POV NADIA
“Eh, Papah,” kataku gelagapan. Obat tetes mata itu buru-buru kumasukan ke dalam saku daster. Secepat kilat tanganku bergerak. Kuharap, Mas Wahyu tak menyadarinya.
“Mana kopinya? Papah udah haus, nih,” ujarnya sambil merangkul tubuhku.
Pria yang aroma tubuhnya agak masam tersebut membuatku agak risih. “Ini kopinya. Mau minum di sini atau bawa ke kamar?” tanyaku sembari melepaskan rangkulannya. Jujur saja, aku sudah sangat ilfeel kepada Mas Wahyu. Pikiranku saat ini hanya tertuju kepada pria kesayanganku seorang.
“Minum di meja makan sini aja. Kamu temenin aku tapi ya, Mah. Jangan ngurung diri di
HAPUS AIR MATACuplikan sebelumnya:Setibanya di ruang tamu, aku mengendap-endap sebab mendengar suara Mas Hendra tengah berbicara di teras. Untungnya, pintu depan tertutup setengah, sehingga keberadaanku tak langsung bisa disadari, kecuali pintu itu kubuka seluruhnya.“Kamu, sih! Cerobohnya bukan main! Dasar bodoh!”Terperanjat aku ketika mendengarkan kata-kata Mas Hendra dari balik pintu. Mas, benarkah firasatku?*** “Jangan sampai, perjuangan kita selama ini sia-sia karena ketololanmu!” Di balik pintu, aku berdiri dengan kedua tungkai yang gemetar. Dua telapak tanganku pun sontak basah akibat keringat dingin yang mendera. Perjuang kita selama ini? Ya Allah … apa yang tengah dibicarakan suamiku? Betulkah lawan bicaranya tersebut adal
RACUN UNTUK GUNDIK “Ah, Bunda lebay banget, Ca. Kita ke kamar yuk, Ca. Bundamu lagi drama.” Mas Hendra meraup beberapa kukis dari dalam toples, kemudian membiarkan tutupnya tergeletak begitu saja. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab! Karena diajak sang ayah ke kamar, anak semata wayangku langsung beringsut dan mengejar Mas Hendra. Syukurlah mereka menyingkir dari dapur. Dengan begitu, aku bisa leluasa memasak tanpa harus mendengar celotehan Mas Hendra yang tiba-tiba saja membuatku sangat muak. Sayuran berupa terong ungu, bunga kol putih, buncis, dan wortel yang sempat terabaikan di bak wastafel, kini kucuci kembali di bawah air mengalir. Sambil menggosok pelan terong panjang nan gemuk tersebut, kubay
KAMU HARUS MENDERITA “Ih, Riri. Ngomongnya berat banget, sih? Alexa itu masih kecil. Masa udah diomongin kaya gitu?” Nadia protes. Suaranya manja. Wanita bertubuh langsing dengan dada yang menyembul bulat itu langsung melendot di lenganku. Sementara itu, Mas Hendra berhasil menggendong Alexa keluar. Mungkin mereka akan jalan-jalan naik mobil. Terserah saja, aku ogah peduli. “Nggak usah nempel-nempel! Aku bau bawang. Masih kucel, masih dasteran. Nggak kaya kamu. Udah necis dan kinclong kaya ubin masjid.” Kutepis Nadia. Perempuan itu terlihat bingung menatap. Dia pun tampak mau tak mau melepaskan gamitannya. “Kamu kenapa, sih, Ri? Hari ini tumben galak banget?” tanyanya dengan suara
KUREKAM BARANG BUKTI “Mas, santai! Kamu tidak perlu memburu-buruku!” Aku membentak sambil membeliakkan mata. Merasa jengkel sebab dia dengan seenaknya memerintahku. Enak saja! Kalau perlu, si gundik tak perlu diantar ke rumah sakit agar mati saja sekalian. “Riri! Apa yang ada di otakmu!” Mas Hendra yang mukanya merah dan bersimbah keringat langsut bangkit sambil menggendong tubuh Nadia. Tampak perempuan dengan wajah yang membengkak dan kemerahan tersebut mengeluarkan liur dari mulutnya. Semoga kau mati, Nad! Agar puas hatiku. “Dasar tak punya hati!” Mas Hendra marah. Dia tergopoh-gopoh dan merampas kunci mobil dari genggamanku.&nbs
CCTV “Ri.” Panggilan dari Mas Hendra membuatku yang baru saja memasukan ponsel ke saku daster, sontak menoleh. Pria itu kelihatan lelah. Pelipisnya basah karena keringat. Napasnya juga tampak terengah. “Gimana keadaan Nadia?” tanya suamiku sambil mendekat. “Dia udah mulai sadar. Manggil-manggil mas. Aku nggak tahu mas siapa yang dia maksud,” jawabku tenang. Muka Mas Hendra seketika pucat pasi. Pandangannya langsung tertuju ke tubuh Nadia yang diselimuti hingga bagian atas dada tersebut. “Mungkin … d
PIN ATM “Permisi,” sapaku kepada seorang gadis pelayan toko. Perempuan muda dengan rambut panjang sebahu dan wajah cantik itu tersenyum ramah. “Silakan, Bu. Mau cari apa?” tanya gadis berkaus merah dengan ujung lengan berlis biru tersebut. Aku sibuk menatap ke sekeliling etalase di belakang perempuan tersebut berdiri. Ragam macam kamera CCTV dijajakan. Aku mendadak bingung, sebab ini adalah kali pertamaku berbelanja kamera pengintai. “Mbak, saya cari CCTV yang bisa dipasang setersembunyi mungkin. Yang tidak bikin orang curiga dan bisa diakses ke ponsel saya. Bisa, Mbak?”&n
KURAS HABIS Hari mulai beranjak gelap. Aku buru-buru membereskan barang apa saja yang harus dibawa ke rumah sakit untuk Nadia. Baju, pakaian dalam, handuk, dan selimut semua kukemaskan. Walaupun malas, aku juga tetap mengemasi pakaian milik Alexa. Anak cerewet nan cengeng itu harus pakai bajunya sendiri saat menginap di rumahku. Aku sudah tak rela bila dia terus-terusan memakai baju milik Carissa. Tidak sudi! Bukannya aku jahat atau kejam, tapi sabarku sepertinya juga ada batas. Aku hanya wanita biasa. Punya perasaan yang kadang meledak-ledak. Saking lamanya aku baik kepada orang, kebaikan itu malah menjadi bumerang bagiku. Sekarang, saatnya menerapkan kata tega. Ya, walaupun si Alexa masih kecil dna tidak berdosa. Namun, dia harus belajar untuk tidak ngelunjak seperti ibunya. Memangnya, mainan dan b
BAGIAN 16KUGERTAK DIA TANPA GENTAR Langit menggelap. Semburat benang jingga di ufuk barat perlahan tenggelam ditelan kelam. Waktu-waktu beginilah yang membuatku tak tenang saat berada di luar rumah. Tidak biasa. Seharusnya di waktu Magrib, aku di dalam rumah bersama si cantik Carissa. Bukan malah keluyuran berdaster begini. Dasar Nadia manusia kurang ajar. Bikin beban saja hidupnya! Ditolong pun nyatanya diam-diam menjadi pagar yang makan tanaman. Dengan perasaan dongkol, aku cepat melangkah masuk ke mobil SUV hitam milik Mas Hendra. Mobil dengan CC besar yang agak boros bahan bakar ini, memang memiliki body yang lebar dan tinggi. Untung saja, meski aku jarang menyopir sendiri, kemahiranku masih bisa diadu. Parkir di tempat yang agak padat pun, aku masih bisa meng-handle.&