Anthony menatap calang Zeta, ia meraih dagu perempuan itu dengan kasar dan meleparnya.
"Tidak ada seorang pun yang akan meno..."
Belum juga Anthony menyelesaikan ucapannya, pintu berhasil dibuka dengan sekali tendangan.
Anthony terbelalak melihat pria bertubuh kekar dengan balutan jas yang berhasil mendobrak pintu yang tadinya sudah ia kunci agar tak ada yang mengganggunya ketika menikmati Zeta. Sial!
Anthony terdiam dengan mata memandangi pria tersebut dengan heran. Siapa dia? Anthony tak habis pikir ada pria macam ini di sekitar apartemen Zeta yang kecil dan sunyi.
Bug...
Pria itu melayangkan sebuah pukulan yang tepat mengenai wajah Anthony.
Pria itu menatap datar Zeta, memastikan kalau ia tak salah sasaran. Ia lalu beralih ke laki-laki yang mengangkat tangannya, siap untuk memberikan sebuah pukulan.
Tapi, Anthony tak sebanding dengan pria yang ada di depannya itu. Dari perawakannya saja Anthony sudah kalah jauh, apalagi dengan tenaga dan kelincahannya. Anthony kalah telak.
Pria itu melempar tubuh Anthony, menghantam dinding cukup keras. Anthony sampai tak sadarkan diri dengan wajah lebam dan darah segar yang terus mengucur dari sisi mulutnya.
"Cepat kemasi barang Anda, Nona. Tempat ini sudah tak aman." Pria itu menatap Zeta dingin, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain di saat sadar kalau tubuh Zeta sekarang hanya dilapisi pakaian dalam.
Zeta tak langsung bergegas dan mengikuti perkataan pria tersebut, bahkan kulitnya yang terekspos tak ia hiraukan lagi. Ia lebih mementingkan untuk tahu siapa pria tampan yang menolongnya. Ia merasa kalau pria tampan itu adalah jelmaan dari sesosok malaikat yang diutus Tuhan menjadi penolongnya.
"Terima kasih." Tak sadar satu kata itu lepas dari bibir ranum Zeta.
"Jangan berterima kasih pada saya, Nona. Berterima kasihlah kepada orang yang mengutus saya. Maka, cepat kemasi barang Anda sebelum laki-laki itu sadar kembali. Saya tunggu di luar." Aiden melangkah pelan dengan badan tegapnya yang ia giring menuju ke luar apartemen Zeta.
"Terima kasih, " gumam Zeta masih mematung.
Zeta melempar pandangannya ke Anthony yang masih terkapar tak sadarkan diri di lantai. Ia segera beranjak untuk memungut pakaiannya dan mengenakannya kembali. Ia lalu berlari ke kamar untuk mengemasi pakaian dan barang yang ia anggap penting.
Zeta awalnya tak bisa percaya begitu saja dengan pria yang menunggunya di luar. Tapi, akan lebih merugikannya jika ia tetap bersikukuh bertahan di apartemen ini. Betul kata si pria tadi, kalau tempat ini sudah tak aman. Anthony bisa kapan saja ke tempat ini dan bisa saja melakukan hal yang lebih parah dari yang telah Zeta alami ini.
Zeta mengendap-endap dari kamar dengan sebuah koper besar di genggamannya. Ia melewati Anthony yang tak kunjung siuman, melirik dan mempercepat langkahnya kemudian.
"Siapa yang menyuruhmu ke sini? Jika kau tak memberitahuku, aku nggak akan percaya dan nggak mau ikut denganmu." Zeta menatap Aiden begitu kritis.
"Tuan Jack, Nona, " jawab Aiden singkat, jelas, padat dan langsung menohok Zeta.
Siapa lagi Tuan Jack? Tanya Zeta di dalam hati pada dirinya sendiri.
"Namamu siapa?" tanya Zeta lagi yang kini ia peruntukkan untuk mengetahui siapa pria tampan di depannya itu.
Pandangan Zeta nyaris lumpuh oleh ketampanan pria ini. Wajah yang rupawan, rahang tegas, tubuh kekar, tinggi di atas rata-rata, dan dilengkapi kemampuan bela diri yang mumpuni. Sempurna, penilaian Zeta terhadap pria ini.
