Share

Bab 5

 

 

Aku menangis di dalam kamar sendirian, tak menyangka akan memiliki ipar dan mertua bermuka dua, sepertinya aku harus membujuk Feri untuk cepat cari rumah dan memisahkan diri dari mereka.

 

"Loh kok nangis, Yang?" tanya Feri begitu masuk kamar.

 

Dengan cepat aku mengusap air mata.

 

"Apa yang buat kamu sedih?" tanya Feri sambil duduk di sampingku.

 

"Begini, Mas. Barusan aku lewati kamar dekat tangga itu dan denger mama sama Kak Jeni ngobrol, mereka kayak ga suka sama aku, dan bahas soal mahar satu milyar itu, mereka nyangkanya aku yang meminta mahar sebanyak itu."

 

Feri langsung berubah posisi dan menatap ke depan sana dengan datar.

 

"Padahal 'kan kamu tahu aku ga pernah meminta apa-apa, apalagi uang satu milyar," ucapku lagi, Feri terlihat tidak nyaman.

 

"Kamu ga salah dengar 'kan?" tanya Feri dengan serius

 

"Engga, Mas." Aku menggeleng lemah.

 

"Sekarang ikut aku." Feri membawaku ke luar kamar dan menuruni tangga, setelah itu ia memanggil mama dan Kak Jeni.

 

Dua wanita itu berhamburan ke luar menghampiri kami, wajah mama kembali dibuat manis, sementara Kak Jeni malah biasa saja.

 

"Kenapa, Fer?" tanya mama ramah.

 

"Ma, apa Mama menyangka kalau Naura yang meminta mahar satu milyar itu?" tanya Feri sambil menatap dingin pada mama.

 

Wanita yang tak terlihat tua dari usianya itu jelas terkejut, lalu memandangku.

 

"Engga kok, kenapa kamu nanya gitu?" 

 

Benar ternyata mama mertuaku itu memang bermuka dua

 

"Aku tegaskan, Ma, Naura ga pernah minta mahar apapun, aku sendiri yang ngumpulin uang itu dan bertekad akan menjadikan mahar untuk istriku, ga ada paksaan dari siapapun!" 

 

Feri menatap tegas mama dan Kak Jeni.

 

"Ya ampun, Feri, kamu ini kenapa sih? siapa juga yang nuduh Naura minta mahar satu milyar?" tanya Kak Jeni.

 

Beda dengan mama Kak Jeni malah menampakkan ketidaksukaannya padaku sekarang.

 

"Barusan Naura denger sendiri kalian bicara begitu di kamar, aku mohon sama mama sama Kak Jeni, jangan punya pikiran buruk sama istriku."

 

Seketika mama terperangah, tapi sejurus kemudian wajahnya kembali dibuat manis dan menatapku.

 

"Nak, mungkin kamu lelah, Mama sama Jeni ga bicarain kamu kok, kita tadi tuh emang lagi ngobrol tapi ga ngomongin kamu," ucap mama dengan lembut.

 

"Iya, Naura, kamu ga boleh kaya gini, ngadu domba Feri sama mamanya, apa kamu seneng lihat mereka bertengkar?" sahut Kak Jeni, nada bicaranya mulai melembut tapi tetap menusuk.

 

Kukira dengan menikah dan menjauh dari ibu dan Dara akan menemukan ketenangan, nyatanya sama saja aku harus satu atap dengan orang-orang menyebalkan.

 

"Aku ga ada maksud gitu, Kak. Aku mau kalau diantara kalian ada yang ga suka sama aku ngomong aja, biar aku introspeksi diri," ucapku datar.

 

"Di rumah ini ga ada yang ga suka sama kamu, Sayang. Sekarang istirahat ya, tidur siang. Dan kamu Feri, jangan mudah percaya apapun yang ga kamu lihat dan dengar dengan mata dan telinga sendiri."

 

Mama tersenyum lalu segera pergi, begitu pula dengan Kak Jeni mereka pergi berlawanan arah.

 

"Aku harap kamu bisa adaptasi ya di rumah ini, terutama sama Mama dan Kak Jeni, kalau bisa jangan terlalu baperan," ucap Feri ketika kami sudah sama-sama terbaring di kasur, hari sudah malam dan dadaku mulai deg-degan.

 

Aku mendelik sebal, sepertinya lelaki ini tak percaya dengan ucapanku tadi, bisa juga ia terhasut mamanya dan Kak Jeni.

 

"Aku ga baper, Mas, aku tuh beneran denger sendiri." Aku balik badan memunggunginya

 

Tetapi, lelaki itu malah melingkarkan tangan ke pinggangku, suasana berubah tegang, saat wajah Feri didekatkan ke telinga.

 

Darahku langsung berdesir, rasa kesal menguap begitu saja diperlakukan lembut oleh sentuhannya, mungkin ini sudah saatnya aku menyerahkan diri pada sang suami.

 

 "Kamu siap 'kan?" tanya Feri dengan tatapan sayu.

 

Meski takut kuanggukan kepala, karena tak dapat dipungkiri aku pun menginginkannya kali ini, lelaki itu telah berhasil membangkitkan sebuah rasa yang sebelumnya tak kupahami.

 

"Baca dulu dong, doanya," bisik Feri, bibirnya menempel di telinga membuatku lupa akan segalanya.

 

Dengan lembut ia menyentuh setiap inci tubuhku, membuatku melayang jauh hingga lupa pada rasa takut yang selalu membuat momen ini tertunda.

 

Pagi sekali ibu menelpon, aku yang sedang mengeringkan rambut terpaksa mematikan hair dryer dan meraih ponsel.

 

"Iya, Bu ada apa?" tanyaku, malas sebenarnya bicara dengan dia.

 

"Naura, Ibu minta duit ya buat acara pernikahan adikmu."

 

Aku mengerenyitkan kening. "Nikah? emang kapan?"

 

"Pokoknya Dara harus segera dinikahkan, kamu 'kan banyak uang, Ibu minta dua puluh juta aja buat acara pernikahannya." Ibu ngotot.

 

"Bukannya Dara nikah beberapa bulan lagi? kok dipercepat?" tanyaku.

 

"Se-sebenarnya ...." Ibu terdengar ragu berucap.

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status