Share

Bab 6 Foto Mesra

"Apa yang harus aku lakukan lagi?" Linggar menghela napas panjang, wajahnya tampak kusut.

Sudah satu jam wanita dua puluh lima tahun tersebut termenung di taman kecil yang terletak di halaman belakang. Kepalanya terasa bising, saling berebut atensi untuk dipikirkan. Linggar tidak dapat berbuat banyak. 

Ponselnya kembali bergetar, membuat pandangan Linggar teralihkan. Dahinya mengerut dalam hingga bertumpuk-tumpuk, terlebih menatap nama Pradipta kembali tertera di layar gawai tersebut.

"Ada apa lagi?" Linggar berdesak kesal, kemudian meraih gawainya. Rasa penasaran kembali menghantui pikirannya.

Pradipta mengirimkan foto seorang pria tengah merangkul pria lain, foto tersebut diambil dari samping. Linggar merasa tidak asing akan pria yang tengah tertawa dengan tangan yang berada di bahu teman prianya. Mata Linggar menyipit, lantas memperbesar foto tersebut hingga terlihat wajah pria itu meski sedikit buram.

Jujur sebenarnya Linggar merasa tidak yakin akan tebakannya. Ia masih menyimpan di dalam hatinya. Bisa saja spekulasi yang dia pikirkan tidak sesuai dengan kenyataan. Linggar berusaha untuk menyangkal, membuang jauh pikiran buruknya.

Pesan selanjutnya yang masuk ke dalam gawai Linggar, membuatnya membungkam mulut. Kepalanya menggeleng pelan, air mata kembali lolos menganak sungai di pipinya.

Ini suamimu, Dik. Kamu masih tidak mau percaya dengan ucapanku, Dik Enggar? Suamimu itu tidak menyukai perempuan, Dik, dia hanya suka dengan kaum berbatang saja. Seumur hidup itu lama loh, Dik, jangan buat hidupmu menjadi sengsara dengan pria yang tidak menyukai wanita

Linggar menghela napas panjang. Ia mengusap kasar air matanya, memalingkan pandangan ke arah lain. Langit biru tanpa penghalang atap tersebut menjadi pelipur lara hati Linggar. Meski ia tidak memiliki perasaan lebih dengan suaminya, bahkan mengenal pun hanya sebatas nama. Rasa sakit hatinya menusuk cukup dalam.

"Aku kenapa harus menangis?" Linggar menyeka air matanya, meski kembali menetes. "Bukannya pernikahan kami hanya untuk menutupi rasa malu keluarga? Untuk apa aku harus menangis? Itu adalah urusan Mas Pram dan kehidupannya sendiri."

"Dari awal aku sudah berjanji dengannya untuk tidak ikut campur urusan pribadi. Tapi, kenapa aku tidak terima bila Mas Pram sebenarnya tidak bisa mencintai perempuan? Kenapa hatiku malah sakit? Ada apa denganku?" 

Tatapan wanita dua puluh lima tahun tersebut kembali pada layar gawai yang masih menampilkan foto kedua pria tengah rangkulan. Ia memandang lekat, memastikan kebenaran atas apa yang dilihatnya. Lagi dan lagi, ia membenarkan presepsinya atas foto tersebut.

Linggar memejamkan matanya kemudian, membuang napas cukup kasar. "Aku harus diam dan menutupi aib suamiku sendiri. Tidak masalah Mas Pram mungkin penyuka sesama, asal dia tidak berbuat macam-macam denganku. Kalau pun bisa, aku akan membuatnya kembali normal."

Entah bisikan dari mana, Linggar tergerak hatinya untuk membuat Pramudita ke jalan yang benar. Terlebih dari postur dan perawakan tidak terdeteksi bila Pramudita memiliki penyimpangan. Hal ini membuat hati Linggar menjadi tergerus, pasalnya ia tidak mengetahui hal yang menyangkut suaminya.

"Memang ini adalah resiko menikah serba tidak terduga dengan calon pengantin yang tidak dikenal. Mungkin bila kemarin aku berani menolak, aku juga tidak akan melihat sisi lain dari Mas Pram. Tidak masalah, memang ini yang terbaik untuk aku. Mungkin lewat aku, Mas Pram bisa sembuh." Linggar berharap penuh dengan anggukan kepala penuh semangat.

Memilih menghiraukan pesan yang dikirim oleh sang mantan kekasih, Linggar kemudian sibuk dengan beberapa tanaman yang ia temukan di pojok halaman dalam keadaan mengenaskan. Ia prihatin akan kondisinya memprihatinkan, kemudian berusaha menyelamatkan dengan memindahkan tempat ke yang lebih layak. Pramudita tentunya tidak akan memiliki waktu hanya untuk mengurus beberapa tanaman tersebut, seluruh waktunya tersita pada pekerjaannya.

"Mas Pram hari ini pulang jam berapa ya?" Linggar menatap jam tangan yang melingkar. 

Sedetik kemudian, bersamaan ponselnya bergetar. Linggar mengacuhkan, menduga bila itu berasal dari Pradipta. Hanya akan membuatnya memiliki pikiran buruk terharap suaminya.

Kembali ponselnya bergetar, membuat Linggar mau tak mau membuka gawainya. Ia terkejut dengan dua pesan yang belum terbaca dari Pramudita. Pandangan matanya menyipit, tidak biasanya pria tersebut mengirimkan pesan untuknya.

Enggar, hari ini aku pulang malam. Jangan menunggu aku pulang. 

Linggar mengembuskan napas seketika, lalu pesan kedua membuatnya keningnya semakin bertumpuk dalam. Seperti ada hal janggal berada di sudut hatinya.

Tidak usah masak, aku makan di luar dengan temanku.

"Teman? Teman atau...," ucap Linggar menggantung.

Kemudian Linggar kembali menggeleng, tidak ingin terlalu memperpanjang pikiran buruknya. Mungkin memang Pramudita memiliki banyak teman, tidak hanya yang berada di foto seperti kiriman dari Pradipta. Semakin membiarkan, semakin dalam pula pikiran buruk Linggar bergerilya.

"Biarkan saja, Enggar, bukan urusan yang harus kamu campuri."

LyonaAdira

Halo, terima kasih telah membaca. Jangan lupa berlangganan ya. Bagikan cerita ini ke teman-teman kali juga, biar mereka bisa membaca di sini. Jangan lupa follow ig lyona_adira

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status