"Aiden. Saya adalah pengawal pribadi Tuan Jack. Dan Tuan Jack menyuruh saya untuk menjemput Nona." Aiden menunduk singkat dengan wajah yang tetap datar. Tak ada sebuah senyuman sedikit pun di sana.
"Memangnya Tuan Jack mengenalku?" Zeta semakin tak paham ke arah mana pembicaraan Aiden ini. Ia sama sekali tak mengenal Tuan Jack atau apalah itu. Dia juga tak merasa pantas diperlakukan hormat seperti yang sekarang Aiden lakukan padanya. Aiden sekali lagi menunduk dengan sangat sopan, seakan memang sudah terbiasa melakukannya.
"Iya, Nona." Aiden menghela napas. "Maka izinkan saya mengantarkan Nona kepada Tuan Jack."
"Dia mengenalku sejak kapan? Memangnya kami sudah pernah bertemu sebelumnya? Dan, apakah Tuan Jack baik?" Zeta menghujani Aiden dengan banyak pertanyaan. Suaranya setengah berbisik untuk mengutarakan pertanyaan terakhir. Lebih dari itu, ia harus memastikan kalau Tuan Jack memang memiliki tujuan yang baik.
"Nona, apa saya harus menjawab semua pertanyaan dari Anda? Kalau saya menjawabnya semua, bisa-bisa dia sudah siuman dulu dan menyerang Nona seperti tadi." Aiden berucap tanpa ada emosi yang terselip sambil menunjuk ke arah Anthony dengan dagu. Tak perlu diragukan lagi, Aiden sudah pintar mengendalikan emosi dan ekspresinya. Tuannya yang ia layani lebih melelahkan dibanding seorang perempuan dengan seribu pertanyaan ini.
"Baiklah. Aku akan bertanya lagi saat kita sudah sampai. Aku akan menyimpan pertanyaanku dengan baik-baik." Zeta menjinjing koper miliknya, siap untuk bergegas pergi.
Aiden menunduk. Ia awalnya ingin membantu membawa koper yang Zeta bawa, namun niat baiknya ini ditolak.
"Aku bisa membawanya sendiri." Zeta terdiam sesaat. Terlintas di kepalanya kalau ia belum membayar tunggakan apartemen yang sudah hampir tiga bulan ini belum ia bayar.
Seakan mengerti keterdiaman Zeta, Aiden membalikkan badan seraya berkata, "Seluruh biaya apartemen Anda sudah dibayar lunas oleh Tuan Jack."
Zeta mengangguk paham. Ia mengekor di belakang Aiden sampai berhenti tepat di depan sebuah mobil buggati divo hitam.
Zeta terpaku menatap mobil mewah yang terpampang di depan mata. Ini mobil yang harganya miliran kan? Ternyata lebih keren dari foto yang biasa aku lihat. Pukau Zeta dalam hati.
