Evangeline kini dipanggil kembali masuk ke dalam ruang Devan, awalnya ia bingung ketika seorang security memintanya masuk lagi.
"Ada apa dengan pria itu? Tadi mengusirku, tapi sekarang memintaku balik lagi," gumam Evangeline yang sedang berjalan di lorong menuju ruang Devan.
Evangeline sudah berdiri di depan pintu Devan, ia tampak ragu ketika ingin mengetuk pintu, hingga pintu itu terbuka membuatnya terkesiap.
"Kamu sudah datang, silahkan masuk!" Danny mempersilahkan Evangeline.
Evangeline tersenyum canggung, tapi ia tetap masuk ke dalam. Wanita itu terkejut ketika melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu, ia jadi ingat kejadian beberapa menit yang lalu.
Evangeline mengamati lututnya kemudian sikunya, wanita itu tengah meratapi nasib sial yang terus menghampiri hidupnya.
"Bibi!"
Mendengar suara anak kecil, Evangeline pun menoleh ke arah sumber suara. Ia bisa melihat seorang gadis kecil yang berlari ke arahnya dengan wanita tua di belakangnya. Evangeline ingat jika itu adalah gadis kecil yang ia tolong.
"Halo, Bibi!" sapa gadis kecil itu langsung duduk di sebelah Evangeline.
"Oh, hai!" balas Evangeline dengan senyum bodoh karena bingung.
"Halo, Nona! Tadi kamu berlari terburu-buru. Saya belum sempat mengucapkan terima kasih," ucap wanita yang bersama gadis kecil itu.
"Iya, Nyonya. Tidak masalah," sahut Evangeline.
Gadis itu duduk dengan terus mengulas senyum kepada Evangeline, ia mengayunkan kedua kakinya yang menjuntai ke depan dan belakang.
"Bibi, kakimu terluka! Apa karena tadi menolongku?" tanya gadis itu yang melihat luka memar di siku dan tangan Evangeline.
Evangeline menengok pada lututnya, ia kemudian tersenyum pada gadis kecil itu.
"Hanya luka kecil, ini tidak masalah," jawabnya dengan senyum canggung.
"Bibi, kamu habis nangis?" tanya gadis kecil itu lagi yang sadar jika hidung dan mata Evangeline merah.
Evangeline salah tingkah, ia mengusap mata kemudian hidungnya, malu jika menangis di depan anak kecil.
"Oh, tidak apa. Hanya kemasukan debu," jawab Evangeline sekenanya dengan tetap tersenyum.
Wanita tua yang bersama gadis kecil itu mengamati Evangeline, ia lantas duduk di sebelah gadis kecil tadi.
"Jam segini bukannya kamu seharusnya bekerja, kenapa malah duduk di sini?" tanya wanita itu menyelidik.
Evangeline terlihat bingung, ia meremas jemarinya sendiri dengan kepala tertunduk. Sebenarnya ia paling takut berkeluh kesah, tapi karena ketahuan sedang dalam masalah, ya sudahlah cerita saja sekalian.
"Saya baru saja dipecat," jawab Evangeline dengan senyum getir.
"Pecat!!" Wanita tua itu terkejut.
Evangeline mengangguk masih dengan senyum getir. "Iya, hari ini adalah hari pertama saya bekerja. Karena ceroboh dan telat saya akhirnya dipecat," ungkapnya.
"Siapa yang memecat kamu?" tanya wanita itu lagi.
"Pemilik perusahaan. Saya awalnya diterima sebagai sekretaris, dipecat di hari pertama kerja, sepertinya ini rekor masa jabatan tercepat," seloroh Evangeline seraya menggaruk-garuk tengkuknya.
Wanita itu menatap iba pada Evangeline, berpikir jika terlambat pasti karena menyelamatkan cucunya tadi. Wanita tua itu pun berdiri dengan menggandeng tangan gadis kecil itu.
"Kamu di sini dulu, jangan ke mana-mana! Aku pastikan kamu dapat pekerjaanmu lagi," ucap wanita itu langsung berlalu pergi.
