Bab 5
ADARA
.
“Minum dulu, Nek!” Dara mengangsurkan segelas air putih di dekat mulut neneknya.
Nenek mengela napas lega, ia merasa sedikit tenaga setelah minum obat. Dara berhasil pulang setelah memberikan beberapa pukulan untuk preman jalanan, setelah itu ia lari tunggang langgang sampai di rumah.
Ia tak menceritakan semua itu pada siapa pun, karena itu sama saja menyusahkan orang-orang rumah. Apalagi kondisi nenek memang tak sehat. Kakeknya pun sudah tidak muda lagi untuk terus menerus mendengar beban kabar buruk.
“Nenek istirahat ya.” Dara menarik selimut sebatas dada untuk neneknya. Perempuan tua itu mengangguk, lalu mulai memejamkan mata.
“Kalau ada apa-apa, panggil Dara ya, Kek.” Gadis berusia dua puluh tahun itu berpesan. Seperti biasa, mengingatkan sang kakek bahwa saat neneknya kambuh ia harus memanggilnya di dalam kamar, bahkan jika gadis itu tak terjaga dari tidurnya.
Lelaki senja bernama Suryadi itu mengangguk, dengan sudut mata yang hampir saja mengeluarkan air mata. Ia tak tega melihat Dara yang ia rasa hingga saat ini belum sama sekali merasakan kebahagiaan. Ia mengorbankan masa muda untuk bekerja keras, berjuang untuk keluarganya. Sementara ia tak lagi bisa berbuat apa-apa. Hanya doa-doa baik yang ia langitkan setiap saat, berharap cucunya itu menemukan kebahagiaan sendiri di masa depan.
Ia kerap kali melihat anak-anak seumur Dara yang masih kuliah dan dimanjakan orangtuanya. Namun, Dara berbeda. Ia bahkan tak dikenali oleh ibunya sendiri.
Dara bangun dari duduknya, melangkah ingin keluar dari kamar nenek. Saat gadis itu berada di ambang pintu, ia berbalik karena kakek memanggilnya.
“Kenapa, Kek?”
Suryadi diam. Ia menunduk, lalu menatap sendu pada Dara yang tengah menanti ia bicara.
“Ibumu dari siang tak mau makan.”
Dara seketika menghela napas panjang. Tidak mau makan adalah keadaan paling berat yang harus ia hadapi di rumah bersama ibunya. Apalagi nenek sedang sakit, tak ada yang bisa membujuk ibunya untuk makan.
“Dari siang, ia Cuma coret-coret kertas aja,” ucap sang kakek lagi sembari menatap sedih pada Dara.
Dara kembali menghela napas lelah. Ia tak tahu harus bagaimana membujuk ibunya. Biasanya kalau nenek sehat, ia yang setiap hari memastikan Liana makan dengan tenang.
“Dara coba bujuk ya, Kek.”
“Kalau Liana mengamuk gimana?” tanya sang kakek ragu. Kembali Dara menatap kakeknya sendu. Saat ini ia punya pikiran yang sama dengan kakeknya, takut jika ibunya mengamuk, karena selain nenek, tak ada yang dibiarkan mendekat padanya.
“Dicoba dulu, Kek.” Dara tak ingin berputus asa. Padahal ini bukan kali pertama ia coba membujuk ibunya, mendekat atau diam-diam menyentuhnya. Selalu berakhir dengan teriakan.
Suryadi mengangguk, lalu ikut keluar bersama Dara dan menunggunya di depan kamar Liana. Menunggu Dara membawa sepiring nasi dari dapur.
Di depan kamar Liana, Dara dan kakeknya saling menatap. Lalu saling mengangguk mengisyaratkan Dara agar segera masuk dan berdoa semoga ibunya makan.
Liana mengalami gangguan jiwa karena luka masa lalu yang menghantuinya. Ia dile ceh kan oleh seseorang hingga mengandung seorang anak perempuan. Dulu ia pernah dipasung karena sering keluar rumah dan membuat keributan di luar. Anak-anak meneriakinya dan menyebutnya gi la. Liana berbicara sendiri, tertawa, dan melompat sana sini seperti anak kecil. Ia juga pernah keluar rumah malam hari tanpa sepengetahuan orangtunya, sebab itu Suryadi memilih untuk memasung karena takut kejadian lama akan terulang kembali. Liana masih terlihat cantik, masih cukup menggoda untuk orang-orang yang tak punya empati dan ingin mengulang kisah buruknya.
Suryadi dan Halimah sangat menyesali apa yang terjadi pada anak gadisnya. Mereka ikut terluka dan hampir sama tertekan dengan kondisi Liana.
