Share

Chapter 5

Tentu saja aku tidak langsung membuka pintu. Nelson mungkin berpikir aku seperti tokoh-tokoh bodoh dalam film murahan yang ditontonnya. Apa pria tua itu tidak tahu gunanya lobang intip pada pintu? Tentu saja aku akan memastikan terlebih dahulu bahwa sesuatu yang menungguku di balik pintu bukanlah sesuatu yang berbahaya. Ayahku selalu mengingatkan kami—anak-anaknya—untuk mengutamakan keselamatan. Safety First.

Aku mengintip melalui lubang kecil itu dan melihat seorang wanita sedang berdiri di sana. Aku lumayan terkejut. Seorang wanita muda di jam tiga dini hari berdiri di pintu apartemenku. Wanita itu agak pendek, mengenakan hoodie biru muda yang dibiarkan terbuka dengan t-shirt putih. Lampu lorong di atas pintuku yang berkedip-kedip memperlihatkan wajah orientalnya. Gadis Asia rupanya. Wajahnya menoleh ke kiri dan ke kanan dengan raut cemas.

Ia mengetuk pintu kembali. Kali ini dengan lebih cepat dan keras. Seorang gadis berwajah oriental yang tiba-tiba muncul di depan pintu apartemenku sama anehnya dengan wanita di taman yang menghilang tiba-tiba atau telepon Nelson tentang Nyonya Orsey. Hal itu sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk menahan gagang pintu. Malam ini benar-benar malam yang aneh.

Akan tetapi, gadis itu mengetuk kembali dan mengucapakan, “Hello! Ada orang di dalam? Tolonglah, aku sangat takut!” Suaranya memang terdengar ketakutan. Aku menjadi ragu, akan membuka pintu atau tidak. Namun, mengingat bagaimana kondisi lorong di lantai lima dengan lampu berkedip-kedip membuat hatiku luluh. Gadis itu pastilah sangat ketakutan. Akhirnya aku putuskan membuka pintu. Aku tidak bisa membiarkannya di luar seperti itu.

Setelah pintu apartemenku terbuka lebar, aku langsung disambut mata Asia yang khas—tidak memiliki lipatan kelopak mata—dari gadis berkulit kuning dan lampu lorong yang berkedip-kedip. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Mungkin ia hampir menangis karena ketakutan. Aku benar-benar kesal karena masalah lampu-lampu ini. Semoga tukang listrik itu benar-benar datang dan bukan hanya omong kosong Nelson untuk membuatku tenang.

Gadis itu menurunkan hoodie-nya, rambut hitamnya yang lurus terlihat sedikit memantulkan cahaya lampu. “Terima kasih, Tuhan. Jantungku seperti akan berhenti. Lampu di lorong ini terus-menerus berkedip-kedip. Aku bahkan seperti mendengar seseorang berjalan dengan langkah pelan di ujung sana. Seperti dalam film horor saja.” Ia menghela napasnya. Wanita itu terlihat lega. ”Maaf. Namaku Yui Former. Pria tua di lobi mengatakan kalau kau mungkin bisa menolongku malam ini. Aku tunangan Tod. Aku sedang mencarinya.”

Aku kaget. Orang yang ia cari itu ....

“Kau bisa mengetuk pintu apartemen 507 untuk menemukannya,” balasku.

“Tentu saja aku sudah melakukannya. Tapi, dia tidak ada di sana.”

“Tidak ada di sana?”

Gadis itu mengangguk.

“Beberapa jam yang lalu aku melihatnya berada di taman. Mungkin dia sedang keluar.” Aku tidak terlalu yakin dengan perkatakanku. Aku hanya berpikir, bisa saja pria itu sedang pergi ke bar bersama teman-temannya. Mungkin ia sedang memamerkan kencan indahnya di taman dengan wanita paling cantik—menurut dirinya—pada teman-temannya.

“Benarkah? Bolehkah aku menunggunya di dalam? Maaf, jika aku terdengar tidak sopan, lorong apartemenmu benar-benar membuatku tidak nyaman. Lampu di lift itu mati dan kau bisa lihat sendiri keadaan di sini. Dari tadi aku merasa seseorang melihatku dari sana.” Yui menunjuk ke arah lift.

Aku melongok ke arah yang ditunjuknya. Lampu di area lift itu benar-beanr mati. Tempat itu gelap dan terlihat menyeramkan, apalagi bagi seorang gadis seperti Yui. Aku tidak bisa membayangkan saat lift terbuka lalu ia disambut kegelapan semencekam itu. Aku benar-benar harus bicara dengan Nelson.