-To Be Continued-
Aiden berdehem untuk membuyarkan lamunan Zeta. Zeta terperanjat kaget dan mengulas senyum karena malu."Silahkan masuk, Nona. Koper Anda biar saya yang urus." Aiden membukakan pintu untuk Zeta.Zeta mengangguk cepat dan bergegas masuk ke mobil. Matanya terus berkeliling dengan sangat terpukau, tangannya tak berhenti memberikan sapuan pada jok mobil yang bisa dipastikan untuk joknya saja harganya sudah sangat mahal. Baru kali ini Zeta menduduki mobil semewah ini. Sungguh luar biasa, pikir Zeta mengamati setiap inci mobil tersebut.Aiden melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi namun tetap hati-hati. Dari kaca yang menempel tepat di atasnya, Aiden melirik sekilas Zeta dengan penuh pengamatan. Perempuan di belakangnya sangat polos, tak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah berhubungan dengan tuannya.Drttt...Ponsel Zeta bergetar. Terdapat satu panggilan masuk dari Sena ketika Zeta membuka layar ponselnya itu."Bolehkah aku menerima pa
Zeta terlonjak kaget di saat sebuah tangan berhasil masuk ke dalam celana dalamnya dan menusuk bagian sensitifnya dengan cukup dalam. Zeta tercekat, suaranya tersangkut di tenggorokan kala pandangannya beradu dengan dua manik mata berwarna biru gelap di depannya. "Anda siapa?" tanya Zeta ketika berhasil membuka mulutnya. Ia berusaha untuk menghindari kejaran mata biru gelap itu yang seakan-akan ingin menelan Zeta dengan penuh nafsu. "Berhenti, Tuan. Aku mohon." Zeta tak tahan ketika sebuah tangan di bawahnya mengocok miliknya dengan kasar. Zeta menggigit bibir bawahnya, dengan segera ada sebuah rasa yang ikut bergelora. Rasa yang pernah muncul ketika meminum obat perangsang yang diberikan Anthony brengsek. Kalau begini, aku tak bisa tahan. Batin Zeta ingin menangis. Sedetik kemudian air matanya sudah tumpah ruah menghiasi wajahnya yang cantik. "Hush... Jangan menangis, Sayang. Nikmati saja." Tangan kekar Jack membelai lembut pipi Zeta, menyingkirkan b
Seketika tubuh Zeta merinding, bulu kuduknya berdiri tegak saat bayang-bayang tangan laknat itu kembali menjamah tubuhnya. Pasti pria itu yang memakaikan pakaian ini untuk Zeta. Kenapa semua harus berwarna pink? Zeta jadi terlihat seperti seonggok boneka barbie yang baru saja didandani. Ceklek... Suara pintu yang terbuka lebar berhasil menyita perhatian Zeta yang sedari tadi mengutuki pria brengsek dan baju tidur pinknya. "Permisi, Nona. Anda dipanggil Tuan di ruang makan," ucap seorang perempuan setengah baya dengan memakai baju maid. Tatanan rambutnya sangat rapi, tergulung ke bagian belakang. Zeta terus mengamati pelayan tersebut. Mungkin, jika ibunya masih hidup pasti usianya seperti perempuan ini. "Permisi, Nona. Mau saya antar?" ucap si pelayan kepada Zeta. "Untuk selanjutnya saya yang akan mengurus Nona di sini," timpal perempuan itu lagi. "Mungkinkah kau yang memakaikanku pakaian ini?" Pertanyaan Zeta
"Baik, aku akan melakukannya tepat seperti yang dia mau." Jack beranjak dari kursinya. Selera makannya sudah hilang sejak ia mendengar nama kakaknya, apalagi tahu kalau kakaknya itu akan segera pulang. Dan, cepat atau lambat kebebasan Jack ditekannya dengan sangat. Jack berderap menuju kamarnya. Ruangan ini begitu luas dengan perkakas mewah dan elegan. Kasur berukuran super king semakin membuat ruangan ini terlihat megah alih-alih sempit. Jack melempar tubuhnya ke atas kasur dengan desahan berat keluar dari mulutnya. Ia mengacak rambutnya, kegeraman yang memuncak sampai ke umbun-umbun. Rasa amarah segera menyelimuti dada Jack. Besok ia akan kembali bertemu dengan wajah bedebah menjengkelkan itu. Ah, ingin rasanya Jack melempar Max ke kutub utara biar sekalian pria itu dimakan oleh beruang kutub di sana. Jack memejamkan kedua matanya, berusaha menahan emosi yang membuncah di dada. Ia lalu terlelap dalam tidur. ***
