"Pertemuan untuk kepentingan proyek? Apa tidak salah? ku kira hanya pertemuan makan malam biasa. Ternyata ini acara pesta. Hmmh..." Gumam Shaila dalam hati saat ia hendak keluar dari kamar mandi. Ia merasa tak nyaman memakai gaun tertutup yang diberikan Ezra. Membuat dirinya tak percaya diri. Apalagi tamu yang hadir dalam pesta itu lumayan banyak."Ah, bodohnyaa... kenapa aku harus menuruti kemauan dia memakai baju seperti ini, ribet banget."Dia mengangkat ujung pakaiannya yang menyapu jalanan.Ekspresi Shaila berubah seketika menyaksikan pemandangan yang membuat ia melongo. Ia melihat Ezra berbincang dengan seorang wanita. Jaraknya sangat dekat. Tangan wanita itu hampir menyentuh bahu Ezra. Bahkan tatapan Ezra kepada wanita itu sangat lembut dibandingkan ketika sedang menatapnya."Oh ...Jadi itu wanita idaman Ezra? Dia menyuruhku memak
"Kita akhiri hubungan ini. Kamu bisa tanda tangan surat cerainya! Dan, mulai detik ini, kamu boleh pergi dari kehidupanku." Ezra menyerahkan surat perceraian. Tatapannya dingin hingga menusuk hati seorang wanita yang berada di depannya.Shaila meraih surat itu dengan tangan gemetar. Dadanya bergemuruh hebat. Mulut yanh berwarna merah merona itu kelu, seakan dunia hancur seketika.Sifat lelaki yang begitu dingin, tidak ada sedikit pun rasa iba padanya.Laki-laki berpostur tubuh tinggi, dengan sweater putih yang ia kenakan, melangkah berlalu meninggalkan Shaila, tanpa menoleh lagi, ia terus berlalu, semakin menjauh hingga hanya bayangan dan menghilang."Tuhan, kenapa ini harus terjadi? Lebih baik aku memilih mati sebelum pernikahan itu. Seharusnya aku memilih mundur, meski bertemankan sepi, jika tahu akhirnya akan terjerumus dalam pernikahan sep
Penyatuan kasih dalam balutan kehalalan telah terwujud. Kini mereka menjadi pasangan normal layaknya suami istri. Perjanjian hanyalah perjanjian, Ezra melanggarnya tanpa diminta oleh Shaila. Laki-laki berwajah teduh, namun bersifat dingin itu masih tertidur pulas, mengingat dia kelelahan setelah itu. Tapi tidak dengan Shaila, dia masih tetap terjaga hingga matahari mulai mengintip. Tidak ada rasa kantuk sedikit pun menggelitik di matanya. Ia hanya tak ingin menyia-nyiakan momen-momen kedekatan antara mereka yang telah menjadi sejarah bagi Shaila. Baru beberapa hari kebersamaannya dengan Ezra, namun Shaila sudah bisa membaca watak Ezra yang terkadang gampang berubah. Ia menatap laki-laki yang tidur di sebelahnya. Matanya terlihat seperti jarang tidur. Terdapat kantung mata sedikit hitam. Dan, seperti ada segurat rasa cemas dalam wajahnya. Terkadan
"Dasar egois, memangnya cuma dirinya yang paling pintar? ""Hmm...liat saja nanti laki laki bunglon. Akan ku pastikan namaku tertulis tebal di balik kesuksesan perusahanmu itu. Aku akan membuatmu mengakui kepintaranku. Aku akan membuatmu bertekuk lutut meminta maaf di hadapanku karena ucapan-ucapanmu itu ."shaila berjalan menelusuri trotoar sepanjang jalan H. Alpi sambil menggerutu kemudian ia mengikat rambut lurusnya tak teratur. Hingga tak sadar ia sudah berjalan jauh dari Kantor Ezra. Lantas, tangannya melambai ketika melihat taksi AA berwana kuning melewatinya."Mau kemana Neng?" Tanya Sopir sambil melirik kaca spion depan."Jalan aja dulu Pak!"Pun, Sopir itu tersenyum melihat tingkah Shaila. Bagaimana tidak, mulutnya terus berkomat-kamit seperti baca mantra.
