Sudah dua hari Aluna hanya berdiam di kamar hotel, bahkan ia tidak mengijinkan petugas kebersihan hotel untuk membereskan kamarnya. Ia juga tidak makan apa pun, Aluna pun mematikan ponselnya. Gadis itu tidak ingin ada orang yang menanyakan kabarnya.
Ia baru menyadari, tidak ada petugas hotel yang menanyakan tentang kapan dia akan cek out. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Aluna langsung bergegas keluar kamar hotel. Gadis itu menyempatkan diri bertanya ke petugas hotel yang sedang berjaga di meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang memesan kamar yang ia tempati dua hari ini.“Selamat pagi, Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang perempuan dengan tatanan rambut yang sangat rapi, sama seperti wanita paruh baya yang waktu itu mengantarkan buket bunga di depan kamar. Senyumnya pun memaksa Aluna ikut tersenyum dari balik cadar hitam yang ia kenakan.“Saya Aluna yang menempati kamar 503 di lantai dua. Boleh saya tau siapa yang memesan kamar itu?” tanya Aluna kepada petugas cantik yang ada di depannya. Gadis itu berbicara dengan nada yang ramah, seperti tidak terjadi apa pun dengannya.Aluna mengawasi desain interior hotel yang sangat mewah, pantas saja hotel itu memiliki bintang lima. Ini bukan pertama kali Aluna datang ke tempat itu. Setiap kali perusahaannya meeting besar dengan perusahaan luar negeri, pasti menggunakan layanan dari tempat itu.“Baik, sebentar saya periksa!” Petugas hotel mulai mengetik untuk mencari informasi di layar komputer miliknya. “Aluna Aisyah, pemesanan via aplikasi online. Booking selama tiga hari.” Petugas itu menatap Aluna dengan tatapan sedikit aneh. “Ibu Aluna juga termasuk tamu prioritas, ya, di tempat ini.” Petugas itu kembali tersenyum manis kepada Aluna.Mata Aluna membulat, ia merasa sangat keget dengan apa yang ia dengar. Apa benar ia memesan kamar itu sendiri? Apa dia lupa, atau ada orang yang merekayasa semau ini, agar semua menjadi sangat rumit dan sulit untuk dimengerti. “Hah, Ibu yakin?” Aluna mempertanyakan keterangan petugas tersebut. Gadis cantik itu tidak percaya dengan semua informasi yang ia dengar.“Ibu sendiri yang memesan kamar, sekalian dengan beberapa kamar, dan ruang meeting dua hari yang lalu.” Petugas hotel itu menambahkan. Dari cara bicaranya, petugas hotel itu sangat yakin jika informasi yang sedang ia baca adalah benar.Aluna yang masih bingung pun akhirnya dengan pasrah menyelesaikan proses cek out. Gadis itu berjalan keluar hotel dengan langkah yang cukup lemas karena tidak makan selama hampir dua hari, bahkan gadis itu tidak menyentuh coklat di dalam buket bunga sama sekali. Ia lebih baik kelaparan daripada makan pemberian laki-laki jahanam itu. Ia hanya membawa selembar surat yang tersemat di dalam buket itu sebagai barang bukti suatu hari nanti. Aluna sudah sangat yakin, ia pasti bisa menuntut balas kepada laki-laki yang sudah menghancurkan kehormatannya.Aluna merogoh tasnya, ia mengambil ponselnya yang ternyata sudah mati, ia sudah mencoba menyalakannya berulang kali, tapi gagal. Gadis itu memang tidak membawa charger ataupun power bank. Aluna menghela napas panjang dan meletakan kembali ponselnya ke dalam tas. Padahal ia berniat memesan taksi online untuk mengantarnya pulang ke rumah. Sialnya, ia pun lupa tidak membawa dompet. Andai saja kemarin ia menuruti calon suaminya, Hamzah, hal seperti ini akan akan terjadi.Aluna berjalan keluar area hotel yang bukan jalur angkutan umum. Halte busway cukup jauh dari tempat itu. Ia harus berjalan sampai ke pelataran Monas. