Share

7. Tuduhan

"Aku pendarahan, Mas." Arsa memejamkan mata saat mendengar ucapan dari yang mengubunginya. 

 

Amelia hanya diam dan mengajak anak-anaknya keluar dari ruangan tempat Arsa sedang menerima panggilan itu. Ia tidak tahu nanti anaknya akan bertanya banyak hal perihal telepon itu. Arsa menatap kepergian Amelia dengan wajah sendu. Bodoh! Mengapa Prita menghubunginya saat ia sedang bersama dengan Amelia.

 

Sudah bisa dipastikan, Arsa akan segera meninggalkan rumah. Panggilan telepon dari wanita itu akan membuat Arsa lupa dengan segalanya. Beruntung anak-anak tidak mengiakan ajakan Arsa untuk jalan-jalan. Mereka pasti akan sangat kecewa. 

 

"Apa?!" Arsa terkejut karena mendengar berita itu.

 

Semenjak melakukan hubungan intim dengan wanita simpanannya Arsa selalu menggunakan pengaman. Ia tidak mau semua rusak hanya karena Prita menggandung. Hari ini justru ada berita jika wanita itu mengalami pendarahan. Arsa tidak bisa berpikir panjang lagi dan benar seperti dugaan Amelia; sang suami keluar dari rumahnya.

 

"Ma, tadi siapa yang menghubungi Papa?" tanya Aru yang memang sempat mendengar suara seorang wanita dari benda pipih yang dipegang oleh Arsa. 

 

"Ada teman kantor Papa. Tugasnya sangat beray dan mungkin harus ada yang menggantikan. Papa kalian yang nantinya mungkin akan menggantikan." Amelia berusaha menekan perasaan sakit dalam hatinya saat ini.

 

Apa yang dilakukan Amelia mungkin tampak bodoh di depan orang lain. Akan tetapi, itulah caranya mempertahankan rumah tangganya. Hanya saja, sepertinya memang citra Arsa di mata anak-anaknya sudah buruk. Arusha tampak tidak percaya dengan Amelia saat ini.

 

"Masa teman Papa wanita semua? Emang ga ada yang teman laki-laki?" Arusha sangat kritis saat ingin tahu tentang sang papa.

 

"Benar. Polisi ketika menjalankan tugas itu tidak peduli laki-laki atau perempuan. Mereka harus bisa bekerja sama. Papa kalian itu tugasnya menangani banyak kasus kejahatan. Jadi, wajar jika setiap saat dipanggil saat berada di rumah." Amelia berusaha menjelaskan dengan nada yang wajar.

 

Arusha hanya diam saja saat ini. Entah mengerti atau tidak dan itu akan dipikirkan Amelia nanti. Bukan hal yang mudah membuat kebohongan untuk menutup kebohongan yang lainnya. Kebohongan itu akan menjadi sebuah kebiasaan nantinya. Ah, ya, bukankah kebohongan ini berawal dari Arsa?

 

Arsa tidak pernah benar-benar menyelesaikan masalahnya. Ia selalu saja pergi ketika masalah belum selesai. Seperti saat ini, panggilan dari wanita itu membuatnya lupa dengan masalah besar yang sedang terjadi. Amelia tidak punya cara untuk mengembalikan hatinya yang sudah pecah berkeping-keping.

 

Sementara itu, Arsa tampak sangat terburu-buru memarkirkan mobilnya di sebuah parkiran salah satu rumah sakit besar di kota ini. Prita memberitahukan lokasi di mana sekarang berada. Gegas ia berlari seperti orang yang sedang kesetanan. Seolah wanita itu adalah orang yang benar-benar dicintainya.

 

"Pak Arsa? Siapa yang sakit?" tanya Fajar yang baru saja memeriksakan kehamilan ketiga sang istri. 

 

"Oh, ada saudara saya yang sakit, Pak." Arsa saat ini sangat gugup karena bertemu dengan atasannya itu. 

 

"Oh? Bolehkah saya ikut menjenguk?" Fajar memancing kejujuran bawahannya itu.

 

Arsa mendadak dilanda rasa panik. Haruskah ia curiga pada Amelia? Tidak mungkin karena istri pertamanya bahkan tidak tahu siapa yang menghubunginya tadi. Kebetulan saja saat ini yang sedang terjadi. 

 

"Ma-maaf, Pak. Saya sepertinya salah masuk rumah sakit. Saudara saya berada di rumah sakit lain." Arsa sangat gugup saat ini.

 

Fajar hanya mengulum senyum tipis. Sangat jelas jika Arsa berbohong saat ini. Tidak mungkin salah masuk rumah sakit ketika keadaan sedang genting. Fajar memutuskan menyudahi introgasi pada Arsa saat ini.