Selama di ruangan rapat. Ezra tidak bisa fokus. Pikirannya masih terngiang dengan Shaila yang sama sekali tidak memberinya kabar.Dia mulai gusar pada dirinya sendiri. Mengingat semua perlakuannya kepada Shaila sejak pertama kali bertemu. Ia menyesal, padahal dia tahu bagaimana hukum menyakiti hati seorang istri. Meski sejujurnya dia belum bisa memberikan rasa cinta itu untuk Shaila, tapi setidaknya dia tidak harus melakukan hal yang di larang agama. Yakni menyakiti hati seorang istri.Melihat keadaan bosnya seperti itu, Sekertaris Gun mewakili Ezra menutup rapat sementara.Setelah semua peserta rapat keluar dari ruangan, Gun menghampiri Ezra yang masih terlena dengan lamunannya."Bos, kamu kenapa? Mukamu terlihat sangat pucat.""Ah, apa karena gadis itu??" Lanjutnya sambil memperhatikan bosnya ya
Dibawah pohon yang rindang, angin malam menusuk hingga sendi-sendi. Ezra mendekap Shaila penuh kasih dan harapan ia akan bersama dengan gadis mungil yang telah menjadi takdirnya untuk selamanya.Ketika Shaila sedang berada dalam pelukan Ezra, ia tersadar kembali, terngiang perkataan Ezra yang membuat hatinya sakit. Perjanjian itu, keegoisan itu. Lantas, Shaila melepas pelukannya dan mundur dua langkah."Aku, aku menyukaimu Shaila, apa kau tahu perasaanku saat ini seperti hampir meledak? Aku sangat mencintaimu,""Lalu?... Kalau kamu menyukaiku dan perasaanmu akan meledak. Kau pikir perasaanku juga akan meledak sama sepertimu?"Sekuat hati Shaila menahan air matanya, ia tak mau terbuai lagi dengan perkataan Ezra. Kali ini dia memilih untuk menyembunyikan perasaannya. Mungkin lebih baik menghindar dari perasaan yang ia takuti, takut akan rasa sak
"Siapa?" Shaila mengalihkan pandangan yang tengah sibuk dengan layar laptopnya untuk melihat ke arah Ezra yang berdiri di ambang pintu."Direktur Han datang." Jawab Ezra dengan santai sambil kembali menghampiri Shaila."Apakah orang yang waktu itu hadir di pertemuan?" Tanya Shaila dengan memicingkan matanya."Betul, dia memang investor terbesar disini. Mungkin dia akan menagih kerugian yang kita alami akibat plagiat produk yang gagal launching.""Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus bersembunyi? ""Buat apa bersembunyi kamu kan sudah menjadi istriku.""Tapi Zra, apa kamu lupa, tidak ada yang tahu tentang pernikahanmu denganku. ""Tidak, aku tidak lupa, justru aku akan mengenalkanmu pada mereka yang belum tahu.""Tidak Ezra, mereka
Akhirnya Shaila di terima di perusahaan Ezra. Sesuai rencana, Ia memilih menyembunyikan identitasnya. Keputusan yang ia buat sudah bulat, tidak bisa di ganggu gugat. Hanya ini yang bisa ia lakukan demi melindungi Ezra dari hal yang tidak di harapkan. Ia akan mengerahkan semua kemampuannya untuk melalui krisis yang terjadi di dalam perusahaan Ezra. Hanya itu niat yang saat ini tetulis jelas di benak Shaila.Ia tak ingin menjadi belenggu dalam kehidupan Ezra. Pun, ia harus mengalah dan enyah dari skenario kehidupan Ezra. Ia berpikir jika desain dan pengerjaan produk sepatu telah selesai sesuai idenya, saat itu pula waktu yang tepat untuk Ia pergi dan menghilang dari kehidupan Ezra.Ezra berjalan lunglai memasuki rumah. Tangan kanannya menenteng Jas, sedang kemeja biru yang melekat pada tubuh atletnya begitu berantakan. Bagian tangannya melilit hingga sikut. Pikirannya begitu kalut. Sampai-sampai ia melupakan janji