Kak Ervin yang nganterin ke apartemen Adam."
"Bu, ada tamu di depan," ucap salah satu ART di rumah itu kepada sang nyonya rumah. "Siapa, Bi?" tanya Rhea bingung, pasalnya memang dia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun. "Saya lupa namanya, Bu, tapi kayaknya dulu sering ke sini, temennya Mbak Yara." "Oooh, Adam kayaknya." Bukan Rhea yang menjawab, melainkan Desi yang sedang duduk di samping Rhea. "Adam tadi pagi ngabarin aku, katanya kerjaannya udah beres, jadi bisa pulang lebih cepet." "Tolong suruh masuk, Bi." Rhea langsung memerintahkan ART-nya kembali ke depan. "Abis itu tolong panggilin Yara di kamarnya ya, Bi." "Aku langsung ke depan aja, Rhe. Kasihan nanti Adam ngerasa canggung." Desi langsung beranjak menuju ruang tamu demi menemui keponakannya. "Ya udah, aku ke dapur dulu, minta bibi buat nyiapin minum sama cemilan." Tidak berselang lama, Rhea menyusul sahabatnya menuju ruang tamu. Seorang pemuda yang dulu sering menyambangi rumahnya kini datang lagi, meski
"Ra, panggil papamu di teras samping, udah hampir siap ini makan malemnya." Padahal Yara baru saja menginjakkan kakinya di anak tangga paling bawah, tapi mamanya sudah memerintahnya. Nasib anak bungsu, bukan hanya orang tuanya, kedua kakaknya juga sangat luwes ketika memerintahnya melakukan sesuatu. "Paaa ... Papaaa ...," teriak Yara di ruang keluarga. Masih ada jarak lebih dari sepuluh meter untuk sampai di teras samping, tapi teriakan Yara yang memekakkan telingan itu sudah terlebih dulu didengar papanya. "Kamu pasti bersyukur Dam karena nggak jadi sama yang macem Yara gitu," ucap Naren sambil menjalankan bentengnya untuk menembus pertahanan yang dibangun Adam. Adam hanya tersenyum tidak enak mendengar celotehan lelaki paruh baya di depannya. "Tapi kan itu yang membuat Yara menarik, Om. Kepolosannya dan keceriaannya." "Tapi pacarnya nggak ada yang betah tuh sama dia." "Belum nemu jodohnya aja, Om." "Bantu doain, Dam. Jangan d
Aileen turun dari kamarnya yang berada di lantai dua, ia hanya ingin mengambil strawberry untuk menemaninya menonton series China yang sedang diikutinya. Tapi langkahnya terhenti saat mendapati adiknya melamun di stool bar dengan penerangan yang remang. "Gimana Dek rasanya makan malam sama mantan?" "Kak Aileen ngapain jam segini turun?" "Dih, ngalihin pembicaraan, bukannya jawab pertanyaan kakak." Yara mendesah pelan. "Agak aneh sih Kak rasanya, familiar sekaligus asing." Setelah mengambil sebuah wadah yang berisi strawberry dari dalam kulkas, Aileen memutuskan untuk mengobrol sebentar dengan adiknya yang terlihat lebih gloomy daripada biasanya. "Kamu masih suka sama Adam?" Yara menggeleng cepat. "Terus? Kenapa ngelamun jam segini? Ini udah hampir jam sepuluh." Aileen melihat jam dinding yang menempel di dinding dapur. Mamanya lah yang punya ide menempatkan jam dinding di dapur, katanya untuk memantau tingkat kematangan
Yara mulai melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota menuju apartemen Adam. Mamanya duduk di sampingnya dengan gelisah, memikirkan keadaan sahabatnya yang dikabarkan terkena kanker. Semula Yara bingung harus bagaimana membuat mamanya untuk tidak ikut mengantar Tante Desi. Karena itu, akhirnya Yara menelepon Tante Desi dan bercerita kalau mamanya ingin ikut. Pada akhirnya wanita yang jauh-jauh terbang dari Pontianak ke Jakarta demi berobat itu membiarkan Rhea--sahabatnya--untuk ikut menemaninya. "Ma ..., jangan cemas gitu, nanti mama bikin Tante Desi cemas juga." "Mama deg-degan." "Kita kan juga nggak tau keadaan Tante Desi yang sebenernya gimana, Ma." Mendengarkan ucapan anak bungsunya yang tiba-tiba bisa menjadi bijak di saat tertentu itu, membuat Rhea mencoba mengatur napasnya untuk menenangkan diri. "Orang seumuran mama papa ini, bisa tiba-tiba aja kena penyakit aneh-aneh, Ra. Kayak papamu kapan itu yang darah tinggi. Mama kadang takut k
Yara berjalan bersisian dengan Adam sejak dari parkir mobil menuju ruang periksa, mengekori mamanya dan Tante Desi yang berjalan di depan. "Kamu marah sama aku?" tanya Adam dengan suara yang tidak terlalu keras karena sadar mereka sedang berada di rumah sakit. "Nggak!" jawab Yara sinis. "Trus kenapa tadi ngomongnya gitu?" "Gitu gimana?" "Ya nyolot gitu." "Aku nggak suka ya kamu sok-sokan nge-judgesiapa yang cocok buatku." "Aku cuma ngomong pendapat pribadiku, ya maaf kalo kamu tersinggung." "Emang dari dulu tu kamu nggak pernah mikir perasaan orang, Dam." Yara melangkah lebih cepat, menyusul kedua wanita paruh baya yang berjalan beberapa langkah di depan mereka. "Kenapa sih dia? Lagi PMS?" Adam hanya bisa menggeleng pasrah dengan kelakuan Yara yang masih kekanakan. Apakah salah kalau ia mencoba menyampaikan pendapat pribadinya? Hanya pendapat. Toh kalo pada akhirnya Yara berkenalan dengan anak Tan
"Kenapa lo? Muka dilipet aja kayak baru abis ditagih utang." "Sialan! Mana ada ceritanya anak Narendra Rafardhan Candra punya utang." Yara mengibaskan rambutnya dengan (sok) cantik. "Untung beneran tajir. Kalo cuma bacot doang, udah gue siram lo pake kopi panas." Yara mengabaikan ucapan Rian. Ia memilih meletakkan kepalanya di atas meja dengan beralaskan tangannya yang terlipat. "Pesenin gue yang enak-enak dong, Yan." Rian menghela napas pasrah melihat kelakuan sahabatnya. Ia terpaksa menyeret langkahnya menuju counter untuk memesankan minuman dan makanan ringan untuk Yara. "Lo beneran dari apartemen Adam, Ra?" tanya Rian. Meskipun ia tidak pernah sekelas dengan Adam, tapi tentu saja ia mengenalnya. Tidak ada seorang pun pacar Yara yang tidak dikenalkan Yara pada Rian. "Hmm," jawab Yara singkat. "Udah sering ke sana lo?" "Hmm." "Adam makin ganteng?" "Hmm." Yara langsung mengangkat kepalanya ketika menyad