 

"Baiklah. Kalo begitu saya dan istri saya permisi," pamit Fajar dengan sopan meski posisinya sebagai atasan. 

 

Arsa merasa sangat lega saat ini. Akan tetapi, baru beberapa langkah Fajar meninggalkannya, ia harus kembali terkejut mendengar ucapan atasannya itu. Fajar mengatakan hal yang membuatnya benar-benar keluar dari rumah sakit ini.

 

"Oh, ya, Prita juga masuk rumah sakit ini. Tadi, saat bertugas ia jatuh dan mengalami pendarahan."  Arsa langsung membeku di tempatnya saat Fajar mengatakan hal itu.

 

Fajar bahkan tidak membalik badannya saat mengatakannya. Akan tetapi, sukses membuat Arsa tidak punya nyali saat ini. Apapun yang dilakukan dalam pantauan Fajar dan anggota yang lainnya. Arsa tentu tidak bisa berbuat gegabah saat ini. 

 

"Oh, terima kasih atas informasinya, Pak." Arsa dengan cepat menjawab ucapan atasannya itu. "Tapi, saya benar-benar bukan mencari dia," lanjutnya dengan wajah pias dan seputih kapas. 

 

Fajar melanjutkan langkah sambil menggandeng sang istri. Ia tahu dan bisa membayangkan bagaimana wajah Arsa saat ini. Sosok atasannya itu tentu saja tidak akan membenarkan tindakan Fajar yang menghianati Amelia. Mereka masih satu almamater saat SMA dulu. 

 

"Mas, emangnya Pak Arsa kenal sama Prita?" tanya istri Fajar yang kini sudah kesulitan berjalan karena perutnya yang sudah membesar dan masuk minggu ke tiga puluh enam.

 

"Hmm ... kenal. Mereka ... sudahlah. Jangan bahas mereka lagi. Tidak akan ada habisnya. Sebaiknya kamu fokus nanti saat persiapan melahirkan." Fajar mengelus perut sang istri dengan penuh kasih. 

 

Setelah Fajar pergi, Arsa pun segera meninggalkan rumah sakit tanpa bertemu dengan Prita. Ia masih punya rasa takut karena kemungkinan Fajar tahu jika Prita masuk rumah sakit ini. Arsa meremas rambutnya dengan kasar saat ini. Ia sangat frustasi.

 

Benar kata orang, menyimpan dua nama dalam satu hati akan membuat seorang laki-laki kesulitan. Terlebih cara yang diambil oleh Arsa adalah salah. Diam-diam menjalin hubungan dengan wanita lain. Amelia bahkan selalu berusaha mempertahankan rumah tangganya hingga sosok ibu tiga anak itu lelah.

 

Sementara itu, Amelia sedang merapikan beberapa piring yang ada di rak. Piring-piring itu di lap lalu di masukkan dalam salah lemari kitchen set. Ia sama sekali tidak menyadari jika saat ini Arsa sudah pulang. Deru mesin kendaraan roda empat itu sama sekali tidak terdengar.

 

"Kamu ngadu sama Fajar, hah?!" Arsa langsung membentak Amelia dan membuat wanita itu terkejut.

 

Amelia yang sedang fokus menata beberapa piring itu sangat terkejut dan mengakibatkan satu piring terlepas dari tangannya. Suara benturan piring pada lantai itu membuat Amelia terhenyak. Arsa kembali menuduhnya tanpa bukti. Laki-laki yang masih berstatus suaminya itu kini menatapnya dengan marah.

 

"Mana ponsel kamu?!" Arsa menarik tangan Amelia dengan kasar dan mengakibatkan salah satu jarinya terkena pecahan beling.

 

"Aw ...!" Amelia memekik dengan keras dan membuat Arsa menoleh. "Ambil saja ponselku. Ada di atas meja rias," lanjut Amelia yang kini meringis karena merasakan perih pada salah satu jari tangannya.

 

Arsa terkejut melihat jari tangan Amelia yang berdarah. Darah itu mengucur dengan deras. Ia segera meraih tangan istrinya. Amelia menolaknya dan langsung menuju ke wastafel untuk mencuci bekas lukanya. Setelahnya ibu dari ketiga anak itu segera mengambil plester.

 

"Ambillah ponselku dan cek semua panggilan masuk dan keluar. Juga pesan masuk dan keluar. Semua tidak pernah saya hapus," kata Amelia sambil menahan air matanya agar tidak jatuh. 

Bonamija(Mondi)

Terima kasih sudah mampir membaca. Semoga Allah memudahkan dalam segala hal.

| 1
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Desi Anneke Dayoh
critanya asyikk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status