Selamat membaca!
Setelah sang rektor pergi, barulah Viola keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis itu pun langsung menagih janji pada Devan sesuai dengan apa yang dikatakan sebelum ia bersembunyi."Pak, jangan lupa sama janji Bapak ya!" Viola tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. Menatap Devan yang baru saja menutup pintu ruangan setelah Gunawan keluar."Sebelum saya menepati janji saya, kamu harus tahu dulu sesuatu tentang saya.""Tentang, Bapak? Maksudnya?""Ya, kamu harus tahu alasan kenapa saya ninggalin kamu dua tahun lalu?""Apa itu, Pak?" Viola menautkan kedua alisnya. Menatap tajam wajah Devan seolah menuntut agar pria itu segera menjawab pertanyaannya.Devan menghela napas kasar. Raut wajahnya berubah ragu, seperti tidak yakin untuk bicara. "Saya itu impoten.""Apa, Pak?" Sambil mendekatkan telinganya pada Devan, Viola bertanya. Meminta pria itu mengulangi apa yang baru saja ia katakan."Saya menderita disfungsi ereksi sejak tiga tahun lalu. Makanya, malam itu saya bilang sama kamu kalau saya enggak bisa sampe berhubungan. Bukan karena saya enggak mau, tapi karena saya enggak bisa."Tentu saja Viola tercengang mendengar pengakuan Devan. Kedua bibirnya bahkan sampai menganga dengan kedua mata yang membulat sempurna karena merasa begitu terkejut. "Ini pasti rencana Pak Devan. Dia pikir gue bakal percaya sama akal-akalan dia," batin Viola yang langsung menatap nyalang wajah Devan."Pak, kalau Bapak enggak mau nikahin saya, enggak usah pake bohong sama saya, apa lagi bawa-bawa impoten segala! Lagian siapa juga yang percaya pria yang punya tubuh kekar seperti Bapak ini menderita penyakit itu? Kalau Bapak merasa bisa bodoh-bodohin saya, Bapak salah!""Loh, tapi saya cerita yang sesungguhnya, Vi. Untuk apa saya bohong, apa untungnya menurut kamu?"Viola terdiam sejenak. Wajahnya masih dipenuhi keterkejutan karena sama sekali tidak menyangka jika itu alasan Devan meninggalkannya dua tahun lalu."Ya, tapi kan bisa aja Bapak nyari alasan agar saya enggak jadi minta pertanggungjawaban, Bapak?""Anggaplah itu juga niat saya, tapi saya memang berkata yang sejujur-jujurnya, Vi." Devan menampilkan raut wajah yang penuh keseriusan hingga Viola mulai sedikit percaya atas apa yang dikatakan oleh pria itu."Jadi benar, Pak Devan pergi dua tahun lalu karena Bapak impoten?""Iya, begitulah kondisinya. Jadi, sekarang karena kamu berubah pikiran, tolong rahasiakan semua ini ya! Ya, setidaknya kamu sudah tahu kalau saya tidak benar-benar ingin meninggalkan kamu. Saat itu, saya hanya malu jika sampai kamu tahu saya impoten.""Berubah? Siapa yang bilang, Pak?"Devan yang sudah jauh lebih tenang karena melihat Viola seolah tidak jadi meminta pertanggungjawabannya pun, seketika merasa heran saat mendengar perkataan Viola."Maksudnya kamu masih ingin saya nikahi?""Tentu aja, Pak. Saya enggak akan berubah pikiran hanya karena Bapak impoten. Lagian juga yang saya pernah baca di portal berita online kalau penyakit itu masih bisa disembuhkan."Devan hanya geleng-geleng kepala. Baginya, percuma berkata jujur pada Viola jika ujung-ujungnya wanita itu masih bersikeras untuk minta pertanggungjawabannya.***Pernikahan sederhana tanpa melibatkan orang di luar keluarga baru saja berlangsung. Hanya ada keluarga dan juga kerabat dekat dari kedua mempelai di acara tersebut. Ya, walau awalnya Viola merasa tidak yakin untuk mendapatkan izin menikah muda dari sang ayah, tetapi pada akhirnya, Bimo memberi lampu hijau. Dan, selang satu Minggu setelah Devan melamar, pernikahan pun berlangsung di rumah pria itu. Rumah di mana Devan hanya tinggal sendiri karena kedua orang tuanya tidak serumah dengannya."Sekarang kita sudah resmi menjadi suami-istri, pokoknya kamu harus ingat 5 syarat yang saya ajukan."Saat baru masuk ke dalam kamar Devan yang tampak cukup besar dan mewah, Viola pun menoleh, menatap lekat wajah pria yang baru setengah jam lalu resmi menjadi suaminya. "Apa untuk syarat nomor 3 bisa dibatalkan? Bagaimana jika kedua orang tuamu dan orang tuaku sampe tahu kita tidak tidur sekamar?""Mereka tidak akan