“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri.
“Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya.
“Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali.
“Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali.
Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa.
“Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu.
“Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?
Hai, teman-teman! Bagaimana dengan kisah Danu, apakah menarik? Komen, dong! Jangan lupa Vote dan berikan bintang lima, yah, agar aku lebih semangat lagi nulisnya. Oke, terima kasih. Apakah menurut kalian ibu Diana bisa selamat dari parang anak buah Hussa?
Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k
“Aduh, aduh!” terdengar seseorang mengaduh. Itu adalah anak buah Hussa. Mendengar rintihan tersebut Danu langsung kembali marah. Dia teringat dengan anak buah Hussa lainnya yang membawa pergi Diana, membunuh Abimana serta istrinya. Danu berdiri, mendekati orang yang meringis memegangi lututnya, orang itu duduk lemas. Danu meraih parang yang tidak jauh dari orang itu, berbekas darah pada kedua sisinya. Danu bermaksud untuk menyudahi hidup orang itu dengan memenggal kepalanya. Parang terangkat ke atas, Danu bersiap, giginya mengeram. Tapi tiba-tiba orang itu memohon kepada Danu. “Aku mohon jangan bunuh aku!” Suara memelas. Danu tidak menurunkan parangnya yang siap menebas. “Dengan alasan apa aku tidak membunuhmu?” tanya Danu geram. “Setidaknya aku bisa menunjukkan di mana markas Hussa dan anak buahnya!” jawab orang itu. Itu adalah sebuah jawaban yang berhasil membuat Danu menurunkan parangnya. Memang saat ini Danu membutuhkan ses
Danu terperanjat melihat parang hanya berjarak beberapa jari dari lehernya, tidak menyangka bahwa Baung yang telah diberinya hidup malah akan membunuhnya.“Mati kau!” teriak Baung sesaat sebelum parang benar-benar menebas leher Danu.Danu sudah pasrah, menghindarkan pun itu tidak akan banyak membantu. Jarak antara parang dan lehernya sekarang hanya setengah jari. Tapi Danu dan Baung sama-sama tidak menyangka bahwa ada seorang penyelamat yang datang tepat waktu.“Haaaa!” Terdengar suara bersamaan dengan sebuah tangan menepis parang yang Baung ayunkan.Parang panjang mengkilap diterpa cahaya bulan itu jatuh ke tanah. Baung benar-benar tidak menyangka bahwa akan ada seorang penyelamat yang tiba-tiba datang dan menggagalkan rencananya.Sosok yang datang tiba-tiba itu menendang keras-keras perut Baung. Baung terpental beberapa langkah ke belakang, tersungkur, meringis kesakitan.“Kamu tidak apa-apa, Dan
Danu dan Permata telah hanyut dalam mimpi masing-masing. Tangan Danu memegang erat baju tebal yang diberikan Permata, menahan dinginnya udara malam. Sedang tidak jauh darinya, seorang gadis putih, cantik, berambut panjang, hitam, dan lurus, tengah terbaring tanpa bantal. Tangannya mendekap pada dada, menahan dingin malam dengan kain seadanya. Jika dilakukan dengan senang hati, maka akan menghadirkan sebuah rasa bahagia yang tiada tara.Dari balik keremangan, di bawah sebuah pohon, berjalanlah seorang manusia yang mengendap-endap, tangan kanannya terkulai ke bawah tidak berdaya. Baung berjalan mendekati Danu dan Permata yang tengah terlelap, sepertinya ini adalah waktu tepat untuk mengakhiri hidup mereka berdua.Tangan kiri Baung memegang erat sebuah parang panjang, bergetar. Ini adalah jalan terakhirnya untuk balas dendam kepada Danu juga Permata yang telah membuat tangannya lumpuh. Andai saja gagal, maka Baung tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kepadanya.
