Share

2. Guru

"Kutukan yang kamu katakan bisa membuat Lan Feiyu menderita suatu saat nanti," ucap Poetry, Permaisuri Sang raja. 

Angkara hanya diam, pemegang tahta tertinggi kerajaan itu hanya menatap lurus ke depan seraya menikmati hawa hangat perapian. Saat ini Raja dan istrinya tengah berada di perapian, Angkara mengambil minuman dan meneguknya dengan cepat. 

"Tarik kembali kutukanmu. Cepat!" desak Peotry lagi. 

"Apa yang sudah keluar dari mulutku tidak bisa keluar lagi," jawab Angkara. 

"Kamu sudah melakukan kesalahan besar. Apa kamu tidak ingat, kamu sudah mendapatkan kalung dari Dewa. Apapun yang kamu ucapkan akan benar terjadi. Kalau itu terjadi pada Lan Feiyu, siapa yang akan bertanggung jawab?" 

"Lan Feiyu pantas mendapatkannya. Dia Putra satu-satunya keturunanku, tapi tidak pernah mau menuruti perintahku. Sekarang dia sudah pergi dari istana." 

"Dia tidak akan pergi. Aku yakin dia masih di sekitar sini, cari dia, ajak pulang!" Poetry terus mendesak suaminya. 

Meski perasaan Poetry selalu tergores karena sikap Lan Feiyu, tetapi kalau Feiyu mendapat kutukan, hatinya akan terasa lebih sakit. Selama ini Feiyu tidak pernah menurut bila dinobatkan menjadi raja, tapi Feiyu selalu melindungi istana saat ada kelompok yang mengganggu. Dengan ilmu bela dirinya, Feiyu juga melatih para prajurit hingga prajurit dari kerajaan Lembah menjadi prajurit paling kuat. 

Hari ini ia mendengar kutukan dari bibir suaminya membuat perasaannya jauh lebih terluka. Hari sudah gelap, tapi Feiyu tidak menunjukkan batang hidungnya. Suara guntur yang menggelegar membuat Poetry segera menuju ke luar, dengan langkah tergesa-gesa wanita cantik itu keluar ruang perapian. Hujan turun dengan deras dengan kilat yang mmenyambar-nyambar. 

"Lan Feiyu, kembalilah," bisik Poetry menatap langit yang sangat gelap. Kilatan petir itu terus menyambar-nyambar membuat Poetry mengeratkan bajunya. 

Poetry mendapatkan kutukan dari Dewi Keabadian bahwa dia hanya punya satu anak. Dan saat anak satu-satunya pergi, ia merasa sendirian di sini. 

Di sisi lain, Lan Feiyu kembali menyusuri hutan belantara. Seluruh tubuh Lan Feiyu basah kuyup, pria itu menunggangi kudanya dengan pelan. Menikmati air yang membasahi seluruh tubuhnya. Suara gemuruh guntur dan kilatan petir tidak membuat Lan Feiyu takut. Pria itu tidak pernah takut pada apapun. 

Sedikit pun Lan Feiyu tidak tertekan dengan kutukan yang digaungkan raja. Lan Feiyu tidak pernah percaya apapun yang keluar dari bibir Sang Raja. Saat ini Lan Feiyu ingin kembali ke balik danau, di mana ada padepokan tempat tinggalnya. Ia membangun padepokan kecil, ada lima puluh murid yang tinggal di sana bersama dirinya. 

Lan Feiyu tidak pernah jatuh cinta pada siapapun. Ia juga tidak tahu bagaimana definisi cinta sejati yang dikatakan ayahnya. Baginya, hidup sendiri sudah membuatnya tenang, buat apa harus berpasangan yang belum tentu bisa membuatnya senang juga. 

Lan Feiyu sampai di padepokannya. Di sana tampak sepi, hanya ada dua murid yang duduk di depan padepokan sembari menatap hujan dengan pandangan kosong. Pria itu turun dari kudanya dan memasukkan kudanya ke tempat teduh. Lan Feiyu menatap langit yang tampak gelap, dalam kedipan matanya, hujan itu reda seketika. Awan mendung yang membuat suasana gelap berpindah ke arah timur. 

Aixing dan Sabana yang tengah duduk memandangi hujan pun dengan spontan menolehkan kepalanya pada Lan Feiyu. 

"Guru, kenapa hujannya dihentikan?" tanya Aixing sembari berdiri. Aixing dan Sabana dua murid Lan Feiyu yang paling besar. Mereka yang paling lama ikut dan mengabdi pada Lan Feiyu. 

