Alya yang mendapati pria asing dengan berseragam serba hitam itu puunn menautkan kedua keningnya. Menatap bingung siapa orang yang sedang menghampirinya. “Saya diminta Pak Evan untuk menjemput anda, Nona,” kata pria berpakaian serba hitam itu kembali. Safa yang mendapati pria asing menghampiri kakaknya itu pun menatap penuh tanya ke pada Alya. Siapa lelaki itu, karena baru pertama kalinya pun dia melihatnya.Alya yang mendengar jika pria yang di hadapannya itu adalah orang suruhan Evan pun membeku. Sama sekali dia tak menyangka, Evan benar-benar menagih janji Alya untuknya.“Mbak, siapa?” Tanya Safa setengah berbisik. Dia mendekat ke arah kakaknya atas rasa penasaran yang terjadi. Alya menoleh pada Safa, menatap kaku pada adiknya tersebut.“Bukan siapa-siapa. Mbak minta izin bicara dulu sama dia sebentar ya,” ujar Alya berpamitan pada Safa.Safa yang sedang dilanda oleh rasa penasaran itu pun terpaksa mengangguk. Membiarkan kakaknya pergi untuk bicara pada pria yang menghampiri m
Sejak masuk ke dalam lift, Alya semakin dibuat cemas. Jari jemarinya pun saling meremas satu sama lain. Dia menggigit bibir bawahnya, tetap saja rasa cemas itu tak mampu terelakkan dari dirinya. Alya lebih memilih diam, karena dia pun tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain menurut dengan mengikuti orang suruhan Evan. Berulang kali Alya menarik nafas dalam-dalam, kemudian dia kembali menghembuskan secara perlahan. Tetap saja usaha yang dilakukannya itu tidak mampu membuahkan rasa lega dalam dada yang begitu menyiksa. “Apa anda baik-baik saja, Nona?” Tanya pria yang saat ini bersama Alya di dalam lift hanya berdua saja itu. “Eh, i-iya. Saya baik-baik saja, Pak,” jawab Alya sedikit terkejut. Mungkin ketegangan yang terjadi pada diri Alya itu begitu nampak jelas di mata pria yang saat ini sedang bersamanya. Dia pun terpaksa mengulas senyum palsu yang diberikan kepada pria yang Bertanya kepadanya itu. “Ehm. Apa Pak Evan saat ini di apartemennya seorang diri?” Cicit Alya
Pria yang diminta untuk menunjukkan sesuatu oleh Evan itu terlihat mengambil sebuah map yang tertutup di atas meja depan semua orang. Dia membukanya, kemudian beralih menatap ke arah Alya, kemudian membuka suara. “Nona. Ini ada poin-poin yang harus anda penuhi atas kebaikan yang sudah dilakukan oleh Pak Evan,” tutur Pria yang tidak Alya ketahui namanya itu. Alya yang mendengar pun mengerutkan keningnya. Bukankah dia dan Evan sama sekali tidak sedang bekerja sama. Lalu untuk apa haruss ada perihall yang harus dipenuhii olehnya. Segera Alya mengalihkan tatapannya kepada Evan yang Bahkan pria itu sejak tadi menatap dirinya dengan Tatapan yang begitu datar. Jika saja, Alya boleh percaya diri. Maka, dia ingin sekali menyombongkan dirinya kepada Evan dan berkata, “ ngapain lihatin gue terus. Jatuh cinta baru tahu rasa.” Tetapi, kalimat itu hanya mampu menyombongkan dalam diri. Karena Alya cukup sadar diri, siapa dirinya saat ini. “Apa ini, Pak?” Tanya Alya yang semakin dibuat ce
Ruang tamu pria yang terkesan dingin dan sangat arogan itu kembali hening setelah Alya berakhir menandatangani berkas yang diajukan oleh Evan untuknya. Alia melakukan dengan sangat terpaksa, karena dia tidak memiliki pilihan lain selain menandatangani. Maju salah, mundur pun tidak mampu dia lakukan. Karena dalam hal ini, Alya tidak ingin menjadi pembunuh ibunya sendiri jika Alya harus menolak apa yang Evan atur untuk hidupnya. Pelayan. Itu inti yang ada dalam surat tersebut. Dan Alya harus melakukan itu semua. Pria yang sebelumnya menjemput Alya di rumah sakit itu pun kembali masuk dan menghampiri Evan yang masih duduk dengan gaya angkuhnya. “Semua sudah siap, Pak. Orang yang bapak minta juga sedang menuju ke sini sebentar lagi,” beritahunya dengan pelan. Meski pelan, karena memang ruang tamu ini begitu hening. Membuat Alya dengan mudah mendengar percakapan yang terjadi antara Alya dan Evan itu. “Bagus. Makin cepat makin baik,” jawab Evan dengan nada datarnya. Entah orang m
