Share

Bab 7 Selalu Berpikir Buruk

Darahku berdesir panas, apa mungkin kakakku dan suamiku ....

Aku menggelengkan kepala menepis pikiran burukku.

Daripada hanya menerka-nerka, lebih baik aku membuktikannya sendiri.

Brakk!

Aku membuka pintu kamar dengan sedikit kasar, hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Seseorang di dalamnya terlonjak karena kaget.

"Apa kamu tidak bisa membuka pintu dengan pelan? Bikin orang kaget aja." Kak Nada yang tengah berbaring di atas kasur langsung bangun dengan menatapku tidak suka.

Hanya ada Kak Nada di kamar ini. Bukannya tadi kata Azzam, Mas Rama ada bersama Kak Nada? Kok sekarang tidak ada?

"Cari apa?" tanyanya lagi yang melihatku hanya celingukan tanpa berkata.

"Emmm, Mas Rama mana?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Nada malah tergelak sembari turun dari tempat tidur.

"Kamu ngelindur? Ngapain nanya suamimu ke aku. Ya, mana aku tahu." Kak Nada berdiri dengan bersidekap dada.

"Kata Azzam, dia melihat Mas Rama bersama Kakak, makanya aku nanya sama Kakak."

"Anak kecil kamu percaya. Ya, buktinya mana, kalau suamimu bersamaku, Mel. Gak ada Rama di sini."

Tidak mungkin Azzam bohong. Mereka masih polos dan akan berkata apa adanya. Jika Azzam jujur, berarti yang bohong ... Kakakku.

Tanpa memperdulikan wajah jutek dan kata-kata pedas dari bibir Kak Nada, aku masuk ke kamar dan mencari keberadaan Mas Rama. Kalau tidak di kamar mandi, pasti di dalam lemari.

"Mau ke mana, Mel? Sudah dibilangin gak ada suamimu di sini!" Kak Nada mengikutiku ke mana kakiku melangkah.

Semua kamar di rumah ini memiliki kamar mandi di dalam. Kecuali kamar pembantu yang letaknya di belakang. Dan sekarang aku berjalan ke arah kamar mandi. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam sana, tapi tak aku temukan suamiku di sana.

"Melodi, kamu menuduh aku berbuat mesum dengan suamimu?" Kak Nada mencekal lenganku.

"Gak gitu, Kak. Aku hanya ...."

"Hanya, apa? Kalau tingkahmu seperti ini, ini sama saja kamu menuduh Kakakmu sendiri, Mel. Keterlaluan kamu!"

Kak Nada menghempaskan tanganku sedikit kasar membuat tubuhku terguncang. Lalu dia mengambil tasnya hendak pergi dari kamar ini. Namun, belum dia keluar, langkahnya sudah terhenti saat ada seseorang yang datang dari luar.

Mas Rama. Laki-laki yang aku cari keberadaannya, kini ia masuk ke kamar di mana aku dan Kak Nada berada saat ini.

"Ada apa? Sepertinya tadi aku mendengar ada yang ribut?" tanya Mas Rama melihatku dan Kak Nada bergantian.

"Tanya saja sama istrimu itu. Sepertinya dia mengalami baby blues," ujar Kak Nada dengan ketus lalu pergi meninggalkan aku dan Mas Rama.

Mata Mas Rama kini beralih padaku. Dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana, dia berjalan dengan tatapan yang tajam.

"Kenapa Kak Nada sampai marah seperti itu, Mel? Jangan bilang, jika kamu mencurigaiku dengan Kak Nada, seperti kamu mencurigaiku dengan pembantu itu. Iya, Mel?"

"Enggak. Aku hanya bertanya saja. Emang kamu dari mana, sih Mas? Katanya ke kamar mandi, tapi kok lama banget?"

Aku duduk di ranjang yang tadi ditempati Kak Nada.

"Aku memang dari kamar mandi, kok."

"Tapi, aku cari kamu ke kamar mandi dapur sama kamar kita, kamu gak ada, Mas," kataku tak mau kalah dengan jawaban Mas Rama.

Mas Rama menghampiriku dan ikut duduk di sampingku.

"Aku dari kamar mandi yang ada di kamar sebelah. Mau ke atas, tapi ada Mama kamu, sama pengasuhnya si kembar. Makanya aku memilih kamar mandi yang dibawah. Pas udah, eh Mama minta dipijitin badannya. Katanya pegal, akibat perjalanan jauh."

