“Sivia,mengapa kau menangis?” Megantara masuk ke kamar Sivia dan langsung mendatangi Sivia yang terduduk sambil berlinangan air mata. Tadi Megantara langsung pulang begitu sang ibu menghubunginya dan mengatakan bahwa Sivia terbangun dari tidurnya sambil berteriak dan menangis.“Ayah,” Sivia masih sesenggukan. Megantara mengusap kedua pipi sang anak. “Aku mengalami mimpi buruk,” tambah sang anak.Sang ayah menaikkan alisnya. Baru kali ini Sivia mengalami mimpi buruk sampai menangis.“Aku bermimpi teman-teman meledekku karena aku tidak punya ibu,” air mata kembali bercucuran. Nalini membayangkan gambaran di mimpinya lagi.“Mimpi itu adalah bunga tidur. Jadi kau tidak perlu bersedih. Itu tidak akan terjadi di dunia nyata, Nak,” Megantara memeluk sang anak untuk membuat Sivia nyaman.“Tapi tetap saja aku tidak bisa untuk tidak bersedih,” Sivia menjawab.“Maafkan ayah. Ayah belum bisa memenuhi harapanmu,” Megantara menghela nafas, dia juga sebenarnya merasa kasihan pada Sivia.Dulu saat m
“Selamat siang, Anda guru Sivia yang bernama Bu Nalini?” tanya Nenek. Dia memperhatikan Nalini dari atas sampai bawah dan tidak menemukan kekurangan. Sosok Nalini begitu sempurna.“Ya betul sekali. apakah Sivia sering bercerita di rumah?” tanya Nalini sambil menunjukkan senyumnya.“Ya. Dia sangat menyukai pelajaran memasak dan juga sangat menyukai gurunya. Anak lelakiku juga pernah bercerita tentang Anda,”Nalini mengerutkan keningnya. Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna perkataan sang nenek di hadapannya.“Oh, maksud Anda Pak Megantara?” tanya Nalini memastikan.“Ya, dia juga sepertinya menyukai masakanmu. Dia tidak pernah meminta dimasakkan oleh koki untuk makan sehari-hari sebelum ini. berarti makananmu begitu spesial bagi anakku,” Nenek tersenyum penuh arti.Nalini hanya bisa tersenyum kikuk. Mendapatkan pujian dari ibu dari bos besarnya, tentu saja dia merasa senang tapi juga tidak enak hati.“Lain kali sepertinya aku harus mempersilakanmu untuk menggunakan dapurku. Aku jug
"Kau boleh percaya atau tidak, tapi nyatanya masakan gadis itu bisa terasa enak di lidahku," megantara menjelaskan. Tentu saja itu membuat Niko sangat terkejut."Akhirnya kau bisa sembuh?" tanya Niko memastikan."Tapi hanya oleh masakan Nalini. Bukan yang lain,""Waw.. bagaimana bisa? Ada apa dengan gadis itu? Pasti ada sesuatu yang istimewa," Niko menebak."Apa maksudmu?" Tanya Megantara bingung."Jika kau hanya bisa makan enak ketika dia yang memasaknya, itu tandanya kau tak bisa hidup tanpanya," Niko memberi kesimpulan."Apakah harus seserius itu?" Megantara seperti orang yang terlihat polos."Kau harus mengenalnya secara lebih. Dan jangan sampai kehilangannya," Niko menasehati."Maksudmu aku harus menawari kontrak kerja seumur hidup dengannya? Apa mungkin dia mau?""Kontrak seumur hidup yang paling realistis di dunia ini adalah dengan menikahinya," Niko heran. Sahabatnya itu begitu tidak peka dengan nasehatnya.Megantara membelalakkan mata dan menggeleng cepat. "Kau terlalu berpik
"Tadi koki itu menabrakku saat hendak ke mari. Minuman yang kubawakan untuk kalian tumpah. Jadi sudah sewajarnya dia bertanggung jawab dengan mengganti," kata Starla sambil mencondongkan diri ke arah Megantara. Berusaha mendekat.Nalini menundukkan kepala. "Kalau begitu saya kembali ke restoran ya, Pak. Permisi. Sekali lagi saya minta maaf, Nona."Starla hanya mendengus lalu mengambil satu gelas kopi untuk Megantara, "Kak Tara, ini kopi untukmu.""Terima kasih," Megantara menerima dan meneguk kopi tersebut.Nalini berjalan keluar dari ruangan sambil berpikir, siapa gadis itu? Apakah dia kekasih Megantara? Jika gadis itu kekasih Megantara, itu artinya dia akan menjadi ibu untuk Sivia. Betapa malangnya Sivia yang pintar dan cantik itu jika mendapatkan ibu tiri yang bawel dan pemarah. Nalini menghela nafas. Tapi dia kembali tersadar, ini bukan urusannya. Dia tidak perlu ikut campur."Sudah sekitar 10 menit kau berada di sini, jika tidak ada hal penting yang ingin kau sampaikan. Lebih bai
