Share

8. Bersimpati

Sudah genap sebulan Jelita menjadi asisten rumah tangga William. Jelita mulai bertanya-tanya apakah William sudah mendapatkan calon majikan baru buatnya. Tapi Jelita tak berani membuka percakapan untuk membahasnya karena William terlihat sangat sibuk. William berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah larut malam. Bahkan sampai begadang di depan laptop, sambil berkutat dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Jelita tak berani mengusiknya kalau sudah begitu. Jelita akhirnya pilih sabar menunggu, William pasti akan memberitahunya sendiri cepat atau lambat.

Dan pagi ini, Jelita melihat William sudah berpenampilan rapi untuk berangkat kerja. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, menuju meja di mana Jelita sedang menyajikan sarapan berupa roti panggang, alpukat, dan telur rebus.

"Avocado toast?" William menoleh kepada Jelita sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya.

Jelita menuangkan air minum ke gelas William seraya berkata, "Proses pembuatannya tanpa penggorengan sehingga rendah lemak. Menu ini menyehatkan karena kandungan gizinya lengkap. Roti sebagai sumber karbohidrat, alpukat sumber serat, dan telur sebagai sumber protein."

"Padahal aku kangen menu yang agak berat, nasi goreng atau nasi uduk misalnya." William menyahut sambil mulai mengunyah avocado toast yang tersaji di piringnya.

"Oh, ma-maaf. Akan saya buatkan besok." Wajah Jelita berubah sendu. Padahal dia pikir William bakal menyukai sajiannya ini, sebab setahunya William suka dengan sesuatu yang serba sehat.

William bisa mendengar ada nada sesal yang agak murung dalam suara Jelita barusan. "Tapi sepertinya aku memang harus diet, pilihan menumu pagi ini sudah tepat kok." William buru-buru mengatakannya untuk menghargai upaya Jelita yang sudah memilihkan menu sehat buatnya. Dan pria itupun tersenyum melihat Jelita tersenyum.

"Ayo, kita sarapan bareng. Duduklah," ajak William sambil menunjuk kursi di depannya dengan isyarat kedikan dagunya agar Jelita mengambil tempat di sana.

Jelita menurut. Baginya itu seperti titah yang segan untuk dibantah. Padahal sebenarnya dia belum ingin makan sepagi ini.

"Oya. Bik Yuni belum bisa balik, anaknya butuh waktu pulih lebih lama dari yang semula dia kira. Jadi dia minta perpanjangan cuti 2 bulan lagi. Tapi kamu sudah bisa kan handle semua pekerjaan di rumah ini?"

'Yes!' Jelita bersorak senang dalam hati. "Bisa dong, Bang," sahutnya cepat. Dia tak sanggup menyembunyikan senyum leganya.

"Kenapa? Senang nggak jadi dieliminasi?" William menatap Jelita dengan senyum meledek.

Jelita jadi salah tingkah. "Omong-omong ..., sudah ada belum ... teman Abang yang butuh pembantu?" Iapun memanfaatkan kesempatan itu untuk membahasnya sekalian mumpung momennya pas.

"Ck. Aku kan masih butuh kamu 2 bulan lagi di sini."

"Maaf, Bang. Tapi kan 2 bulan itu cepat. Kalau Bik Yuni balik tapi saya belum dapat majikan baru, gimana dong?"

"Ya tinggal pulang aja lagi ke kampung, kamu kan bisa kerja sama mamiku. Meskipun pekerja di rumahnya sudah banyak, tapi kan kamu jago masak. Apalagi mami bilang kalau dia cocok dengan masakanmu. Pasti dia menerimamu. Aku akan membujuknya juga nanti."

Seketika itu juga bahu Jelita melunglai. "Tapi, Bang. Saya nggak mau balik ke kampung," suaranya tiba-tiba terdengar memelas. Bahkan mata gadis itu berkaca-kaca.

William menghela napas sejenak, mengusir rasa tidak enak di hatinya melihat kesedihan yang menantul-mantul dalam bola mata gadis itu.

"Lita, ... orang-orang di luar sana itu punya beragam karakter yang belum tentu aman buatmu. Banyak serigala berbulu domba di kota ini."

"M-maksudnya?" Jelita berkedip-kedip bingung.

"Kurasa kamu sering dengar kasus pelecehan terhadap pembantu yang dilakukan oleh majikan mereka sendiri, bahkan ada yang sampai dibuat hamil. Selain itu banyak kasus lainnya." William akhirnya menerangkan dengan gamblang agar gadis itu mengerti dan memahami apa yang menjadi pertimbangannya untuk memulangkan Jelita ke kampung saat Bik Yuni kembali nanti. Dia bersimpati pada Jelita dan ingin Jelita bekerja aman di rumah ibunya saja.

