Langkah kaki Amora begitu pelan, melangkah masuk ke dalam mansion milik Aiden. Desain elegan dan tertata sangat rapi dan sempurna. Bahkan debu pun tak terlihat. Bisa dikatakan Aiden adalah sosok pria yang perfectionist.
“Kamarmu ada di ujung kanan,” ucap Aiden di kala sudah tiba di lantai tiga.
Amora menatap Aiden dengan tatapan bingung. “Kamarku? Maksudmu, kita tidur terpisah?” tanyanya memastikan sambil mengerjapkan mata.
Aiden membalas tatapan Amora dengan tatapan tajam. “Kau berharap kita tidur bersama?!”
Amora tersentak karena nada bicara Aiden satu oktaf lebih tinggi. “A-aku hanya memastikan saja, Aiden.”
Aiden melangkah mendekat. Refleks, Amora mundur dengan wajah panik.
Amora menelan salivanya susah payah, dan mengangguk di balik wajah ketakutan. Detik selanjutnya Aiden melangkah pergi meninggalkan Amora yang bergeming di tempatnya, dengan raut wajah ketakutan.
“Nyonya,” sapa sang pelayan sontak membuat Amora terkejut.
“M-maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud membuat Anda terkejut.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, meminta maaf.
Amora gelagapan melihat pelayan meminta maaf. “K-kau tidak salah. Aku saja yang melamun hingga membuatku terkejut. Tidak perlu minta maaf.”
Sang pelayan tersenyum sopan. “Mari, Nyonya, saya antar ke kamar Anda.”
Amora mengangguk merespon ucapan sang pelayan. Dia melangkah bersama dengan pelayan itu menuju kamar, yang tadi ditunjuk Aiden. Entah ke mana Aiden, Amora sama sekali tidak berani bertanya. Tinggal di mansion megah, bersama dengan pria yang tak pernah Amora kenal bagaikan mimpi buruk.
Sebuah kamar dengan desain warna cokelat muda dipadukan dengan cokelat tua, begitu menunjukkan keindahan. Lukisan besar sangat indah terletak sempurna di dinding megah kamar yang berukuran besar itu.
“Nyonya, ini kamar Anda. Di sebelah kiri ada walk-in closet.” Sang pelayan menunjuk dengan sopan walk-in closet yang ada di kamar megah itu.
Amora mengangguk. “Terima kasih. Kau boleh pergi sekarang. Selesaikan pekerjaanmu yang lain. Aku ingin istirahat.”
“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Amora.
Amora duduk di pinggir kamar, mengendarkan pandangannya ke sekitar. Tidak pernah dia sangka akan berada di posisi ini. Posisi di mana menjadi pengantin pengganti adik tirinya. Hidup Amora seolah berhenti di sini. Dia tidak lagi bebas, karena sekarang telah menikah.
Menikah adalah impian semua kaum hawa. Namun yang diinginkan Amora adalah menikah dengan pria yang dia cintai. Dia dipaksa menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal, hanya demi menjalankan wasiat kakek dan neneknya.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Amora dengan raut wajah muram, “Mungkinkah pernikahan ini bisa bertahan?”
***
Sore hari, Amora merasa jenuh terus menerus berada di dalam kamar. Sejak tiba di mansion milik Aiden, wanita itu tak keluar kamar. Ada rasa takut untuk keluar kamar, tapi rasa bosan telah menyergap dirinya membuatnya menjadi tak nyaman.
“Jalan-jalan keliling mansion sepertinya tidak apa-apa,” gumam Amora memiliki ide, berjalan-jalan keliling mansion. Wanita itu bangkit berdiri, dan melangkah keluar dari kamar.
“Nyonya,” sapa pelayan di kala Amora keluar dari kamar.
Amora tersenyum lembut. “Aku bosan di kamar. Aku ingin jalan-jalan berkeliling mansion.”
“Apa Anda ingin saya temani, Nyonya?” tawar sang pelayan.
Amora menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, tunjukkan saja di mana tempat yang bagus untuk menghilangkan rasa bosan.”
Sang pelayan tersenyum sopan. “Di sebelah kiri ada taman, dan di sebelah kanan ada ruang kolam renang.”
Amora manggut-manggut paham. “Hmm, Aiden di mana?”
“Tuan Aiden ada di ruang kerjanya, Nyonya. Apa Anda ingin saya panggilkan Tuan Aiden?” tawar sang pelayan sopan.
Amora panik. “Eh! Jangan! Jangan panggilkan dia. Biarkan dia di ruang kerjanya. Aku ingin berkeliling sendiri.”