"Memangnya aku bisa kabur dari sini, Bi?" Zeta tersenyum miris. "Nona harus bisa bertahan. Ada saya di sini, yang akan membantu Nona kapan saja." Sesosok Lerry begitu baik dan semua yang perempuan itu ucapkan begitu hangat, mendamaikan serta menenangkan hati Zeta. "Kalau begitu bantu aku kabur dari sini, Bi. Bibi pasti tahu apa yang telah Tuan Jack itu lakukan padaku. Aku tak mungkin bisa bertahan hidup di sini. Aku mohon, Bi." Zeta mendekati Lerry dan menangkup tangan kasar penuh kapalan milik perempuan itu. "Maaf, Nona. Untuk yang satu itu saya tidak bisa meloloskannya." Lerry melepaskan genggaman Zeta pada tangannya. Senyum yang semula menghiasi wajahnya kini memudar. Datar. Lerry tak berucap lagi dan segera pergi dari kamar Zeta. Hingga menyisakan Zeta sendirian di dalam kamar. Zeta meremas celananya dan bersumpah akan membalaskan dendamnya kepada Tuan Jack. Zeta akan membuat Tuan Jack menyesali apa yang telah diperbuatnya ini. "Awas
Aiden tak mengeluarkan suara sama sekali. Ia memperlambat laju mobil seraya menunggu perintah dari Jack, mau dibawa ke mana Max, kakak tuannya itu yang sudah dua tahun ini tak terlihat.Sementara Jack masih tak merespon pertanyaan Max, membuat pertanyaan itu menggantung di udara. Jack lebih memilih menekan kembali layar ponselnya dengan kasar."Aiden, antar aku ke rumah Jack sekarang!" titah Max tiba-tiba, memanaskan telinga Jack."Tidak! Aku sudah bilang, kau harus langsung ke rumah Mommy!" sahut Jack meremas ponsel yang ia pegang sampai buku-buku jarinya memutih."Why? Jadi dugaanku benar kalau kau memang menyembunyikan 'yang berhargamu' di sana." Max mengangguk pelan seakan sudah paham."Jaga mulutmu, Max! Jangan berucap omong kosong! Dasar bedebah sialan!" balas Jack geram, menyentak Max. Kakaknya itu selalu berhasil menyulut emosi Jack."Padahal aku hanya ingin mampir sebentar, tapi responmu keterlaluan, Jack. Aku ini kakakmu." Ma
Jack melihat para pelayan berlarian. Maka tahulah ia kalau itu semua pasti karena Zeta.Bisa-bisanya dia membuat kericuhan di sini, desah Jack berat dalam hati. Ia segera menggiring dirinya menuju ke kamar Zeta yang pintunya tertutup. Di sana Zeta menangis ditemani Lerry yang memegang pundaknya, menepuknya perlahan untuk menenangkan."Aku ingin keluar dari rumah ini, Bi. Tapi, aku tidak bisa. Bahkan ponselku sekarang tidak ada, aku tidak bisa menemukannya... Aku ingin sekali pergi dari sini...." Zeta terus berucap dengan sesekali sesengukan."Tenanglah, Nona. Tapi kenapa Nona bisa berada di taman belakang tadi? Jangan seperti itu lagi ya Nona. Saya tadi kebingungan mencari Anda." Lerry mengusap pundak Zeta lembut dengan mata yang memancarkan kasih sayang tulus."Karena mau kabur?" sahut Jack dari balik pintu yang kini terbuka, membuat kedua perempuan di depannya sama-sama terjingkat kaget.Zeta buru-buru mengusap air matanya sebelum Jack mengetahui
Jack mengangkat wajah serta sebelah alisnya ketika Aiden sudah berdiri di hadapannya. "Bagaimana?" tanyanya seraya memijat-mijat keningnya untuk meringankan rasa berat yang seakan baru saja ditimpa benda besar.Kakinya yang tersilang kini ia buyarkan. Ia berdiri, berderap mengelilingi meja yang memisahkannya dari Aiden dan berhenti ketika tubuhnya sudah membelakangi meja tersebut."Bagaimana, Aiden?" ulang Jack mengalihkan perhatian Aiden yang tadi terpaku sebentar pada sisi meja di belakang Jack. Di bagian itu terdapat cairan putih kental. Aiden bergidik dan matanya langsung berserobok dengan mata biru gelap Jack."Ehemm... Tuan Max sepertinya telah mengetahui keberadaan Nona Zeta di kediaman Tuan." Aiden berdehem agar suaranya bisa keluar setelah sempat tercekat di tenggorokan."Menyusahkan saja," desah Jack berat dengan suara seraknya. Ia menoleh ke samping badannya, tepat di mana Camelia terduduk tadi."Aku akan urus masalah ini," timpal Jack m