tahu. Nanti malam kita akan tidur sekamar, tapi setelah mereka pulang, kamu harus pindah ke kamar tamu."Viola hanya mendesah kasar. Raut wajahnya berubah masam. Tentu saja ia masih ingat betul dengan syarat yang diajukan oleh Devan. Namun, Viola tidak menyangka jika itu benar-benar akan terjadi setelah mereka menikah."Ya, aku tidak punya pilihan selain menurutimu, Pak Devan." Viola menjawab sekaligus memenuhi syarat kedua Devan yang tidak ingin dipanggil dengan sebutan lain, walau mereka sudah menikah. Selayaknya suami-istri, sebenarnya Viola ingin memanggil Devan dengan panggilan sayang seperti pasangan lain. Walaupun merasa sedih, tetapi Viola tahu jika ini adalah pilihan yang harus dijalaninya. Menjadi istri Devan memang harapannya sejak dua tahun lalu, maka itulah Viola tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang didapatnya sekalipun Devan mengajukan 5 syarat yang tidak masuk akal."Bagus kalau begitu. Lagi pula kamu harus tahu jika pernikahan ini bukanlah kemauan saya, melainkan keinginan kamu sendiri. Jadi, ingat syarat terakhir yang saya pernah katakan."Viola kembali diam. Wajah masamnya berubah sendu saat ingat jika pernikahannya hanya akan berlangsung sementara seandainya Viola tidak berhasil membuat Devan jatuh cinta padanya dalam dua tahun."Iya, Pak Devan. Saya enggak akan lupa syarat terakhir itu. Walaupun dua tahun terbilang sangat singkat, tapi itu lebih masuk akal dari waktu yang Bapak ajukan sebelumnya.""Sebenarnya saya hanya ingin 6 bulan, tapi kamu malah mengancam akan menceritakan rahasia malam itu pada semua orang di kampus. Dasar licik!"Melihat raut cemberut di wajah Devan, Viola sejenak melupakan kesedihannya. Entah kenapa wanita itu merasa yakin bisa membuat Devan jatuh cinta padanya. Keyakinan yang jadi alasan terbesarnya untuk tetap menjadi nyonya Devan. "Sekarang waktu yang tepat untuk membuktikan apa benar pak Devan impoten atau tidak." Terbesit sebuah ide dalam pikiran Viola.Tanpa membuang waktu, gadis itu pun langsung membuka kebaya berwarna putih yang sejak tadi melekat pada tubuhnya selama beberapa jam saat acara akad nikah berlangsung."Kamu ngapain, Vi?""Saya mau ganti baju soalnya gerah dari tadi pake kebaya ini terus.""Ya, tapi kan kamu bisa ganti di walk in closet, itu di sebelah sana!" Devan menunjuk sebuah ruangan yang ada di sisi kiri Viola."Enggak ah, saya mau ganti di sini aja."Dalam sekejap, tubuh polos Viola terlihat jelas di mata Devan. Pria itu sampai menelan saliva-nya sendiri karena merasa tubuh Viola begitu indah. Bagaimana tidak, dada berukuran besar dan tubuh ramping wanita itu benar-benar membuat aliran darah dalam tubuh Devan sampai berdesir hebat. Namun, sama seperti dua tahun lalu, pria itu tak bisa merasakan bagian intim miliknya yang ada di bawah sana membesar."Percuma, Vi. Kamu enggak akan berhasil."Sambil mengulas senyum yang menggoda, Viola pun melangkah maju. Membuat Devan hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah liar Viola yang menurutnya tidak tahu malu."Pak ...." Viola memanggil, suaranya terdengar berbisik di telinga Devan saat langkahnya terhenti tepat di hadapan pria itu. "Apa Bapak tahu kenapa saya masih ingin menjadi istri Bapak, walau ada syarat-syarat yang enggak masuk akal yang Bapak kasih ke saya?""Saya enggak mau tahu! Menurut saya, kamu itu cuma terobsesi sama saya karena dendam saat saya meninggalkan kamu begitu saja di kamar hotel dua tahun lalu.""Salah, Pak! Saya itu udah jatuh cinta sama Bapak sejak Bapak pertama kali mengajar di kelas saya."Tentu saja Devan tersentak kaget, terlebih lagi saat tangan Viola mulai meraba celana bahan hitam tepat di bagian intimnya."Lepas, Viola!" Devan coba meraih tangan Viola yang kini mulai menggenggam sesuatu di balik celananya setelah tangan gadis itu berhasil merangsek masuk hingga ke dalam saat tubuh mereka semakin rapat."Ya ampun, kenapa gue bisa senakal ini sih? Tapi enggak apa-apalah, sama suami sendiri ini," batin Viola menahan rasa malu sambil terus meremas lembut milik Devan yang masih mengecil dalam genggamannya. Namun, semakin lama Viola mulai