Dara tak ingin penyakit lain menggeroti ibunya hanya karena makan tak teratur. Bisa jadi ibunya akan terkena asam lambung, maag, atau penyakit lainnya. Hal itu akan sulit diobati karena Liana tak seperti orang normal.
Dara membuka pintu dengan pelan. Terlihat Liana masih duduk di lantai dengan satu buku dan pensil di tangannya. Tatapannya menatap fokus pada buku dan coretan yang ia tuliskan entah apa. Coretan yang terlihat seperti hidupnya, berantakan, tak terbaca, tak ada maknanya. Dulu, Liana menulis dengan pulpen, tapi sekarang nenek mengganti dengan pensil. Nenek tak mau kesulitan membersihkan lengan dan kaki Liana saat dimandikan, karena wanita itu tak hanya mencoret buku-buku, tapi juga beberapa bagian dari tubuhnya. Lalu, tertawa melihat hasil coretan itu di tangannya.
Malam sudah larut, tapi Liana masih terjaga dengan aktivitasnya.
Dara berjongkok di depan ibunya seraya menyodorkan sepiring nasi ke hadapannya. Saat itu Liana baru menyadari kehadiran seseorang di kamarnya. Sedikit terkejut, karena bagi Liana seseorang di depannya itu seolah hadir tiba-tiba.
“Dara suapin ya, Bu.” Dara berkata hati-hati.
Seketika Liana menggeser posisi duduknya hingga menyentuh sudut tempat tidur. Ia menatap takut pada Dara dan melemparnya dengan pensil dan buku yang ada di hadapannya.
Liana tiba-tiba menangis dan mulai berteriak histeris.
“Pergi! Pergi dari sini!”
“Bu, ini Dara, anak ibu.” Dara mencoba mendekat untuk menenangkan. Namun, Liana malah menutup telinganya. Ia mencakar lengan Dara yang mencoba memegangnya. Liana melawan, ia memberontak seolah Dara adalah musuh baginya.
“Tinggalkan aku! Jangan sakiti aku!”
Kalimat-kalimat yang sering diucapkan Liana saat ada orang yang menyentuhnya. Ia selalu berteriak, dan tak bisa mengenali siapa yang menyentuhnya.
Melihat Dara yang sedang dicakar oleh ibunya, kakek masuk dan segera mendekati cucunya. Ia menarik Dara agar menjauh dari ibunya.
“Sudah, Nduk. Taruh saja makanannya di situ.” Kakek mengambil piring makanan di lantai dan ia letakkan di atas meja. Berharap Liana akan memakannya sendiri. Meskipun harapan itu tipis sekali.
“Kita keluar dulu, biarkan ibumu tenang.” Kakek berkata pada Dara.
Gadis itu mengangguk, ia menyeka sudut matanya dan keluar dari kamar ibunya. Bukan pertama kali ia tertolak oleh seseorang yang melahirkannya, tapi berulangkali. Namun, kesedihan itu tetap mengoyak hatinya seolah tak bisa kebal karena terbiasa. Setiap kali ia merasa tertolak, maka di situ hatinya berderak patah. Sebab itu, Dara tak bisa membiarkan orang lain merendahkannya dan tak akan pernah berada pada lingkungan orang-orang yang menolaknya. Ia sudah cukup sengsara dengan keadaan di rumahnya.
Kakek ikut mengusap air mata di pipi Dara. Ia bahkan ikut menangis melihat cucunya itu. Ia tahu, Dara begitu terluka dengan keadaan keluarganya. Namun, anak itu berpura-pura kuat.
Dara dan kakek duduk di depan kamar Liana, mendengar perempuan itu berteriak histeris. Lambat laun makin jarang terdengar teriakan, mulai terdengar isakan hingga suara itu hilang dan berganti dengan tatapan kosong. Dara dan kakeknya hanya ingin memastikan Liana tak lagi histeris dan tertidur dalam isaknya. Setelah itu, Dara menutup kamar ibunya dan kembali tidur di kamarnya sendiri.