"Sudah cukup kalian menatap hujan," jawab Lan Feiyu. Lan Feiyu mempunyai kekuatan memindahkan hujan. Kini padepokan sudah kering dan awan hitam di langit sudah pergi. Meski langit tetap gelap, setidaknya tidak segelap tadi saat hujan. 

"Guru, apakah guru akan meninggalkan kami?" tanya Sabana yang mendekat pada Lan Feiyu. 

Keresahan Aixing, Sabana dan lainnya sama. Mereka resah membayangkan Lan Feiyu dinobatkan menjadi raja. Kalau Lan Faiyu menjadi raja, bagaimana nasib semua murid yang bergantung pada Lan Feiyu. Mereka datang dari berbagai daerah dan berguru pada Lan Feiyu, tapi akhir-akhir ini mereka mendengar kabar simpang siur kalau Lan Feiyu akan dinobatkan menjadi raja. 

Lan Feiyu menatap Sabana dan Aixing dengan lekat. Mereka berdua dan seluruh murid yang ada di Padepokan Lacus yang didirikan Lan Feiyu lah yang menjadi pertimbangan besar Feiyu untuk menolak menjadi raja. Feiyu tidak bisa melepas anak muridnya yang belum sepenuhnya menguasi ilmu bela diri. Kalau ia menjadi raja, ia tidak bisa mengajar lagi. Dalam hati Lan Feiyu sudah berjanji untuk mengabdikan diri pada orang-orang lemah dan mengajari mereka ilmu bertarung. 

"Guru, kami senang dengan penobatan guru menjadi raja," ujar Aixing menundukkan kepalanya. 

"Aixing, Sabana, katakan pada teman-teman kalian, aku tidak akan menerima tahta itu," ucap Lan Feiyu. 

Angin segar seolah menerjang Aixing dan Sabana, mereka saling berpandangan dan mengusung senyum bahagianya.

"Aku akan terus berada di sini. Bahkan bila aku mati, aku pastikan mati dalam keadaan menjadi guru kalian, bukan Raja kerajaan lembah," ujar Lan Feiyu lagi. 

"Terimakasih guru, terimakasih banyak," ucap Aixing dan Sabana dengan kompak. Mereka pamit undur diri untuk masuk dan memberikan kabar penting itu pada teman-temannya. 

Sesaat muridnya pergi, Lan Feiyu mengusung senyum tipisnya. Pria itu kembali menatap langit malam yang gelap. Ia sudah mendedikasikan dirinya di padepokan, ia tidak akan mengingkari sumpahnya sendiri. Pun bila ia tidak memiliki pasangan selama seribu tahun kedepan, itu tidak menjadi masalahnya. 

Setelah puas memandangi langit, Lan Feiyu segera pergi ke kamarnya. Pria itu menuju ke meja besar di mana ada kertas yang membentang lebar. Di kertas itu ada gambaran tangan Lan Feiyu. Pria itu mengambil bulu burung dara dan mencelupkan ke tinta, menggoreskan ke kertas itu. Raut Lan Feiyu tampak serius, matanya menatap tajam setiap goresan yang ia ciptakan. 

"Akhh," pekik Lan Feiyu saat tangannya kehilangan kendali, satu helai bulu itu terlepas dari tangannya. 

Lan Feiyu terdiam sejenak, matanya terpejam dan menajamkan telinganya. Lan Feiyu sangat peka dengan suara-suara yang ada di sekitarnya, pun dari jarak ratusan kilo meter. Pria itu mempunyai kemampuan yang lebih dari manusia lain. 

Suara segerombol kuda yang berlari menginjak tanah dan dedaunan kering terdengar di telinga Lan Feiyu. Pria itu semakin menajamkan pendengarannya. 

"Sabana, Aixing!" panggil Lan Feiyu dengan kencang. Tidak menunggu waktu lama, dua muridnya segera menghadap. 

"Kirimkan pesan ke istana, ada kerajaan lain yang datang menyerang. Suruh Wexian untuk mengirimkan ini ke istana," ucap Lan Feiyu menggulung kertas lebarnya dan memberikan pada Aixing. Aixing menerimanya. 

"Kerajaan mana yang menyerang, Guru?" tanya Sabana. 

"Kerajaan Api," jawab Lan Feiyu mengepalkan tangannya dengan kuat. Lan Feiyu memukulkan kepalan tangannya ke meja, membuat meja besar itu retak hingga tidak butuh waktu lama terbelah menjadi beberapa bagian. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status