 “Aku benar-benar minta maaf. Teman-teman Tod membuatku berputar berhari-hari. Mereka menyembunyikannya dariku. Akhirnya aku bisa menemukan tempat ini. Aku tidak bisa kembali ke motel. Dompetku hilang. Aku bukan ingin membuat seseorang kerepotan, tapi aku sangat terpaksa. Aku harap kau mengerti keadaanku.” Aku melihatnya agak menggigil. Boston kota yang selalu lembab. Meskipun sekarang bulan Juli bukan berarti udara malam tidak sedingin es.

Aku langsung mengingat gadis Tod yang hanya menggunakan kaos tipis dan rok mini. Mungkin menurut Tod gadis itu cantik, tetapi aku bisa memastikan bila kulitnya setebal beruang kutub.

Aku melihat koper besar di samping kaki Yui. Koper merah marun itu seperti karang, berdiri sangat kokoh seolah-olah hanya akan mampu diangkat seekor gajah. Untungnya aku melihat stiker tokoh kartun sehingga koper itu terlihat memiliki sisi yang manis. Gadis di depanku ini pun terlihat seperti sangat lelah. Napasnya masih belum teratur dan ia beberapa kali menelan ludahnya. Yui pasti kesulitan untuk membawa benda sebesar itu dengan tubuh sekecil ini. Tinggiku 180 sentimeter dan pucuk kepalanya hanya sampai dadaku. Aku membayangkan gadis kecil ini berjalan di samping Tod yang besar dan menjulang. Aku ulangi, Tod lebih tinggi dariku.

Pastilah koper yang dibawanya adalah sumber suara yang aku dengar. Namun, bagaimana dengan suara pintu dibuka dan dibanting tadi? Apakah aku lagi-lagi berimajinasi?

“Kau melamun?”

 Aku terkesiap. “Oh, maafkan aku. Aku hanya sedang berpikir. Kalau begitu, masuklah. Kau butuh bantuan dengan kopermu?”

“Tidak terima kasih. Aku bisa sendiri. Aku hampir membawa semua barangku saat ke South Boston.” Siapa pun akan tahu kalau gadis itu pasti kesulitan dengan kopernya, tapi sepertinya ia terlalu malu untuk lebih merepotkanku. Saat pertama kali mencoba menarik kopernya, ia sendiri sampai terhuyung.

“Masuklah, biar aku mengurus kopermu.”

“Aku benar-benar minta maaf. Aku sangat menghargainya.”

“Jangan dipikirkan. Masuklah.”

***

Aku mempersilakan Yui duduk di sofa dan menawarkannya bir. Aku bertanya padanya apakah ia sudah makan atau tidak. Saat aku mengambil bir di kulkas, aku menemukan sisa pizza. Namun, Yui menolak. Ia mengatakan kalau ia tidak lapar. Sekaleng bir saja sudah cukup. Ia hanya perlu menenangkan dirinya.

Aku memintanya menunggu sebentar. Aku menjauh dari Yui lalu segera meraih gagang telepon yang berada di dekat konter dapur dan segera menelpon Nelson.

Aku benar-benar salah tentang penjaga itu. Lelaki tua itu tidak seramah kelihatannya. Pada saat aku memprotes leluconnya tentang Nyonya Orsey, di ujung telepon ia malah terbahak-bahak dengan keras. Ia menelponku untuk memastikan aku belum tidur atau membangunkanku jika aku sudah tertidur. Ia juga bilang bahwa yang dilakukannya adalah balasan karena aku pernah mencoba mengerjainya. Ia menambahkan lagi, kalau ia terpaksa menyuruh Yui menemuiku karena tidak bisa membantu banyak.

“Tod ke mana?”tanyaku.

“Aku melihatnya pergi membawa tas besar dan belum kembali hingga saat ini.”

“Kenapa kau tidak memberikan kunci apartemen Tod padanya?” tanyaku pada si Nelson tua keparat itu. Aku benar-benar menekan amarahku karena tidak ingin Yui mendengar apa yang aku katakan pada Nelson.

“Hei. Kau gila atau bodoh? Aku bisa dipecat kalau Tod tahu lalu menelpon pengelola. Aku tidak bisa mengkonfirmasi kebenaran yang dikatakan gadis muda itu.”

“Lalu, kau dengan gampang menyuruhnya ....”

“Rileks, Mikky. Dia cuma gadis Asia kecil. Apa yang bisa dia dilakukan padamu? Aku tahu kau akan menolongnya. Aku tidak tega melihatnya berkeliaran di luar. Dia bilang tidak punya uang. Aku tahu kau pria baik.”

“Lampunya Nelson! Lampunya! Besok kau harus benar-benar mengirim teknisi kemari, atau aku yang akan menelepon pengelola!” Aku langsung menutup telepon dengan keras.

