Dalam mimpi pun bahkan Lala tidak menginginkan bertemu dengan laki-laki semacam Glenn. Kalau bisa ditawar Lala memilih bertemu kera sakti saja, karuan hidupnya menjadi berguna, bisa ikutan ke barat mengambil kitab suci. Daripada bertemu Glenn yang ada hanya dicaci maki terus.
Tampaknya bertemu Glenn di kota Violens adalah takdir dan Lala tidak bisa menukarnya dengan siapapun. Seandainya bisa, Lala mau kok tukar tambah. Mungkin tambah sepuluh ribu tukar lelaki yang lebih sopan dan lebih menghargai orang lain.
Nasib baik yang di awal menghampirinya ternyata berbuntut masalah yang cukup rumit. Tiga bulan lalu tepatnya ketika Lala menginjakkan kakinya di kota impian. Ya, Violens adalah kota yang akan mewujudkan segala mimpinya.
Setiba di kota Violens Lala mendapatkan kost yang jaraknya cukup dekat dengan kampus, bahkan Lala cukup berjalan kaki saja jika ingin pergi ke kampus. Itu artinya rencana pertama berjalan mulus. Meskipun Lala harus membayar cukup mahal untuk harga kos itu hingga menguras hampir separuh uang tabungannya.
Keesokan harinya Lala berangkat ke kampus Nuansa hendak daftar ulang. Sialnya, sisa tabungannya tidak cukup untuk membayar daftar ulang kuliahnya.
Sungguh tidak lucu.
Bukankah seharusnya Lala cari kos yang sederhana saja, yang terpenting dirinya bisa daftar ulang? Lala bahkan tidak berpikir ke situ.
Lala berjalan gontai pulang ke kos kembali. Masih ada harapan bagi Lala, sebab sisa waktu satu hari besok untuk daftar ulang.
Sesampai di kos Lala melempar tasnya di kasur. Mendung di kedua bola matanya sudah berubah menjadi gerimis, lama-kelamaan hujan pun turun membanjiri kedua pipinya. Lala bukan lagi terisak kini dirinya sudah menangis meraung-raung.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu itu pun tidak di dengarnya. Lala terlalu terlena menikmati tangisnya sendiri.
"La, kamu kenapa?" tanya Dewi setelah membuka pintu yang tak terkunci itu. Dewi adalah anak kos yang memiliki kamar tepat di samping kamar Lala.
Lala menoleh ke sumber suara, tampak dewi menatapnya penuh rasa khawatir. Kemudian mengulurkan tisu untuk Lala.
Lala sepertinya lupa, bahwa mulai saat ini dirinya tidak boleh cengeng. Tidak ada lagi Ayahnya yang menjadi superhero yang siap menolongnya. Tidak ada lagi bi Narti yang selalu membujuknya agar diam ketika Lala menangis. Tidak ada Bunda yang selalu bertutur halus menasehatinya, dan tidak ada Adrian yang menghiburnya ketika dirinya sedih.
Ya. Lala kini sendiri.
Dan itu pilihannya sendiri tidak ada satu orang pun yang memaksanya. Lala seolah tersadar segera menghapus semua air mata itu.
"Nggak apa-apa, Wi. Aku hanya kangen sama orang rumah," dusta Lala. Keadaan yang membuatnya harus berdusta, tidak mungkin Lala menceritakan masalah pribadinya pada orang lain. Apalagi soal kekurangan uang, bukankan itu memalukan?
"Kalau ada apa-apa kamu boleh cerita La, kita bisa berteman baik," ucap Dewi tulus.
Lala menarik kedua sudut bibirnya, mencoba membuat senyuman. Sepertinya senyum buatan itu bisa meyakinkan Dewi kalau Lala memang baik-baik saja.
"Oke deh, La. Aku mau keluar nih, apakah kau nitip beli sesuatu?” tawar Dewi tulus.
Lala menggelengkan kepala dengan tetap mempertahankan senyumnya.