"Kupikir-pikir, ... pulang lagi ke kampung dan bekerja dengan mamiku akan lebih baik dan aman buatmu daripada mencari majikan baru di Jakarta. Meskipun kamu bekerja dengan teman atau orang yang kukenal tapi tak menjamin apa mereka dan keluarganya bakal bersikap baik padamu nanti."

William rasa apa yang dikatakannya tadi sudah sangat jelas dan setelah itu Jelita bisa menerimanya. Tetapi yang terjadi, air mata Jelita justru mengalir.

"Hei, ... kok malah nangis?"

"Tapi saya ... nggak mau pulang lagi ke kampung, Bang ..., meskipun diterima bekerja di rumah Nyonya Cindy. Saya benci tinggal di sana." Jelita terisak-isak. "Saya ... pernah ... hampir diperkosa bapak saya sendiri." Kemudian gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Hatinya diremas trauma saat teringat lagi peristiwa di malam jahanam itu, di mana bapaknya sendiri dengan tega menggagahinya.

William membeku. Dia kaget karena Nyonya Cindy tak pernah cerita soal ini. Kemudian dia beranjak mendekati Jelita dan menepuk-nepuk lembut pundaknya yang terguncang-guncang tangis.

"Padahal ... saya ... sudah memohon-mohon padanya agar berhenti. Tapi—"

"Ssst ..., cukup." William merengkuh gadis itu dan menenangkannya. "Tak perlu dilanjutkan. Jangan kamu ingat-ingat lagi. Itu hanya akan menambah sakit hatimu saja," bisiknya seraya menahan getar kemarahan. 'Brengsek! Orangtua macam apa sih mereka? Ibu suka menyiksa dan bapak mau memerkosa. Kasihan banget kamu, Lita ...,' pikirnya prihatin.

William mengetatkan pelukannya dan Jelita pun terbenam hangat di sana. Jelita memejamkan mata kala rasa nyaman dan aman merambati segenap perasaannya lewat pelukan William yang terasa kokoh namun lembut, terasa peduli dan melindunginya.

"Saat saya lapor polisi, ... keluarga saya malah marah-marah. Katanya laporan saya itu jadi aib keluarga. Mereka bilang bapak saya bunuh diri akibat laporan itu. Katanya sayalah penyebab kematian bapak saya sendiri. Mereka semua membenci saya. Karena itulah ... saya bertekad pergi dari sana. Kebetulan Nyonya Cindy menawari saya kerja di sini." Jelita berkata masih dengan terisak.

William menepuk-nepuk lembut pundak Jelita. "Dalam kesempurnaan Tuhan, tak ada yang namanya kebetulan, Lita. Itu cara Tuhan menolongmu. Kamu memang harus menjauh dari lingkungan yang bisa merusak mental dan jiwamu," katanya, sambil diam-diam bersyukur dalam hati karena pada saat itu mami pandai membujuknya, hingga akhirnya dia mau menerima Jelita ikut serta ke Jakarta dengannya pada saat itu juga.

Setelah tangisnya reda dan perasaannya membaik, Jelita ingin melepaskan diri dari pelukan William, tetapi pria itu menahan dan kembali mengetatkan pelukannya. Lalu samar-samar, entah hanya perasaannya atau bukan, Jelita merasakan kecupan hangat mendarat di keningnya. Bersama dengan itu dia mendengar William bertutur dengan teramat lembut, "Jangan cemas, kamu sekarang aman di rumahku. Tak usah lagi pulang ke kampung, atau kemana-mana, kamu boleh tetap di sini."

"Me-meskipun ... Bik Yuni sudah kembali?"

"Iya."

“Ta-tapi, Abang bilang cuma butuh satu pembantu?”

“Bawel, ... bukan urusanmu.” William menjitak Jelita dengan pelan alih-alih mengomelinya.

***

Indy Shinta

Selamat membaca. Boleh tinggalkan masukanmu di kolom komentar ya :)

| 1
Komen (4)
goodnovel comment avatar
rosita sari
majikan nya sayang banget, semoga di anggap adik yaa
goodnovel comment avatar
Winarsih_wina
polos amat jelita bikin bang Willi hilang lagi rasa cintanya
goodnovel comment avatar
Ade Nanin
Naluri melindungi Bang Will udah mulai ada nih sama jelita semoga lancar uhuuy
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status