"Apa yang harus aku lakukan lagi?" Linggar menghela napas panjang, wajahnya tampak kusut.
Sudah satu jam wanita dua puluh lima tahun tersebut termenung di taman kecil yang terletak di halaman belakang. Kepalanya terasa bising, saling berebut atensi untuk dipikirkan. Linggar tidak dapat berbuat banyak.
Ponselnya kembali bergetar, membuat pandangan Linggar teralihkan. Dahinya mengerut dalam hingga bertumpuk-tumpuk, terlebih menatap nama Pradipta kembali tertera di layar gawai tersebut.
"Ada apa lagi?" Linggar berdesak kesal, kemudian meraih gawainya. Rasa penasaran kembali menghantui pikirannya.
Pradipta mengirimkan foto seorang pria tengah merangkul pria lain, foto tersebut diambil dari samping. Linggar merasa tidak asing akan pria yang tengah tertawa dengan tangan yang berada di bahu teman prianya. Mata Linggar menyipit, lantas memperbesar foto tersebut hingga terlihat wajah pria itu meski sedikit buram.
Jujur sebenarnya Linggar merasa tidak yakin akan tebakannya. Ia masih menyimpan di dalam hatinya. Bisa saja spekulasi yang dia pikirkan tidak sesuai dengan kenyataan. Linggar berusaha untuk menyangkal, membuang jauh pikiran buruknya.
Pesan selanjutnya yang masuk ke dalam gawai Linggar, membuatnya membungkam mulut. Kepalanya menggeleng pelan, air mata kembali lolos menganak sungai di pipinya.
Ini suamimu, Dik. Kamu masih tidak mau percaya dengan ucapanku, Dik Enggar? Suamimu itu tidak menyukai perempuan, Dik, dia hanya suka dengan kaum berbatang saja. Seumur hidup itu lama loh, Dik, jangan buat hidupmu menjadi sengsara dengan pria yang tidak menyukai wanita.
Linggar menghela napas panjang. Ia mengusap kasar air matanya, memalingkan pandangan ke arah lain. Langit biru tanpa penghalang atap tersebut menjadi pelipur lara hati Linggar. Meski ia tidak memiliki perasaan lebih dengan suaminya, bahkan mengenal pun hanya sebatas nama. Rasa sakit hatinya menusuk cukup dalam.
"Aku kenapa harus menangis?" Linggar menyeka air matanya, meski kembali menetes. "Bukannya pernikahan kami hanya untuk menutupi rasa malu keluarga? Untuk apa aku harus menangis? Itu adalah urusan Mas Pram dan kehidupannya sendiri."
"Dari awal aku sudah berjanji dengannya untuk tidak ikut campur urusan pribadi. Tapi, kenapa aku tidak terima bila Mas Pram sebenarnya tidak bisa mencintai perempuan? Kenapa hatiku malah sakit? Ada apa denganku?"
Tatapan wanita dua puluh lima tahun tersebut kembali pada layar gawai yang masih menampilkan foto kedua pria tengah rangkulan. Ia memandang lekat, memastikan kebenaran atas apa yang dilihatnya. Lagi dan lagi, ia membenarkan presepsinya atas foto tersebut.
Linggar memejamkan matanya kemudian, membuang napas cukup kasar. "Aku harus diam dan menutupi aib suamiku sendiri. Tidak masalah Mas Pram mungkin penyuka sesama, asal dia tidak berbuat macam-macam denganku. Kalau pun bisa, aku akan membuatnya kembali normal."
Entah bisikan dari mana, Linggar tergerak hatinya untuk membuat Pramudita ke jalan yang benar. Terlebih dari postur dan perawakan tidak terdeteksi bila Pramudita memiliki penyimpangan. Hal ini membuat hati Linggar menjadi tergerus, pasalnya ia tidak mengetahui hal yang menyangkut suaminya.
