(POV Risa)Jona? Apakah aku tidak salah lihat? Orang yang selama ini menghilang, kini muncul lagi dihadapanku, sebagai pemilik baru perusahaan ini.“Risa!” Aku melihat gerak bibirnya seperti menyebut namaku.Dari samping, bu Imah menyentuh lenganku. Seolah memberi kode jika aku harus tetap tenang.Aku menoleh ke arah bu Imah, dan mengangguk mengerti.“Ayah, bisa kita bicara sebentar?” tanya Jona kepada pak Willy.“Boleh, bicara saja. Apa yang mau kamu bicarakan?” sahut pak Willy.“Tapi bukan disini, kita bicara di ruangan Ayah saja, berdua,” pungkas Jona.Pak Willy mengangguk, kemudian berjalan ke ruangan pak Willy, dan Jona pun berjalan mengikutinya.“Lah … Ibu nggak nyangka loh kalau Jona itu ternyata anaknya pak Willy. Benar-benar kebetulan sekali,” bisik bu Imah.“Aku juga, Bu. Baru tahu kalau ternyata Jona anaknya pak Willy,” sahutku berbisik pula.“Risa, ternyata Jona itu anak orang kaya. Bapak baru tahu, loh!” pungkas Pak Yanto mendekati kami.“Iya, Ibu Lela juga nggak nyangka
(POV Rendi)“Cukup, Pak Rendi! Saya benar-benar sudah tidak mau mendengar penjelasan anda. Pokoknya saya minta ganti rugi, atau anda akan saya laporkan kepada polisi!” berang pak Willy.“Pak saya mohon, beri saya kesempatan. Saya benar-benar khilaf, maafkan saya!” ucapku memohon.“Maaf, Pak Rendi. Bagi saya tidak ada kesempatan bagi orang yang culas seperti anda. Sekarang saya hanya bisa memberikan anda dua pilihan, ganti rugi atau masuk penjara?” imbuhnya.Aku bingung harus bagaimana lagi. Jona si*lan, Jona yang aku kira tukang ojek, ternyata anak pak Willy, dan kenapa juga aku tidak sadar jika ada Jona yang menguping pembicaraanku dengan Bams. Sungguh hari ini benar-benar hari si*l bagiku.“Baiklah, Pak. Saya akan mengganti semua kerugian. Tapi kasih saya waktu,” ujarku akhirnya memberi keputusan. Sebab aku tidak mau jika harus mendekam di penjara.“Baik, Pak Rendi. Saya tunggu itikad baik Pak Rendi.”Aku sangat malu, maka aku putuskan untuk pergi saja dari kantor ini. Semua karyawa
(POV Jona)Berat rasanya aku harus menghadapi kehidupanku yang rumit ini. Terlebih jika aku harus meninggalkan Risa dan menikahi Adya. Rasanya aku tidak sanggup jika harus begini.“Tolonglah, Yah … aku mohon, aku mau meneruskan perusahaan Ayah, tapi dengan syarat aku tidak mau menikahi Adya. Aku sudah punya pilihan sendiri, Yah!” Aku menangis di hadapan Ayah. Terlihat konyol karena aku laki-laki, tapi perasaan ini tidak bisa dibohongi, bahwa aku memang sakit jika harus menikahi wanita pilihan Ibu.“Jona, Ayah mengerti, tapi bagaimana dengan sikap Ibumu, Nak. Dia sangat keras kepala, dia sangat menginginkan kamu bersatu dengan anak sahabatnya itu. Ayah bisa saja membantah perjodohan itu, tapi penyakit Ibumu yang Ayah khawatirkan. Tentu kamu mengerti, Ayah berada di situasi terhimpit seperti ini,” sahut Ayah.Aku mengacak kasar rambutku, Ibu benar-benar keterlaluan. Kenapa aku mesti bertemu dengan Ibu, saat aku hendak janjian pergi ke makam Kania. Ibu memaksaku ikut dengannya, bahkan po
(POV Jona)Aku menoleh ke arah pak Beni, dia barusan menyebut nama bu Imah? Apakah dia mengenalinya?Bu Imah yang sedang berjalan dengan Risa, bu Lela dan pak Yanto sontak berhenti tepat di depan aku dan pak Beni. Mereka bertiga pun kompak berhenti saat melihat bu Imah berhenti.“Kenapa, Bu?” tanya Risa.“M-mas Beni,” lirih bu Imah menatap lurus ke arah pak Beni.Aku semakin bingung melihat ekspresi keduanya. Sepertinya mereka sudah saling mengenal.“Bu, Ibu kenapa?” tanya Risa.“Risa, kamu Risa?” timpal pak Beni menyebut nama Risa.Risa menoleh ke arah pak Beni. Matanya membelalak saat melihat pria yang sudah tidak muda ini.“Bapak yang waktu itu menolong saya saat dikeroyok?” tanya Risa.“Iya, saya yang menolong kamu. Tapi saat saya kembali ke rumah sakit, kamu sudah tidak ada disana,” jawab pak Beni.“Maaf, Pak. Waktu itu saya mau pulang. Kasihan Ibu saya menunggu di rumah sendirian. Oh iya, Bu, ini pria yang pernah aku ceritakan, beliau sangat baik, beliau yang menolongku saat aku