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Pagi itu dia akan kembali ke kantor, untuk meminjam uang kepada satpam yang selalu berjaga meski hari libur, untuk pulang.Matahari pagi itu cukup terik. Aluna terus berjalan kaki dengan pelan, ia menahan rasa sakit setiap kali kakinya melangkah. Air matanya kembali mengalir, Aluna merasa sangat takut, gadis itu tidak atau apa yang harus ia katakan kepada keluarganya dan Hamzah. Sedangkan pernikahannya kurang lima hari lagi. Ia takut apa yang akan dia katakan saat malam pertama kepada Hamzah. Apakah calon suaminya itu akan percaya? Apa jika dia mengatakan kepadanya sekarang, apakah Hamzah akan menerimanya? Bagaimana jika tidak? Ia takut keluarganya akan malu jika acara pernikahan mereka dibatalkan sepihak oleh keluarga Hamzah karena keadaan dirinya saat ini. Keluarga Hamzah adalah keluarga yang terpandang serta sangat menjunjung tinggi norma agama. Kesucian adalah hal yang sangat dijunjung tinggi dalam keluarga merekaAluna berjalan dengan pikiran yang terus saja berputar ke sana kemari. Suara klakson membuat gadis itu kaget, ternyata ia sudah berjalan ke tengah jalan raya. Untung saja saat itu jalanan sangat sepi.Aluna yang kaget pun jatuh tersungkur di jalan raya dengan tubuh gemetaran. Untung saja pengemudi mobil itu mengerem tepat waktu. Andai saja tidak, mungkin dia sudah mati tergilas. Atau mungkin justru itu yang ia harapkan saat itu?“Apa kamu baik-baik saja?” tanya seorang laki-laki tampan berwajah oriental yang baru menutup pintu mobil dan berlari ke arahnya. “Mari saya bantu berdiri!” ucap laki-laki itu ragu-ragu. Aluna mengangkat tangannya memberikan isyarat bahwa dia bisa melakukannya sendiri. Walau dia sudah merasa sangat kotor, tapi ia tidak mau ada laki-laki ajnabi yang menyentuhnya.“Apa kamu perlu ke rumah sakit?” tanya laki-laki itu lagi. Kali ini pria tampan itu jongkok di samping Aluna yang sedang berusaha bangkit dari aspal jalan raya yang terasa hangat.“Tidak perlu. Saya hanya lemas dan sedikit lapar.” Aluna berbicara dengan sangat malu. Sebelumnya ia tidak pernah mengeluh kepada siapa pun, dia adalah perempuan yang kuat dan cerdas, bahkan sebagian rekan kerjanya mengatakan ia adalah perempuan yang sedikit sombong dan sok.“Tunggu sebentar, biar suster yang membantu kamu masuk ke dalam. Setelah kebaktian, saya antar kamu pulang ke rumah.” Senyum manis melebar di wajah laki-laki berwajah oriental itu sambil meletakan ponsel di telinga sebelah kanannya.“Astagfirullah,” bisik Aluna kepada dirinya sendiri. Gadis itu kembali menundukkan pandangannya. Aluna duduk di trotoar, dua orang suster keluar dari Gereja Katedral mendekati mereka berdua.Aluna merasa sangat kaget dan bingung. Apa yang akan dilakukan oleh perempuan berpakaian suster dengan kalung salip yang menggantung di leher mereka. Seumur hidupnya, ia belum pernah sama sekali berkomunikasi dengan pemuka agama lain. Jantungnya berdetak lebih cepat saat dua wanita berkalung salip itu melihat ke arahnya.“Ya Allah, apa yang akan terjadi padaku? Apakah semua ini karena aku meninggalkan salat selama dua hari? Aku hanya kecewa dengan hidupku ya Allah!” tanya Aluna dalam hati sambil memejamkan matanya.“Mari kami bantu masuk!” ucap seorang perempuan yang lebih muda. “Untuk apa?” tanya Aluna sedikit curiga. Aluna memang orang yang scaptis, dia tidak percaya dengan kebaikan orang yang tidak ia kenal. Ia yakin, jika semua orang mempunyai tujuan tertentu dibalik kebaikannya. Apalagi dia baru saja mengalami kejahatan yang luar biasa. “Kamu terlihat sangat lelah, mari beristirahat sebentar. Kami memiliki beberapa makanan halal yang bisa kamu makan. Setelah kebaktian selesai, Pendeta Brian akan menemuimu lagi.” Suster itu mencoba merayu Aluna agar gadis itu mau mengikuti keduanya. “Baik lah.” Aluna yang sudah benar-benar lemas pun pasrah dan menuruti ajakan kedua suster itu. Mereka bertiga berbincang dengan hangat, beberapa jamaat gereja terlihat tertegun menatap ke arah Aluna. Penampilan gadis itu pasti sangat mengundang penasaran para jamaat. Mereka bertiga berjalan masuk ke area yang lebih dalam, hingga ke belakang gereja. Ada asrama khusus suster dan biara wari di sana. Suster yang