"Memang ini adalah resiko menikah serba tidak terduga dengan calon pengantin yang tidak dikenal. Mungkin bila kemarin aku berani menolak, aku juga tidak akan melihat sisi lain dari Mas Pram. Tidak masalah, memang ini yang terbaik untuk aku. Mungkin lewat aku, Mas Pram bisa sembuh." Linggar berharap penuh dengan anggukan kepala penuh semangat.
Memilih menghiraukan pesan yang dikirim oleh sang mantan kekasih, Linggar kemudian sibuk dengan beberapa tanaman yang ia temukan di pojok halaman dalam keadaan mengenaskan. Ia prihatin akan kondisinya memprihatinkan, kemudian berusaha menyelamatkan dengan memindahkan tempat ke yang lebih layak. Pramudita tentunya tidak akan memiliki waktu hanya untuk mengurus beberapa tanaman tersebut, seluruh waktunya tersita pada pekerjaannya.
"Mas Pram hari ini pulang jam berapa ya?" Linggar menatap jam tangan yang melingkar.
Sedetik kemudian, bersamaan ponselnya bergetar. Linggar mengacuhkan, menduga bila itu berasal dari Pradipta. Hanya akan membuatnya memiliki pikiran buruk terharap suaminya.
Kembali ponselnya bergetar, membuat Linggar mau tak mau membuka gawainya. Ia terkejut dengan dua pesan yang belum terbaca dari Pramudita. Pandangan matanya menyipit, tidak biasanya pria tersebut mengirimkan pesan untuknya.
Enggar, hari ini aku pulang malam. Jangan menunggu aku pulang.
Linggar mengembuskan napas seketika, lalu pesan kedua membuatnya keningnya semakin bertumpuk dalam. Seperti ada hal janggal berada di sudut hatinya.
Tidak usah masak, aku makan di luar dengan temanku.
"Teman? Teman atau...," ucap Linggar menggantung.
Kemudian Linggar kembali menggeleng, tidak ingin terlalu memperpanjang pikiran buruknya. Mungkin memang Pramudita memiliki banyak teman, tidak hanya yang berada di foto seperti kiriman dari Pradipta. Semakin membiarkan, semakin dalam pula pikiran buruk Linggar bergerilya.
"Biarkan saja, Enggar, bukan urusan yang harus kamu campuri."
Halo, terima kasih telah membaca. Jangan lupa berlangganan ya. Bagikan cerita ini ke teman-teman kali juga, biar mereka bisa membaca di sini. Jangan lupa follow ig lyona_adira
"Apa lagi yang ingin aku beli?" Wanita itu menimang kartu kredit yang berada di tangan kirinya. Tiga paper bag berukuran sedang berada di tangan kanannya, masih ada barang yang ia beli. Terlebih suaminya tidak memberatkan untuknya membeli barang apa pun yang diinginkan, meski demikian ia hanya memakai kartu tersebut seperlunya saja. Linggar, merasa butuh me time setelah banyak masalah yang menerpa. Ia tak ingin terus terpaku pada keadaan, perlahan bangkit dan melupakan kenangan pahit itu jauh-jauh. Tidak ada keuntungan yang dapat ia dulang. "Lama tidak merasakan jalan-jalan dan menikmati waktu sendiri. Tidak buruk juga. Pikiran dan hati juga terasa lebih tenang," ucap Linggar. Kartu tersebut kembali ia masukkan ke dalam tas hitam kecil yang menjadi penunjang penampilannya. Memakai gaun di atas lutut berwarna merah muda dengan motif bunga sakura, rambut hitam terurai menjuntai dengan ikal di ujung. Sepatu kets berwarna senada dengan tasnya dan tidak lupa jam tangan melingkar di tan
