Share

8. Rencana Si Kembar

 

“David?” panggil Davina menemukan pria yang berdiri di samping mobil hitam yang terparkir tak jauh dari pintu belakang rumah sakit. 

Pria yang dipanggil itu menoleh, segera menghambur kea rah Davina yang masih kesulitan berjalan dengan baik dan membawa tubuh kecil gadis itu ke pelukannya. Mengecup ujung kepala Davina dalam-dalam dengan mata terpejam, memecah tangisan di kedua kelopak matanya.

“Kau baik-baik saja?” David sedikit melonggarkan pelukannya, merangkum wajah tirus dan pucat gadis itu dengan kesedihan yang mendalam.

Davina terisak dan mengangguk. Untuk pertama kalinya berhasil meluapkan emosi yang selama ini tertahan di dadanya. 

“Kau tidak baik-baik saja, Davina. Lihatlah apa yang sudah dilakukannya padamu.” Dengan kedua ujung jemarinya, David menyeka air mata yang meleleh di pipi Davina. Tetapi kemudia ia merangkul gadis itu dan membawa ke mobil. “Kita harus bergegas. Kita tak memiliki banyak waktu,” ucapnya mendudukkan Davina di kursi penumpang. Memasangkan sabuk pengaman sebelum ia berpindah ke balik kemudi.

“Bagaimana kau menemukanku?”

“Maaf, aku terlambat. Kau tahu hubunganku dan pria tua sialan itu tak baik sehingga aku mengabaikan semua panggilan dan pesan darinya. Tapi … hari itu aku tak sengaja mendengarkan pesan suaranya. Dia mengatakan kau dalam bahaya.”

“Ayah menghubungimu?”

David mengangguk tanpa mengalihkan fokusnya dari arah jalanan.

Davina tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Kenapa? Kau merasa tersentuh?” dengus David dengan nada mengejek. Kemudian wajahnya berubah dingin dan kesal. “Dia yang membuatmu terlibat situasi sialan ini, Davina. Jangan coba-coba tersentuh. Itu bukan kasih sayang, itu adalah sedikit tanggung jawab yang memang harus dia lakukan.”

Davina segera menutup mulutnya. Ya, kakak kembarnya David Carson sudah membuang nama Riley di belakang nama pria itu sejak sembilan tahun yang lalu. Memutuskan meninggalkan rumah dan pergi ke panti asuhan. Kakaknya beruntung berhasil mendapatkan orang tua angkat yang begitu menyayangi David, meski sang kakak tak pernah memutus kontak di antara mereka dan keduanya juga terkadang saling bertemu di belakang sang ibu.

Sementara dirinya, tak bisa meninggalkan ibunya yang tengah sakit parah hingga satu tahun yang lalu akhirnya dikalahkan oleh kanker paru-paru dan menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Davina.

David datang di pemakaman tersebut dan langsung menghilang begitu ayahnya datang. Itu lebih baik atau kembarannya itu akan kehilangan kendali dan terjadi baku hantam yang malah hanya akan membuat wajah David hancur.

Tadinya ia pikir David akan mencarinya karena dia datang ke pertemuan yang mereka janjikan dua minggu sebelum Dirga dan Clay datang ke rumahnya. Tak menyangka sang ayahlah yang mengirimkan bantuan tersebut pada David.

“Seharusnya aku datang di pertemuan yang kita janjikan hari itu. Tapi aku harus ikut bersama keluargaku ke luar negeri untuk menjenguk kakek yang sakit. Aku sudah mengirim pesan padamu dan baru menyadari seminggu kemudian kalau kau belum membalas pesanku. Aku merasa ada yang tak beres dan bergegas kembali. Tapi rumah kosong dan aku mulai panik mencarimu. Kau tidak ada di mana-mana. Sampai aku tak sengaja mendengarkan pesan suara yang dikirim pria tua sialan itu.”

Davina mengangguk. Tangannya terulur, menggenggam tangan sang kakak yang masih memegang setir. “Sekarang kau sudah datang.”

“Ya. Tapi sudah sangat terlambat.” Suara David melirih dan diselimuti kesenduan. Beberapa kali mengedipkan matanya. Adiknya sudah hancur dan masih berusaha terlihat baik-baik saja. Seperti biasa, yang membuat hatinya bergemuruh oleh amarah.

“Setidaknya sekarang semua sudah berhenti.”

“Apakah sulit mengatakan kau sedang tidak baik-baik saja?” Suara David mulai terdengar kasar. “Lihatlah apa yang sudah dilakukan berengsek itu padamu.”

Davina merasa malu untuk dirinya sendiri. David pasti tahu apa yang terjadi padanya di rumah Dirga. “K-kau tahu?”

“Semuanya. Kau pikir bagaimana aku menemukanmu jika tidak tahu apa yang terjadi padamu?”

Davina kembali menutup mulutnya. David sudah menyelamatkannya, hanya itu yang ia butuhkan tanpa membuat sang kakak lebih khawatir lagi.