"Bibi tenang saja! Oma 'ku wanita hebat, Bibi jangan cemas," celoteh gadis itu yang berjalan mengikuti langkah wanita yang ia sebut 'oma'.
Evangeline bingung dengan maksud wanita itu, tapi sekarang sepertinya ia mengerti dengan yang dimaksud 'mendapatkan pekerjaan kembali'.
Evangeline menunduk ketika berdiri di hadapan Devan, tapi ia sempat melirik gadis kecil yang duduk di pangkuan atasannya itu.
"Apa itu putrinya?" Evangeline bertanya-tanya dalam hati.
Gadis kecil itu melambaikan tangan ke arah Evangeline dengan seutas senyum.
"Ehem ...." Devan berdeham. "Kamu bisa mulai kerja saat ini juga, Danny akan menjelaskan apa saja tugasmu," ucap Devan kemudian.
Mengetahui jika dirinya akhirnya mendapat pekerjaan, membuat hati Evangeline berbunga-bunga karena bahagia.
"Te-terima kasih," ucapnya sedikit tergagap.
Ia sedikit membungkukan badan memberi hormat pada Devan kemudian pada wanita yang duduk di sofa ruangan itu.
"Apa wanita itu ibunya? Tidak mungkin 'kan pria dingin dan arogan itu tiba-tiba menerimaku, apa wanita itu yang meminta agar aku diterima bekerja lagi?" Evangeline bertanya-tanya dalam hati lagi.
Akhirnya Danny mengantar Evangeline ke meja yang berada di luar ruangan, memberitahukan apa saja yang harus dikerjakan wanita itu.
Di dalam ruangan, gadis kecil tadi tampak bergelayut manja pada Devan.
"Paman, jangan galak-galak sama Bibi. Kasihan!" pinta gadis kecil itu.
"Iya, iya! Ihh ... kamu tambah besar tambah bawel, ya!" Devan mencubit hidung gadis kecil itu hingga membuatnya mengaduh.
"Ingat ya, Van! Mamah nggak mau dengar kamu memecat gadis itu. Dia itu sangat baik sudah mau menolong cucu Mamah, keponakan kesayangan kamu, kalau tidak ada dia mungkin Angel sudah terbaring di rumah sakit sekarang," ujar wanita yang ternyata ibu dari Devan.
Gadis kecil itu juga bernama Angel, dia adalah putri adik perempuan Devan yang sudah meninggal. Karena itu Devan sangat menyayangi Angel karena gadis itu adalah kenangan terakhir dari adik kesayangannya.
Ibunya Devan dan Angel kecil memarahi Devan bersamaan karena telah memecat wanita yang sudah menolong gadis kecil itu. Mereka menceritakan apa yang sudah dilakukan Angel sehingga membuat wanita itu terlambat bekerja. Meski awalnya Devan menolak untuk menerima kembali, tapi duo nenek dan cucu itu memiliki seribu satu cara untuk membujuk pria gunung es.
"Paman jangan jahat! Paman harus baik, Angel nggak mau punya Paman yang jahat!" celoteh gadis kecil itu.
Devan mengulas senyum, mungkin hanya dengan orangtua dan keponakannya saja ia bisa tersenyum hangat seperti itu.
"Iya sayang, kamu juga jangan berlarian sembarangan lagi, kasihan oma jika harus mengejarmu," ucap Devan di akhiri dengan kecupan di kening gadis itu.
Angel kecil hanya mengangguk mengerti, ia menyayangi Devan seperti dia menyayangi ayahnya sendiri.