"Baiklah, aku pergi dulu ya," pamit Dewi meninggalkan Lala. Setelah Dewi keluar, Lala menutup pintu dan menguncinya.
Di ruangan tiga kali empat meter itu Lala berpikir. Bagaimana caranya besok pagi mendapatkan sejumlah uang untuk daftar ulang. Setidaknya setelah berhasil menjadi mahasiswa Lala akan mencari pekerjaan untuk biaya hidup selanjutnya. Itu rencana Lala.
Tapi bagaimana mungkin Lala mendapatkan dalam waktu secepat ini? Satu-satunya orang yang bisa menolongnya hanya Ayahnya. Haruskah Lala balik badan dan minta tolong pada Harjito?
Tidak!
Keputusan untuk pergi dari rumah sudah dia ambil, yang berarti Lala harus setia dengan keputusannya sendiri?
Meminta pertolongan Adrian?
Tiba-tiba saja Lala ingat kakak lelakinya. Dirinya segera meraih tas yang tadi ia lempar di kasur. Mengaduk-aduk isinya untuk menemukan keberadaan ponselnya.
Selang berapa menit lala serius mengamati layar datar ditangan kirinya dan sesekali jari telunjuk kanannya menari-nari di atas ponsel itu.
Lala hendak menelpon Adrian begitulah kiranya.
Kring kring kring nada sambung itu belum juga berubah menjadi suara sang kakak, itu berarti Adrian tidak mengangkat teleponnya.
Namun Lala tidak putus asa dan mencobanya kembali. Tepat pada percobaan keenam terdengar sahutan dari seberang.
“Haloo...,” suara familiar Adrian terasa menyejukkan Lala. Itu berarti petolongan akan segera datang.
“Iya Halo. Kak, Lala mau minta tolong,” ucap Lala tanpa basa basi.
“Minta tolong apa, dek? Apa kamu kekurangan makanan di sana? Mau kakak kirimi? Atau mau kakak kirimkan juga boneka teddy bear kesayanganmu itu? Atau kakak kirim juga semua koleksi novel dan komik di kamarmu?” tanya Adrian.
“Bukan kak,”
“Lalu, mau minta tolong apa? Apa ada yang mengganggumu? Oooh...... kakak, tahu sekarang. Kamu mau kakak jemput pulang, karena tidak kerasan?”
“Ish, kakak salah besar. Bukan itu,”
“Jangan membuat kakak panik, cepat katakan mau apa?”
“Lala mau pinjem duit,”
“Hah?! ..... bukannya kamu bilang tanbungan kamu banyak, masa iya sudah habis saja?”
“Ternyata uang segitu nggak cukup, kak. Plis kak bantu Lala”
“Oke kamu butuh berapa nanti kakak transfer,”
“Lima juta dulu deh, kak......... Hallo..... hallo.....”
Thut thut thut
“Akh, kenapa malah menutupnya?” keluh Lala sambil melempar ponsel itu di kasurnya.
Lala berbaring memandangi langit-langit kamarnya. Berdoa sedalam-dalamnya harap, mencoba mengundang nasib baik agar segera datang menghampirinya.
Thing!
Ponsel Lala kembali berbunyi, memberitakan ada sebuah pesan masuk. Lala segera meraih ponselnya. Mungkin saja Adrian yang mengirimnya.
Apa??
Mata lala membulat sempurna saat membaca pesan masuk tersebut.
Transfer masuk Rp. 200.000.000 ke rekening Aquilla Anaya Pribadi pada 03/08/2000 19:08:54 ket.: 5371***********# ATM #TRFHM
Lala mengucek matanya, takut kesalahan terjadi pada penglihatannya. Atau ini hanya semacam pesan dari orang iseng yang sering ia terima. Jari lentik lala mencari kebenaran dengan memeriksa mutasi rekeningnya. Dan ajaibnya uang tersebut menambah saldo akhirnya.
