Tentunya sebelum Lorena menangis di dalam toilet, Lorena langsung menyalakan keran yang membuat air di dalam ember sebagai tempat penampungan air yang ada di dalam toilet tersebut terisi. Ia selalu merasa nyaman untuk menangis di dalam toilet, karena ia merasa sangat yakin tidak ada yang mendengar tangisnya. Karena itu, toilet selalu menjadi saksi bisunya ketika ia menangis. Kalau kalian selaku pembaca menebak bahwa, ada yang peduli dengannya dan akan mendengar tangisnya, tentu Lorena merasa tidak ada yang peduli dengannya.Siapa yang peduli dengannya? Alberto? Alberto sudah berselingkuh darinya dan main gila dengan Vega. Bonita sebagai sahabatnya? Tentu saja tidak!Bonita memang sahabat Lorena, tapi Bonita tidak pernah sangat peka dan sangat peduli kepada Lorena sampai tahu Lorena telah menangis. Bonita masih mudah dibodohi oleh Lorena. Lorena tinggal membasuh mukanya dan setelahnya ia keluar dari kamar mandi dengan senyuman palsunya yang ia berikan sebaik mungkin. Setelahnya, ia tin
Hari terus berlanjut. Esoknya, jam tujuh malam, di halaman parkir saat Alberto sedang berjalan ke motornya yang ia parkirkan tadi pagi, ia melihat Vega yang sedang berjalan menuju mobilnya. Saat itu, Alberto baru saja pulang dari kelas malam dengan Professor Hugo sementara Vega baru saja selesai mengajar untuk mahasiswa yang berkuliah kelas malam. Sontak Alberto langsung menyapa Vega dengan ramah.“Malam, Vega!” sapanya dan setelahnya ia tersenyum.“Malam, Alberto!” sapa Vega kembali kepadanya sembari Vega berjalan ke arah Alberto.“Alberto, kamu lagi sibuk enggak?” Vega menanyakan kondisi Alberto terlebih dahulu, karena ia khawatir Alberto sedang sibuk.“Enggak, Vega.” Alberto menjawab dengan singkat.“Kamu mau ke mana?” Vega menanyakan tujuan Alberto.“Mau ke rumah.” Alberto menjawab pertanyaan Vega dengan singkat.“Oh begitu.” Vega menganggukkan kepalanya, karena ia mulai merasa segan untuk meminta tolong kepada Alberto.“Ada apa, Vega?” Alberto mulai curiga dengan sikap Vega yang
Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di lampu merah. Tidak jauh dari mereka, mereka melihat nama “Hotel Avenue” yang berkelap-kelip berwarna putih. Tidak hanya itu, mereka juga melihat banyak kelap-kelip berwarna putih yang mengelilingi gedung hotel tersebut beserta pepohonan-pepohonan yang berada di sekitarnya.“Sayang, sebentar lagi kita sampai!” Vega langsung memijat-mijat dada karena ia merasa sangat senang.“Ya, Sayang.” Alberto hanya mengiyakan saja. Di dalam hatinya, ia merasa senang karena ia bisa kabur dari jebakan Vega. Tidak lama kemudian, lampu telah menjadi hijau. Alberto langsung mengendarai mobil tersebut ke hotel tersebut.Setelah di dekat hotel tersebut, Alberto melihat di depannya terdapat Hotel Avenue dan restoran Avenue yang merupakan cabang dari Hotel Avenue. Dari posisi Alberto, Hotel Avenue terletak di depan sebelah kanan dan Restoran Avenue terletak di depan sebelah kiri.Di sebelah kanan Alberto terdapat kursi-kursi dan meja yang terletak di Restoran Avenu
Pagi-pagi sekali, Vega sudah rapi-rapi untuk pergi ke kampus menemui Alberto. Tetapi, tiba-tiba saja ia langsung merasa mual. Ia segera pergi ke kamar mandi. Lalu, setelahnya ia muntah.Setelah itu, ia minum dan membersihkan bekas muntahannya. Tetapi, ia malah muntah lagi dan lagi hingga tiga kali.Sementara itu, di ruang dosen, Alberto sudah menunggu kehadiran Vega untuk mengajar di kelasnya. Banyak teman Alberto yang telah mengirimkan pesan kepada Alberto baik di grup chat ataupun melalui chat pribadi.“Alberto! Professor Vega, hari ini mengajar tidak?” tanya Dario.“Ya. Hari ini, Professor Vega mengajar tidak?” tanya Nicolas. “Aku tidak tahu. Belum ada balasan dari Professor Vega sampai saat ini. Padahal, pagi-pagi sekali aku sudah menghubunginya,” keluh Alberto.“Tetapi, kita ini sudah menunggu terlalu lama, Alberto! Kita tidak kuat untuk menunggu lebih lama lagi. Jangan buat kita menunggu, dong! Ini sudah telat lima menit. Pasti Professor Vega ada sesuatu. Dia tidak pernah seper
