Share

Bab 3. Tenggelam

Langkah kaki Amora begitu pelan, melangkah masuk ke dalam mansion milik Aiden. Desain elegan dan tertata sangat rapi dan sempurna. Bahkan debu pun tak terlihat. Bisa dikatakan Aiden adalah sosok pria yang perfectionist.

“Kamarmu ada di ujung kanan,” ucap Aiden di kala sudah tiba di lantai tiga.

Amora menatap Aiden dengan tatapan bingung. “Kamarku? Maksudmu, kita tidur terpisah?” tanyanya memastikan sambil mengerjapkan mata.

Aiden membalas tatapan Amora dengan tatapan tajam. “Kau berharap kita tidur bersama?!”

Amora tersentak karena nada bicara Aiden satu oktaf lebih tinggi. “A-aku hanya memastikan saja, Aiden.”

Aiden melangkah mendekat. Refleks, Amora mundur dengan wajah panik.

Amora menelan salivanya susah payah, dan mengangguk di balik wajah ketakutan. Detik selanjutnya Aiden melangkah pergi meninggalkan Amora yang bergeming di tempatnya, dengan raut wajah ketakutan.

“Nyonya,” sapa sang pelayan sontak membuat Amora terkejut.

“M-maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud membuat Anda terkejut.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, meminta maaf.

Amora gelagapan melihat pelayan meminta maaf. “K-kau tidak salah. Aku saja yang melamun hingga membuatku terkejut. Tidak perlu minta maaf.”

Sang pelayan tersenyum sopan. “Mari, Nyonya, saya antar ke kamar Anda.”

Amora mengangguk merespon ucapan sang pelayan. Dia melangkah bersama dengan pelayan itu menuju kamar, yang tadi ditunjuk Aiden. Entah ke mana Aiden, Amora sama sekali tidak berani bertanya. Tinggal di mansion megah, bersama dengan pria yang tak pernah Amora kenal bagaikan mimpi buruk.

Sebuah kamar dengan desain warna cokelat muda dipadukan dengan cokelat tua, begitu menunjukkan keindahan. Lukisan besar sangat indah terletak sempurna di dinding megah kamar yang berukuran besar itu.

“Nyonya, ini kamar Anda. Di sebelah kiri ada walk-in closet.” Sang pelayan menunjuk dengan sopan walk-in closet yang ada di kamar megah itu.

Amora mengangguk. “Terima kasih. Kau boleh pergi sekarang. Selesaikan pekerjaanmu yang lain. Aku ingin istirahat.”

“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Amora.

Amora duduk di pinggir kamar, mengendarkan pandangannya ke sekitar. Tidak pernah dia sangka akan berada di posisi ini. Posisi di mana menjadi pengantin pengganti adik tirinya. Hidup Amora seolah berhenti di sini. Dia tidak lagi bebas, karena sekarang telah menikah.

Menikah adalah impian semua kaum hawa. Namun yang diinginkan Amora adalah menikah dengan pria yang dia cintai. Dia dipaksa menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal, hanya demi menjalankan wasiat kakek dan neneknya. 

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Amora dengan raut wajah muram, “Mungkinkah pernikahan ini bisa bertahan?”

***

Sore hari, Amora merasa jenuh terus menerus berada di dalam kamar. Sejak tiba di mansion milik Aiden, wanita itu tak keluar kamar. Ada rasa takut untuk keluar kamar, tapi rasa bosan telah menyergap dirinya membuatnya menjadi tak nyaman.

“Jalan-jalan keliling mansion sepertinya tidak apa-apa,” gumam Amora memiliki ide, berjalan-jalan keliling mansion. Wanita itu bangkit berdiri, dan melangkah keluar dari kamar.

“Nyonya,” sapa pelayan di kala Amora keluar dari kamar.

Amora tersenyum lembut. “Aku bosan di kamar. Aku ingin jalan-jalan berkeliling mansion.”

“Apa Anda ingin saya temani, Nyonya?” tawar sang pelayan.

Amora menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, tunjukkan saja di mana tempat yang bagus untuk menghilangkan rasa bosan.”

Sang pelayan tersenyum sopan. “Di sebelah kiri ada taman, dan di sebelah kanan ada ruang kolam renang.”

