Share

Tanpa Ainun

Hari demi hari terlewati, dan Ainun benar-benar tak kembali. Aku menikmati kesendirianku tanpa berusaha untuk keluar dari rasa sepi.

Beberapa kali tanpa sadar aku masuk ke kamar yang dulu ditempati Ainun. Biasanya hal itu kulakukan saat mataku tak kunjung terpejam, sedangkan malam semakin larut. Tak jarang aku justru tertidur di sana dan baru tersadar dengan hal konyol yang telah kulakukan saat pagi telah tiba. Entah apa yang mendasari ku melakukan hal itu. Rindukah aku pada Ainun? Aku langsung membuang jauh-jauh pertanyaan itu tanpa berniat mencari tahu kebenaran atas isi hatiku sendiri.

Semakin hari, aku semakin tak banyak berbicara. Aku lebih suka diam dan menenggelamkan diri ke dalam duniaku sendiri. Hampir seluruh waktuku kuhabiskan untuk bekerja. Secara bersamaan, beberapa rekan sesama pengacara berencana untuk mendirikan firma hukum dan mengajak ku untuk bergabung. Akupun setuju bergabung bersama mereka dan memulai perjuangan baru kami. Kesibukanku itu cukup membuat rasa kesepianku teralihkan. Pergi pagi, pulang larut malam bahkan saat hari libur sekalipun. 

Di sisi lain, Mama tampaknya tak berputus asa untuk membuatku membawa kembali Ainun dan Farhan. Beliau terus menemui Ainun dan aku memilih untuk tak mempedulikan hal itu. Aku juga menulikan telingaku saat mendengar nasihat dari Papa. Aku menutup pintu hati dari berbagai penjuru dan tak mengizinkan siapapun mengetuknya.

Tapi Mama tetap gigih. Tak jarang setelah pergi menemui Ainun, beliau mengirimkan foto Farhan padaku dengan harapan hatiku akan tersentuh. Dan kali ini, bukan hanya foto yang dikirimkan Mama ke gawaiku, tapi sebuah video. Aku baru menyadari Mama mengirimkan video itu ketika memeriksa gawaiku sambil merebahkan diri di tempat tidur, saat dini hari hampir menjelang.

Dengan enggan aku memutar video yang dikirim oleh Mama meski tak terlalu penasaran.

"Cilukk ... Ba ...." Terdengar suara Mama dari dalam video. Tampaknya Mama merekam Farhan sembari mengajak bayi itu berceloteh.

"Farhan, lihat Oma," ujar Mama lagi.

Farhan tertawa. Mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan gusinya yang belum ditumbuhi gigi. Ia juga mengeluarkan celotehan khas bayi yang terdengar sangat lucu. Bayi itu telah tumbuh lebih besar dari yang terakhir aku lihat. Tubuhnya montok dan pipinya tembam. Tampaknya Ainun telah merawat Farhan dengan baik meski tak berada di rumah ini lagi.

Ada perasaan bergejolak saat aku melihat wajahnya. Rasanya seperti aku ingin memeluk bayi menggemaskan itu dan tak ingin melepasnya lagi.

Farhan, benarkah jika kau memang darah dagingku? Jika iya, kenapa aku merasa begitu berat untuk mengakui mu? Benarkah apa yang dikatakan ibumu waktu itu, jika hatiku telah dipenuhi oleh kebencian dan prasangka, hingga tak bisa lagi melihat kebenaran yang ada?

Aku menyingkirkan gawaiku dan berusaha memejamkan mata. Terlepas dari apa yang kurasakan, nyatanya egoku jauh lebih tinggi. Tetap tak ada niatan di hatiku untuk membawa kembali Farhan serta Ainun. Mereka sudah pergi dan tak ada hubungannya lagi denganku. Itulah yang selalu kukatakan pada diriku sendiri.

Tok! Tok! Tok!

"Pak Arkan." Samar terdengar suara Bik Minah memanggil.

"Pak. Apa Bapak belum bangun?" Suaranya semakin jelas terdengar.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan sedikit terkejut saat menyadari hari sudah pagi. Tanpa sadar aku kembali tertidur di kamar Ainun seperti sebelum-sebelumnya. 

"Pak Arkan." Suara Bik Minah membuat kesadaranmu pulih sepenuhnya.

"Iya, Bik. Saya sudah bangun," jawabku dengan agak malas.

Aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Saat keluar dari kamar Ainun, Bik Minah masih berdiri tak jauh dari pintu kamar.

"Maaf, saya lancang membangunkan Pak Arkan. Saya takut Bapak terlambat pergi ke kantor." Bik Minah terlihat tidak enak karena telah mengusik tidur singkatku.

"Tidak apa-apa. Saya memang akan terlambat jika sekarang tidak dibangunkan oleh Bik Minah," jawabku.

"Apa Pak Arkan pindah ke kamar ini? Haruskah saya memindahkan barang-barang keperluan Pak Arkan ke kamar ini juga?" tanya Bik Minah lagi.