Sesampainya di kampus, Professor Vega langsung memarkirkan mobilnya. Lalu, ia berjalan ke ruang dosen dengan terburu-buru. Sesampainya di depan ruang dosen, Professor Vega langsung melakukan absensi dan pergi ke kursinya dengan terburu-buru. Sesampainya di kursinya, ia mendapati Alberto yang sedang menunggu di depan kursinya sembari membaca handout darinya."Pagi, Alberto!" Professor Vega menyapa Alberto sembari ia terburu-buru menyiapkan untuk kelas hari itu. Ia langsung menyalakan laptop, mengambil buku-buku, dan alat tulis dengan cepat. Alberto melihat muka Professor Vega yang pucat dan badannya yang terus berkeringat."Pagi, Prof!" sapa Alberto."Kamu sudah menunggu saya agak lama, ya?" Professor Vega merasa tidak enak dengan Alberto yang telah menunggunya dari tadi."Tidak lama juga, sih, Prof!" Alberto sengaja berkata seperti itu, meskipun ia merasa dirinya telah menunggu agak lama. Karena ia tahu bahwa, Professor Vega adalah orang yang mudah panik. Ia tidak ingin membuat Profes
Di saat itu, para murid yang belum selesai mengejar Professor Vega dan berusaha memberikan kertas kuis mereka kepada Professor Vega. Untungnya, Professor Vega masih berbaik hati dan menerima kertas jawaban kuis dari mereka. Sesampainya di depan ruangan Professor Vega, Professor Vega langsung mencari kunci untuk membuka pintu. Di saat itu, tiba-tiba saja Professor Vega merasa mual dan ingin muntah lagi.Professor Vega mencoba menahan mualnya dan mencari kantung kresek yang ada di tasnya. Tidak lama kemudian, Professor Vega menemukannya dan memuntahkan kembali di kantung kresek. Setelahnya, Professor Vega membuang kantung kresek tersebut yang terletak di dekat tempat sampah. Mengetahui Professor Vega masih muntah, Alberto langsung merasa panik. Mukanya pucat.“Lebih baik kamu pergi saja ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut dan mengetahui kondisi selanjutnya. Mungkin, memang ada kondisi serius yang tidak kamu ketahui, Vega.” Alberto memberikan saran, karena ia tidak tahu harus m
Tidak lama kemudian, telepon Alberto terus berdering yang menandakan banyaknya notifikasi yang masuk di telepon Alberto. Alberto mencoba untuk mengabaikan notifikasi tersebut, karena ia berencana untuk melihat pesan tersebut saat mereka berada di lampu merah nanti.“Alberto, teleponmu berdering! Enggak kamu lihat dulu?” Vega menanyakan kepada Alberto, karena bagi Vega, mungkin saja Alberto ingin melihat notifikasi tersebut terlebih dahulu.“Tidak usah, Vega! Nanti saja aku lihat saat di lampu merah!” Alberto menolak. Tidak lama kemudian, notifikasi tersebut berbunyi kembali sebanyak tiga kali.“Apa kamu tidak mau lihat dahulu? Mungkin, ada notifikasi yang sangat penting.” Vega menebak bahwa, ada notifikasi penting yang Alberto terima.“Ah! Tidak usah! Aku ini sedang mengendarai mobil. Aku takut terjadi sesuatu kepadamu, Vega.” Alberto selalu menanamkan prinsip kepada dirinya untuk tidak menggunakan telepon genggam saat ia mengendarai mobil.“Sudah! Kita berhenti saja dulu sebentar! La
Setelah diantarkan oleh Alberto, Professor Vega langsung pergi ke pelataran rumah sakit dan setelahnya ia langsung pergi ke ruangan Dokter Chico. Dokter Chico adalah Professor Chico yang sedang bekerja di Brazon Hospital sebagai dokter. Karena itu, ia disebut sebagai Dokter Chico. Setelahnya, ia menjalani serangkaian tes. Lalu, didapat hasil bahwa, ia hamil.“Hasilnya Anda hamil. Selamat! Pasti pasangan Anda akan senang.” Dokter Chico menyatakan hasilnya.“Semoga!” Professor Vega menundukkan kepalanya sembari ia mengelus perutnya, karena ia takut Alberto akan merasa sedih. Tetapi, ia mencoba untuk menutupi kesedihannya dengan cara tersenyum kepada Dokter Chico setelahnya.“Kenapa semoga? Bukannya Dion memang ingin Anda hamil?” Dokter Chico merasa bingung, karena setahu Dokter Chico, Dion memang mengharapkan Professor Vega hamil.“Ya, Dion memang menginginkan saya hamil. Tetapi karena saya tidak kunjung hamil, Dion memutuskan saya dan dia malah pergi dengan wanita lain.” Mengingat hal