“K-kau tidak keluar?” Setelah beberapa saat menunggu dan tak ada tanda-tanda Dirga akan keluar.“Selesaikan urusanmu.”“A-aku ingin buang air kecil.”“Ya, lakukanlah. Kita sudah terbiasa saling melihat saat telanjang, kan? Kenapa kau berpura gugup hanya karena aku ada di kamar mandi.”“Aku tak pernah mengamatimu ketika sedang buang air kecil.”Dirga mendesah jengah. “Memangnya apa yang ingin kau sembunyikan dariku, hah? Diam-diam menghubungi pamanmu?”Davina tergelagap.“Kau pikir aku tak akan tahu hanya karena kau sudah menghapus riwayatnya, hah?”“A-aku hanya mengkhawatirkan keadaannya.” Suara Davina semakin melirih dengan wajah yang semakin tertunduk. “Aku mendapatkan luka yang sama dan kau bahkan tak perlu berpikir untuk langsung menghampirinya jika aku tidak mencegahmu, kan?”Davina seketika terdiam. Tapi … bukankah sudah ada Reyna yang mengurus luka Dirga?“B-bisakah aku keluar? Aku tidak bisa melakukannya.”Dirga menatap wajah Davina yang setengahnya tertutup rambut gadis itu
"Pernikahan ini sama sekali tak ada artinya, Meera. Dia bukan suamiku dan aku bukan istrinya. Jangan mengungkit tentang hal itu.""Pernikahan ini sama sekali bukan apa-apa. Aku bahkan menganggapnya tak pernah terjadi. Aku berharap bisa menghilangkan ingatanku yang satu itu."Dirga bahkan lebih dibuat marah dengan pernyataan Davina tersebut ketimbang memergoki gadis itu sedang membuang tenaga atau waktu di dapur. Mencurahkan hati sialan pada sesama pelayan. Sial. Bahkan tak seharusnya gadis licik itu berhak bicara hal semacam itu.Davina nyaris terserimpet kakinya sendiri karena dipaksa mengikuti langkah Dirga yang terburu. Tubuhnya tertarik ke depan, membentur dada Dirga ketika pria itu tiba-tiba berhenti."Tidak bisakah kau memperhatikan langkahmu, hah?"Davina menegakkan punggungnya dan berdiri dengan kedua kakinya. Bukankah pria itu yang membuatnya terjatuh? Kenapa mendadak Dirga menjadi begitu uring-uringan?"Aku sudah mengatakan padamu untuk berhati-hati dalam setiap langkahmu ag
Saat Dirga kembali ke kamar, ia tak menemukan Davina di tempat tidur. Tapi pintu kamar mandi yang setengah terbuka dan suara muntahan yang terdengar membuatnya gegas berlari menghampiri gadis itu. Di kamar mandi, Davina bersimpuh di depan lubang toilet dan memuntahkan isi perutnya. Dirga membungkuk di belakang gadis itu, mengusap punggung dan menguncir rambut Davina yang terurai dengan tangannya yang lain. "Kau baik-baik saja?"Davina menjawab dengan satu muntahan lagi. Lonjakan dari dalam perutnya begitu kuat hingga air mata merembes di ujung matanya. Tetapi muntahan kali ini membuat perutnya merasa lebih baik dan ia tahu sesi muntahan tersebut akan segera berakhir.Setelah napasnya mulai kembali normal, Dirga membantu Davina bangun dari simpuh dan duduk di pinggiran bath up. Kemudian menutup lubang toilet dan menyalakan flush, lalu menyambar tisu dari meja wastafel dan membersihkan keringat di wajah dan sisa muntahan di sekitar bibir Davina."Kau ingin minum?"Davina mengangguk den
“Kau belum tidur?” Dirga akhirnya bersuara karena sejak tadi Davina bergerak ke kanan dan kiri dengan tak nyaman.Davina menoleh ke belakang, melihat Dirga yang ternyata matanya masih terbuka padahal sejak tadi pria itu sama sekali tak bergerak dan bersuara. “Kau belum tidur?”“Aku bertanya padamu lebih dulu.”Davina menggeleng pelan. “Bolehkah aku berjalan-jalan sebentar, perutku terasa tidak nyaman.”“Ini sudah malam, gadis licik.”“Hanya di depan kamar. Jadi langkahku tidak akan mengganggu tidurmu.”Dirga terdiam sejenak. “Di dalam kamar saja. Kupikir kamar ini cukup luas, kan?”Davina tampak terbengong, sekali lagi mengulang perintah Dirga. Biasanya Dirga jelas akan terganggu dengan suara langkahnya, bahkan ketika hanya ke kamar mandi. Dan sekarang pria itu menyuruhnya berjalan-jalan di dalam kamar. Apakah pria itu sengaja menyindirnya?“Tidak jadi.” Davina menggeleng dan kembali berbaring memunggungi Dirga.“Kenapa? Kau khawatir mengganggu tidurku?” Dirga bangun terduduk dan meny