(POV Jona)“Aku belum siap, Bu. Apapun harus dipersiapkan secara matang, termasuk kesiapanku. Pernikahan bukan hal sepele dan dianggap main-main, ini sesuatu yang sakral, Bu. Maaf Om, Tante, dan juga kamu Adya, aku belum siap. Terserah apa kata kalian, yang jelas aku belum siap. Itu terlalu terburu-buru,” imbuhku menolak rencana mereka.“Jona, jaga bicara kamu. Kamu sadar tidak, kamu sedang bicara sama siapa?” tukas Ibu dengan wajah khasnya ketika marah.“Ya, aku sadar sesadar-sadarnya, Bu. Tapi Ibu juga sadar tidak, kalau Ibu terlalu memaksakan kehendak Ibu, tanpa bertanya terlebih dahulu apakah aku mau atau tidak menikah dengan Adya? Tidak, kan? Bu, aku bukannya menentang keinginan Ibu, tapi bagaimana dengan perasaanku?” Aku mulai menaikkan intonasi bicaraku.“Sudah-sudah, lebih baik kita bicarakan lagi nanti, Bu Diva. Saya mengerti Jona masih kaget dengan kesepakatan kita yang secara tiba-tiba ini. Lebih baik dibicarakan dengan kepala dingin. Lagi pun Jona baru saja pulang dari kan
(POV Jona)Mendengar kabar ibu penyakitnya kambuh lagi. Aku pun mengurungkan niatanku bersenang-senang di club' malam tersebut. Aku bergegas keluar dan kembali menaiki mobil.Aku mengemudikan mobil ini menuju rumah sakit terdekat dari rumah.Sesampainya di sana, terlihat ayah dan Rendra sedang berdiri cemas di depan pintu ruang ICU.“Bagaimana keadaan Ibu, Yah?” tanyaku saat setelah tiba disana.“Keadaan Ibumu sangat mengkhawatirkan, Nak. Ayah … Ayah takut terjadi apa-apa dengan ibumu,” jawab ayah dengan tatapan sendu.Mendengar penuturan ayah, hatiku berdenyut nyeri. Kenapa disaat-saat seperti ini, penyakit ibu kambuh lagi?Ceklek!Dokter yang menangani ibu keluar dari ruangan tersebut. Aku dan ayah segera mendekatinya, dan bertanya tentang keadaan ibu.“Bagaimana dengan keadaan istri saya, dok? Apakah dia sudah siuman?” tanya ayah.“Istri Bapak sudah siuman, namun keadaan istri Bapak belum cukup baik. Selain menjaga pola makan, menjaga pola pikiran juga itu sangat penting. Jangan bi
(POV Rendi)Habis sudah semua hartaku, kini yang tersisa hanya rumah saja, itupun barang-barang perabotan mewah di dalamnya pun sudah aku jual. Semua kendaraan, perhiasan Davina serta tabunganku yang sudah lumayan gendut itu, raib dipakai ganti rugi kepada pak Willy.“Kamu jangan berpangku tangan saja dong, Mas. Seharusnya kalau kamu dipecat ya kamu inisiatif dong, cari kerja kek. Ini kamu malah sibuk melamun di rumah.” Davina terus saja mengomeliku, setelah tahu aku dipecat dan jatuh miskin.“Kamu sabar dulu kenapa, baru beberapa hari aku dipecat, kamu sudah ngomel-ngomel begitu. Kamu bisa nggak jangan berisik sehari saja. Aku ini sedang mikir, aku pusing, Davina!” sarkasku.“Jangan cuma mikir, Mas. Lihat aku ini, aku sedang hamil anak kamu. Tentu saja kita butuh biaya besar buat persalinan ku. Sementara kamu, kamu malah asyik-asyikan melamun seperti itu,” tukasnya.Aku menutup kedua telingaku, Davina sudah seperti Mak Lampir.Karena aku mengacuhkannya, Davina pun mulai bosan mengome
(POV Rendi)“Ya sudah kalau begitu, terima kasih ya, Bu. Saya akan kesana sekarang,” ucapku kepada penjual es kelapa muda tersebut.“Sama-sama, Mas. Semoga diterima ya, Mas,” sahutnya.Aku mengangguk, kemudian membayar es kelapa tersebut.Aku kembali menyetop angkutan umum, untuk menuju ke perusahaan yang disebutkan ibu-ibu penjual es tadi.Sesampainya di depan gedung besar yang dituju, aku langsung turun dan menghampiri satpam yang berjaga di depan.“Selamat siang, Pak. Mohon maaf, saya mendapat informasi dari seseorang, bahwa di perusahaan ini sedang membuka lowongan kerja. Apa itu benar?” tanyaku.“Benar, silahkan masuk, Pak, biar saya antar menuju HRD,” jawabnya.Satpam itu mulai berjalan menuju kantor HRD. Aku dengan semangat mengikutinya dari belakang.“Nah, sudah sampai, Pak. Silahkan masuk!” ujarnya.“Terima kasih banyak, Pak. Ya sudah saya mau masuk,” ucapku.Satpam itu segera pergi ke tempat dia berjaga. Sementara aku mengumpulkan semangat dan bersiap untuk mengetuk pintu ka