Saat itu Lala tidak berpikir jika ada transfer nyasar ke rekeningnya. Pikirannya langsung menyangka Adrianlah yang mengirimnya.
Lala kembali menghubungi Adrian.
“Hallo....”
“Hallo, dek,” terdengar suara Adrian dari seberang.
“Kak, terimakasih ya transfernya sudah masuk, kakak baik banget. Maaf tadi sempat jengkel gara-gara kakak mutusin teleponku sepihak. Tapi ternyata kakak buru-buru menutupnya hanya karena mau segera transfer, so sweet banget siih.”
“Apa? Siapa yang transfer?” tanya Adrian bingung.
"Lhoo, bukannya kakak yang transfer?"
“Kakak menutup, gara-gara ada telpon lain yang masuk, dek. Dan benar saja telpon itu dari Monica pacar kakak, maaf tadi malah kakak tinggal pacaran,”
“Huhhh, ternyata kakak masih saja menyebalkan sempurna,” ucap Lala jengkel
“Ha ha ha......” Nada tertawa Adrian terdengar menjengkelkan.
“Jadi yang transfer Lala siapa kak?” tanya Lala serius dan penasaran.
“Siapa lagi kalau bukan Ayah, itu pasti ayah dek karena hanya ayah yang tahu kamu sedang butuh uang,” jawab Adrian meyakinkan.
“Mungkinkah kak?” tanya Lala tak begitu yakin.
“Ya, jelas mungkin. Kenyataannya ayah juga membiayai kuliahku dan kak Reno meskipun kita melawannya.”
Saat itu Lala percaya pada Adrian karena tidak ada yang salah dari semua pernyataannya. Reno dan Adrian tetap di biayanya sampai lulus. Hanya saja Reno memilih jauh dari orang tuanya karena sadar diri sebagai anak pertama tidak bisa memberi contoh pada kedua adiknya.
Lala segera mengambil foto Harjito dan menciuminya. “Makasih ya, Yah. Lala tahu, Ayah sayang Lala. Maafin Lala, terpaksa pergi dari rumah.”
Tapi pikiran Lala saat itu keliru. Kenyataannya bukan Harjito tapi Glenn yang transfer, dan sekarang Lala harus berhadapan dengan laki-laki menyebalkan itu.
***
BERSAMBUNG
Part – 06 KESAKTIAN CINTA Lala harus menghadapi laki-laki yang cukup aneh menurutnya. Bagaimana mungkin dalam raga yang sudah setua itu bisa-bisanya salah transfer. Apa penglihatannya sudah kabur tidak bisa membedakan angka empat dan angka lima? Bukankah seharusnya Glenn menekan angka empat untuk digit terakhir nomer rekening kakasihnya? Mengapa pula malah menekan angka lima sehingga uang tersebut masuk ke rekening Lala dengan sukses. Lala sungguh tidak mengerti mengapa ada manusia seceroboh itu, dan akibat kecerobohannya itu membuat Lala harus terlibat dalam urusan asmaranya. Lala memijit pelipisnya. Saat ini Lala sudah seperti obat nyamuk penjaga dua sejoli itu pacaran. Siapa lagi kalau bukan Glenn dan Sabila. Ternyata selain tidak sopan Glenn juga menyebalkan. Lala terjebak dalam situasi yang sulit bahkan dirinya merasa mual di depan menu yang sebenarnya sangat lezat, itu semua gara-gara bualan Glenn pada Sabila yang mau tidak mau t