“Baik, Nyonya.” Pelayan itu menjawab sopan—lalu Amora memilih melangkah menuju ruang kolam renang.
Setibanya di ruang kolam renang, Amora kagum dengan tatanan ruang kolam renang di mansion Aiden. Bisa dikatakan keluarga Aiden memang jauh lebih kaya dan lebih hebat dari keluarganya. Hal itu yang membuat Trice dijodohkan, tapi sayang Trice melarikan diri—dan Amora yang harus menggantikannya.
Angin berembus menyentuh kulit mulus Amora. Beberapa kali dia memejamkan mata, menikmati angin berembus yang menyentuh kulitnya. Namun, di kala dia membuka mata—dia melihat ada seekor anjing kecil yang terjebur ke kolam.
Amora mencoba menyelamatkan anak anjing tersebut dari tepian, tetapi sayangnya kakinya tergelincir. Keseimbangan tubuh Amora tak terjaga, dan berakhir ia tercebur ke kolam renang.
“Astaga! Nyonya Amora!” Seorang pelayan yang sedang bertugas membersihkan di area kolam renang pun sontak saja berlari karena terkejut melihat Amora jatuh ke kolam, dan berlari untuk meminta bantuan.
Di sisi lain, Aiden berdiri di balkon, menatap terkejut Amora yang tercebur di kolam.
“T-tuan … Nyonya Amora—” pelayan itu berpapasan dengan Aiden yang baru saja keluar dari ruang kerjanya.
Aiden melihat sang pelayan berlari dengan napas tergesa-gesa dan raut wajah yang panik, ia tak menjawab ucapan dari sang pelayan. Detik itu juga, ia bergegas turun dari lantai dua dan langsung menuju kolam renang. Pelayan itu pun mengekor di belakang Aiden.
Setibanya di ruang kolam renang, Aiden langsung melompat ke kolam renang, dan meraih tubuh Amora yang sudah mengambang. Pria itu membopong tubuh Amora, membaringkan tubuh wanita itu ke tepi kolam.
Aiden segera melakukan tindakan CPR. Namun, hasilnya nihil, Amora tetap tidak membuka mata. Langkah terakhir yang dia lakukan adalah memberikan napas buatan. Dan berhasil! Napas buatan Aiden membuat Amora kembali mendapatkan oksigen, tapi juga membuat wanita itu terbatuk-batuk.
“Kau berniat bunuh diri di rumahku, hah?!” bentak Aiden emosi.
Wajah Amora memerah dan masih terbatuk-batuk. Ingatannya langsung mengingat apa yang terjadi padanya. “M-maafkan aku, Aiden. A-aku tadi menyelamatkan seekor anak anjing.”
Aiden mendecakkan lidahnya tak suka. “Kau menyelamatkan anak anjing, dan membiarkan dirimu hampir mati?! Begitu maksudmu?!”
Amora menunduk dengan air mata yang berlinang jatuh membasahi pipinya, di kala mendapatkan bentakan dari Aiden. Dia menyadari dirinya ceroboh, tapi dia tak mengira Aiden akan semarah ini padanya.
“Keringkan tubuhmu. Jangan lagi bertindak konyol! Jika kau ingin bunuh diri, jangan di rumahku!” seru Aiden meninggalkan Amora yang masih bergeming di tepi kolam, dengan air mata yang masih berlinang. Namun di kala Aiden beranjak, dia mendengar Amora mengaduh kesakitan.
Aiden menoleh dan mengembuskan napas kesal. Tanpa banyak bicara, dia langsung menggendong Amora dengan gaya bridal.
“A-apa yang kau lakukan? Aku bisa berjalan!” seru Amora panik.
“Lebih baik kau diam,” seru Aiden seraya mengambil tangan Amora untuk dikalungkan di lehernya, “Karena, aku tidak ingin ada orang yang terluka di rumahku.”
“S-sakit …” Amora mengerang kesakitan ketika Aiden mencoba mengobati pergelangan kakinya yang terluka.“Ini tidak akan selesai jika kau tidak bisa diam.” Aiden menghela napas berat, karena kaki Amora yang tidak bisa diam ketika ia sedang mengoleskan salep.“A-aku bisa sendiri,” Amora menatap mata Aiden dengan takut, kemudian ia mengulurkan tangannya untuk mengambil obat oles yang berada di tangan Aiden.Tetapi Aiden tidak mengindahkan perkataan Amora, dan justru tetap mengobati lukanya. Ketika Aiden sudah selesai mengobati pergelangan kaki Amora, Aiden beranjak untuk pergi dari kamar Amora.“A-aiden … terima kasih—” ucap Amora tergugu, seraya menurunkan kakinya ke lantai.“Jangan berterima kasih kepadaku.” Aiden menanggapi dengan tenang, lalu melenggang pergi meninggalkan Amora.***Aiden menggosok rambutnya dengan handuk, guna mengeringkan rambutnya yang basah akibat menyelamatkan Amora. Tampak pria tampan itu masih dilingkupi perasaan yang masih kesal.Suara ketukan pintu berbunyi.