Aluna menundukkan kepala, ia berharap Hamzah tidak melihatnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan sejenak memejamkan mata agar bisa berpikir dengan tenang. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya lagi, sepertinya Brian mulai khawatir. “Hem, apa kamu mau membantuku sekali lagi?” pinta Aluna dengan ragu. “Katakan saja, jika bisa aku pasti akan membantumu.” Sebenarnya Brian agak ragu dengan jawabannya kali ini. “Antarkan aku kembali ke gas masuk depan, di Jalan Bungur Besar. Lebih baik aku berjalan kaki saja dari sana. Aku takut terjadi fitnah nanti jika ada rekan kerja yang melihatku turun dari mobil seorang laki-laki.” Aluna berbicara dengan setengah berbohong. “Oh, kirain apaan, ya, Tuhan.” Brian mengembuskan napas lega. Ternyata yang diminta oleh Aluna bukan hal yang sulit. ***“Kamu yakin akan turun di sini?” tanya Brian setelah sampai di tempat yang diminta oleh Aluna. “Iyah, terima kasih atas semua bantuanmu!” Aluna menatap ke arah Brian yang juga sedang melihat ke arah wajahny
"Apa lagi yang bisa kita bicarakan sekarang, Lun? Kamu benar-benar sudah membuatku kecewa. Kamu tau aku sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu curangi aku seperti ini? Wallahi, Lun, aku tidak pernah menyentuh perempuan sama sekali. Bahkan aku menjagamu, tapi kenapa kamu merusaknya dengan orang lain?" Hamzah menyeka air matanya yang turun begitu saja. Ini adalah kali pertama ia menangis setelah dewasa . Hatinya benar-benar hancur, wanita yang selama ini ia muliakan, ternyata melakukan hal yang rendah di belakangnya. "Mas, aku dijebak, Mas. Aku tidak tau apa-apa, Mas. Sungguh." Aluna mencoba membela diri. "Tapi Mas jangan khawatir, tidak terjadi apa-apa malam itu. Mas sayang sama aku kan? Percayalah padaku, Mas, aku janji, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan dengan laki-laki setelah ini. Kalau sampai aku melakukannya, Mas boleh meninggalkan aku dan aku tidak akan memohon-mohon seperti ini lagi. Aku berjanji, Mas!" Aluna memohon kepada Hamzah sambil terus menangis. Gadis cantik itu b
"Sebenarnya setelah itu harusnya ada dokter yang datang untuk memeriksamu, aku menghubungi Riko saat itu untuk mengurus semua itu," papar Hendra kepada Aluna dan Umar yang mendengarkan penjelasannya dengan seksama. "Riko?" tanya Aluna bingung. "Iya, cleaning service yang biasanya mengganti galon di ruangan ini." Hendra masih mengelus pipinya yang sedikit terasa sakit dan panas akibat tamparan Aluna. "Lun! Kamu mau ke mana?" tanya Umar sambil mengikuti gadis bercadar itu keluar dari ruangan kantornya. "Bertemu Mira!" jawab Luna ketus. "Pasti dia tau tentang semua ini!" "Aku ikut denganmu!" Umar berjalan mendampingi Aluna yang melaju dengan cepat. bahkan gadis itu setengah berlari ke arah sahabatnya yang baru saja datang. "Mir! Aku mau bicara serius sama kamu!" ucap Aluna sambil menarik tangan Mira dan menyeretnya ke arah ruangan Umar. Walau dalam keadaan emosi, tapi Aluna masih memikirkan nama baiknya dan nama baik orang-orang terdekatnya. "Ada apa, Lun? Apa aku melakukan kesalah