Tatapan Linggar tertuju pada lampu rumah yang telah menyala keseluruhan. Ia menduga bila suaminya pulang lebih awal ketimbang dirinya. Padahal pria itu pamit akan pulang malam, namun pukul tujuh sudah sampai di rumah. Kok Mas Pram sudah pulang? Katanya tadi akan pulang malam, tapi jam tujuh sudah sampai di rumah. Mas Pram marah tidak ya? Linggar membatin dengan jantung berdetak kencang, was-was bila pria itu akan marah besar. Perlahan tangan Linggar memutar knop pintu, membuka pintu dengan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Hawa dingin langsung menyapu kulitnya, entah perasaannya atau memang seperti itu adanya, suhu ruang tamu mendadak merayap turun. "Kamu dari mana?" Suara berat itu mengejutkan langkah Linggar, jantung terasa berhenti, darahnya mendadak panas. Pelan-pelan lehernya menoleh, menatap pria yang berdiri di dekat jendela dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapannya tajam dengan rahang mengeras. Linggar tak memiliki keberanian untuk menatap kedua mata P
"Yang terpenting aku sudah minta izin dengan Mas Pram." Linggar tersenyum kecil, kala kakinya melangkah masuk ke dalam restoran tempat yang sudah dijanjikan oleh temannya. Aku sudah sampai, Enggar. Aku tunggu di meja nomor delapan belas ya, sesuai dengan meja kesukaanmu dahulu. Pesan itu masuk tadi pagi sebelum Linggar berangkat, membuat senyuman terangkat di bibirnya. Bahkan ia menjadi perempuan paling bahagia, hal sekecil itu berhasil diingat oleh orang yang pernah dekat di masa lalu. Restoran Kenangan, menjadi pilihan. Seperti namanya, di sana memiliki segudang kenangan yang terus ingin Linggar putar di dalam memorinya. Tidak sedikit saja keinginan untuk melupakan. Setiap kali datang ke sana, rasanya ia seperti bernostalgia, meski sudah tidak bersama. "Kenapa jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya setiap ke sini? Aku tidak mengerti, mengapa setiap sudut restoran ini memiliki kenangan yang terus melekat di dalam kepalaku?" Wajah Linggar berseri-seri, kebahagiaan tera
Tak banyak perbedaan dari hari sebelumnya. Linggar kembali termenung di meja makan, menunggu sang suami turun dari lantai dua. Minggu pagi, tentu mereka akan menghabiskan waktu seharian penuh di rumah tersebut. Pikiran Linggar banyak merancang hal-hal menarik yang mungkin dapat ia dan suaminya lakukan. "Mungkin aku bisa mengajak Mas Pram menata taman belakang," ujar Linggar, kemudian kepalanya menggeleng. "Tidak, jangan itu. Aku yakin Mas Pram mudah merasa bosan. Lebih baik aku mencari hal lain saja." Linggar tidak ingin menyia-nyiakan sedikit saja waktunya bersama Pramudita. Terlebih mereka tidak memiliki waktu berkualitas yang dihabiskan bersama, untuk membahas tentang keduanya. Hal ini membuat Linggar sadar akan pentingnya saling mengenal satu sama lain, meski Pramudita masih terkesan menutup diri. Tidak ada hal yang tidak mungkin. Linggar yakin bila lambat laun, Pramudita akan menjadi lunak dan luluh akan kehadirannya. Dan juga berharap pria tersebut dapat kembali menjadi pria
Wajah Pramudita tidak bersahabat, mulai dari semalam ia memilih diam di ruangan kerjanya. Bahkan tidak peduli akan gangguan yang terus dilakukan oleh Linggar untuknya. Setelah berhasil keluar dari kurungan, wanita tersebut semakin berani bertindak. Terus mengganggu ketenangan Pramudita. Hingga pagi ini pun tercatat lebih dari dua puluh kali wanita tersebut bolak-balik di depan pintu ruangan Pramudita. Pria tersebut enggan untuk keluar sekadar bertanya, membiarkan saja. Hatinya masih dongkol dengan ulah Linggar, terlalu berani mengenakan baju pendek di hadapannya. "Sudah waktunya berangkat ke kantor," ucap Pramudita. Beberapa barang penting telah ia masukkan ke dalam tas sejak semalam. Ia tidak ingin ada yang tertinggal, meski satu barang. Sisanya pagi ini kembali ia periksa, kemudian menambahkan kekurangannya. Langkah kakinya terhenti kala ponsel berada digenggaman bergetar. Awalnya tak dihiraukan, lama-lama pesan yang masuk tidak hanya satu. Membuat Pramudita mejadi penasaran, tak