Amora manggut-manggut paham. “Hmm, Aiden di mana?”

“Tuan Aiden ada di ruang kerjanya, Nyonya. Apa Anda ingin saya panggilkan Tuan Aiden?” tawar sang pelayan sopan.

Amora panik. “Eh! Jangan! Jangan panggilkan dia. Biarkan dia di ruang kerjanya. Aku ingin berkeliling sendiri.”

“Baik, Nyonya.” Pelayan itu menjawab sopan—lalu Amora memilih melangkah menuju ruang kolam renang.

Setibanya di ruang kolam renang, Amora kagum dengan tatanan ruang kolam renang di mansion Aiden. Bisa dikatakan keluarga Aiden memang jauh lebih kaya dan lebih hebat dari keluarganya. Hal itu yang membuat Trice dijodohkan, tapi sayang Trice melarikan diri—dan Amora yang harus menggantikannya.

Angin berembus menyentuh kulit mulus Amora. Beberapa kali dia memejamkan mata, menikmati angin berembus yang menyentuh kulitnya. Namun, di kala dia membuka mata—dia melihat ada seekor anjing kecil yang terjebur ke kolam.

Amora mencoba menyelamatkan anak anjing tersebut dari tepian, tetapi sayangnya kakinya tergelincir. Keseimbangan tubuh Amora tak terjaga, dan berakhir ia tercebur ke kolam renang.

“Astaga! Nyonya Amora!” Seorang pelayan yang sedang bertugas membersihkan di area kolam renang pun sontak saja berlari karena terkejut melihat Amora jatuh ke kolam, dan berlari untuk meminta bantuan.

Di sisi lain, Aiden berdiri di balkon, menatap terkejut Amora yang tercebur di kolam.

“T-tuan … Nyonya Amora—” pelayan itu berpapasan dengan Aiden yang baru saja keluar dari ruang kerjanya.

Aiden melihat sang pelayan berlari dengan napas tergesa-gesa dan raut wajah yang panik, ia tak menjawab ucapan dari sang pelayan. Detik itu juga, ia bergegas turun dari lantai dua dan langsung menuju kolam renang. Pelayan itu pun mengekor di belakang Aiden.

Setibanya di ruang kolam renang, Aiden langsung melompat ke kolam renang, dan meraih tubuh Amora yang sudah mengambang. Pria itu membopong tubuh Amora, membaringkan tubuh wanita itu ke tepi kolam.

Aiden segera melakukan tindakan CPR. Namun, hasilnya nihil, Amora tetap tidak membuka mata. Langkah terakhir yang dia lakukan adalah memberikan napas buatan. Dan berhasil! Napas buatan Aiden membuat Amora kembali mendapatkan oksigen, tapi juga membuat wanita itu terbatuk-batuk.

“Kau berniat bunuh diri di rumahku, hah?!” bentak Aiden emosi.

Wajah Amora memerah dan masih terbatuk-batuk. Ingatannya langsung mengingat apa yang terjadi padanya. “M-maafkan aku, Aiden. A-aku tadi menyelamatkan seekor anak anjing.”

Aiden mendecakkan lidahnya tak suka. “Kau menyelamatkan anak anjing, dan membiarkan dirimu hampir mati?! Begitu maksudmu?!”

Amora menunduk dengan air mata yang berlinang jatuh membasahi pipinya, di kala mendapatkan bentakan dari Aiden. Dia menyadari dirinya ceroboh, tapi dia tak mengira Aiden akan semarah ini padanya.

“Keringkan tubuhmu. Jangan lagi bertindak konyol! Jika kau ingin bunuh diri, jangan di rumahku!” seru Aiden meninggalkan Amora yang masih bergeming di tepi kolam, dengan air mata yang masih berlinang. Namun di kala Aiden beranjak, dia mendengar Amora mengaduh kesakitan.

Aiden menoleh dan mengembuskan napas kesal. Tanpa banyak bicara, dia langsung menggendong Amora dengan gaya bridal.

“A-apa yang kau lakukan? Aku bisa berjalan!” seru Amora panik.

“Lebih baik kau diam,” seru Aiden seraya mengambil tangan Amora untuk dikalungkan di lehernya, “Karena, aku tidak ingin ada orang yang terluka di rumahku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status