"Bisa pijitin bahu Kakang enggak, Neng?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang tengah mengoleskan krim malam. Dia terduduk di depan cermin sehingga pantulan paras ayunya terlibat dengan jelas.
Rissa tidak memedulikan ucapan suaminya, dia terlalu kesal dengan sikap Kang Alvin pada anak si janda. Jika bisa berteriak sepertinya wanita itu akan bertanya, sebenarnya hubungan kalian apa? Namun, Rissa belum memiliki keberanian untuk menanyakannya. Lebih baik dia merayap perlahan demi mencari bukti-bukti mengenai suaminya. Apakah darah itu bukti perselingkuhannya, atau memang noda nyamuk yang tewas saat terbang."Neng ... disuruh suami kok enggak nurut?" tanya Kang Alvin, dia mulai beringsut dari petidurannya menghampiri istrinya yang masih terduduk di kursi depan cermin.Wanita itu terus mengoleskan krim malam pada wajahnya, padahal sudah dua kali putaran dia selesai memakainya. Mungkin Rissa melimpahkan kekesalannya pada skincare yang seharusnya cukup untuk sebulan, tapi kali ini paling sampai seminggu.Kedua bahunya dipegang Kang Alvin, lalu dia membalikkan tubuh sang istri ke hadapannya."Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya pelan.Kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban, padahal hatinya menjerit memberontak karena terbakar api cemburu. Selama menikah Rissa seringkali memergoki suaminya tengah bercanda dengan Zidan seperti anaknya sendiri. Entah karena wanita itu terlalu berlebihan menganggapnya, atau memang dia cemburu?"Kamu pengin beli skincare lagi?" tanya Kang Alvin, matanya turun melihat krim wajah yang dikenakannya nyaris habis.Rissa mengerucutkan bibirnya, suaminya memang tidak peka terhadapnya. Masa dia belum saja mengerti dengan sikap istrinya yang setiap kali dia dekat Zidan selalu menatapnya kesal, atau saat dia mengobrol dengan Bi Ratih kedua matanya menyilang."Uang yang aku kasih kemarin habis?" tanyanya lagi."Kamu enggak peka, Kang!""Ya terus kamu maunya apa? Kalau kamu kayak gini kan aku enggak tahu, Cinta," ucap Kang Alvin pelan."Siapa Cinta? Selingkuhan kamu, Kang?" tanya Rissa, matanya terbelalak.Kang Alvin menahan tawanya yang nyaris pecah, dia berusaha untuk tidak menertawakan ekspresi istrinya yang sangat menggemaskan. Kedua matanya melotot nyaris keluar dari tempatnya, bibir mengerucut lucu, dan mimik wajah kebingungan."Cintaku hanya kamu, Istriku." Kang Alvin mencubit hidung mancung istrinya dengan gemas.Kali ini Rissa tidak bisa menahan senyumnya, sudut bibirnya tertarik ke atas begitu mendapatkan gombalan dari suaminya. Hatinya luluh karena perlakuan Kang Alvin yang memang terbilang sangat manis."Awas kalau selingkuh!"Lama Kang Alvin terdiam, hingga akhirnya dia terkekeh. "Mana mau aku selingkuh? Istriku saja sudah cukup membuatku tergila-gila."Melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, membuat Kang Alvin menarik lengan istrinya menidurkan di atas kasur berukuran king size. Namun, perlakuannya ditolak Rissa dengan cepat. Entah kenapa, wanita itu seolah tidak ingin disentuh suaminya sendiri. Merasa ada sesuatu yang janggal karena kejadian malam pertamanya."Aku belum siap, Kang." Rissa mengulum senyumnya.Dia seolah tidak siap jika harus bersentuhan dengan sang suami yang sudah menodai perempuan lain jika memang itu benar."Kenapa? Kamu lagi datang bulan?" tanya Kang Alvin.Rissa menganggukkan kepalanya, dia