Aku diam mendengarkan penjelasan Mas Rama.

"Kamu gak lagi bohong, 'kan Mas?" Aku menatap matanya lekat, mencari kejujuran dari sorot matanya.

"Tidak, Sayang. Aku tidak bohong, kamunya aja yang selalu berpikiran buruk padaku. Tidak mungkin aku mengkhianati kamu, Mel."

Mas Rama menarikku ke dalam pelukannya. Menenggelamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Mengusap pelan punggungku dengan sangat lembut.

Untuk beberapa saat aku merasa nyaman berada dalam dekapan suamiku. Tapi, aku menarik tubuhku dari rengkuhannya saat aku mulai mengingat kembali kejadian dia bersama Bi Mina. Datang ke kamar Bi Mina di malam hari, tanda merah di leher, serta rambut basah Bi Mina di pagi hari membuatku kembali menaruh curiga pada suamiku.

Mungkin dengan Kak Nada, itu hanya pikiran burukku. Tapi dengan Bi Mina, aku yakin bukan hanya halusinansiku. Dan, ucapan Bi Mina yang katanya ingin tinggal bersama putranya, membuat otakku harus bekerja dengan sangat keras. Tidak mungkin jika Raka adalah anak Bi Mina. Jelas-jelas aku yang melahirkan dia dengan sangat susah payah dan berdarah-darah.

"Mungkin kamu sedang lelah, jadi pikiranmu selalu buruk padaku. Tak apa, aku bisa maklum, kok." Mas Rama mengusap kepalaku yang tertutup hijab.

Aku dan Mas Rama pun keluar dari kamar itu, karena mendapatkan panggilan dari Mama. Katanya keluargaku akan pulang sekarang.

"Aku kira kalian akan menginap malam ini, Ma. Taunya malah pulang." Aku mengerucutkan bibir masih dalam dekapan Mas Rama.

"Maunya gitu, tapi besok pagi Mama sama Papa ada meeting pagi. Gak bisa kalau berangkat dari sini, Mel. Gak papa, ya kita pulang, kan ada Mama Tuti yang menemani kalian," ujar Mama.

Aku mengangguk lesu. Ingin rasanya aku berlari dan menumpahkan kegundahan hatiku pada Mama, tapi rasanya tidak mungkin kulakukan itu selama aku belum menemukan bukti yang pasti.

Semua keluargaku pamit pulang, tak terkecuali Kak Nada yang hanya diam dengan wajah tidak ramahnya. Mungkin Kak Nada masih marah padaku soal tadi.

"Kak, maaf untuk yang tadi." Aku mengejar Kakak perempuanku yang hendak masuk mobil itu.

Bagaimanapun dia adalah kakakku. Aku tidak ingin hubungan yang renggang malah semakin memburuk dengan adanya insiden tidak menyenangkan tadi.

Kak Nada berbalik melihatku. "Tak apa," ujarnya singkat dengan mengelus pundakku. Kemudian dia masuk dan menutup pintu mobil.

Huft!

Itu terlalu singkat untuk perpisahan seorang kakak dan adik.

Semuanya melambaikan tangan tanda perpisahan.

Meski jarak rumah mereka tidak terlalu jauh, tapi rasanya berat juga berpisah dengan keluargaku. Sekarang rumahku jadi sepi lagi. Hanya tangisan Raka yang akan menjadi penghangat di rumahku ini.

"Masuk, Mel sudah malam." Mama Tuti menegurku yang masih berdiri di teras rumah.

"Ayo, Sayang." Kini Mas Rama yang membujukku.

Kami pun masuk ke dalam rumah bersama. Saat Mas Rama dan Mama mertua memilih duduk santai di depan tv, aku lebih memilih pergi ke kamarku untuk menemui bayi kecilku.

"Sayang, tampan sekali kamu, Nak. Kamu begitu mirip dengan ayahmu."

Deg!

Saat aku berada di ujung tangga, aku mendengar ada suara dari dalam kamarku yang berada beberapa langkah saja dari ujung tangga.

Aku mempercepat langkah kakiku dan langsung masuk ke dalam.

Saat aku lihat, Bi Mina, dia tengah menggendong bayiku.

"Bibi! Lancang kamu!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status