Share

Biji Kembang Puspa Kemuning

Ketika Westi menebarkan pandangan ke segala penjuru, tiba-tiba Banawa telah memeluknya dari belakang sambil tertawa-tawa ceria. Westi melepaskan diri dengan perasaan agak kesal.

“Maaf, Westi kalau membuatmu kaget,” kata Banawa yang sudah rapi penampilannya. “Aku tadi mandi di pancuran yang ada di sana. Sekalian aku mencari buah jambu. Ayo kita makan buah ini untuk sarapan!”

“Baiklah, tapi lain kali jangan berbuat seperti ini!”

Westi menerima beberapa buah jambu. Kemudian mereka memakannya. Ketika matahari mulai meninggi, mereka meneruskan perjalanan ke arah selatan.

Lepas tengah hari Banawa dan Westi telah sampai di kaki Gunung Sumbing. Ada tiga jalan menuju ke puncak Gunung Sumbing. Jalan kiri lewat utara, jalan tengah, dan jalan kanan lewat selatan. Banawa dan Westi berhenti untuk menentukan pilihan.

”Kita lewat utara,” Banawa mengajukan pemikirannya.

”Setuju,” sahut Westi. ”Kita berangkat sekarang supaya sampai puncak sebelum petang.”

”Tidak bisa! Kalian tidak boleh naik Gunung Sumbing!” teriak sebuah suara lantang dari atas sebuah batu.

Banawa dan Westi menengok ke atas. Seorang pendekar muda berdiri dengan congkak. Rambut awut-awutan, lepas tergerai. Warna baju dan celana yang dipakai tak berpadu. Asal pakai saja. Di dada berderet puluhan pisau dalam sarung kulit binatang yang terikat kuat.

Di pinggang terselip pisau sakti andalannya, Pisau Liman Kuring. Banawa dan Westi mengenali sosok pendekar itu. Dia bernama Kojar. Kojar berjuluk Pendekar Pisau Terbang.

”Hei! Tak usah mengurus kepentingan orang lain! Uruslah wajahmu yang semrawut supaya enak dipandang!” ejek Westi.

Wajah Kojar memang kotor. Kelihatannya dia jarang mandi, juga jarang membasuh muka. Ketika diejek malah terkekeh-kekeh.

”Aku akan bersihkan wajahku asal kamu mau tidur denganku satu malam saja, hehehe....”

”Bangsat! Jangan asal ngomong, Kojar!” sentak Banawa naik darah. ”Kurobek mulutmu, baru tahu rasa kamu!”

”Jangan marah dulu sobat!” nada suara Kojar menurun. ”Aku ngomong tadi ada dasarnya. Memangnya kekasihmu yang kinyis-kinyis dan bahenol itu setia padamu?”

Kojar kembali tertawa ngikik. “Banawa, Banawa..., tanyakan pada kekasihmu itu! Apa yang dia lakukan bersama Garjitalung di tepi Sungai Nipuna sebulan lalu?”

Ada rona merah di wajah Westi. ’Bangsat! Agaknya dia mengintipku ketika aku selingkuh dengan Garjitalung!’ kata hati Westi disertai kegeraman yang tidak mudah ditahan.

“Banawa..., kuberi tahu sebuah berita ‘gembira’ ya! Sebulan lalu. Di tepi Sungai Nipuna, di balik semak belukar, pada senja hari, Westi dan Garjitalung asyik berhahahiho, hehehe....” nada bicara Kojar ringan, tetapi berat dirasakan bagi Westi dan Banawa.

”Jangan kau dengar ocehan orang syaraf ini!” kata Westi pada Banawa. ”Kita habisi dia untuk mengurangi pesaing kita!”

Westi dan bawana bersama-sama melesat ke atas batu tempat Kojar berdiri. Pendekar bersenjata pisau itu masih tertawa terkekeh-kekeh.

Kedua tangan Westi dan Banawa siap mengembangkan jurus-jurus untuk menghantam mulut Kojar!

Kojar agak terdesak menghadapi serangan dua pendekar tangguh yang terus mencecar. Sekali Kojar menangkis pukulan Westi sambil menghindari pukulan Banawa.

Pada saat lain dia menangkis hantaman Banawa sambil menghindar  dari pukulan Westi. Kojar banyak menghindar ketika bertarung melawan pendekar yang ilmu silatnya tinggi. Kojar memperkirakan, ilmu silat lawan-lawannya lebuh tinggi darinya.

Satu saat Kojar meluncur dari atas batu. Dia kini berada di tanah lapang perempatan jalan. Westi dan Banawa menyusul dengan tendangan menyamping ke arah lawan. Westi melesat ke arah wajah, sedangkan Banawa ke arah dada.

Tak ada kesempatan bagi Kojar untuk menghindar karena cepatnya tubuh dua lawannya yang melesat turun. Maka jalan pintas pun diambil.

