Share

2. Secepatnya!

"Iya, aku Juan yang dulu terkenal gendut di sekolah. Jadi kalian sudah ingat?" ucap Juan tanpa rasa malu.

Empat sahabat Ralin kembali tercengang dengan mulut menganga lebar, mereka tak percaya kalau sosok Juan yang terkenal gendut dan sering terkena perundungan oleh teman-temannya karena postur tubuhnya itu, kini menjelma menjadi laki-laki dewasa yang berbeda. 

Juan yang sekarang jauh lebih tampan, rapi, dengan kulit bersih dan postur tubuh atletis, serta aroma parfum khas maskulin dari tubuhnya yang bisa dipastikan kalau itu parfum mahal. 

"Kenapa kalian kaget begitu?" tanya Ralin tiba-tiba.

 

Teman-teman Ralin menggelengkan kepalanya dengan bersamaan, masih tak percaya dengan sosok laki-laki sempurna idaman setiap wanita ini adalah teman semasa SMA mereka dulu.

 

Ralin menaikkan satu sudut bibirnya, puas memberikan kejutan spesial untuk para sahabatnya. 

 

"Jadi sekarang Juan adalah penerus perusahaan ayahnya? Poernomo Group yang terkenal itu?" tanya Hana.

 

"Iya, betul! Juan satu-satunya penerus perusahaan itu. Makanya wajar kalau kami agak susah bertemu, tahu sendiri bagaimana sibuknya jadi pemimpin perusahaan, kan?" jelas Ralin.

 

"Umm ... kebetulan suamiku pernah melamar pekerjaan di perusahaan itu untuk bagian supervisor, tapi ditolak. Apa Juan bisa bantu? Soalnya sampai sekarang suamiku belum bekerja juga, sementara aku sedang hamil. Takutnya kami kesusahan untuk biaya lahiran nanti," kata Hana.

 

Juan tampak tertegun sejenak, ia melirik ke arah kekasihnya seperti meminta persetujuan. Ralin pun mengangguk sebagai tanda kalau Juan harus membantunya.

 

"Penerimaan pegawai semua diatur oleh HRD, tapi kalau kamu mau, bisa bawa surat lamarannya kepadaku, nanti biar aku yang bicara langsung pada direktur HRD untuk merekomendasikan suami kamu," kata Juan dengan ramah.

 

Hana tampak senang mendengarnya, kalau tahu Juan adalah pemimpin perusahaan besar itu, tentu suaminya dari dulu tak akan repot-repot melamar dan ujung-ujungnya ditolak.

 

"Jadi kapan rencana kalian menikah?" tanya Sisca langsung tanpa basa basi lagi. Lidahnya sudah gatal ingin menanyakan hal itu pada pasangan kekasih ini.

 

Juan tersenyum ke arah Sisca. "Belum-"

"Secepatnya! Secepatnya kami akan menikah!" Ralin langsung menyela ucapan Juan. Ia mau menunjukkan pada teman-temannya kalau dirinya juga bisa menikah seperti mereka, bahkan Ralin bisa memastikan kalau hidupnya akan jauh lebih bahagia daripada teman-temannya ini.

 

Juan bergeming sejenak menatap Ralin yang kini tengah sibuk meneguk minumannya. Juan sendiri tak yakin apakah ucapan Ralin barusan serius atau hanya sekedar candaan. Bahkan Juan belum genap satu bulan berpacaran dengan Ralin. 

 

"Apa kalian yakin kalau mau segera menikah? Apa tidak sebaiknya kalian lebih mengenal dulu satu sama lain?" celetuk Kania tiba-tiba. 

 

Ralin mengibaskan tangannya di udara. "Nggak perlu, kita bisa pacaran setelah menikah, kan?" Ralin memastikannya lagi kepada Juan sambil menatap kekasihnya itu. "Lagian aku juga nggak mau nasibnya sama seperti kamu, Kania! Sudah pacaran 5 tahun dengan Bara tapi malah menikahnya cuma 5 bulan, kemudian cerai. Keharmonisan rumah tangga itu nggak bisa dilihat dari lama atau cepatnya berpacaran, tapi bisa atau tidaknya masing-masing individu untuk menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya!" jelas Ralin dengan gaya angkuhnya.

 

Kania sedikit tersinggung dengan ucapan Ralin barusan. tapi tentu saja Kania adalah orang yang paling pintar menyembunyikan perasaannya. Dengan berbesar hati ia melempar senyuman paling manis ke arah Ralin, dan tak mau membalas ucapan sindiran itu. Bagi Kania, Ralin hanya menilai dari sisi luar, tanpa tahu bagaimana sebenarnya kenyataannya. Kania pun memilih diam, karena memang dialah satu-satunya yang paling pendiam diantara yang lain.

