Share

Kembaran Selebgram

[siapa itu, Ma?] balasku.

[Selebgram say. Kamu sih nggak gaul, nggak kenal sama orang-orang terkenal.] tulis Rahma yang diakhiri dengan emotikon tertawa lebar.

[Oh. Keren juga ya, aku bisa mirip selebgram.] aku pun mulai membalas candaan Rahma.

[Namanya Karina. Aku pernah lihat salah satu postingan Instagramnya yang menuliskan jika Ayahnya orang Aceh, hanya saja dia belum pernah ke Aceh.] balas Rahma panjang.

[Maksud kamu?] tanyaku. Aku seperti sudah paham maksud Rahma mengirimkan foto itu ke aku.

[Iya Rumi, kamu ngerti 'kan, siapa tahu dia adikmu seayah.] tutup Rahma.

[Tidak mungkin. Kata orang-orang wajahku mirip Ibu.] aku membantah.

[Lagi pula di dunia ini memang ada 'kan orang mirip bahkan hampir identik namun tak punya hubungan kekerabatan sama sekali.] aku melanjutkan.

[Terserah kamu lah, tetapi sesekali cobalah buka dan lihat-lihat instagramnya dia ya?!] 

[oke.] kubalas cepat chat terakhirnya Rahma dan aku mulai berselancar lagi mencari lowongan kerja yang mungkin diposting di media sosial.

***

Aku keluar dari bilik Anjungan Tunai Mandiri milik sebuah bank swasta ternama dengan lesu. Sudah tanggal lima tetapi Bang Agam belum juga mengirimkan jatah bulanan Delima.

Sekarang di Dompetku hanya ada selembar daun merah nominal tertinggi yang baru saja kutarik dan dua lembar daun ungu yang sudah lusuh sisa belanja tadi pagi.

Sisa susu Delima paling bisa bertahan sampai besok, karenanya harus dibeli sekarang. Belum lagi kebutuhan lainnya seperti untuk token listrik dan bayar air. Bagaimana ini?

"Mak, itu Ayah." Delima menunjuk sembari melepaskan tangannya dari genggamanku saat kami baru saja keluar dari minimarket membeli susunya.

"Delima, jangan lari Nak!" aku mengejarnya.

Langkahku terhenti. Lima langkah dari tempatku berdiri, Delima sedang memeluk kaki Ayahnya. Bang Agam hendak naik ke mobil saat Delima menghampirinya.

"Ayah, kenapa tidak pulang lagi?" tanya Delima masih belum melepaskan pelukannya.

Kulihat Bang Agam berjongkok. Memegang bahu Delima dan sepertinya mengusap wajah Delima yang mungkin saja mengeluarkan air mata. Aku tidak bisa melihat wajah Delima karena posisiku di belakangnya.

"Delima sama siapa?" terdengar suara Bang Agam bertanya.

Baru kemudian Delima berbalik dan menunjuk ke arahku. Kuberikan senyum tipis dan menganggukkan kepala ke arah Bang Agam sebagai bentuk sopan santun.

Dengan menggandeng tangan Delima, mereka berdua berjalan mendekat ke tempatku berdiri.

"Bagaimana kabar kalian?" tanya Bang Agam padaku.

"Baik Bang, Alhamdulillah." jawabku dengan tersenyum. Aku tidak boleh memperlihatkan kesedihan pada lelaki tak punya hati ini.

"Abang dan Mona apa kabar?" tanyaku balik.

Bang Agam tampak terhenyak mendengar pertanyaanku. 

"Ja-jadi kamu sudah tahu?" bukan menjawab pertanyaan ia justru bertanya balik.

Aku mengangguk sambil memamerkan senyum semakin lebar.

"Apa jatah bulanan Delima bulan ini juga tidak ada karena dilarang Mona?" tanyaku lagi.

Biarkan saja aku dianggap perempuan tidak tahu malu karena menanyakan biaya Delima, tetapi itu tanggung jawabnya. Meski pun ia sudah beristri lagi, tetap ia tidak boleh mangkir dari menafkahi Delima.

"Tidak enak bicara di jalanan seperti ini. Kalian sudah makan siang?" 

Aku menggeleng cepat.

"Kalau begitu, ayo kita bicara sambil makan." Bang Agam menunjuk ke sebuah kafe yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari minimarket tempat barusan aku dan Delima belanja.

"Maafkan Abang, Rumi." ucap Bang Agam setelah kami selesai makan.

"Maaf untuk apa?" aku bertanya dalam mode pura-pura polos.