Evangeline bisa bernapas lega karena akhirnya ia bisa bekerja setelah enam bulan terakhir dia terus menutup diri di apartemen. Ia merasa tertekan dengan kejadian yang menimpa rumah tangganya, membuatnya butuh waktu lebih untuk menenangkan diri."Nona!" panggil salah satu recepsionis apartemen milik Evangeline.Evangeline yang baru saja melangkahkan kaki di lobby lantas menghampiri meja recepsionis."Iya.""Ada surat untuk Anda," ucap petugas itu langsung menyodorkan amplop berwarna coklat.Evangeline melihat alamat pengirim yang tertera di bagian belakang amplop. Wanita itu terlihat tersenyum getir, ia lantas berterima kasih baru kemudian menuju lift untuk bisa segera naik ke unit apartemen miliknya.Evangeline menaruh tasnya, ia lantas duduk di sofa dan mulai membuka amplop itu. Tertulis jelas jika itu dari 'Philadelphia'."Akhirnya," gumamnya.Menaruh kertas yang ia baca, Evangeline memilih pergi ke kamar mandi. Wanita itu menanggalk
Evangeline makan malam bersama Radhika di sebuah restoran, wajah keduanya tampak memancarkan aura penuh kebahagiaan."Minggu depan aku akan ada proyek di luar kota, apa kamu mau ikut?" tanya Radhika di sela makan.Evangeline menggelengkan kepala, ia merasa tidak perlu ikut. Lagi pula itu perjalanan bisnis dan Evangeline tidak mau mengganggu suaminya."Yakin? Padahal aku sangat berharap kalau kamu mau ikut," ucap Radhika penuh pengharapan dan sedikit kekecewaan."Fokus dengan proyeknya, biarkan rindu itu terpupuk agar kita bisa semakin menyayangi ketika bertemu," balas Evangeline dengan seutas senyum yang merekah."Kamu suka sekali menyiksaku dengan kerinduan," seloroh Radhika.Evangeline tertawa kecil, ia memang tidak pernah mau ikut ketika suaminya melakukan perjalanan bisnis. Evangeline hanya merasa jika mereka terlalu sering menempel maka akan menciptakan sebuah kejenuhan dalam hubungan. Bagi Evangeline, perjalanan bisnis suaminya adalah cara m
Radhika bersikap sedikit berbeda pada Evangeline setelah kembali dari luar kota, membuat Evangeline bertanya-tanya apakah proyeknya tidak berjalan lancar hingga membuat suaminya frustasi."Ka! Ada apa?" tanya Evangeline seraya memeluk suaminya yang tengah berganti pakaian dari belakang.Radhika menghentikan pergerakan jemarinya yang sedang mengancingkan manik kemeja, ia menatap tangan Evangeline yang melingkar di pinggangnya."Ka, kalau ada masalah kamu bisa bercerita padaku," ucap Evangeline lagi seraya menyandarkan kepala di punggung suaminya.Radhika mengusap lengan Evangeline, kemudian melepas dan menarik hingga membuat Evangeline memutar.Pria itu menangkup kedua sisi wajah Evangeline, menatap bola mata istrinya secara bergantian dengan senyum tipis."Tidak ada, aku hanya lelah." Radhika mengecup kening Evangeline."Baiklah, tapi jika ada apa-apa tolong cerita
Evangeline menatap dirinya dari pantulan cermin, sudah memakai gaun dengan kerah rendah dan lengan pendek, gaunnya sepanjang atas lutut, menggerai rambut panjangnya, memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja yang hanya memakai lipstick, menguncir rambut dan dengan sengaja memakai kacamata besar agar terlihat tidak menarik sama sekali. "Oke, Angel! Mari kita rayakan kebebasanmu!" Evangeline mengepalkan telapak tangannya kemudian mengangkatnya di udara, memberi semangat pada dirinya sendiri, ia sengaja berdandan karena ingin pergi ke klub bersama teman yang selalu ada untuknya saat sedih. Evangeline sudah memesan taksi online untuk mengantarnya ke klub yang dimaksud. Begitu sampai di depan klub, ia langsung disambut Milea—temannya sejak sekolah menengah pertama. "Wow! Lihat dirimu! Sangat cantik!" puji Milea. Milea tahu jika Evangeline sudah cantik dari dulu, kalau tidak bagaimana bisa