“Ini semua juga salahmu, La. Sudah tahu bukan uang kamu, mengapa kamu pakai juga?” ucap Glenn gemas. Lala bangkit dari duduknya, wajahnya memerah menahan marah, tangannya mengepal erat. Dirinya merasa tidak terima selalu disalahkan terus. “Kenapa aku terus terlibat? Aku ‘kan sudah menjelaskan di sini. Apa masih perlu juga terlibat masalah pribadi kalian lebih jauh? Apa kalian tidak bisa menyelesaikan urusan kalian sendiri. Ingat aku juga punya urusan sendiri?” protes Lala tanpa jeda, sepertinya kali ini stock sabarnya sudah habis untuk menghadapi mereka. Shabila memegang pundak Lala kemudian menekan lembut, bibirnya mencetak senyum untuk meluluhkan hati Lala, di perlakukan seperti itu Lala kembali duduk di kursinya. Meskipun bibirnya masih mengerucut tapi Lala harus mengendalikan diri. “Maaf, La. Jika ini nanti merepotkanmu. Tapi orang tuaku tidak semudah itu percaya. Kami masih butuh bantuan sekali lagi, jadi tolong ya La. Aku tahu kam
Lala tersenyum sumringah akhirnya bisa keluar juga dari penjara Glenn. Dirinya yang terbiasa bangun pagi cukup senang ketika mendapati kondisi apartemen Glenn yang belum menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, spontan memunculkan ide untuk melarikan diri. Bahkan kamar Glenn masih tertutup rapat. Tentu saja Glenn belum bangun. Lala menempelkan kertas kecil di pintu kamar dan menulis larik kalimat. TIDAK USAH MENCARIKU SEMINGGU LAGI AKU KEMBALIKAN SEMUA UANGMU LALA Setelah menempuh perjalanan sekitar empat puluh tiga menit dengan bantuan ojek online akhirnya Lala sampai juga di kosnya. Hari ini Lala mempersiapkan diri untuk kuliah, dan tentu saja sudah tidak sabar untuk bisa bertemu Alan. Ya. Lala sudah punya pacar, namanya Allan. Cowok berambut gondrong itu yang beruntung merebut hati Lala. Kebetulan mereka satu kampus dan satu fakultas hanya saja beda jurusan saja. Jika Lala mengambil jurusan sastra, Alan mengambil jur
Apa yang ditakutkan Lala ternyata tidak menjadi kenyataan. Nyatanya orang tua Sabilla bahkan sangat ramah. Andika dan Gita paham dengan apa yang terjadi sebenarnya. Mereka mendengarkan penjelasan Lala dengan cukup baik, akhirnya kesalah pahaman calon menantu dan mertua itu pun usai. Namun sayang sekali pertemuan itu hanya sebentar, karena kesibukan terpaksa Andika dan Gita berpamitan terlebih dahulu. Mereka memang tipe orang yang tidak suka berbasa-basi. Mengingat kesibukan yang padat, dan pertemuan ini pun hanya demi anak semata wayangnya, Sabila. Akhirnya lampu hijau berhasil Glenn dapatkan, itu artinya pertunangannya tahun depan akan berjalan lancar. Sayang sekali Sabila tidak hadir dalam pertemuan itu karena masih ada kegiatan kampus. Ya. Seandainya Sabilla hadir pasti mereka akan merayakannya. “Aku sudah menjelaskannya Glenn, artinya urusanku sudah selesai,” ucap Lala setelah Andika dan Gita pergi. Lala cukup lega, dan berharap setelah ini dirinya pun bebas.