harus mencoba untuk menerima Kang Alvin meski suatu saat dia tahu jika suaminya memang berselingkuh. Namun, untuk sekarang hatinya menolak dengan keras."Yaudah bobo aja ya." Kang Alvin mengelus puncak kepalanya lembut.Sikap Kang Alvin tidak pernah berubah, selama dua tahun menjalin hubungan dengannya tidak membuat pria itu mengurangi cintanya pada Rissa. Selama di perkuliahan pun dia hanya mengenal baik satu perempuan yaitu adik tingkatnya, siapa lagi jika bukan wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya."Kang ...," panggil Rissa pelan."Iya, kenapa?" tanya Kang Alvin."Kenapa kamu menyayangi Zidan?" tanya Rissa hati-hati."Zidan kehilangan sosok ayahnya, aku hanya kasihan sama dia," jawabnya. "Udah kan cuman tanya itu? Sekarang kamu bobo ya."Meski sebenarnya kedua mata Rissa belum ingin terlelap, tapi dia memaksakan begitu suaminya memejamkan netranya. Padahal, wanita itu masih mencerna perkataan Kang Alvin dengan baik-baik.***Nina masih terjaga, akhirnya dia memutuskan untuk membuat teh hangat ke dapur. Wanita paruh baya itu mendapati pembantunya yang tengah membuatkan susu formula teruntuk anaknya."Bu ... kok belum tidur?" tanya Bi Ratih dengan ramah."Saya belum bisa tidur," jawabnya. Nina terus memandangi si janda beranak satu yang memang masih muda. Sepertinya usianya juga tidak jauh beda dengan putri tirinya.Mengingat sikap Rissa yang setiap kali memergoki kedekatan janda muda itu dengan menantunya membuat dia juga bertanya-tanya. Apakah menantunya ada main dengan pembantunya? Namun, mana mungkin Alvin seperti itu? Nina tahu betul menantunya sangat mencintai putri tirinya."Oh. Cepat tidur ya, Bu. Biar kesehatannya tetap terjaga," ucap Bi Ratih menasihatinya, Nina hanya tersenyum samar. "Kalau gitu saya permisi dulu ya."Nina cepat mencekal pergelangan tangannya. "Tunggu.""Iya, Bu. Ada apa?" tanya Bi Ratih, sudut bibirnya tertarik ke atas melengkung membentuk senyuman."Ada hubungan apa kamu sama menantu saya?" tanya Nina, kedua matanya menatap tajam pada pembantunya."Kamu harus makan yang banyak, Kang." Rissa terus menambahkan makanan di piring suaminya. Makanan yang tersaji di atas meja masih masakan buatannya. Entah sudah berapa hari Bi Ratih tidak memasak, karena Rissa yang mencegahnya. Dia mengatakan bisa mengolah makanan apa pun tanpa bantuan dari siapa pun, apalagi pembantunya. Kang Alvin mulai mencicipi makanannya, tapi dia cepat minum air putih yang juga sudah disediakan. "Ini kamu yang masak lagi ya, Sayang?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang terus menatap suaminya dengan lekat. Rissa menganggukkan kepalanya pelan. "Iya. Kenapa memang, Kang?""Masakan kamu ada ciri khasnya." Kang Alvin menyunggingkan bibirnya berusaha untuk tetap tersenyum meski sebenarnya dia sudah tidak tahan lagi dengan masakan istrinya yang bisa dibilang berciri khas garam semua. "Iya dong beda sama yang lain. Kamu harus makan yang banyak kalau suka." Rissa kembali menambahkan nasi serta lauk pauknya di piring Kang Alvin. Nina baru keluar dari kamarnya, dia ikut