“Tidurlah. Masih ada dua jam perjalanan.” Suara David mulai melunak meski suasana hatinya masih tetap buruk.

Davina mengangguk pelan. Setelah minum obat dan tubuhnya yang kewalahan bahkan hanya untuk turun ke lantai bawah rumah sakit tiba-tiba membuatnya mengantuk. Ia mencoba mendapatkan posisi yang nyaman ketika tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

“David?” panggilnya dan menegakkan punggungnya dengan tiba-tiba.

David menoleh. “Ada apa?”

“Sepertinya aku menjatuhkan kertas itu,” jawab Davina sambil memeriksa setiap kantong di baju pasiennya.

*** 

Pintu lift di depan Dirga bergeser terbuka dan ia melangkah keluar ketika ponselnya bergetar.

“Ada apa, Clay?”

“Di mana kau?”

“Base …”

“Basement?”

Langkah Dirga seketika terhenti menyadari ada ketegangan dalam suara Clay. “Ada apa?”

“Kembali ke kamar. Sekarang!”

Dirga berbalik dan pintu lift sudah tertutup, membuatnya harus naik tangga darurat. Ia melangkah dan berlari secepat kakinya bisa, tak peduli berapa anak tangga yang harus dilompatinya agar tak membuang sedetik pun waktu yang tersisa. Sejak tadi ia merasa ada sesuatu yang tak beres dengan Davina. Ada sesuatu yang coba direncanakan dan sembunyikan di balik kepatuhan dan kepolosan gadis itu.

Davina berkedip lebih sering dari biasanya, tetapi betapa pun kerasnya Dirga berpikir, ia tak bisa menemukan celah di balik wajah polos gadis itu. Yang selalu membuatnya penasaran. Ada satu hal yang ia lupakan. Yang ia sendiri tak tahu di bagian mana. 

Tak lebih dari lima menit, ia sudah sampai di lantai 8 dan membanting terbuka pintu ruang perawatan Davina. Langkahnya membeku, wajahnya menggelap dengan rahang yang mengeras menemukan ranjang pasien yang kosong. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

‘Ke mana perginya gadis sialan itu?’

Giginya bergemeletuk dan kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, mencoba menjernihkan kewarasannya di antara terjangan kemurkaannya.

‘Beraninya gadis sialan itu melarikan diri.’

Suara langkah kaki yang bergema di lorong semakin keras dan mendekat. Clay sampai di belakangnya dengan napas terengah. Tak terkejut menemukan ranjang pasien Davina yang kosong.

“Apa yang terjadi?” desis Dirga tanpa berbalik dan bibirnya yang menipis tajam. Pandangannya masih melekat pada ranjang pasien di hadapannya, yang menjadi tamparan keras di wajahnya. Pengkhianatan ini lagi-lagi membuatnya tersadar, tak ada siapa pun di dunia ini yang layak ia percaya. Termasuk kepolosan gadis sialan itu.

Clay maju sambil merogoh saku jasnya dan mengeluarkan selembar foto yang ditunjukkan pada Dirga. Menormalkan napasnya lebih dulu sebelum berkata, “David ‘Riley’ Carson.”

Dirga mengambil lembaran foto tersebut dan matanya menyipit mengamati gambar pria muda yang tampaknya seumuran dengan Davina. Tak butuh lebih dari dua detik untuk menemukan kesamaan fisik mereka. Pria muda bernama David ini memiliki wajah yang sama dengan Davina dalam versi laki-laki.

“Ya, dia kakak kembar Davina.”

*** 

Mobil akhirnya berhenti di sebuah villa yang berada di daerah pegunungan. David menggoyang lembut pundak sang adik.

Perlahan Davina terbangun dan mengedarkan pandangan ke luar mobil. Melihat rumah dua tingkat dengan taman bunga yang asri di sisi kiri. Juga air mancur tepat di samping kanan mobil, yang kemudian mengingatkannya akan rumah Dirga meski air mancur ini sedikit lebih kecil.

“Di mana kita?”

“Salah satu villa keluarga angkatku,” jawab David sambil melangkah turun dari mobil. Kemudian memutari bagian depan mobil dan membukakan pintu untuk sang adik. “Untuk sementara kita tinggal di sini. Kemarilah.”

“Aku bisa sendiri, David,” tolak Davina ketika kedua tangan David terulur hendak menggendongnya.

“Ck. Jangan berlagak sok kuat, Davina. Seharusnya kau masih berada di rumah sakit dan dalam perawatan intens dokter.” David pun menyelipkan kedua lengannya di balik lutut dan punggung Davina, membawa sang adik masuk ke dalam rumah.

Menggunakan ponselnya, David menerangi jalan menuju kamar terdekat yang ada di lantai bawah. Ia sudah hafal setiap perabot di rumah ini sehingga tak perlu terantuk apa pun. David membaringkan tubuh Davina di kasur yang empuk lalu menyalakan lampu.

“Kau butuh sesuatu?”

Davina menggeleng.