Davina tak mengangguk. Terakhir kontrol, dokter mengatakan pertumbuhan janinnya sudah normal dan sehat. Hanya perlu menjaga asupan gizi. Dirga pun pernah bertanya tentang berhubungan intim pada dokter. Sepertinya hanya untuk ini.“Apakah kau sudah merasa lebih baik?”Entah kenapa Davina mengangguk dan bibirnya langsung ditangkap oleh Dirga. Pria itu melumatnya dengan rakus meski tetap berhati-hati agar tak menyakitinya.“Katakan kalau aku membuatmu tak nyaman,” bisik Dirga tanpa melepaskan pagutannya. Membaringkan tubuh Davina dengan lembut sementara tangannya mulai menelusup ke balik pakaian tidur gadis itu. Menyentuh kulit telanjang Davina yang mulut dan lembut. Luapan gairahnya begitu besar. Bagaimana tidak? Sudah sebulan penuh sejak gadis itu keluar dari rumah sakit, Dirga mati-matian menahan hasratnya setiap kali melihat kulit Davina ketika pakaian gadis itu tersingkap, atau ketika gadis itu sedang berpakaian, atau bahkan ketika melintas di depannya dan aroma manis yang tertangka
Clay terbahak dengan keras, menarik tubuhnya menjauh dan membiarkan Reyna berdiri dengan kedua kaki wanita itu. “Kau pikir aku percaya dengan omong kosongmu?”Reyna mendorong dada Clay dengan kasar. “Terserah kalau kau tak mempercayainya.”“Kau pikir Dirga akan menikahimu??” tanya Clay lagi sambil menahan tawa gelinya. “Ya, hentikan harapanmu sendiri, Reyna baby. Aku akan menjadi saksi terkabulnya impianmu.”Mata Reyna melotot tak terima dengan ejekan tersebut, ia merapikan pakaiannya dan berbalik. Menghilang di ujung tangga.*** Di meja makan, Clay tak berhenti menahan tawanya. Melihat bagaimana Dirga memberikan perhatian pada Davina, sementara Reyna hanya duduk dengan wajah merah padam menahan iri dan dengki. Saat pandangannya bertemu dengan Reyna, wanita itu mendelik penuh peringatan, yang tak digubrisnya.“Suasana hatimu tampak bagus hari ini,” komentar Dirga melirik ke arah Clay yang masih melengkungkan senyum semringah.“Hmm, ya. Sangat bagus. Jadi, Davina …” Clay menoleh ke ar
Davina tentu saja terkejut dengan permintaan Reyna tersebut. Bertanya-tanya apa tujuan wanita itu ikut ke rumah sakit bersamanya. Matanya melirik ke arah Dirga yang terdiam, tampak berpikir keras. Untuk pertama kalinya, Davina merasa kesal dengan pria itu tanpa alasan yang jelas. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa Dirga dibandingkan Reyna di hidup pria itu. Tetapi … bukankah aneh jika Reyna ingin ikut ke rumah bersama mereka untuk memeriksa kandungannya. Kalau begitu ia hanya perlu memberikan pria itu pilihan yang lebih mudah. Ia menarik tangannya dari tangan Dirga dan berkata, “Dirga, kepalaku sedikit pusing. Sepertinya aku tidak ingin ke rumah sakit.” Dirga menoleh, hendak tetap mempertahankan tangan Davina tapi gadis itu sudah melangkah pergi. Mendesah pelan, ia menatap Reyna yang menampilkan sesal di wajah. “A-apa aku melakukan kesalahan? A-aku hanya penasaran dan melihat bagaimana pemeriksaannya. Kau tahu, aku … aku sudah tiga tahun menikah dan Mickhael menceraikanku karena ak
Davina mencari-cari Dirga di sekitar lift dan tak menemukan pria itu sebelum memutuskan masuk ke dalam lift dan turun ke lantai bawah. Sepertinya pria itu menunggu di tempat parkir rumah sakit. Ia menyeberangi lobi yang luas dan berhenti di teras sejenak ketika sebuah ambulance berhenti di area samping rumah sakit yang mengarah ke ruang IGD. Matanya menyipit, menajamkan penglihatannya ketika menemukan sosok kurus dan tinggi yang mengenakan jas putih, bergegas menghampiri mobil ambulance yang baru saja berhenti. Beberapa perawat laki-laki membuka pintu belakang ambulance dan sebuah brankar dorong ditarik keluar. Senyum melengkung di kedua ujung bibirnya melihat keseriusan di wajah Ega yang bisa ditangkapnya dari jarak yang cukup jauh. Namun, senyum itu hanya bertahan selama sedetik, ketika detik berikutnya Davidlah yang melompat turun. Dengan darah yang mengotori pakaian pria itu. Kaki Davina segera melangkah mendekat, setengah berlari menghampiri Ega dan David yang mendorong branka