Tirai tipis itu mengizinkan sinar keemasan masuk ke dalam sebuah ruangan, membelai seorang gadis yang masih setia memeluk guling empuknya. Lama kelamaan gadis itu menggeliat, dan sesaat terbangun dalam keadaan bingung. Ya. Lala tidak pernah bangun sesiang itu. Lala mengucek matanya, dan mengumpulkan seluruh nyawanya. “Astaga sudah jam tujuh,” Lala bermonolog, tubuh kecil itu akhirnya meloncat turun dari kasur empuk yang telah memanjakannya semalaman. Lala segera mandi beruntungnya kamar itu terdapat fasilitas kamar mandi dalam, setelah membungkus dengan handuk Lala mengambil baju ganti asal dalam almari itu. Tidak di sangka banyak sekali baju di sana. Bahkan masih berlabel lengkap dengan hand tagnya. Benarkah Glenn membelikan semua itu untuknya? Lala terharu atas kejutan yang Glenn berikan untuknya. Ternyata dia tidak seburuk yang Lala kira. Hatinya menghangat, ada sisi baik dari Glenn yang baru saja Lala temukan. Pagi ini Lala harus ke kampus
“Sebentar Al, Tante sepertinya meneleponku,” dengan berat hati Lala menyambar ponsel dan menjauh dari Alan untuk mengangkatnya. Setidaknya Lala harus menjaga perasaan Alan agar tidak terjadi salah paham. Setelah dirasa cukup Lala berhenti dan menempelkan benda pipih itu di telinganya. “Hallo,” ucapnya pelan. “Cil, ke sini sebentar,” terdengar suara Glenn begitu menyebalkan. “Nggak bisa Glenn, ada Alan aku takut dia melihat kita....” tolak Lala masih dengan volume suara yang cukup kecil. “Ini penting,” ucap Glenn memaksa. “Lebih penting Alan, daripada sekedar mengurusimu.” Lala menutup pembicaraan itu sepihak. Kemudian berjalan menghampiri Alan. “Kenapa? Kelihatannya begitu kesal? Apa Tantemu marah-marah?” Tanya Alan menyelidik. Lala mengangguk lesu tak berniat membalas ucapan Alan. Dirinya fokus mengaduk mie cup yang di pesannya. Tetapi sayang sekali rasanya sudah tidak begitu enak karena sudah terlalu lembek mie
“Apa yang kalian lakukan di belakangku!!” teriak Sabila menggema.“Tidak, ini tidak mungkin!” Sabila menggeleng, di detik selanjutnya berteriak sejadi- jadinya, “Glenn apa kau tega mengkhianatiku setelah semua ini?!” ucap Sabila miris sambil menatap tajam Glen mengharap penjelasan. Glenn sedikit bingung, tidak menyangka reaksi Sabila seperti ini. Tiba-tiba hatinya terasa perih melihat bulir bening itu sudah menetes deras di kedua pipi Sabila. Tidak, Glenn tidak akan membiarkan kekasihnya salah paham dengan adanya Lala di apartemen bersamanya. “Sayang, a-aku bisa menjelaskannya, kita duduk dulu,” Glenn membimbing Sabila duduk, kemudian mengusap pipi basah itu dengan lembut. “Aku tidak pernah mengkhianatimu, sungguh,” ucap Glenn meyakinkan. Glenn meraih telapak tangan Sabila dan menggenggamnya erat. Kemudian menatap Sabila begitu dalam. “Jangan bohong Glenn. Kita baru saja berbaikan. Bahkan orang tuaku baru saja berdamai dengan hubungan ini atau kau memang senga
Lala sudah berada di kamarnya dan mulai mengerjakan tugas. Tidak lupa sebelum itu dirinya menutup pintu, takut suara mereka masih terdengar dari kamarnya. Mengingat kamar Lala dekat dengan ruang tamu. Sesungguhnya Lala sedih terjebak dalam situasi yang membingungkan ini, tapi ya sudahlah terlanjur kepalang basah, apa mau dikata. Hati Lala terlalu sensitif untuk menyaksikan orang di sekitarnya berbagi kasih. Dirinya merasa sepi di antara hiruk-pikuk kota. Sesungguhnya Lala rindu datangnya perhatian. Lala menggulung rindu itu menyimpan di sudut hati yang paling dalam dan menyandingkannya dengan resah, jika saatnya tiba akan memanennya bersama gembira. Ketika tiba saat di mana Lala sanggup memboyong piala kesuksesan di depan Harjito dan Iriani. Lala sangat menunggu saat itu, bagaimanapun Lala sangat merindukan mereka. Di sini Lala merasakan dinginnya sendiri, tatkala ponsel kakak tercinta pun sudah tidak bisa dihubungi lagi. Sebenarnya Lala masih