Pagi-pagi sebelum matahari keluar dari peraduannya Danu terbangun. Suara ayam saling bersahutan membangunkan manusia. Mata Danu mengerjap-ngerjap, memandang sekitar. Permata adalah pemandangan pertama yang membuat pandangannya bertahan beberapa saat.“Cantik!”Kata itu dengan sendirinya mengalir dari bibir Danu. Matanya masih memandang Permata untuk beberapa saat berikutnya. Bahkan sekarang Danu merangkak mendekati Permata yang mendekap dalam-dalam dadanya, menahan dinginnya pagi walaupun belum sepenuhnya dia tersadar.Danu ragu untuk membangunkan Permata. Tangannya bergerak mendekati kepala Permata, tapi tidak jadi menyentuhnya. Kini tangan Danu mendekati lengan Permata, membangunkan, tapi tidak jadi lagi. Ah, bingung sendiri bagian mana yang akan dia pegang untuk membangunkan. Sejenak Danu menatap buah dada Permata, tapi buru-buru dia mengalihkan pandangannya pada kaki Permata. Dia memberanikan diri untuk menyentuh kaki Permata, menggoyang-goyangka
Pagi kesekian datang dengan sinar matahari yang merekah, bak senyum seorang gadis berbibir merah. Petani-petani berjalan menenteng cangkul di tangan atau bahkan menyandangnya di pundak kanan, sesekali mereka mengundang tawa sesamanya ketika bertemu di kelokan jalan. Ayam-ayam berkejaran, memburu mangsa apa saja adanya. Burung-burung beterbangan membentuk sebuah pola yang mustahil manusia membuatnya.“Apakah kau sudah siap, Permata?” tanya Danu yang mendatangi rumah Permata. Pagi itu rencananya mereka akan berangkat memulai sebuah petualangan baru.Permata tersenyum manja, menyambut pagi dengan indahnya hati. “Aku sudah siap. Semua keperluan sudah aku siapkan meski tidak terlalu banyak. Bagaimana denganmu sendiri, Danu?” tanya balik Permata. Dia mempersilakan Danu untuk duduk sejenak di ruang tamu. Rumah Permata tampak sepi.“Syukurlah, aku sudah siap lahir batin,” jawab Danu sembari menatap lukisan besar di sisi dinding sebela
“Apakah kalian tidak tahu siapa kami, heh?” tanya orang kurus itu setengah membentak.Danu memandang orang itu sekilas. Jelas bahwa yang dimaksudkan oleh orang itu adalah Danu dan Permata. Danu masih bisa menahan hatinya agar tidak marah, Permata selalu memberikan ketenangan kepadanya.“Sudah, biarkan saja! Mungkin mereka adalah orang-orang yang tengah tidak punya pekerjaan!” kata Permata setengah berbisik sembari mengaduk-aduk minuman yang baru saja dihantarkan penjaga warung.“Rupanya mereka tidak sadar tengah seatap dengan siapa!” kata orang itu lagi menyindir, beberapa orang lainnya tertawa keras-keras.“Apakah kamu suka minuman ini, Permata?” tanya Danu, dia berusaha tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan orang-orang itu.“Aku suka, minuman ini segar sekali!” sahut Permata. “Aku jarang sekali mene..,” kata-kata Permata terhenti, orang itu tampak menggebrak meja, kasar
Tangan Danu mendekati tubuh Permata yang tergelatak begitu saja tanpa selimut, bagai mayat namun yang membedakan dia masih bernafas, perut dan dadanya kembang kembali, hidungnya keluarkan udara hangat.Danu melirik bibir merah itu, nafasnya tidak beraturan. Baru sekali ini ia merasakan gelora cinta atau apalah itu yang luar biasa. Hati Danu tidak menentu, entah apa yang akan dia lakukan kepada Permata yang terlelap dalam tidurnya. Tangan Danu membelai pelan rambut lurus Permata, halus nian rambut itu.“Permata,” bisik Danu pada telinga kesunyian.Permata seolah menjawab dengan deru nafasnya yang beraturan. Buah dadanya naik turun, itulah yang membuat Danu hatinya bergetar, tidak tahan dengan pemandangan yang bahkan dia tidak membayangkan sebelumnya. Tangan Danu mendekati mustika keindahan dunia itu, berusaha memegangnya. Tapi syukurlah separuh otak Danu masih berfungsi dengan bagus. Dia mengurungkan niat bejat itu, ia berjalan keluar penginapan