Sore ini, Nalini sedang menata rumah kontrakannya yang baru. Memindahkan baju-bajunya yang tak banyak ke lemari. Menatap perabotan yang baru ia beli. Ukuran rumah kontrakan sangatlah kecil. Hanya terdiri dari ruangtamu kecil, satu kamar, dapur kecil dan kamar mandi.Nalini harus bisa bertahan di tempat seperti itu beberapa bulan kedepan sampai dia bisa mengumpulkan tabungan yang lebih untuk mencari tempat yang layak.Dia memutuskan mencari kontrakan karena sebentar lagi suami sandra akan pulang dari dinas luar kotanya. Dia tidak mau menumpang terlalu lama.Beruntunglah dia karena menemukan rumah kontrakan yang letaknya strategis. Di samping kiri rumah yang dikontrak Nalini terdapat beberapa rumah kontrakan sehingga Nalini tak sendirian atau dengan kata lain dia memiliki tetangga. Dan di sebelah kanan kontrakan Nalini terdapat rumah dengan ukuran yang besar milik sang juragan kontrakan.Suara ketukan pintu membuat Nalini menghentikan aktivitasnya. Nalini segera menuju ke pintu dan memb
Megantara sudah sampai di hotel pagi ini, dia sedang menuju ke ruangannya namun dia menghentikan langkahnya karena melihat Nalini datang bersama seorang pria. Megantara tak bisa mengalihkan pandangan dari dua orang yang tengah asyik mengobrol sambil berjalan. Sesekali Nalini menampilkan senyuman lepasnya. Sesuatu yang tentunya tidak pernah ia tunjukkan di hadapan Megantara. Dan itu menimbulkan sesuatu yang terasa tak nyaman untuk Megantara.Nalini dan Pandu menghentikan langkahnya saat menyadari ada Megantara yang berdiri tak jauh dari mereka dan sedang menatap mereka. "Selamat pagi, Pak," sapa keduanya. "Ya," jawab Megantara singkat. Nalini dan Pandu hendak melanjutkan langkah mereka. "Aku ingin ikut ke restoran. Aku ingin makan di sana," kata Megantara. Nalini heran dengan keinginan mendadak Megantara. "Baik, Pak. Silakan," kata Nalini akhirnya. Sebuah keberuntungan jika Megantara makan di restoran. Nalini tidak perlu repot-repot membawakan makanan ke kantor Megantara. "Kalau
Melihat seorang perempuan memeluk Megantara seperti itu, Nalini merasa tidak enak. Dia takut mengganggu privasi sang bos. Jadi dia buru-buru pamit keluar dari ruangan. Dia tak ingin berlama-lama di ruangan Megantara. "Saya permisi kembali ke restoran," tanpa menunggu respon dari bosnya yang masih berdiri mematung dan teman bosnya yang juga tak berkutik, Nalini keluar dari ruangan. Niko geram dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Dia segera menarik tangan perempuan itu agar pelukannya terlepas. "Apa yang sedang kau lakukan?" teriak Niko pada perempuan itu. "Memeluk seorang lelaki. Apakah salah?" jawab perempuan itu. "Mona, kau sudah gila?" Niko semakin geram dengan sikap dan perkataan perempuan di depannya. "Harusnya kau berkaca. Kau juga sering memeluk dan mencium pipi ketika bertemu dengan gadis kenalanmu. Apa aku tidak boleh memeluk lelaki lain. Apalagi Megantara adalah sahabatmu sendiri. Bukan orang lain," jawab perempuan bernama Mona. Megantara masih tak habis pikir de
Niko dan Mona kini sedang duduk berhadapan, Niko menghela nafas ketika melihat air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata Mona kini luruh. "Sebaiknya kau selesaikan dulu tangisanmu. Lalu kita bisa bicarakan ini di rumah. Tempat ini bukanlah milik kita. Aku merasa tidak enak hati pada Megantara," kata Niko. Mona tak menjawab. Air matanya justru semakin deras. Niko hanya duduk sembari menundukkan kepala. Tak ada upaya sedikitpun untuk menenangkan istrinya baik dengan sebuah pelukan atau sekedar usapan ringan di punggung istrinya. Setelah beberapa menit menangis, tangisan itu hampir reda. Mona buru-buru menghapus jejak air matanya lalu beranjak dari sofa empuk ruangan Megantara. Lalu berjalan keluar. Niko mengikuti langkah Mona. Sesampainya di lantai dasar, Mona hendak berjalan menuju pintu keluar namun dicegah oleh Niko. "Kau mau kemana? Tempat parkir ada di sana," kata Niko menggenggam lengan Mona."Aku lebih baik naik taksi saja," jawabnya. "Tidak. Tujuan kita sama. Unt