“Kalau begitu, kembalilah tidur. Besok pagi ada yang perlu kita bicarakan.”

Kerutan membentuk di kening Davina, tetapi ia masih mengantuk dan kepalanya pusing. Entah apa pun yang ingin dikatakan David, sekarang yang dibutuhkannya hanyalah kasur empuk dan selimut untuk memejamkan matanya.

David menarik selimut dan membungkuk untuk mendaratkan kecupan di ujung kepala Davina, menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu utaman sebelum menutup pintu.

Esok paginya, Davina terbangun oleh suara kicau burung. Matanya perlahan terbuka dan menyadari ia tak lagi terbangun di kamar lantai dua di kediaman Dirga. Ada kelegaan sekaligus seperti mimpi mengingat semalam Davidlah yang membawanya kabur.

Suara langkah kaki dari balik pintu mengalihkan pandangannya dari jendela kamar yang sudah terbuka dan menampilkan pemandangan taman yang dipenuhi bunga mekar meski lebih banyak yang masih kuncup.

Pintu diketuk dua kali dan Davina menjawab, “Masuk.”

David muncul, tetapi kemudian ada seorang pria yang mengekor di belakang sang kakak dengan nampan berisi makan pagi. Kening Davina berkerut, bertanya dalam isyarat tentang siapakah pria itu.

Tak menjawab, David duduk di pinggiran tempat tidur sambil meletakkan beberapa kantong berisi pakaian ganti untuk Davina di ujung tempat tidur. “Kepalamu pusing?”

Davina menggeleng. “Sudah merasa lebih baik.”

David mengangguk paham. "Kalau memiliki keluhan, katakan. Dia seorang dokter," jelas David menunjuk pria yang berdiri di samping meja kecil.

Sekali lagi Davina menoleh pada berambut ikal coklat dengan senyum yang manis dan tatapan lembut. 

Pria itu mengulurkan tangan ke arah Davina. "Aku Ega. Kakak angkat David."

Mata Davina melebar dan terkesiap pelan. "Kakak angkat?"

Ega mengangguk, "David sudah menceritakan semuanya tentangmu."

Wajah Davina bersemu malu. Tak yakin kisah mana yang sudah diceritakan oleh David pada pria ini. Davina pun hanya bisa memaksa bibirnya tersenyum demi menutupi rasa malunya. "Davina," ucapnya lirih hampir tak terdengar. Kemudian menatap pada David dengan isyarat mata. 'Apa ini?'

David mendesah pelan. Mengabaika pertanyaan Davina dan berkata, "Makan dan ganti pakaianmu.  Setengah jam lagi kami ada kembali dan memeriksa keadaanmu."

Davina merasa ada yang janggal tetapi menuruti apa yang dipintah David dengan satu anggukan singkat. David bangkit berdiri sambil meremas kedua tangan Davina.

"Semua yang kau butuhkan ada di dalam kantong itu. Katakan jika masih ada yang kurang, aku akan mendapatkannya untukmu."

Keduanya pria itu pun melangkah keluar. Davina tak menunggu lama untuk mengisi perutnya yang lapar. Mengisi tenaga untuk membersihkan diri. Ia sempat terpaku menemukan pembalut dan pakaian dalam di dalam kantong tersebut. Sepertinya tidak ada yang dibutuhkannya.

Davina pun membawa kantong tersebut ke kamar mandi dan keluar sepuluh menit kemudian. Ia baru selesai merapikan rambutnya ketika pintu kamar diketuk  David dan Ega kembali masuk. Kali ini Ega membawa tas kulit berwarna hitam yang berisi peralata dokter. 

"Tekanan darah masih rendah. Aku akan mengambil sampel darahmu untuk melakukan beberapa tes sederhana. Alat yang kubawa tak selengkap di rumah sakit. Perutmu masih sakit?"

Davina menggeleng.

"Masih mulas?"

"Sedikit."

Ega mengangguk. "Kau masih butuh banyak istirahat dan banyak tambahan gizi untuk memulihkan tubuhmu."

Setelah Ega selesai mengambil sampel darahnya, pria itu berpindah meja di set sofa. Melakukan sesuatu dengan alat-alat yang entah apa. Lalu berganti Davidlah yang duduk di samping ranjang.

David terhenyak, menatap wajah Davina dan menghela napas panjang.  Tangannya terangkat dan merangkum sisi wajah Davina. Ujung ibu jarinya berhenti di luka robek yang sudah mengering di ujung bibir Davina. Membuat bibirnya berkedut menahan amarah.

"Semua sudah berakhir, David." Davina menurunkan tangan David dari wajahnya dan menggenggamnya dengan kedua tangannya yang mungil.

David mendesah lagi. Menatap wajah Davina dan berkata, "Kau sudah berkenalan dengan Ega, kan?"

Davina terdiam, melirik ke arah Ega yang masih sibuk di meja.

"Dia bersedia membantumu."

Kening Davina berkerut, penuh tanda tanya.

"Dia akan menikahimu."

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status