Seperti apa yang Evan minta sebelumnya. Akhirnya, Alya menyiapkan apa yang Evan minta padanya. Dia membuka lemari pakaian pria yang baru saja menikahinya. Meski ragu, tangannya itu tetap terulur mengambil pakaian yang akan Evan gunakan sesuai yang ia lihat sebelumnya saat di kantor. Tidak sama, tapi Alya yang memang tahu model pakaian profesi itu cukup ciamik dalam menyiapkan kebutuhan yang diminta oleh pria tersebut. Baru juga Alya hendak menaruh pakaian ke atas ranjang yang sebelumnya diambil dari dalam lemari Evan. Pria yang belum lama masuk itu keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan tak tahu diri. Dia hanya menggunakan handuk yang membalut tubuhnya. Dengan tak tahu malunya Evan mengabaikan keberadaan Alya di sana. Alya mematung, sejujurnya dia sedang gugup mendekati pria yang masih asing untuknya itu berada dalam satu kamar dan dalam keadaan setengah telanjang. Namun, dengan cepat Alya mampu mengontrol diri. Tidak ingin terbuai dengan keadaan yang tengah terjadi saat
Setelah menaruh kartu yang dia berikan untuk Alya di atas meja. Pria arogan itu pun berlalu begitu saja dari hadapan Alya. Alya hanya menghembuskan nafas kasarnya, ketika punggung tegap pria angkuh itu mulai menjauh darinya. Meski kesal dengan semua ucapan Evan yang terkesan selalu menyudutkan diri Alya sebagai gadis bodoh. Alya tetap melangkah, mendekat ke arah di mana meja makan berada. Tangannya pun terulur, mengambil kartu yang Evan taruh di atas meja makan. Alya tak banyak kata, sadar jika memang dia yang memang benar-benar menjadi seorang pelayan sungguhan mulai saat ini dan seterusnya. “Kamu tidak boleh menyerah, Al. Kamu harus menerima nasibmu saat ini,” gumam Alya pelan, dan tak akan ada seorangpun yang mendengar karena hanya dirinya saja di dalam apartemen milik Evan ini. Alya segera melangkah, hall yang ia tuju untukk pertama kalinya adalah kamar yang di aman Evan bilang jika itu adalah kamar yang diperuntukkan untuk dirinya. Kamar yang cukup mewah, karena kamar yang
Alya yang mendapati perintah tegas yang tidak ingin terbantah dari Evan itu pun membeku. Panggilan yang Evan lakukan atas dirinya itu pun terputus begitu saja. Bahkan Alya sama sekali belum menjawab ancaman yang dilakukan oleh Evan atas dirinya. Alya yang mematung itu pun mengalihkan tatapan matanya pada Safa yang duduk di tempat tunggu ibunya. Mengontrol diri, agar Safa tidak curiga akan sesuatu yang baru saja Alya alami. Ah, lebih tepatnya Alya sedang memutar otak untuk mencari alasan yang akan dia berikan pada sang adik untuk bisa kembali ke tempat Evan. Alya menghela nafas beratnya, kakinya pun melangkah meski berat bagi diri Alya untuk melakukan. “Dek,” panggil Alya pada Safa yang sedang duduk dengan ponsel yang sedang dimainkan olehnya. “Hmm. Iya, Mbak,” jawab Safa, mengalihkan pandangan matanya ke arah Alya yang tengah memanggil dirinya. “Mbak sepertinya nggak bisa menginap di rumah sakit untuk temani ibu.”Alya sejujurnya sangat ragu untuk mengatakan itu kepada Safa, a
Kosong. Satu kata yang menjadi sambutan Alya saat membuka pintu dan mendapati kamar pria pemilik apartemen itu menyala lampunya dan kosong. Tidak ada Evan di dalam. Alya yang mendapati kamar Evan kosong itu berpikir jika sang pemilik kamar sedang berada di kamar mandi. Alya kembali memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar Evan. Dia berniat untuk menyiapkan pakaian ganti pria yang belum kunjung ia temui di apartemennya sejak dia masuk ke dalam.Tangannya terulur, mencari pakaian ganti Evan dari dalam lemari. Setelah mendapatkan pakaian yang tepat. Alya kembali menutup pintu lemari pakaian dan menuju ke tepi ranjang Evan untuk menaruh pakaian yang dicarinya. Alya sempat terdiam beberapa saat dia sedang memikirkan Apakah akan langsung meninggalkan kamar suaminya itu atau memberitahukan Jika dia telah menyiapkan semua.“Ah, biarlah. Pasti dia juga tahu, saat keluar dari kamar mandi nanti akan melihat pakaian yang sudah aku siapkan untuknya.”Setelah mempertimbangkan beberapa saat,