"Sebentar." ujarnya menjawab sembari mengeluarkan ponsel dan mengotak-atik benda itu.

"Sudah, silakan cek!" Bang Agam memasukkan kembali ponselnya ke saku.

"Cek?" aku tidak mengerti.

"Jatah bulanan Delima sudah Abang transfer." jawabnya tanpa menoleh ke arahku karena mulai menyuapi Delima.

Ada hangat dalam dada saat melihat binar bahagia dari mata Delima menerima suapan demi suapan dari tangan ayahnya. Kenapa Bang Agam harus menceraikanku jika itu menyakiti Delima. Mungkin dengan memikirkan kebahagiaan Delima, ia minta izin poligami saja akan aku bolehkan.

"Bang, kira-kira di mana ya ada lowongan kerja?" tanyaku untuk menghalau rasa hati yang sesaat tadi terbawa perasaan melihat pemandangan indah di depan mata.

Bang Agam menoleh. "Kerja?" ia bertanya tapi lebih mirip menggumam.

"Iya, tidak mungkin aku terus menumpang hidup dari jatah bulanan Delima yang Abang kirimkan. Satu juta untuk semua kebutuhan tidak cukup Bang." aku menjelaskan perlahan.

Biarkan saja jika nadaku terdengar memprihatinkan. Karena begitulah kondisiku sekarang.

"Itu tadi Abang kirim dua juta." jawab Bang Agam lagi.

Alhamdulillah, ucapku dalam hati. Tidak lagi memperpanjang tanya, kubiarkan Delima terus bermain dan bercerita pada Ayahnya.

Menjelang azan ashar aku pamit pada Bang Agam hendak pulang. Yang kutakutkan terjadi, Delima meronta tidak ingin berpisah dengan ayahnya yang sukses mengundang banyak pasang mata menjadikan kami objek tatapan.

Jangan tanya bagaimana rasa hatiku menghadapi keadaan ini. Kutahan air mata sekuat tenaga dengan terus membujuk Delima.

***

[Sedih kali Rumi, yang sabar ya.]

Sebuah komentar muncul di status Facebookku yang baru saja aku tuliskan sepuluh menit lalu.

Kemudian, mulai bermunculan banyak komentar lainnya. Isinya kurang lebih sama menyemangati dan memberi dukungan.

Ah, andai like dan komentar itu bisa menjadi uang ya? pikirku lucu seraya tertawa sendiri.

Tetiba aku ingat selebgram yang diceritakan Rahma. Kututup aplikasi biru itu kemudian beralih ke aplikasi khusus foto tersebut.

'Karina' aku mengetik di pencarian. Ada banyak nama keluar. Namun tidak susah mengidentifikasi akun selebgram karena ada tanda centang biru kecil sebagai penanda mereka publik figur dengan banyak pengikut.

Kuteliti satu persatu gambar yang diposting di akunnya Karina. Benar, aku seperti melihat diriku sendiri dengan versi berbeda. Kenapa bisa semirip ini ya? batinku melarungkan tanya.

Hingga penelusuranku terhenti di sebuah postingan yang kudapati komentar Rahma di sana.

[Jangan senang-senang saja Mbak, bilang sama papanya, ingat anak lainnya di Aceh.]

Astaghfirullah, kenapa Rahma selancang itu mengomentari postingan orang. Belum tentu apa yang dipikirkan Rahma itu benar. Bisa-bisanya ia dilaporkan karena komentar tidak sopan.

Aku segera beralih ke aplikasi telepon hijau, mencari kontak Rahma dan melakukan panggilan.

"Ma, kamu apa-apaan sih?" tanyaku tanpa menjawab salamnya.

"Kamu kenapa? kok ngegas?" Rahma menjawab bingung.

"Aku sudah baca komentar kamu di akun selebgram yang kata kamu mirip aku itu." aku menjelaskan.

"Oh ..." jawab Rahma dengan diikuti deraian tawanya.

"Bahaya itu Rahma, kalau kamu dilaporkan pasal undang-undang ITE bagaimana?" aku gusar.

"Tenang saja, jika komentarku tidak benar dia pasti akan santai saja. Kalau dia tidak terima, berarti yang aku katakan benar adanya. Gitu aja kok repot." cerocos Rahma terdengar sangat santai.

"Kamu diam saja, biar aku yang urus. Aku penasaran, biasanya feelingku tak pernah salah." lanjut ia lagi.

"Terserah kamu lah." tutupku malas berdebat.

Masalah hidupku sudah banyak, malas menambah masalah lagi. Sekarang fokus cari kerjaan saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status