Share

Bab 2 | Akibat Satu Malam

“Kalau begitu malam ini kau harus mau melayani Tuan Kaya itu lagi.”

Bagai disambar petir di tengah hari. Alessa tentu tak sudi harus melalui malam yang sama seperti kemarin. Alessa segera menggeleng karena pilihannya hanya dua, yaitu mengorbankan dirinya lagi atau mendalinya. “Bapak boleh jual mendaliku,” putus Alessa yang tak berdaya. 

“Nah, gitu dong, jadi anak harus tahu diri.” Bapak pergi menaiki motor supranya. Dia tidak memerdulikan anak perempuannya yang tertunduk dengan isak tangisnya. 

Alessa harus tetap bangkit dari keterpurukannya. Dia pun mengemasi dagangannya serta bersiap untuk pergi ke kampus seperti biasanya. Alessa harus memenuhi keinginan Bapaknya dan menuruti perintah Bibinya di rumah. Hal seperti ini sudah bertahun-tahun Alessa rasakan. Ibunya pergi meninggalkannya saat masih remaja karena perilaku kasar Bapaknya karena terjerat hutang-hutang yang besar. Masa jaya Alessa sebagai atlit muda peselancar es pun pupus karena Bapaknya yang sering memukuli kedua kakinya sampai cedera namun sayangnya tidak dibawa berobat. Alessa menanggung akibat yang membuat sebelah kakinya pincang dan kesulitan berjalan.

“Alessa Camelia Amarei, masa tenggat biaya kuliahmu sampai bulan depan ya, Nak,” ucap seorang wanita yang membuyarkan lamunan Alessa. 

Alessa kala itu sedang duduk sendirian di kantin sembari menunggu orang membeli dagangannya. Dia malah dihampiri oleh staff tata usaha yang mengingatkan hutang biaya kuliahnya. Alessa tersenyum hambar. “Maaf, Bu, nanti Alessa lunasi,” ujar Alessa.

“Kalau tidak,nanti kamu tidak bisa wisuda bulan depan.” Wanita itu berucap sembari memilih dagangan di keranjang. “Ibu beli satu ya, keripik ketelanya.” Wanita paruh baya itu berucap sembari memberikan uang pecahan sepuluh ribu pada Alessa.

“Terima kasih, Bu, tunggu kembaliannya.” Alessa tampak kebingungan mencari uang ditasnya karena dagangannya belum dibeli siapapun. Alessa juga tidak memiliki uang kembalian untuk dagangannya.

“Tidak apa, ambil kembaliannya,” ucap Wanita itu sembari beranjak pergi. 

Alessa tersenyum haru. Setidaknya hari ini dia mendapatkan uang meski nanti semuanya harus diberikan ke Bibinya. Alessa membawa keranjang berisi dagangannya itu ke taman. Alessa memang sudah selesai menyelesaikan tugas akhir. Seharusnya Alessa jadi mahasiswa lain yang menikmati masa-masa euforia kelulusan yang ada di depan mata. 

“Seharusnya uang beasiswaku cukup untuk biaya kuliah tapi Bapak mengambilya lagi,” gumam Alessa diiringi helaan napas yang panjang. 

Alessa baru selesai memberikan hasil revisiannya di kantor para dosen. Alessa sebenarnya anak yang cerdas. Dia menyelesaikan skripsi jauh lebih cepat dibandingkan teman-temannya. Alessa pulang ke rumah saat hari menjelang sore. Dia menyisakan beberapa bungkus dagangan yang tidak laku. 

“Apa cuman segini!” Bentak Bibinya melihat uang yang Alessa berikan.

“Maaf, Bi, hari ini sepi karena sebentar lagi liburan semester jadi yang beli hanya beberapa,” jelas Alessa. 

Plak! 

Tangan Wanita itu melayang menampar wajah Alessa. Kedua matanya melotot sampai dadanya naik turun karena amarahnya membumbung tinggi. “Halah, itu semua pasti alasanmu, dasar pemalas!” jari telunjuk Wanita itu mengarah pada Alessa. 

 “Tidak, Bi, Alessa benar-benar tidak berbohong,” ucap Alessa. 

Alessa langsung dipukuli oleh Wanita itu. “Sudah pincang, tidak berguna dan sekarang berani melawan,” omel Bibinya sembari menghajar wajah cantik Alessa yang sudah terdapat lebam tapi ketika Bibinya hendak kembali memukulinya Alessa melindungi perutnya sendiri.