"Astagfirullah!" teriak Aluna sambil melempar pisau cutter yang ada di tangan kanannya. Aluna dengan sepontan melepas kain penutup wajahnya untuk menutup luka sayatan di nadi tangan Umar. "Maafkan aku, Umar!" ucap Aluna yang ketakutan ketika melihat darah yang mengalir dengan sangat cepat dari nadi tangan kiri Umar yang entah bagaimana bisa tersayat saat ia berusaha mencegah Aluna menyayat nadinya sendiri. Kejadian itu sangat cepat. "Jangan panik, aku baik-baik saja, antar aku ke rumah sakit!" Umar yang memiliki kelainan darah pun segera meminta Aluna mengantarnya ke rumah sakit. Ia memiliki penyakit hemofilia, sehingga ia harus mendapatkan penanganan yang tepat dari petugas medis. Di dalam mobil Aluna terus saja berdoa sambil menekan luka sayatan di tangan Umar menggunakan es batu yang di balut dengan kain. Saat itu wajah Umar sudah tampak sedikit pucat dan lemas. Kali ini Aluna sudah merasa sangat bodoh. "Umar bertahanlah! Aku mohon! Aku tidak akan memaafkan diriku jika kamu kenap
"Lun, pulang lah, sepertinya keadaanmu sedang kurang baik!" ucap Ummu Mariyah dengan lembut. "Biar Kholah yang nungguin Umar!" lanjut wanita paruh baya itu. "Tidak, Luna baik-baik saja, kok!" ucap Aluna. Ada kesedihan yang menggelayut di dadanya. Keramahan dan kebaikan Ummu Mariyah membuat Aluna merasa semakin bersalah dan rendah. Gadis itu kali ini merasa menjadi manusia paling curang, ia mencari aman dengan berbohong. Andai saja Aluna berbicara jujur, mungkin dia akan lebih tenang, tapi sayangnya gadis itu tidak mampu. Sepertinya ia takut jika bibinya itu menyalahkannya. "Sudah biarkan saja! Nanti Kholah panggilkan petugas kebersihan untuk membereskan!" "Tidak apa, biar Luna aja!" Umar melihat ke arah Aluna yang sedang membereskan pecahan gelas. Laki-laki itu yakin jika Aluna sedang ketakutan. Ia pun mulai berbohong kepada ibunya sendiri hanya untuk melindungi Aluna. "Ini hanya kecelakaan saja, Mi. Hanya karena aku ceroboh. Sudahlah Mi, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. J
"Sudah lah, itu bukan hal yang lucu untuk dibercandakan, Umar!" ucap Aluna sambil kembali menyuapkan makanan terakhir ke dalam mulut Umar. Aluna melakukan itu semata-mata karena ia merasa sangat bersalah. "Aku serius!" ucap Umar. Aluna meninggalkan Umar dan meletakan piring bekas makan di nampan yang ada di ata meja kaca. "Sebaiknya kita tidak membicarakan ini, atau aku akan memutuskan untuk tidak lagi berbicara denganmu!" ancam Aluna tanpa melihat ke arah Umar sama sekali. Gadis itu langsung duduk di sofa, tanpa mengambilkan minum untuk Umar. "Tapi, Lun, kalo Hamzah tidak menerimamu, kamu masih ada waktu untuk membatalkan pernikahan kalian!" Aluna mengambil sebotol air mineral yang ada di atas meja dan menenggaknya hingga nyaris habis. "Sudah lah, berhenti membicarakan itu lagi!" ucap Aluna sambil mengembuskan napas panjang. Saat ini gadis itu merasa sedang berada di tempat yang salah. Seharunya di menuruti saja perintah ibunya untuk berdiam saja di rumah. "Pernikahan itu bukan se
Mira dan Aluna masuk ke dalam ruangan Umar. Saat itu ada Hendra yang sudah bersiap untuk keluar kantor, tapi laki-laki itu memilih untuk tinggal. Sepertinya laki-laki itu khawatir jika terjadi pertengkaran yang berujung petaka di antara keduanya. "Duduk lah!" ucap Aluna dengan suara yang datar dan sedikit lesu. Sebenarnya kali ini hatinya sudah tidak memiliki gairah untuk memperjuangkan keadilan atas miliknya yang telah hilang. Mira yang merasa bersalah pun duduk di sofa panjang, Aluna pun duduk di ujung yang lain. Hendra hanya terdiam, menyimak apa yang akan meraja perbincangkan. "Aku sangat berharap kamu bisa berbicara jujur kepadaku, Mir!" "Apa yang harus aku katakan jika memang aku tidak mengetahui apa pun di belakang ini semua, Lun? Demi Tuhan, Lun. Aku pun merasa sedih atas segala keburukan yang menimpamu. Jika saja aku memiliki mesin waktu, aku akan menahanmu untuk tidak pergi, walau harus berkelahi hingga aku mati. Tatapan matamu padaku sangat menyakitkan, Lun!" Mira kembal