merasakan genggaman yang tadinya kosong, kini mulai sedikit berisi. Viola pun terkejut sama seperti Devan yang dalam sekejap langsung melepas genggaman tangan gadis itu sambil melangkah mundur."Jaga sikap kamu, Viola! Saya akan tambahkan satu syarat lagi, ini sebagai syarat keenam yang harus kamu lakukan selama kita menikah, kamu tidak boleh menyentuh bagian mana pun tubuh saya dengan tanganmu! Kamu ngerti!"Viola hanya tersenyum. Mengedipkan mata, lalu berbalik dan melangkah begitu saja meninggalkan Devan yang hanya menatapnya bingung. Bingung karena ternyata sentuhan Viola pada bagian intimnya berhasil membuat miliknya sedikit bereaksi, walau itu hanya berlangsung singkat.Bersambung ✍️Selamat membaca!Merasa tidak nyaman karena sejak tadi mengenakan kebaya yang tidak pernah sekalipun dikenakannya, Viola bergegas menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar itu untuk mandi. Ya, walau setiap ruangan di rumah Devan mengenakan AC, tetap saja Viola masih berkeringat saat akad nikah tadi. Entah karena merasa gugup akan menjadi istri Devan atau karena tidak terbiasa mengenakan kebaya dan itu membuatnya merasa gerah hingga berkeringat. Sambil melangkah, Viola masih terus mengingat momen mendebarkan saat tangannya menggenggam pusaka milik Devan. Sejenak bayangan nakal pun terbesit di benaknya. "Ih, kenapa pikiran gue jadi kotor begini sih? Kenapa juga gue malah bayangin punyanya Pak Devan kalau lagi bangun? Fokus, Vi, fokus ... sekarang itu yang paling penting gue tahu kalau penyakit impoten Pak Devan ternyata masih bisa disembuhkan, buktinya tadi gue ngerasa punya Pak Devan mulai bangun pas gue pegang. Ya, walau mungkin kaya telat respon gitu sih." Viola tampak berpikir. La
Selamat membaca!Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan oleh Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya."Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta dinikahin." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah hingga di sisi lorong lainnya."Kenapa lama banget ganti baju aja?" Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan oleh gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya."Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?""Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan.""Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya."Kenapa kamu lama? Saya
Selamat membaca!Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu pun kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya. Maka itulah, agak berat baginya untuk melepas Viola di usianya yang masih sangat muda. Namun, Bimo punya alasan kenapa ia sampai mengizinkan putrinya menikah muda."Vi, pokoknya kalau suami kamu sampai nyakitin kamu, kamu harus ngomong sama Ayah!"Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu."Ayah tenang aja, ya! Mas Devan nggak akan nyakitin aku kok." Setelah sempat kesulitan bicara karena masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, Viola pun coba meyakinkan sang ayah."Ya, pokoknya Ayah nggak mau kalau putri Ayah sampai disakiti sama orang. Kalau itu terjadi, nanti biar Ayah tegur si Devan itu.""Iya, Y
Selamat membaca!"Bangun!" Suara teriakan itu membuat Viola terperanjat. Gadis itu pun seketika duduk. Melihat sosok Devan yang sudah rapi dengan mengenakan pakaian formal. Dan, hanya melihat penampilannya saja Viola sudah tahu jika saat ini ia kesiangan untuk pergi ke kampus."Ya Tuhan, jam berapa ini, Pak?" Sambil mengusap kedua mata, pandangan Viola langsung tertuju pada jam dinding yang ada di sisi kirinya. "Jam 8?" Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola bangkit dari posisi duduknya. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan Devan yang hanya melihatnya dengan sinis."10 menit ya! Kalau lebih dari itu, saya akan ninggalin kamu."Tanpa menjawab, Viola pun melengos masuk ke dalam kamar mandi sambil menggerutu kesal, "10 menit, emang mandiin bebek apa ya? Ish, Viola, Viola, kenapa sih kebiasaan banget suka kesiangan?" keluh gadis itu merutuki kebiasannya."Ayo, cepat! Jalanan nanti macet! Seandainya aja nggak ada orang tua kita, saya pasti udah ninggalin kamu." Terdengar suara Devan dari lu