Setelah aku membanting telepon, lampu-lampu menyebalkan itu berhenti berkedip-kedip. Mungkin lampu-lampu sialan itu takut juga dengan kemarahanku.

Aku kemudian duduk di samping Yui. Sekali lagi aku memperhatikan gadis itu dengan lebih seksama.

“Kau dari mana?” tanyaku.

“New Hampshire,” jawabnya.

“Kau bilang tadi kalau kau tunangan Tod Horgan.”

Yui melepaskan Hoodie-nya lalu meletakkan benda itu di samping pahanya. “Iya. Aku dan Tod sudah berkencan selama 2 tahun. Dan kami telah bertunangan selama 3 bulan. Tiga minggu yang lalu Tod pindah ke Boston. Katanya, sepupunya memberikan pekerjaan di bengkel mereka.”

“Lalu apa yang terjadi?”

“Tod menghilang. Dua minggu yang lalu dia tidak memberikan kabar lagi padaku. Aku kemudian mencarinya ke sini. Tod tidak pernah memberitahukan alamat apartemennya yang baru. Untung saja aku mengenal beberapa temannya di sini. Dia bilang kalau kami sudah tidak cocok. Orang Irlandia tidak cocok dengan orang Jepang.”

Tod memang hanya terobsesi dengan ototnya, karena pria itu tidak peduli dengan kapasitas otaknya. Bagaimana mungkin ia baru menyadari hal sesederhana itu?

“Itu alasan yang dibuat-buat, bukan?” tanya Yui padaku. Matanya menatapku dengan sayu.

Aku tidak bisa berbohong. Oleh karena itu, aku mengangguk. “Aku sudah meminta Nelson untuk membuka apartemen Tod untukmu tapi dia menolaknya. Aku minta maaf. Nelson si penjaga bilang kalau Tod pergi menemuai keluarganya di luar kota.” Aku berbohong pada Yui karena tidak tega bila mengatakan lelaki itu kabur darinya.

Yui menggeleng. “Mungkin dia sudah tahu aku datang mencarinya dan kabur.”

Aku tidak menjawab. Aku kira Yui lebih tahu kebenarannya daripada aku. Aku sedikit tergoda untuk menceritakan pada Yui kalau Tod pernah mengancamku di minimarket karena mengira aku akan menjadi pesaingnya. Namun, aku menahan diri. Ini bukan saat yang tepat. Yui masih lelah dan tidak perlu dibuat terkejut.

“Aku datang ke sini untuk meminta penjelasan. Waktuku tidak banyak. Hanya satu minggu. Itu pun aku tidak tahu apakah aku masih bisa bekerja di tempatku semula saat aku kembali nanti. Aku sudah menyia-nyiakan tiga hari untuk berkeliling. Kau tahu? Aku mengorbankan banyak hal untuk urusan ini.”

“Di mana dompetmu jatuh?” tanyaku. Sebuah pertanyaan pelarian, karena di ujung lidahku sebenarnya berisi kalimat, si Bodoh Tod duduk berdua dengan seorang wanita cantik yang tinggal di kondo sebelahku pada saat tengah malam di taman bermain.

Aku sangat bersyukur besok aku tidak harus bekerja.

Yui kemudian menjelaskan bagaimana dompetnya bisa hilang. Namun kemudian aku sadar, ini bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi. Akhirnya, aku mempersilakannya istirahat.

Aku mengambil selimut ke kamar. Tidak enak rasanya membiarkan seorang gadis kedinginan di sofa. Saat itulah, lampu-lampu kembali berkedip-kedip.

“Jangan khawatirkan lampu-lampu sialan ini. Oh, ya. Namaku Mikky Anderson,” kataku.

Yui mengangguk, lalu meraih selimut yang aku berikan padanya. “Aku tahu. Penjaga tua itu menyebutkan namamu padaku.” Mungkin karena sudah sangat kelelahan, ia jatuh tertidur begitu saja.

Aku memperhatikan gadis itu dengan seksama. Ia telah tertidur dengan pulas di sofa. Aku bukan sedang mengintip. Entah sudah berapa jauh ia menyeret-nyeret koper besar itu baru bisa sampai ke tempat ini.

Aku mengatur napasku, berusaha tenang, dan berpikir jernih. Aku ingin menyimak suara yang muncul dari apartemen Tod. Kalau sampai aku mendengar suara deheman laki-laki itu sedikit saja, aku akan langsung menerjang pintunya. Namun, aku tidak mendengar apa-apa lagi setelah bunyi benda diseret tadi. Lampu-lampu kembali menyala normal.

Aku tidur setelah pukul empat diri hari dengan pintu kamar terkunci.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Binar Senja
......... gak bosen membacanya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status