Bag 6 . Seperti biasa saat senja menyapa, Dara akan kembali ke rumahnya. Ia akan pulang bersama Ayu karena gadis itu menawarkan akan mengantarkannya ke rumah. Hanya Ayu satu-satunya teman yang paling mengerti keadaan Dara. Gadis itu tak ikut menghakimi hidup Dara seperti yang orang lain lakukan. Saat Dara mengeluh tak ada uang, ia bersedia mengantar jemput agar temannya itu tak harus jalan kaki untuk pulang. Padahal rumah mereka berbeda arah. Bahkan Ayu sering menjadi tempat Dara meminjam uang, tanpa batas kapan harus mengembalikan. Ayu hanya merasa lebih beruntung dari Dara, jadi ia hanya ingin berbaik hati dengan gadis itu untuk rasa syukurnya. Saat Dara keluar dari cafe, ia melihat Rayyan sudah tercekat di depan pintu. Dara menatapnya dengan tatapan bertanya, melihat wajahnya kembali ia mengingat perlakuan ibu Rayyan waktu itu. Merendahkan harga dirinya dengan begitu ke ji. "Aku tunggu di motor, ya," ucap Ayu yang langsung meninggalkan Dara dan Rayyan untuk berbicara berdua. D
Bag 7.Semua menatap curiga pada Dara karena cincin itu terjatuh dari dalam tasnya. Dara sendiri, wajahnya tampak pias karena ketakutan. Tak mungkin cincin itu ada dengan sendirinya di tas Dara.Yasmin mendekat dan menatap tak suka pada Dara, lalu ia berjongkok untuk mengambil cincin yang terpelanting tak jauh dari kaki Dara."Tolong jelasin kenapa ini ada di kamu?" tanya Yasmin penuh penekanan.Dara diam, ia tak mampu berkata. Wajahnya mendadak pucat disertai degup jantung yang bertalu. Sejenak ia menggeleng menatap Rayyan yang berdiri di sampingnya, tapi lelaki itu malah menatapnya meminta penjelasan."Begini ya kelakuan kamu yang sebenarnya. Datang ke rumah orang dan merasa punya kesempatan untuk mencuri." Yasmin mencerca semakin menjadi-jadi. Sementara yang lain hanya menatap Dara dan menunggu penjelasannya."Perempuan pencuri tak layak menjadi menantu di rumah ini! Ray terlalu berharga untuk bersanding dengan pencuri seperti kamu!" Yasmin melayangkan telunjui tepat di depan mata
Bab 8 Setelah pertemuan malam itu, Rayyan tak berani menemui Dara. Ia malu pada gadis itu, juga malu pada diri sendiri karena sempat tersirat prasangka buruk untuk Dara. Gadis cantik itu juga tampak sangat menghindari Rayyan, karena tahu persis posisi mereka jauh berbeda. Jangankan untuk menikah dan hidup bersama, untuk menjalin hubungan pertemanan saja, Dara merasa memiliki sekat yang tak bisa ditembus. Rayyan merupakan seorang dokter spesialis penyakit dalam, anak dari pengusaha terkenal yang keluarganya juga memiliki rumah sakit swasta di Jakarta pusat, tempat Rayyan bekerja. Bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan Dara. "Kusut amat wajahnya, kenapa Ray?" tanya Sandra yang baru saja selesai memeriksa pasien yang baru saja melahirkan. Ia melewati ruang kerja Rayyan dan melihat temannya sedang melamun. Sandra langsung duduk di depan Rayyan, karena melihat wajah yang tampak tertekuk itu. Rayyan meletakkan kembali ponselnya. Wajah itu terlihat kusut karena beberapa kali ia
Bab 9."Li, balikin ya. Itu punya anak Bu Asih, kasian besok dia sekolah."Seorang lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu membujuk. Sementara Liana yang dibujuk hanya tersenyum mengelus seragam SMA yang kini ada di tangannya. Herman, abang Liana duduk berdekatan dengan adik satu-satunya itu, ia ingin memberi pengertian bahwa seragam itu bukan miliknya. Herman ingin membangunkan kesadaran Liana, bahwa kini sudah berpuluh tahun berlalu, dan ia tak layak lagi mengenakan seragam SMA seperti dulu."Bu Asih, sabar dulu ya. Saya akan coba minta baik-baik." Herman berkata pada pemilik seragam itu.Suryadi dan Halimah ikut membujuk Liana, tapi mereka tak tahu caranya agar perempuan itu mengerti. Biasanya saat Halimah membujuk, wanita itu akan diam dan menurut, karena satu-satunya orang yang bisa ia kenali hanyalah Halimah, ibunya.Liana akan merasa aman jika Halimah berada di sampingnya, dan akan menjerit jika disentuh oleh lelaki termasuk ayah dan abangnya. Trauma yang ia alami telah me