“Bi Marsella, tolong hentikan karena perutku jadi sakit,” ucap Alessa tiba-tiba merasakan perutnya kram. 

Alessa melanjutkan hidup penuh penderitaan ini. Suatu ketika Alessa sedang menyikat lantai di rumah. Dia senantiasa diberikan perkerjaan berat oleh Bibinya. Marsella jadi bibi yang kejam untuk Alessa belum lagi ayahnya Alessa sering memaksa Alessa untuk memberi uang dengan segala cara. 

“Andai, aku bisa pergi dari rumah ini,” gumam Alessa dengan derai air mata mengalir di pipinya. Alessa masih menyikat lantai. “Kenapa Ibu tidak pergi membawaku,” ucap Alessa disela-sela isak tangisannya.

Perut Alessa terasa nyeri belum lagi tiba-tiba Ia merasa mual. Alessa buru-buru ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Alessa terduduk lemas di sana. “Apa karena aku belum sarapan ya?” tanya Alessa seorang diri. 

Hampir tiga minggu sudah berlalu sejak Alessa dipaksa menjual dirinya pada Pria asing itu. Ayahnya juga tak kunjung pulang yang memaksa Alessa membantu pekerjaan Marsella, Bibinya. 

“Kenapa rasa mualnya tidak kunjung hilang,” ucap Alessa. Dia kini merasakan tubuhnya jauh lebih lemas dari biasanya. Alessa bahkan memaksakan diri pergi ke kampus untuk menyelesaikan artikel yang jadi salah satu syarat kelulusan akhirnya. 

Alessa jalan terhuyung-huyung di koridor kampus. Kepalanya terasa berputar belum lagi tatapannya jadi berkunang-kunang. Ia yakin jika tubuhnya tak bisa menompang untuk tegap berdiri kemudian Alessa pun pingsan tak sadarkan diri. 

Alessa terbangun ketika hari menjelang petang. Ia mendapati diri berada di ruang perawatan. Alessa berbaring di atas ranjang kasur putih dengan aroma antiseptik yang menyengat hidungnya. Alessa berusaha untuk duduk tapi rasa mual dan kram diperutnya belum kunjung reda. 

“Berbaringlah, aku tak sengaja menemukanmu di lorong koridor karena kamu pingsan,” ucap Seorang wanita.

“Jangan memaksakan kondisimu ya.” Wanita itu berucap sembari berjalan mendekati Alessa kemudian menarik kursi bundar untuk duduk disamping Alessa. “Gimana perasaanmu sekarang?” tanya Wanita itu.

Alessa bungkam sesaat. Dia tahu tengah berada di Rumah Sakit pendidikan yang terletak tepat di sebelah gedung kampusnya. Wanita ini juga salah satu dokter jaga. Alessa bisa melihat nama dan gelarnya dari name tag di jas putih yang Wanita itu kenakan. 

“Perasaanku baik, apa boleh aku kembali ke kampus, Dok?” tanya Alessa. Dia tak punya uang untuk membayar biaya pengobatan rumah sakit. Alessa memutuskan menguatkan diri untuk menduduki dirinya. 

“Tenanglah Alessa, sebaiknya kamu istirahat saja dulu,” ucap Wanita itu.

Alessa mengeryit heran. Dia merasa keluhan saat ini diakibatkan dari sering absen makan. “Aku sakit mag aja, bukan sakit kronis,” sangkal Alessa pada Dokter itu.

“Kalau begitu apa kamu ingat hari pertama haid terakhir?” tanya Dokter dengan nada lembut.

Alessa termangun sejenak. Bulan ini dia belum datang bulan. Tiga minggu sudah berlalu tapi seharusnya Alessa mengalami datang bulan di tanggal yang awal. Alessa melirik pintu ruangan dengan tulisan PONEK. Gadis itu membelalakkan kedua matanya ketika menyadari sesuatu yang tengah Ia alami. “Oh, Tuhan!” Jerit Alessa.

Dokter menenangkan Alessa yang tampak terkejut itu. Ruanga pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif (PONEK) tempatnya bekerja merupakan pelayanan untuk ibu dan anak. Alessa ditemukan pertama kali karena dehidrasi berat dengan keadaan hamil muda. “Tenanglah ... apa kamu mau mengabari keluargamu?” tanya Dokter itu.

Alessa masih menyangkal situasi yang Ia alami meskipun Alessa sudah menduga kondisinya saat ini. “Dokter apakah aku benaran sedang hamil?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status