Selamat membaca!Viola yang tahu bahwa ia datang terlambat pun akhirnya tiba di depan kelas. Setidaknya ia masih yakin jika Devan akan mengizinkannya masuk karena mau bagaimanapun mereka berdua sama-sama datang terlambat."Ya ampun, capek banget deh. Betis gue sampe lemes gini." Dengan napas terengah-engah, Viola membuka pintu. "Permisi, Pak!" Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang sudah berada di kursinya."Buat apa kamu masuk?" tanya Devan yang baru 5 menit lalu ada di dalam kelas. Pertanyaan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. "Emang nggak boleh, Pak?" Viola balik bertanya dengan raut wajahnya yang polos.Sementara itu, Tari yang melihat Viola dalam masalah pun tak bisa berbuat apa-apa. "Kasihan Viola. Lagi-lagi dia bikin Pak Devan marah.""Saya tidak izinkan kamu masuk. Sekarang kamu boleh pergi! Lain kali, kalau mau ikut kelas saya, kamu harus datang tepat waktu.""Tapi, Pak—""Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar karena saya akan segera mula
Selamat membaca!"Baiklah, materi hari ini cukup. Jangan lupa kirim tugas yang tadi saya kasih malam ini, setengah delapan."Seketika ruang kelas terdengar bergemuruh. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruangan tampak tidak suka saat Devan memberikan tugas dengan jangka waktu yang sempit."Lihat tuh, Vi, dosen idaman lo killer banget. Dia pasti sengaja ngasih tugas biar kita nggak bisa bebas nikmatin waktu weekend.""Ya udah sih nggak apa-apa, kerjain aja. Daripada nanti matkul dia lo dapat nilai C. Lo kan tahu, Pak Devan itu termasuk dosen penting di semester ini.""Ya, ya, terus aja lo belain dosen idaman lo.""Ih, gue tuh bukan belain, tapi ini demi kebaikan lo juga tahu.""Iya, ya. Eh, tapi ngomong-ngomong, kemarin lo ke mana aja, gue chat kok nggak dibaca-baca sampai sekarang lho, tumben?"Seketika Viola tersedak salivanya sendiri saat sorot mata Devan tiba-tiba menatapnya dengan begitu tajam sebelum keluar dari ruang kelas."Pak Devan pasti marah deh gara-gara gue bawa
Selamat membaca!Merasa Tari terlalu cerewet dan tidak bisa diajak bicara baik-baik, Viola pun langsung menarik pergelangan tangan sahabatnya itu untuk diajak pergi ke taman karena ia malu sejak tadi menjadi pusat perhatian orang sekantin."Eh, Vi, lepasin dong ah! Lo mau bawa gue ke mana sih?" "Ke taman! Habisnya lo itu bikin gue malu tahu nggak! Orang yang lagi makan di kantin malah jadi ngelihat ke arah kita terus karena lo berisik nggak bisa diem!" Viola menjawab dengan ketus sambil terus menarik tangan Tari keluar dari kantin.Setibanya di taman yang tidak jauh dari kantin, barulah Viola melepaskan genggamannya dari tangan Tari yang seketika menghela napas lega. "Aduh, Vi, lo itu kasar banget sih jadi cewek. Megang tangan gue aja sampai perih begini. Gimana gue mau percaya coba kalau lo sama Pak Devan udah ni—" Lagi dan lagi Viola terpaksa membungkam mulut sahabatnya agar mahasiswa lain yang juga tengah berada di taman tidak mengetahui soal kabar pernikahannya dengan sang dosen
Selamat membaca!"Apa Tari udah ngomong sama Arya ya soal permintaan gue buat bikin Pak Devan cemburu?" Di dalam hati Viola menduga, walau sebenarnya ia masih ragu menerima tawaran itu."Gimana? Mau gue anterin pulang nggak?" tanya Arya kembali. Wajahnya memang sungguh tampan seperti yang dikatakan Tari. Lesung pipit yang terbentuk dari senyumannya sungguh membuat kedua matanya sampai tak berkedip menatap."Yuk, tapi by the way, makasih ya lo udah mau bantuin gue.""Iya, sama-sama. Kita kan satu kampus. Jadi, kita harus saling membantu, kan?" Arya menjawab, walau sebenarnya arah perkataan Viola berbeda dengan pikirannya saat ini."Iya, pokoknya makasih ya."Keduanya pun mulai melangkah. Menuju parkiran motor yang kebetulan memang harus melewati mobil Devan."Nah, ini kesempatan gue buat bikin Pak Devan cemburu," batin Viola yang tengah bersiap saat melintas di depan mobil Devan. Viola menganggap bahwa Devan menyetujui permintaannya bukan hanya karena ancaman yang ia katakan, tetapi ad