"Kang ...," panggil Rissa pelan. "Iya, kenapa, Sayang?" Kang Alvin memang menjawabnya, tapi dia tidak mengindahkan pandangannya ke arah sang istri. Kedua matanya masih terfokus pada layar monitor, pria itu tengah mengerjakan pekerjaan kantornya. Istrinya meletakkan secangkir kopi masih mengepul yang kini disimpan di atas nakas. Dia pula membuat teh hangat teruntuk dirinya, tidak lupa menyuguhkan cemilan ringan beberapa macam di hadapan suaminya. "Aku cuman mau tanya aja sih. Pengin tahu gitu. Boleh?" Alisnya terangkat sebelah mencoba untuk memastikan suaminya. Kali ini Kang Alvin menutup laptopnya, dia mengubah posisinya yang samua mengarah ke depan layar monitor kini menghadap istrinya. "Boleh. Kenapa, Sayang? Tanya apa?" tanya Kang Alvin, dia mengelus lembut kepala sang istri yang tertutupi dengan hijab. Betapa beruntungnya Alvin mendapatkan istri sebaik Rissa, meski kekurangannya tidak bisa memasak dan mempunyai kadar kecemburuan di atas rata-rata. "Pertama kali ketemu sama
"Kalian harus segera mempunyai anak, Rissa." Pandangan Nina tidak terlepas mengarah pada album foto yang kini sudah mulai usang. Gambar yang tercetak jelas di sana kenangan bersama almarhum suaminya yang sudah beberapa tahun ini meninggalkannya. Meski pun begitu, Nina tidak menghilangkan statusnya sebagai ibu dari Rissa. Dia menganggap wanita itu sudah seperti anak kandungnya, karena dari kecil dia menjaganya dengan sepenuh hati. Maka, tidak aneh lagi jika ada seorang ibu tiri yang menyayangi anak dari istri pertama suaminya. "Iya, Mah. Hari ini aku mau coba bicara sama Kang Alvin.""Nah iya. Alvin suka sama anak kecil, kalau kalian punya anak kan jadinya dia enggak terus dekat sama anak orang lain." Nina membalik lembar album yang lain, di sana ada gambar seorang anak perempuan yang tengah merangkak. Terlihat dari wajahnya tampak sumringah, mungkin karena dibuat senang oleh ayahnya yang berada di balik kamera. Sudut bibir Rissa tertarik ke atas membentuk senyuman, dia tahu siapa o
Nissa memuntahkan segala makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya, Nina sangat khawatir saat melihat putrinya bolak-balik ke kamar mandi bahkan dengan wajah yang begitu pucat pasi. "Kamu kenapa sih, Sayang?" tanya Nina mengelus puncak kepala gadis itu dengan lembut. Jawabannya hanya dengan gelengan pelan. Seingat ibunya Nissa memang memiliki penyakit lambung, dia selalu saja kambuh setiap kali telat makan. Mungkin saja kali ini juga seperti itu karena akhir-akhir ini putrinya tidak nafsu makan, dia seringkali mengakhirkannya. "Kamu enggak enak badan ya?" tanya ibunya, sambil mengurut punggung putrinya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu mendudukkan dirinya di sofa sambil memijat pelipisnya yang terasa pening. Bulir bening yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kini luruh begitu saja membasahi permukaannya. "Kamu pusing, Sayang?" tanya Nina, dia cepat membawa minyak kayu putih lalu dibalurkan pada leher putrinya. "Mau muntah lagi?" Nina begitu telaten mempertanyakan k
"Aku hamil?" Nissa mengulang pertanyaan itu dengan nada ragu. Tangannya gemetar memegang benda test kehamilan yang menunjukkan dua garis merah. Kehidupannya seolah berjungkir balik meniadakan masa depan. Perjuangannya masih panjang, dia belum mencapai keinginannya. Namun, apa yang terjadi sekarang? Dia tengah berbadan dua saat dirinya masih terduduk di bangku SMA. Apa yang akan terjadi jika saja Nina dan Rissa mengetahui perihal kehamilannya? Mereka pasti akan kecewa karena Nissa satu-satunya harapan keluarga. Gadis itu terus memukuli perutnya yang masih rata, dalam rahimnya kini terdapat darah dagingnya yang menggumpal akan tumbuh berkembang menjadi seorang malaikat kecil. Kebanyakan pasangan menunggu kehadiran bayi mungil dalam bahtera rumah tangganya seperti halnya Rissa dan Kang Alvin yang begitu menginginkan keturunan. Akan tetapi, berbeda lagi dengan Nissa yang masih anak sekolah. Bahkan dia belum mempunyai suami. Hal itu yang membuat kepalanya nyaris membludak. "Apa yang