 

Obrolan pertemuan mereka pun berlanjut sampai malam. Juan juga pandai berbaur dan berkomunikasi dengan teman-teman Ralin. Hal itu tentu menjadi nilai tambahan lagi pada diri Juan di mata teman-teman Ralin. Jarang sekali pasangan atau suami mereka mau ikut berbaur dengan teman-teman mereka seperti yang Juan lakukan saat ini. 

 

Teman-teman Ralin berpamitan terlebih dahulu. Hingga akhirnya Ralin dan Juan adalah orang terakhir yang pulang. 

 

Ralin masuk ke dalam mobil Jeep mewah milik Juan. Ia lantas meraih lipstik mahalnya di dalam tas, juga kaca kecil yang selalu ia bawa, lalu memoles ulang bibirnya dengan lipstick berwarna plum itu.

 

"Sesegera mungkin kita atur pernikahan kita," ucap Ralin tiba-tiba saat Juan baru saja duduk di belakang kemudi.

 

"Apa kamu yakin? Aku bahkan belum pernah ke rumahmu untuk berkenalan dengan orang tuamu. Apa tidak sebaiknya aku ke rumahmu dulu?" tanya Juan.

 

"Kalau begitu weekend ini kita pulang ke rumahku, bagaimana?" tawar Ralin. 

 

"Oke, mudah-mudahan tidak ada acara dadakan yang diadakan oleh keluargaku. Jadi aku bisa fokus untuk bertemu dengan orang tuamu!" 

 

"Setelah bertemu dengan orang tuaku, kita langsung bicarakan pernikahan," kata Ralin lagi.

 

Juan terkekeh mendengarnya.

 

"Kenapa kamu tertawa?" Ralin bingung melihat Juan yang tiba-tiba saja terkekeh begitu.

 

"Kamu ini kebelet nikah atau gimana, sih?" goda Juan.

 

Ralin berdecak kesal. "Aku serius, Sayang! Kamu tahu bagaimana rasanya diledekin selama bertahun-tahun karena belum punya pasangan dan belum menikah? Itu rasanya sakit!" Ralin menunjuk dadanya.

 

"Oke, jadi kamu mau buktikan ke teman-teman kamu kalau kamu juga bisa punya pasangan? Dan sekarang juga mau membuktikan kalau kamu akan segera menikah, begitu?" Juan mengintrogasi Ralin sambil menatapnya dengan intens.

 

Ralin menarik napasnya dalam-dalam lalu ia embuskan secara perlahan. Tangan kanannya ia arahkan di pipi Juan. "Bukan cuma teman-teman yang suka menyindirku karena belum menikah, tapi juga di kantor, dan di rumah. Kamu tahu, dijadikan perbandingan dengan orang lain itu nggak enak. Papa dan mamaku selalu bandingkan aku dengan kakakku yang menikah dengan tuan tanah di daerah rumahku. Cuma karena dia menikah di usia muda, juga karena sekarang tentunya kakakku jadi istri tuan tanah yang kaya raya di sana." 

 

Juan tahu kalau Ralin mulai sedikit emosi, ia pun mengusap lembut lengan Ralin, mencoba menenangkannya. "Iya, aku tahu rasanya disindir karena belum menikah, aku juga merasakannya. Tapi kita juga jangan terburu-buru menikah karena emosi, bukannya menikah itu juga ada prosesnya, kan? Sambil kita cari-cari tempat yang bagus untuk resepsi pernikahan, juga sambil mencoba baju pengantin, semua pasti akan ada waktu yang tepat, kok!" kata Juan untuk menenangkan Ralin.

 

"Iya, tapi kalau bisa aku mau yang segera, Sayang!" cecar Ralin lagi.

 

Kembali Juan terkekeh. "Dulu waktu SMA, kamu nolak aku mentah-mentah karena aku gendut! Sekarang malah kamu yang kejar-kejar aku untuk diajak nikah, kenapa? Udah kebelet banget, ya?" ledek Juan.

 

Ralin langsung manyun karena malu diledek begitu oleh Juan. Akan tetapi Juan tak mau membiarkan kekasihnya ini berlama-lama kesal. Ia pun mendekatkan bibirnya ke arah Ralin, menciumnya dengan lembut. Makin lama ciuman mereka pun makin intens, membuat Ralin makin menikmati permainan bibir dari Juan. Lama mereka berpagutan, menikmati manisnya bibir masing-masing, sampai akhirnya Juan pun mengakhirinya. 

 

"Kalau lanjut di apartemen kamu, bagaimana?" tawar Juan.

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ani Rokhayani
semangat thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status