Menemani Aiden ke pesta ulang tahun Richard adalah hal yang Amora tak sangka. Wanita cantik itu berpikir, Aiden akan pergi sendiri, tapi ternyata malah mengajaknya. Jujur, Amora sangat malu untuk menghadiri pesta ulang tahun sepupu Aiden, tapi wanita itu tidak mungkin menolak apa yang sudah diinginkan Aiden.Amora menatap cermin, melihat tubuhnya terbalut sempurna oleh gaun sederhana, tapi tetap terlihat sangat cantik di tubuh Amora. Beberapa kali Amora menghela napas dalam, berusaha untuk menenangkan dirinya. Hadir di pesta pasti membuatnya sangat canggung.“Amora, apa kau sudah siap?” tanya Aiden seraya melangkah masuk ke dalam kamar Amora. Beberapa detik, pria itu terdiam melihat penampilan Amora. Gaun yang dipakai wanita itu memang sederhana, tapi sangat cantik dan anggun di tubuh Amora.Amora mengalihkan pandangannya, menatap Aiden yang kini berdiri di hadapannya. “Sudah, Aiden. Aku sudah siap.”Aiden berdehem seraya melirik sekilas sebuah kotak yang ada di samping Amora. “Itu ap
“Kita duduk di sana!” Aiden menarik tangan Amora, mengajak secara paksa wanita itu duduk di kursi yang tersisa. Richard yang melihat Aiden menarik tangan Amora—membuatnya menyapa para tamu undangan.Amora terkejut di kala tangannya ditarik paksa Aiden. Wanita cantik itu bingung Aiden mengajaknya duduk. Pun dia tidak enak karena meninggalkan Richard begitu saja. Sungguh! Amora bingung dengan tindakan Aiden.“Oh, hai, Aiden. Long time no see.” Seorang wanita cantik berambut pirang, duduk di kursi kosong—yang mana kebetulan ada di samping Aiden.Aiden menatap wanita cantik berambut pirang. “Nalani Carter?”Wanita cantik bernama Nalani itu tersenyum. “Senang sekali kau masih mengingatku. Apa kabar, Aiden? Sudah lama tidak bertemu denganmu, kau terlihat semakin gagah dan tampan.”Aiden tak merespon mendapatkan pujian dari Nalani. “Seperti yang kau lihat, aku baik.”“Aku senang mendengar kabar kau baik. Aiden, bagaimana perusahaanmu? Aku dengar kau semakin hebat dalam memimpin perusahaan ke
Amora berlari meninggalkan kerumunan pesta dengan air mata yang tak henti bercucuran. Dia menangis, mengingat kata-kata pedas yang terlontar dari bibir Nalani. Sungguh, dia tak menyangka Nalani akan mengeluarkan kata-kata seperti itu padanya. Jika dirinya dihina, maka dia akan diam saja. Hal yang membuat Amora sakit hati adalah ibunya dihina.Amora menjadi pusat perhatian para tamu undangan, berlari meninggalkan pesta dalam keadaan menangis. Wanita cantik itu mengabaikan tatapan yang tertuju padanya. Dia terus berlari, sampai tak sengaja kakinya tersangkut di karpet merah.BrakkkAmora tersungkur jatuh ke bawah, dan tangisnya kini semakin keras. Semua orang tak sama sekali membantu Amora. Para tamu undangan terus menatap Amora dengan tatapan bingung.Aiden melangkahkan kakinya tegas, menerobos kerumunan dan menatap Amora yang tersungkur di bawah sambil menangis. Detik itu juga yang dilakukan Aiden adalah menggendong tubuh Amora dengan gaya bridal—dan melangkah pergi meninggalkan kerum
Amora bangun lebih pagi dan sudah rapi dengan midi dress berwarna maroon. Rambut panjang indahnya dikuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang dan indah milik wanita itu. Riasan tipis menyempurnakan penampilan Amora. Meski ditubuhnya tidak memakai barang-barang mahal, tapi Amora tetap sangat cantik dan anggun. Tas selempang kecil yang isinya hanya dompet dan ponsel tak lupa selalu dia bawa. Bisa dikatakan penampilan Amora memang sangat sederhana.“Selesai,” ucap Amora dengan senyuman manis di wajahnya di kala sudah memoles lip gloss ke bibirnya. Dia berbalik meninggalkan kamar, tetapi langkah kaki Amora terhenti di kala berpapasan dengan Aiden.“Kau ingin ke mana?” tanya Aiden dingin dengan sorot mata lekat pada Amora.Amora gelagapan panik mendapatkan tatapan dingin Aiden. “A-aku ingin ke toko bungaku. Sudah lama aku tidak ke sana.” “Siang ini orang tuaku akan datang ke sini. Kau jangan pergi ke mana-mana,” ucap Aiden dingin dan tegas.Amora terkejut. “Aiden, orang tuamu akan datang