"Kamu tidak akan bisa lari dariku," ucap Pradipta kemudian mengantongi gawainya.Seluruh hal yang keluar dari bibirnya tidak hanya sebatas gertakan semata, Pradipta bersungguh-sungguh. Dianggap sepele oleh lawan bicaranya, sang mantan kekasih yang kini menjadi kakak iparnya."Dik Enggar, aku tidak pernah berbohong dengan semua ucapanku. Kenapa kamu selalu menganggap enteng ucapanku? Apa selama ini kamu selalu memandang aku sebelah mata?" Pradipta tersenyum miring, kemudian menggigit kukunya."Dari awal aku sudah baik memberikan penawaran untukmu, sayang sekali kamu selalu meremehkan aku. Ini adalah akibatnya kamu tidak mempertimbangkan penawaran yang sudah aku ajukan," lanjut Pradipta dengan meremas tangannya.Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Lagi pula ini yang aku inginkan dari hubungan kamu dan Mas Pram, Dik Enggar. Setelah kalian berpisah, maka aku akan memutuskan untuk bercerai. Aku akan membawamu kembali ke dalam pelukanku.""Aku yakin Mas Pram tidak mungk
Semenjak kedatangan Pramudita di ruangannya hingga waktu menginjak petang, tidak ada tanda-tanda ingin keluar dari tempat tersebut. Bahkan ruangan itu tampak sepi, seolah tidak ada penghuninya. Hal ini membuat beberapa karyawan segan untuk mengganggu pria tersebut, bila bukan karena urusan mendesak. Pria dua puluh tujuh tahun itu berdiri di ambang pintu, menimang antara masuk atau tidak. Menurut informasi yang ia dapatkan, kakaknya seharian tidak keluar dari ruangan tersebut. Membuat hatinya penuh tanya dan juga penasaran. Jika aku tidak masuk sekarang, aku tidak akan pernah tahu hal apa yang sedang terjadi di antara Mas Pram dan Linggar. Aku yakin sekali hubungan mereka tengah di ujung tanduk. Bukankah ini menjadi kesempatan emas untuk aku kembali memperjuangkan Linggar? Pradipta membatin dengan tersenyum sinis. Tangan kirinya memutar gagang pintu, tidak peduli salam ataupun mengetuk pintu terlebih dahulu. Pradipta berjalan ke arah meja kerja Pramudita. Pria itu tengah membelakangi
"Semoga kamu suka," ucap Pramudita dengan menatap sekotak donat cokelat di tangan kanannya dan seikat bunga mawar merah di tangan kiri. Sudut bibir Pramudita berkedut, menimbulkan seutas senyuman tipis. Ia membayangkan bila wanita itu tersenyum bahagia mendapat kejutan kecil yang diberikan. Terlebih baru kali ini Pramudita memberikan hadiah untuk Linggar semenjak mereka menikah. Menurut artikel yang sempat ia baca, wanita sangat menyukai hadiah kecil. Tidak peduli akan harganya. Wanita melihat bagaimana usaha dan niat besar seorang pria untuk memberikan hadiah tersebut. Bahkan hanya dibelikan sebuah makanan ringan kesukaannya pun membuat mereka bahagia. Wanita senang bila hal kecil dari mereka diperhatikan oleh pasangan. Mereka merasa sangat dicintai dan disayangi. Hal ini dimanfaatkan oleh Pramudita untuk bisa membuat hubungannya dengan Linggar menjadi lebih baik. Ia ingin meminta maaf ke wanita tersebut, terlebih tadi pagi telah berbuat kasar. Hatinya merasa tidak enak dengan Lin