"Kalau gitu kopinya buatku aja," ucapku mengambil cangkir kopi di tangannya, kemudian beranjak menuju kasur di depan televisi yang sedang menayangkan kisah pelakor."Mbak! Tapi-""Ssst! Nggak usah ganjen! Mas Nasrul itu suamiku, kalau pun dia mau minum kopi, pasti mintanya ke aku. Jangan sok care! Dari mana kamu tau kalau Mas Nasrul masih minum kopi?" Aku menyeringai kecut menatapnya yang tergagap."Setauku dia suka kopi," jawabnya pelan menatap foto pernikahan kami yang terpasang di sisi dinding kamar bagian luar."Bahkan kamu aja nggak tau kalau Mas Nasrul sebenarnya nggak pernah suka kopi. Dia nggak suka minum manis kalau kamu mau tau, tau kenapa? Karena bersamaku hidupnya sudah manis. Jadi, berhentilah mencari cara untuk kembali dekat dengannya. Jangan menguji kesabaranku. Kau tak kenal siapa Dara sebenarnya." Kutatap kedua netranya yang menatapku tajam, semburat kemarahan berbayang di di dalam sana."Sayang, Mas bawa … Ada apa ini?"
Permintaannya saat awal kehamilan kembali terngiang di telingaku."Gimana, Rul, Dara? Boleh, kan, Mbak mengangkat Nada jadi anak Mbak? Kamu, kan, sudah hamil lagi, bakal punya anak lagi." Mbak Nira tersenyum sumringah saat mengutarakan niatannya itu.Aku dan Mas Nasrul serentak saling memandang. Duh! Gimana bilangnya, ya? Masa iya anakku mau main ambil."Emm … Mbak, bukannya nggak boleh. Mbak, kan, rumahnya nggak deket, jadi kami bakal susah untuk ketemu Nada nantinya. Kecuali kalau Mbak tinggalnya di rumah ini, ya nggak apa-apa."Mas Nasrul angkat suara setelah lama menjadikan hening sebagai pengisi waktu."Lha! Kalau di sini namanya bukan anak angkat Mbak, dong. Berarti Mbak cuma ngasuh. Nada tetap anak kalian." Mbak Nira bersungut-sungut tak terima dengan perkataan Mas Nasrul. "Ya, gimana lagi, Mbak. Kami juga nggak bisa berpisah dari Nada. Apalagi usianya masih kecil." Mas Nasrul kembali memberi pengertian kepada s
"Mas, kayaknya ada yang sengaja mau nyelakain aku, deh," ujarku memberitahu Mas Nasrul.Setelah tragedi terjatuh di depan kamar mandi, Mas Nasrul membawaku ke kamar. Beruntung kandunganku tak bermasalah, maksudku tak sampai terjadi pendarahan atau semacamnya, hanya perut dan punggungku yang masih terasa sedikit sakit. Meski begitu aku memaksa untuk memeriksaka diri ke Dokter Rini esok hari."Masa, sih? Jangan suudzon, ntar malah jadi fitnah," nasihat Mas Nasrul menyerahkan segelas susu padaku."Felling aku nggak mungkin salah, Mas. Yang basah di pantatku kemarin itu minyak sayur, aku belum sempet pipis. Botolnya juga ada di dekat pintu belakang." Aku kekeh dengan pendirianku."Tapi, siapa, Ra, yang tega dan sengaja lakuin itu ke kamu?" pungkas Mas Nasrul."Nggak tau, yang pasti orang itu nggak suka sama aku. Makanya harus kita selidiki sampai ketemu." Aku memukul-mukul bantar lantas mengaturnya supaya nyaman untuk digunakan bersanda
Aku tersentak. Ingatanku tertuju pada botol minyak yang terletak di samping pintu belakang. Semalam pintunya sedikit terbuka, dan lampu belakang yang menyala terang memberikanku sebuah bayangan yang kuyakini seorang wanita. Karena apa? Selain bayangan, juga terlihat sebuah tangan dengan luka baret di punggungnya, meski sekilas tapi aku tahu tangan itu milik seorang wanita.Setelah menggosok gigi dan cuci muka, aku menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Kubangunkan Mas Nasrul untuk menjadi imamku."Nggak kerja, Rul?" tanya Ibu begitu Mas Nasrul ke luar kamar hanya dengan jeans dan kaos."Nggak, Bu. Mau periksakan kandungan Dara, pinggang dan perutnya masih sakit."Lamat suara mereka dapat kudengar dari balik dinding kamar. "Periksa sama Sarah aja kenapa, sih, Rul? Ngabisin duit aja, ke Dokter itu lebih mahal. Jauh pula."Kudengar Mbak Nira ikut bersuara.Ada apa, sih, dengan Mbak Nira? Kenapa dari semalam sikapnya ket