Pelupuk mata Amora bergerak di kala sinar matahari menembus sela-sela gorden, dan menyentuh wajah mulusnya. Wanita itu bermaksud ingin menggerakkan tubuhnya, tetapi dia merasa ada tangan berat yang melingkar di pergelangan tangannya. Detik itu juga, ketika kesadaran Amora sudah pulih—dia menatap terkejut Aiden yang memeluk pinggangnya erat.Amora terkejut. “Aaaaaaaa…”Suara teriakan Amora berhasil membuat Aiden membuka mata. Pria tampan itu mengumpat seraya menyentuh telinganya di kala mendengar suara teriakan. Tampak tatapan Aiden terhunus tajam dan dingin pada Amora.“Apa kau sudah gila?! Kenapa kau berteriak di pagi hari?” seru Aiden, dengan penuh rasa kesal. Tidurnya menjadi terganggu akibat jeritan Amora.Amora menelan salivanya susah payah. Tatapannya teralih pada bantal pembatasnya sudah terjatuh di lantai. Entah siapa yang memindahkan bantal itu. Yang pasti sekarang Amora menjadi panik. Benaknya memikirkan sepanjang malam Aiden tidur sambil memeluk pinggangnya.“A-Aiden, b-ban
Amora merasa kesialan datang menghampirinya. Dia yang berniat ingin mengunjungi toko bunga miliknya, malah dipaksa harus ikut dengan Aiden ke kantor pria itu. Sungguh, Amora ingin sekali menolak, tapi ada kedua mertuanya yang membuat Amora benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali.Saat ini Amora sedang berada di mobil Aiden. Wanita cantik itu menoleh ke luar jendela, menatap cuaca di kota Manhattan yang sangat cerah. Sejak tadi Aiden mengemudikan mobil, tanpa sedikit pun meliriknya. Keheningan di dalam mobil membentang membuat suasana tercipta menjadi canggung dan tak nyaman.“A-Aiden, apa tidak apa-apa kau membawaku ke kantormu? Aku takut menyusahkanmu,” ucap Amora pelan seraya memberanikan diri menatap Aiden yang sedang mengemudikan mobil.Aiden menatap lurus ke depan, fokus melajukan mobil tanpa mau menoleh ke arah Amora. “Kau tidak dengar apa yang dikatakan orang tuaku?”Amora menggigit bibir bawahnya pelan. “I-iya, aku ingat, tapi aku hanya takut menyusahkanmu. Kau bilang hari
Amora melangkahkan kakinya gontai keluar dari ruang kerja Aiden. Dia memijat kepalanya di kala merasa kepalanya berputar-putar. Matanya sayu tidak sanggup untuk membuka mata. Pun Amora tak bisa melihat dengan benar ke sekelilingnya akibat dirinya yang tak bisa mengendalikan diri.“Nyonya?” Colby terkejut melihat istri tuannya, keluar dari ruang kerja dalam keadaan seperti orang yang sedang mabuk. Detik itu juga, buru-buru, Colby menangkap tubuh Amora yang nyaris tumbang. Tampak jelas kepanikan di wajah Colby.“Nyonya, kenapa Anda bisa mabuk?” tanya Colby panik seraya menatap Amora dengan tatapan yang panik. Dia mendapatkan perintah untuk menjaga istri dari tuannya. Namun sekarang sepertinya malapetaka akan datang ke hidupnya. Mata Amora sayu menatap Colby. “Aku tidak mabuk. Di mana Aiden? Aku ingin memberikan perhitungan pada pria berengsek itu.”Alkohol telah menguasai seluruh tubuh Amora sampai-sampai, dia berani mengatakan hal demikian. Jika kesadaran pulih, mana mungkin Amora be