"Tidak perlu. Semalam saya hanya ketiduran saat mencari sesuatu di sana." Aku buru-buru meninggalkan Bik Minah dan pergi ke kamarku yang berada di lantai atas. Malu rasanya jika sampai Bik Minah tahu aku sering tertidur di kamar Ainun belakangan ini.

Tak lama kemudian, aku kembali turun dengan tubuh yang lebih segar dan berpenampilan rapi. Aku langsung menuju meja makan dan mengambil sepotong roti untuk mengganjal perut. 

Aku sudah meminta pada Bik Minah agar tak memasak untukku lagi. Setiap pagi aku cukup makan sepotong roti, sedangkan siang dan malam harinya aku akan makan di luar. Hal itu kulakukan agar aku tak terus-terusan menginginkan masakan yang selama ini kusantap, yang ternyata adalah masakan Ainun.

"Pak Arkan, maaf saya baru ingat sekarang. Sebenarnya Bu Ainun menitipkan sesuatu pada saya sehari sebelum pergi." Bik Minah kembali berujar sesaat setelah aku menyelesaikan sarapan kilatku.

"Menitipkan sesuatu?" tanyaku dengan dahi sedikit mengerut.

Bik Minah mengangguk sembari merogoh saku bajunya.

"Bu Ainun meminta saya memberikan ini pada Pak Arkan untuk dikonsumsi setiap pagi. Saya ceroboh sampai lupa menyampaikannya pada Bapak," ujar Bi Minah sambil menyerahkan sesuatu padaku. Sebotol multivitamin yang biasa kuminum selama ini.

Aku menerima multivitamin itu dengan sedikit aneh. Apa maksud Ainun menitipkan itu pada Bik Minah sebelum dia pergi? Toh, selama ini juga dia tidak mengurusi keperluanku.

"Untuk Bik Minah saja. Saya biasanya juga mendapatkan itu dari Mama," ujarku kemudian sambil mengembalikan botol multivitamin itu pada Bik Minah.

"Tapi, Pak, sebenarnya vitamin yang selama ini biasa Pak Arkan minum juga dari Bu Ainun, bukan dari Bu Indri." 

"Apa?" Aku agak terkejut mendengar penuturan Bik Minah barusan.

"Vitamin yang biasa saya siapkan setiap pagi untuk Bapak minum, Bu Ainun yang memberikannya pada saya. Katanya supaya kesehatan Bapak selalu terjaga biarpun sering kerja sampai malam."

"Tapi bukannya waktu itu Bik Minah bilang Mama yang memberikannya untuk saya?"

"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membohongi Bapak, tapi Bu Ainun yang minta saya supaya bilang begitu sama Bapak. Katanya, nanti Bapak menolak kalau tahu itu dari Bu Ainun, makanya saya bilang saja kalau itu dari Bu Indri."

Aku membeku, tak tahu harus merespon seperti apa. Entah nanti fakta apalagi yang akan aku dengar tentang Ainun. Setelah perlakuanku yang tak bersahabat padanya selama dia berada di rumah ini, kenapa dia justru mempedulikanku? Harusnya dia juga ikut membenci dan mengacuhkanku, kan? Bukannya mengurusku secara diam-diam seperti ini.

Belum sempat aku berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara bel dari pintu depan. Entah siapa yang bertamu pagi-pagi begini.

Bik Minah segera membukakan pintu. Ternyata Mama yang datang. Beliau masuk ke dalam rumah dengan wajah cemas luar biasa.

"Arkan, Ainun tidak ada, Ainun tidak tinggal di kontrakannya lagi," ujar Mama dengan cemas.

Aku agak bingung dibuatnya.

"Jangan diam saja, Arkan. Cari Ainun sekarang juga. Mama bisa mati kalau tidak bisa bertemu lagi dengan Farhan." Mama menarik kerah bajuku dengan kedua tangannya dengan agak emosional. 

"Apa maksud Mama?" tanyaku tak mengerti.

"Ainun pergi, Arkan. Waktu tadi Mama datang ke kontrakannya, tempat itu sudah di tempati orang lain. Pemiliknya bilang Ainun sudah pindah ke luar kota dua hari yang lalu. Tidak ada yang tahu dia pergi kemana. Orang tuanya sendiri juga tidak tahu kemana dia membawa Farhan. Nomor kontaknya juga sudah tidak bisa dihubungi ...." Mama akhirnya tergugu sambil melepaskan cengkraman tangannya.

"Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Dia pergi ...." Tubuh Mama luruh ke lantai dengan tangis yang semakin menjadi.

Aku membeku dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Entah gejolak apa yang saat ini tiba-tiba memenuhi dadaku. Bukankah jika Ainun menghilang, keinginan tak terucapku selama ini terkabulkan? Tapi kenapa saat mendengarnya, perasaanku justru bertambah buruk?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status