Sesampainya di tempat, kami langsung berkonsultasi. Keberuntungan berpihak karena pasien belum banyak yang datang.Setelah menjelaskan kronologi terpeletnya aku tadi malam, Dokter Rini memerintahkanku berbaring di atas ranjang dan mulai melakukan pemeriksaan.Gel dingin terasa sangat sejuk di perutku, di tambah hembusan dari pendingin ruangan membuatku sedikit kedinginan. Doppler berputar-putar di atas perutku. Pindah dari posisi bawah, ke samping, berpindah ke atas, lalu balik lagi ke bagian bawah perut.Dokter Rini diam dalam melakukan tugasnya. Cemas menyeruak kurasa, ada apa? Biasanya Dokter Rini akan bercerita dengan antusias setiap kali meng-USG-ku.Dokter Rini membuang nafasnya sedikit keras, semakin menambah kecemasanku. Apakah anakku sehat? Atau ….Pandanganku seketika kabur karena air yang mulai mengambang. Kuhalau cairan bening yang siap tumpah dengan tisu yang kupegang."Sepulang dari sini, Bu Dara bedrest,
"Oh, ini kena seng bekas di dekat tungku besar pas masak-masak kemarin. Ibu nggak tau kalau ujungnya masih tajam." Ibu mengelus pelan punggung tangannya yang berbalut plaster. Tak ada raut mencurigakan.Fix, bukan Ibu. Ibu, kan, sangat menyayangi cucunya, mana mungkin ingin mencelakakanku.Kembali kuputar memoriku atas kejadian kemarin malam. Saat aku berteriak, Ibu adalah orang pertama yang datang. Itu pun berasal dari arah ruang depan, dan jaraknya hanya sekian detik dari aku meminta tolong.Sekarang, kecurigaanku tinggal pada Sarah dan Mbak Nira. Akan tetapi, hatiku berkata ini perbuatan Sarah. Pada siapa aku meminta pertolongan untuk mengungkapkan peristiwa ini? Sarah cukup dihormati di mata masyarakat karena profesinya sebagai bidan desa.Sudahlah. Biar nanti kupikirkan."Ganti aja plasternya, Bu. Udah basah ini," tunjukku pada sisi plaster yang mulai terbuka."Iya, sekalian Ibu mau wudhu dulu. Nanti diganti. Kamu istirahat di kamar aja sana." "Iya, Bu. Nada mana?" tanyaku sebe
"Nada itu cucu Ibu. Capek pasti, tapi daripada dia diasuh orang lain, yang belum tentu bisa sabar dan sayang, lebih baik Ibu saja. Apalagi kalau sampai Nada ikut kerja seperti anaknya Mira yang di ujung itu, lebih kasihan lagi."Ibu meneguk air minumnya hingga habis, lantas membersihkan sisa pecel di pinggir mulutnya dengan selembar tisu."Soal Nada, oke. Soal pekerjaan rumah?" Mbak Nira kembali mengorek cerita dari Ibu."Gini. Setiap orang itu punya sisi lebih dan kurangnya. Kekurangan Dara hanyalah mengandalkan Ibu soal Nada dan rumah. Itu saja. Selebihnya dia baik, Nira. Kamu tau Bu Eni, tetangga Pak RT? Menantunya terlihat cekatan dalam mengurus rumah dan anak, padahal dia juga kerja. Tetapi Bu Eni pernah bilang, menantunya itu pelitnya luar biasa. Meski tinggal dalam satu rumah, ia selalu menyimpan semua makanan miliknya di bawah kolong tempat tidur. Dia juga tak perduli meski adik-adik iparnya kadang menangis ingin makanan yang sama dengannya. Dari s
Kehamilan kedua ini kurasakan sangat berbeda dengan kehamilan saat mengandung Nada. Dulu, aku adalah pribadi yang kuat dan tahan banting. Namun tidak dengan kehamilan kali ini, aku menjadi orang yang baperan, mudah iba, mudah menangis, juga lebih sering sakit.Aku memperhatikan Ibu yang tengah menyuapi Nada makan pagi ini, Nada berjalan kian kemari, tak bisa diam. Sesekali Ibu merenggangkan tubuhnya dengan cara berdiri, perlahan diurutnya dengan pelan pinggung tuanya. Kadang juga terlihat mengalap keringat di dahi menggunakan kain gendongan Nada yang selalu ada di bahunya.Seharusnya aku ada di kamar, berbaring. Namun aku bosan, makanya memilih duduk di kursi goyang yang Mas Nasrul letakkan di teras depan kamar kami."Nada. Sini, Sayang, sama Mama, yuk." Aku mengulurkan kedua tanganku ke arah Nada yang tengah mengejar bola sambil berjalan cepat. Lucu sekali melihatnya seperti itu.Anak usia 1 tahun tersebut menoleh padaku, lalu memamerkan gig