Kedua tangan Kojar mencabut pisau dari sarung yang menyilang di dada. Pisau baja tajam berkilat-kilat siap menebas kaki-kaki yang akan mendepak dada dan wajahnya!

Banawa dan Westi membanting diri ke kanan dan kiri untuk menghindari tebasan pisau lawan. Mereka segera menapak di tanah dengan tenang. Ada sisa kekagetan di wajah mereka karena tindakan nekad yang diambil Kojar.

Hati Banawa dan Westi terbakar kemarahan. Mereka meraba senjata  masing-masing. Siap beradu nyawa dengan Kojar. Namun yang dilakukan Kojar justru sebaliknya. Dia menyarungkan kembali dua pisaunya di dada.

”Sayang sekali sobat, aku tidak dapat melanjutkan pertarungan,” kata Kojar. Lagi-lagi dengan nada enteng. ”Sebentar lagi ada pendekar lain yang lewat sini. Aku tak mau pertarungkanku diintip orang lain, hehehe...!”

Kata ‘diintip’ dalam kalimat Kojar menyinggung Westi. Namun sebelum Westi mencabut senjata saktinya, Kojar telah kabur. Melesat cepat naik Gunung Sumbing lewat jalan selatan!

Westi ingin mengejar, namun Banawa menahannya.

”Sudahlah Westi, tak usah dikejar!”

”Tapi Banawa, aku tidak terima karena dituduh berselingkuh dengan Garjitalung,” kata Westi sambil terisak. Tepatnya, pura-pura terisak. “Kenal orangnya saja tidak, kok dituduh selingkuh. Kamu sendiri tahu kan, aku selalu setia padamu.”

”Tenanglah Westi, apa pun kata orang, aku tetap cinta padamu. Aku percaya akan kesetiaanmu. Soal kata Kojar tadi, tak usah dirasakan! Dia kan syaraf! Otaknya kurang waras. Sudahlah, ayo kita teruskan perjalanan!”

Westi mengangguk, sambil tertawa dalam hati. Dia menurut saja ketika Banawa menuntunnya untuk meneruskan perjalanan mendaki Gunung Sumbing lewat jalan utara.

Seperti yang dikatakan Kojar tadi, tak lama kemudian terlihat seorang pendekar berpakaian serba putih. Pendekar ini berjalan dari arah barat.

Dia berhenti di perempatan. Ikat pinggang berbentuk kepala burung rajawali menunjukkan jati dirinya. Dia tak lain dan tak bukan adalah Suro Joyo.

”Ada tiga jalan untuk mendaki Gunung Sumbing,” gumam Suro. ”Jalan mana yang harus kulalui? Utara, tengah, atau selatan?”

”Hem..., ada apa anak muda? Kok bicara sendirian,” tanya seorang tua yang telah berdiri di depan Suro.

“T-tidak ada apa-apa, ehm....”

”Aku Ki Panjong dari Ujung Kulon,” kata orang tua yang sudah memutih rambutnya itu. Tangan kanan memegang tongkat berkelok-kelok dari kayu jati tua. Bukan untuk menyangga tubuh, tapi sebagai senjata bila sewaktu-waktu ada bahaya.

”Ki Panjong? Sepertinya guru pernah menyebut nama Ki Panjong.”

”Bisa saja begitu, soalnya aku sahabat Maeso Item sejak kanak-kanak. Bahkan belum lama ini aku pernah bertemu dia.”

”Bagaimana kabar guru, Ki?”

”Baik. Dia sehat-sehat saja.”

“Guru sekarang berada di mana?”

”Kau ini kok aneh, Suro. Gurumu itu kan petualang sejati. Mana mungkin dia punya tempat tinggal tetap?”

Benar juga kata orang tua ini, kata hati Suro. ”Dari mana Ki Panjong tahu namaku?”

”Gurumu. Dia menyebutkan nama murid satu-satunya lengkap dengan segala ciri-cirinya.”

”Apa tujuan Ki Panjong datang kemari? Memetik Puspajingga?”

”Tidak. Aku ingin mencari biji Kembang Puspa Kemuning.”

”Biji Kembang Puspa Kemuning?”

“Iya.”

“Ini jenis bunga apa lagi, Ki?”

“Ini bukan jenis bunga yang baru. Orang dulu menyebutnya Kembang Puspa Kemuning. Orang sekarang menyebutnya Bunga Puspajingga.”

“O, begitu. Jadi, Ki Panjong ingin mencari biji Bunga Puspajingga?”

“Benar, anak muda.”

“Apa ada, Ki?”

”Aku yakin ada. Seyakin bahwa kamu ke sini ingin memetik Bunga Puspajingga.”

”Iya, Ki.”

”Kalau begitu, kita menuju tempat yang sama walau maksudnya berbeda. Biji bunga sakti yang cuma sebutir itu pasti terletak satu pohon dengan Bunga Puspajingga.”

”Ehm..., begitu. Kalau begitu, kita kerjasama saja.”

“Iya.”

“Menurut Ki Panjong, jalan mana yang mesti dilalui?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status