"Apa kamu akan bertahan denganku meski percobaan itu tetap tidak ada hasilnya?" tanya Rissa membuat Kang Alvin terdiam. Suasana di dalam kamarnya menjadi hening karena pertanyaan Rissa yang membuat Kang Alvin bungkam seribu bahasa. Pria itu mendudukkan dirinya di samping dipan, mencoba menenangkan dirinya. Dia menarik lengan istrinya, memintanya untuk duduk di sampingnya. Rissa menurut terduduk di sampingnya, Kang Alvin mengusap lembut punggung tangannya. Dia pula menyandarkan kepala sang istri ke bahunya, membiarkan wanita itu untuk menumpahkan segala sedih dan resah dalam dirinya. "Kita tanggung semua permasalahan itu bersama ya, Sayang." Kang Alvin menenangkan istrinya, dia mengusap lembut puncak kepala Rissa yang tertutupi dengan pashmina berwarna toska. "Kamu akan tetap bertahan, Kang?" tanya Rissa lagi, dia mencoba meyakinkan suaminya barangkali Kang Alvin hanya sekedar menghiburnya saja. "Aku akan tetap bertahan bersamamu, Sayang."Kepalanya mengangguk pelan, Kang Alvin si
"Bukan benda apa-apa kok, Kak." Nissa menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman seolah tidak ada masalah. Padahal Rissa merasa adanya kejanggalan pada adik tirinya itu. "Kamu enggak menyembunyikan sesuatu pada kakak kan?" tanya Rissa, kedua alisnya saling bersinggungan seolah tidak mempercayai apa yang sudah Nissa katakan. "Iya kan, Bi? Bukan benda apa-apa?" tanyanya. Ekor matanya melirik Bi Ratih penuh dengan ancaman. Janda beranak satu itu menundukkan kepalanya dalam, dia seolah tidak berani menatap adik dari majikannya. "Saya permisi dulu." Bi Ratih membawa nampan berisi mangkuk dan gelas kotor itu keluar kamar. Sepertinya dia tidak ingin ikut campur dengan perseteruan antara adik-kakak itu. Senyuman Nissa tidak pudar dari bingkai paras ayunya. Dia seolah mengatakan lewat gerakan bibirnya pada Rissa bahwa dia tidak menyembunyikan apa pun. Akan tetapi, pandangan kakaknya sangat jeli turun ke arah tangan sang adik yang disembunyikan ke belakang punggung. Entah apa benda yang dis
"Kamu dari tadi di sana, Sayang?" tanya Kang Alvin yang baru saja menoleh ke belakang. Kedua matanya terpaku menatap ke arah Rissa yang berdiri mematung di ambang pintu. Wanita itu juga tampak terkejut karena sudah tertangkap basah tengah menguping pembicaraan suaminya. Bisa dibilang Rissa tidak sopan karena sudah berani mendengar pembicaraan suaminya dengan seseorang lewat telepon. Akan tetapi, apakah wanita itu tidak diperbolehkan mengetahui segala hal mengenai suaminya? Dia perlu tahu apa yang terjadi dalam hidup Kang Alvin yang bisa dibilang penuh dengan misteri. Pertama kali menikah dia sudah dilibatkan masalah yang membuat kepalanya nyaris pecah. "A-aku baru aja tadi kok." Rissa gelagapan saat mengatakannya. Dia hendak berbalik, tapi istrinya menghentikan langkahnya, membuat wanita itu kembali berbalik menatap suaminya. "Sayang ...," panggilnya pelan. Pria itu melemparkan senyuman manisnya yang membuat sudut bibir Rissa ikut tertarik ke atas. "Aku tidak pernah menuntun sesua