"Dia bilang apa?"
"Mau menciumku."
"Memangnya kalian belum pernah berciuman?"
Pertanyaan yang dilontarkan Dewi seolah membungkam Andin dan membuatnya membisu tanpa kata di sana. Bukan. Ini bukan tentang pertanyaan yang menohok telak dirinya karena dia tahu betul jawabannya. Pernah. Begitu panas, dalam, dan memabukkan.
Hal terliar yang pernah dia lakukan bersama Desta adalah ciuman itu. Terkadang hanya berupa kecupan ringan yang tak jarang bisa berubah liar dan penuh gairah. Namun, cuma sebatas itu. Dia dan Desta masih berusaha mempertahankan logika mereka dan tak membiarkannya kalah dari hasrat yang mulai menguasai.
Ya, sepenggal memori akan hal tersebut-lah yang membuatnya tak mampu berkata-kata. Terlalu malu baginya mengakui bahwa tak hanya sekali ciuman panas itu terjadi, meski pada sahabatnya sendiri.
"Melihat reaksimu, jelas sekali kalian sering melakukannya," tebak Dewi sembari mengangguk-anggukan kepala paham.
Dewi
- Aku akan masak spaghetti untuk makan malam. -Pesan itu datang saat Desta disibukkan dengan laporan salah satu anak perusahaan kakeknya yang berada di bawah kendali pria itu. Dari Andin. Siapa lagi? Dia sampai harus mengecek berkali-kali demi memastikan bahwa pengirimnya memang adalah Andin.Sebaris kalimat itu berhasil membuat senyum lebar terkembang di wajahnya. Sudah cukup lama dia tak bertukar pesan dengan Andin. Wanita itu jelas tak mau repot-repot melakukannya dan memilih asistennya untuk menggantikannya melakukan hal tersebut. Itu pun jarang karena, ya, memang tak ada yang benar-benar mereka bicarakan.Dan pesan itu bagai oase di padang pasir. Di tengah kecanggungan di antara mereka dan sikap dingin yang masih betah Andin perjuangkan, kehadiran pesan itu menjadi tanda bahwa istrinya mulai melunak. Baru sepuluh hari mereka menikah. Dan Andin telah menunjukkan perubahan itu. Sungguh mengejutkan.Cepat-cepat dirinya mengetikka
Andin tersenyum puas kala melihat Desta dan vacuum cleaner di tangannya. Pria itu menepati janjinya untuk membantu pekerjaan rumah Andin. Tidak cuma hari ini, sebenarnya, karena bantuan-bantuan kecil sering pula Desta berikan. Misalnya, mencuci piring kotor berikut peralatan masak usai kegiatan makan bersama mereka. Khusus di akhir pekan yang mana menjadi hari liburnya, pekerjaan rumah Desta pun bertambah.Andin baru saja selesai dengan kegiatan menjemur pakaian. Langkahnya terayun menuju dapur. Dibukanya kulkas besar di sana untuk sekadar mengecek persediaan makanan yang tersimpan di dalamnya. Tersisa sedikit, tapi setidaknya cukup untuk membuat beberapa jenis masakan untuk makan siang dan malam mereka. Untuk besok pun masih bisa. Jadi, tidak pergi belanja di hari ini tak akan menjadi masalah.Dia mengambil segelas tiramisu dari dalam lemari pendingin. Ini adalah dessert buatannya kemarin yang sengaja dia sajikan di dalam gelas-gelas berukuran sedang
"Sialan!"Umpatan itu meluncur bebas dari bibir Andin. Beberapa jam telah berlalu, tapi ingatannya masih terpatri pada kejadian paling memalukan untuknya. Apa lagi selain ciuman panasnya dengan Desta? Baginya, tak ada yang lebih memalukan dari itu. Cara Desta menciumnya dan bagaimana tubuhnya bereaksi... Sungguh-sungguh memalukan! Dia seperti menampar dirinya sendiri akibat ketidak-konsistenan yang dia perlihatkan. Sebulan belum berlalu sejak pernikahan mereka. Dan lihat, betapa rapuhnya pendiriannya hingga begitu mudahnya dia terombang-ambing oleh perilaku suaminya."Sialan!"Lagi-lagi umpatan yang sama Andin keluarkan. Entah sudah berapa kali kata itu terucap, dia tidak menghitungnya. Otaknya terlalu sibuk memikirkan semuanya. Lebih tepatnya, kebodohannya. Harusnya sejak awal dia membiarkan saja Desta berimajinasi liar tentangnya. Atau, harusnya dia mendorong sekuat tenaga tubuh besar lelaki itu sebelum mengungkungnya dan menghipnotis dirinya melal
"Kamu bilang akan memesan makanan?" Andin bertanya setelah sepuluh menit duduk bersebelahan dengan Desta, lelaki itu tak kunjung merealisasikan ucapannya. Ya, kalian tidak salah. Akhirnya, dia menurunkan pertahanannya dan membiarkan lengan Desta memeluk bahunya sedari awal dirinya duduk di sana. Dan Andin sama sekali tak memprotesnya. Lebih tepatnya, dia malas melakukannya. Dia sangsi mampu menang melawan suaminya dalam perdebatan yang diyakininya akan terjadi begitu Andin menunjukkan penolakannya."Oh, hampir saja lupa," sahut Desta cepat. Dia lalu mengambil ponselnya dari atas meja di depannya. "Kamu mau makan apa?" tanyanya mulai menggulirkan jari-jarinya ke atas smartphone hitam miliknya.Andin menoleh dengan kedua alis saling bertautan. "Pizza. Kamu bilang akan memesannya.""Ah, iya. Pizza." Desta menanggapi seolah-olah ide tersebut sudah lama dikatakannya. "Kamu serius mau memesannya?"Kerutan itu masih bertaha