Malam itu selepas terkena muntahan dari Evangeline, Devan langsung membersihkan tubuhnya begitu sampai di rumah. Dengan masih menggunakan bathrobe, ia mengeringkan rambutnya seraya menatap dirinya dari pantulan cermin. "Wanita itu, kenapa aku tidak merasa jijik!" Devan bergumam, ia menyentuh dadanya yang sempat diraba oleh Evangeline. Devan memang paling benci ketika ada yang menyentuhnya terutama wanita, ia merasa risih dan memiliki rasa trauma tersendiri yang membuatnya paling benci jika disentuh sembarangan. Namun, entah kenapa saat Evangeline menyentuhnya bahkan sampai muntah ke pakaiannya, Devan bersikap biasa saja, ia tidak sampai meluapkan amarah seperti yang ia lakukan ketika ada yang menyentuhnya sembarangan. "Huft ... mungkin kebetulan saja!" Devan memilih untuk melupakan kejadian di klub, pemuda yang belum pernah menikah ataupun berpacaran bahkan sama sekali tidak pernah dekat dengan gadis manapun itu memilih untuk mengistirahatkan
Angel terlihat fokus dengan pekerjaannya, karena jabatan sekretaris sudah lama tidak diisi membuat pekerjaan itu menumpuk. Ia sampai memijat keningnya berkali-kali."Bibi!Suara panggilan itu membuyarkan konsentrasi Evangeline, ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Evangeline melihat gadis kecil yang ia tolong kemarin berlari dengan cepat ke arahnya, gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dengan rambut yang dikuncir dua. Sungguh membuat gadis kecil itu semakin lucu.Angel kecil langsung saja berdiri di hadapan Evangeline dengan napas terengah-engah, tapi senyum gadis itu terus terpajang di wajah manisnya."Boleh a-ku du-duk?" tanya Angel kecil."Oh, silahkan!" Evangeline langsung berdiri, tapi Angel kecil menggelengkan kepala."Kenapa?" Evangeline bingung karena gadis kecil itu malah menatapnya."Pangku!" pinta Angel kecil yang membuat Evangeline bingung.Evangeline menatap pada Danny yang menganggukkan kepala tanda un
Devan mengajak Evangeline dan Angel makan siang di sebuah restoran. Pria itu memesan beberapa menu untuk keponakan tercintanya dan juga Evangeline."Ica, kenapa sayurnya disisihkan?" tanya Evangeline yang melihat Angel menyingkirkan sayur hijau itu."Ini nggak enak Mama, rasanya hambar," jawab Angel menatap jijik pada brokoli yang ada di piring.Devan yang melihat Angel terlalu memilih makanan pun ikut bicara."Angel, makan apa yang tersaji dan jangan sisakan sedikit pun!" perintah Devan.Evangeline menoleh pada Devan, merasa jika pria itu tidak membujuk tapi memerintah."Kalau Anda bicara seperti itu, aku jamin dia tidak akan nurut," lirih Evangeline pada Devan yang membuat pria itu terkejut.Wanita itu kembali fokus kepada Angel, ia lantas memberi pengertian."Kamu tahu nggak? Setiap kita berlari, bermain juga bersekolah, ada banyak kuman yang mas
"Oma!" teriak Angel begitu sampai di rumah.Angel berada di perusahaan Devan sampai sore, gadis kecil itu tidak mau dipisah dari Evangeline."Ya ampun, kenapa baru pulang?" tanya Sonia—Nenek Angel."Angel tadi sama mama Ivi," jawabnya seraya naik ke pangkuan Sonia.Sonia mengernyitkan dahi, ia tidak mengerti kenapa Angel memanggil nama 'mama Ivi'."Ma-mama Ivi siapa?" tanya Sonia bingung, ia menatap Angel dengan ekspresi keheranan.Devan yang baru saja masuk rumah tampak sedikit melonggarkan dasinya lalu duduk di sebelah Sonia. Ia ikut mendengarkan celotehan Angel."Mama Ivi itu bibi yang kemarin nolong Angel. Itu lho yang pakai kacamata!" Angel menjelaskan pada Sonia.Sonia bisa menangkap maksud cucunya, tapi ia bingung kenapa Angel memanggil wanita itu dengan sebutan 'mama Ivi'.Angel menjelaskan jika dirinya menganggap Evangeline