Bab 10.Malam terasa menggigil karena langit begitu mendung dan gelap. Angin malam juga memberi hawa menyejukkan bagi tubuh Dara yang tak mengenakan jaket. Gadis itu kembali melirik jam di tangan, hampir pukul sembilan malam dan belum ada satupun angkutan umum yang lewat. Ia bangun dari halte dan memandang ke arah jalanan, hanya mobil-mobil pribadi yang lewat, selebihnya sepi."Bawa motorku aja, Ra. Besok kalau aku udah sehat, aku hubungi, dan kamu jemput ke sini. Pakek aja nggak apa-apa," kata Ayu sambil tetap menahan sakit di bagian perutnya."Aku naik angkutan umum aja," ucap Dara menolak. Ia tak suka menggunakan barang milik orang lain, apalagi motor yang harganya mungkin tak bisa ia jangkau. Ia hanya tak ingin terbiasa memakai milik orang lain, juga khawatir tak bisa menjaganya dengan baik, karena malam di Jakarta terkadang menjadi surga bagi penjahat.Sore tadi, Dara harus mengantarkan Ayu ke rumahnya, karena gadis itu naik pitam dan pingsan di cafe saat sedang bekerja. Ayu mem
Bab 11.Dara membuka mata, ia dibawa oleh lelaki itu ke sebuah bar yang cukup terkenal di Jakarta. Gadis itu ditidurkan di sebuah ranjang, di kamar khusus bagi pelanggan yang biasanya menikmati kesenangan dunia. Menghisap madu dari para gadis yang menjajakan diri demi kebutuhan, entah uang atau memang kehausan.Dara melenguh karena baru sadar dari pingsan akibat pengaruh obat bius. Dengan hati-hati ia meraba pakaian dan merasakan perubahan tubuhnya yang ternyata masih utuh. Baju dan jilbabnya masih seperti semula, itu artinya lelaki itu belum melakukan apa-apa padanya."Hai, cantik!" sapa lelaki yang sejak tadi memperhatikannya. Ia sudah lama menunggu Dara bangun dari pingsannya.Lelaki itu bangun dari sofa yang ia duduki, laku mendekat pada Dara dengan tatapan buas yang menjijikkan. Lelaki berwajah tampan yang umurnya sekitar tiga puluh dua tahun itu naik ke ranjang.Debar di dada Dara makin mengencang. Ia ketakutan saat lelaki itu semakin tak berjarak dengannya. Lelaki yang tak dik
Bab 12.Dara berhasil kabur dari tempat itu. Saat ia keluar beberapa orang melihatnya, mungkin merasa aneh dengan pakaiannya tak tak seksi seperti yang mereka kenakan. Juga aneh karena seharusnya semakin larut malam, maka gemerlap malam akan semakin indah di sana, tapi Dara malah keluar dari bar itu.Gadis itu tak peduli dengan tatapan beberapa orang itu, ia terus mengayunkan langkah dan menjauh. Sekilas Dara melihat area tempat itu. Terlalu jauh dengan rumah Dara, bahkan sangat jauh. Dara berjalan kaki untuk pulang ke rumah, meskipun ia terlalu lemah, dan tak tahu kapan akan tiba. Tak ada satupun angkutan umum yang lewat, persis seperti beberapa jam yang lalu saat ia menunggu di halte sebelum kejadian buruk itu menimpa dirinya. Ia mengeluarkan ponsel di saku celananya, ia coba untuk hidupkan dan sialnya ponsel itu mati karena kehabisan daya. Dara baru ingat, sejak tadi daya ponselnya memang tinggal sedikit. Saat akan pulang dari rumah Ayu, ia sempat memberitahu Omnya bahwa ia akan
Bab 13."Kamu perlu ngucapin selamat pada Bu Yasmin, karena sudah berhasil membuatku trauma." Dengan lantang Dara berbicara, tapi sayangnya semakin ia banyak berbicara, tetesan air di matanya tak ingin berhenti mengalir, seperti hujan yang semakin deras.Rayyan menatap nanar pada Dara, mendengar apa yang baru saja terjadi padanya membuat lelaki itu ikut hancur. Ia tak menyangka mamanya sanggup melakukan itu semua hanya karena tak suka pada Dara. Hati Rayyan terasa panas membara karena kemarahan, sekaligus remuk terluka karena melihat Dara.Sejenak keduanya saling menatap dalam kesenduan di bola mata masing-masing. Kemudian Dara merebut kembali ponsel di tangan Rayyan setelah ia membaca semuanya.Dara beranjak pergi, ia kembali berjalan menuju jalan pulang ke rumahnya. Wajah itu terlihat sudah sangat pucat, karena terlalu lama di bawah air hujan. Terlalu lemah karena sejak pagi disibukkan dengan pekerjaan dan di belum sempat beristirahat, bahkan saat jam sudah menunjukkan pukul sebela