Sesuai janjinya, Desta menemani Andin berbelanja keesokan harinya. Terjadi perdebatan kecil mengenai waktu kepergian mereka; antara sebelum atau sesudah makan siang. Namun kemudian, mereka berdua sepakat untuk sekalian makan siang di luar. Barulah setelahnya, mereka dapat bebas berbelanja.Mereka memutuskan untuk pergi ke Aksa Mall. Tujuan pertama adalah melihat-lihat bakal tempat yang ditawarkan Desta untuk kafe Andin. Sebenarnya, Desta membebaskan Andin memilih area kosong yang tersebar di beberapa lantai mall tersebut. Dan Andin mengambil lapak kosong di ground floor.Jika dibandingkan kafenya yang telah berdiri, tempat yang dipilihnya tidak seluas itu. Ukurannya sedikit lebih sempit. Tapi, tak masalah. Dia bisa memanfaatkan dinding kaca untuk memberi ilusi ruang yang luas dan lega. Selain itu, dinding kaca dapat memanjakan mata dengan pemandangan yang monoton. Yah, walaupun ujung-ujungnya yang terlihat juga lingkungan sekitar mall
Memiliki Wida sebagai asisten pribadinya sungguh merupakan keputusan yang tepat. Wanita itu adalah tipe pekerja keras dengan hasil kerja yang memuaskan. Karenanya, Andin hampir selalu bisa mengandalkannya di segala situasi, termasuk untuk mengurus kelangsungan hidup kafenya. Namun, bukan berarti Andin hanya bersantai dan tinggal menerima laporan beres darinya. Andin tetap mengawasi semuanya dan memberi arahan yang diperlukan.Lima tahun sudah mereka saling mengenal. Awalnya, Andin menolak mempekerjakan seorang asisten. Untuk apa? Dia merasa sanggup melakukan semuanya seorang diri. Tapi, Gama, kakak tertuanya, memaksa. Katanya, keberadaan asisten pribadi sangatlah membantu. Meski Andin tak berminat terjun ke dalam perusahaan keluarga, asistennya bisa menolongnya mengurus aset-aset yang dimilikinya. Ralat. Diberikan kepadanya. Sementara Andin asyik menekuni hobi memasaknya--dia menjalankan sebuah blog mengenai resep masakan--Wida dapat menggantikannya memantau keuangannya. 
"Aku senang kamu benar-benar datang," komentar Desta sesaat setelah melihat istrinya muncul dari balik pintu di ruangannya. Wanita itu selalu terlihat cantik. Dress selutut warna pastel membalut indah tubuhnya ditambah rambut panjang yang dibiarkannya tergerai. Ah, Andin memang selalu cantik. Dulu ataupun sekarang.Andin menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan ke arah sofa besar di sana. "Tentu saja. Aku sudah berjanji," balasnya sembari meletakkan tas jinjing yang dibawanya ke atas meja.Desta melirik sekilas arlojinya. Tepat lima belas menit sebelum jam makan siang. "Kamu bisa menunggu sebentar? Aku harus menyelesaikan ini dulu," ujarnya merujuk pada berkas di tangannya.Andin memahami hal itu. Dia mengangguk dan tanpa suara mempersilakan Desta berkutat kembali dengan pekerjaannya. Inilah resiko mengunjungi kantor orang. Dia tak mungkin mengganggu pekerjaan Desta di jam kerjanya. Lagi pula, siapa dirinya? Dia bukan pegawai atau rekan k
Sebagai seorang ibu rumah tangga, waktu luang yang dimiliki Andin cukup banyak. Bisa dibilang, siang hari merupakan jam santainya. Tidak ada Desta yang akan menggunakan berbagai alasan untuk mendekatinya. Dia sendirian dan bebas menggunakan waktunya itu mengerjakan apa pun yang ingin dia lakukan.Situasinya yang hanya tinggal berdua dengan Desta lumayan menguntungkannya. Pekerjaan rumahnya tidak terlalu banyak dan yang terpenting, dia bisa santai mengerjakannya. Tidak ada kewajiban baginya untuk selalu rajin. Desta dengan sukarela akan membantunya jika rasa malas mendera. Dan bila keengganan itu terasa berat, dia bisa memanggil seseorang untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mudah, bukan?Banyak hal yang bisa dia kerjakan untuk mengisi waktu senggangnya. Paling sering, memang, dia gunakan untuk mencari-cari resep baru yang entah kapan akan dicobanya. Atau kegiatan lain yang tak kalah sering dilakukannya adalah menonton, baik film, serial TV, atau apa pun ya